Home / Romansa / Forbidden Lover / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Forbidden Lover : Chapter 21 - Chapter 30

53 Chapters

Chapter 21: Status

Berita tentang anak sulung Segovia yang telah kembali rupanya begitu cepat menyebar. Sejak Julian turun dari mobil, banyak yang menghadangnya, sekadar menunduk sebagai sebuah penghormatan dari pegawai ke pemimpinnya. Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah menjadi budaya di Mount East. Julian tak terlalu mengerti arti sebuah penghormatan. Ia hanya membawa ajaran ayahnya, bahwa dirinya harus terbiasa diperlakukan seperti itu. Julian bahkan tidak diperkenankan untuk tersenyum untuk membalas sambutan hangat orang lain padanya. Satu hal lagi yang penting, bahwa punggungnya harus tetap tegak apa pun yang terjadi. Ayahnya selalu bilang di punggung itu berlindung ribuan pekerja. Kau harus bisa dipercaya sebelum mereka menjatuhkan kepercayaan padamu sebagai pemimpin. Jangan pernah melirik ke samping, apalagi berpaling ke belakang. Bicaralah dengan tetap menghadap ke depan. Dan untuk sesaat, Julian menjadi orang yang sangat arogan.
Read more

Chapter 22: Langit Pekat

Dikubahi langit pekat, Julian berdiri dipagar balkon sambil memperhatikan laptopnya yang masih menyala di atas meja di tengah balkon. Julian tak menyangka urusan perusahaan bisa membuatnya tak tidur di hampir tengah malam itu. Ketika itu Julian mencoba mempertimbangkan permintaan Ana untuk melupakan saja soal perusahaan. Bukan karena itu tidak penting, tapi saat ini Analah yang terpenting. Soal "janda", "beranak satu", dan "penyakitan" juga mengganggunya. Ada apa dengan stereotipe itu? Buatnya Ana tetaplah Ana. Seseorang yang tak habis-habisnya menjalari pikirannya."Paman! Apa aku menggangu tidurmu?" Julian bicara di telepon.Orang yang menjadi lawan bicaranya saat itu, agaknya tak perlu bertanya tentang alasannya menelepon di larut malam. Media pasti sudah menayangkan tentang kembalinya pengusaha muda, Julian Andreas Segovia. Dan Juli
Read more

Chapter 23: IGD

Pukul empat subuh, ketika Julian terusik oleh sesuatu. Julian belum sadar sepenuhnya ketika ia menegakkan tubuhnya sembilan puluh derajad di atas sofa. Cahaya remang-remang hanya datang dari lampu di meja samping tempat tidur, yang samar-samar menyoroti kegelisahan Ana saat itu. "Ana!" Julian menghampiri Ana dan tangannya bergetar saat mengusap rambut perempuan itu. Ana memegangi perutnya, tubuhnya menekuk seperti janin yang berada di rahim ibu. Ada gumpalan-gumpalan keringat yang melapisi kening Ana saat itu. Terdengar rintihan yang semakin membuat Julian panik. Ana bahkan menggenggam tangan Julian begitu erat seakan berharap Julian menolongnya. Tapi, "Apa yang harus kulakukan?" Julian menarik kunci mobilnya. Ia mengangkat tubuh Ana dan dengan setengah berlari, Julian membawa Ana.
Read more

Chapter 24: Cinta

Julian berdiri di jarak dua meter dari tempat tidur Ana.  Ana sibuk melempari Julian dengan benda apa pun yang bisa diraih dengan tangannya. "Pergi!" sesuatu yang cukup nyaring terdengar, tapi tidak juga membuat Julian beranjak. Enam jam setelah kemoterapi, Julian masih belum bisa mendekati Ana. Perempuan itu marah ketika tahu zat-zat kimia masuk ke dalam darahnya dan membuat matanya dipenuhi lingkaran biru. Zat-zat itu juga membuatnya semakin mual, ia muntah berkali-kali dan Ruin bilang efeknya tidak akan hilang dalam 24 jam, atau bahkan sampai berminggu-minggu. "Ana, aku...," Julian mencoba melangkah maju. Satu lagi yang melayang dari tangan Ana, vas bunga yang kemudian remuk di lantai. "Pergi!" histeris Ana sekali lagi. Ia
Read more

Chapter 25: Hidup dan Mati

Julian tidak menemukannya di mana pun. Rasa haus akan berita tentang Ana membuat Julian gelisah. Ruin, Julian telah menelponnya beberapa kali. Tapi, pemuda itu tidak menjawab panggilannya. Julian akhirnya memutuskan sendiri apa yang akan ia lakukan untuk mengetahui kabar tentang Ana dan berharap bisa sedikit mengubur kekhawatirannya.Julian, sejak tiga hari lalu ia membiasakan diri dengan topi hitam yang menutupi kepala dan membuatnya tak dikenali kecuali ia menegakkan kepalanya. Ketika itu Julian bahkan menaikkan kupluk jaket dan berjalan cepat di koridor rumah sakit sambil menunduk. Sekilas ia terlihat seperti lelaki mencurigakan yang datang dengan rencana jahatnya. Langkah kaki orang itu melambat ketika sampai di depan pintu Dokter Ruin, ia tak menemukan siapa pun ketika menyelipkan tubuhnya melewati depan pintu. Julian berusaha tidak menimbulkan suara apa pun ketika memutuskan memuta
Read more

Chapter 26: Sketsa Masa Lalu

"Dia sudah memesan tiket. Dia akan berangkat ke Paris besok pagi dengan pesawat Air France. Aku sudah mengecek daftar penumpang yang masuk.""Julian Andreas", Ruin memperlihatkan gambar dari ponselnya, sesuatu yang ia dapatkan dari komputer salah satu customer service di bandara. "Ada baiknya kau menepati janjimu," Ruin menyerahkan setumpuk kertas pada Ana.Seakan tak ingin ambil pusing dengan itu, Ana menarik kertas tersebut dan langsung menandatanganinya. Padahal Ruin sudah bersiap jika Ana ingin berdebat dengannya soal tindakan pengobatan.Ana diam saja seraya terus menjejalkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper. Hari ini perempuan itu memang akan pulang. Rencananya ia akan dijemput oleh Nara dan Vanessa."Kau akan menemui Vanessa d
Read more

Chapter 27: I Love You, Ana

Hanya sedikit cahaya yang jatuh ke matanya ketika memasuki kamar Julian. Cahaya itu dari lampu balkon yang menyala dan menembus pintu kaca yang tak tertutup tirai. Ana harusnya takut pada sudut-sudut gelap yang ada di sana. Tapi, ia juga tak kuasa untuk berteriak. Tidak akan ada yang mendengarnya. Julian sudah pergi, dan itu memaksanya untuk berani. Hanya saja, Ana ditimpa kelelahan yang sangat sekadar berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja. Ana melirik ke atas tempat tidur Julian. Tempat itu masih berantakan dan ada satu stel pakaian yang tergeletak di atasnya. Ana ingat betapa hangatnya ketika terakhir kali berbaring di atas sana. Dan aroma tubuh Julian yang menempel, seperti sedative yang menenangkan pikiran Ana. Aroma yang sama yang diingat Ana sejak satu per satu hal mengenai Julian mulai menarik perhatiannya. Selalu ada botol kristal bening berwarna agak kehitaman terpajang di
Read more

Chapter 28: Perpisahan

"Apa yang terjadi?" Ruin menghampiri Ana. Ia ingat hampir pukul dua ketika Ana meneleponnya dan membuatnya terpaksa mengendarai mobil di tengah malam menuju rumah Ana. Ana terus menyebut nama "Julian" di sela-sela isakannya, tanpa menjelaskan apa yang terjadi dengan orang itu. Sekarang, ia menemukan Julian ada dalam dekapan Ana. Ana membelainya dengan lembut sambil sesekali bersuara, "Kakak, ayo bangun!" Ana terlihat putus asa. "Berikan dia padaku! Aku akan memeriksanya!" pinta Ruin. Ruin menelentangkan tubuh Julian sementara pahanya yang tertekuk menjadi penyangga untuk kepala Julian. Ruin memulai dengan menjatuhkan sedikit cahaya ke mata Julian, tidak ada masalah dengan itu. Nadinya teraba kuat dan teratur, juga tidak ada masalah dengan caranya bernapas. "Julian, kau bisa mendengarku?" tanyanya lagi sambil menepuk-nepuk bahu Julian. "Aku Ruin, katakan jika kau merasakan sesuatu?"
Read more

Chapter 29: Red Wine

"Are you ok?" Mrs. Alena meletakkan piring berisi Beef Bourguignon di meja kerja Julian. Tampaknya lumayan jika disandingkan dengan wine yang sudah lebih dulu menemani Julian. Julian duduk di kursi kerjanya sambil menghadap jendela kaca besar di lantai dua. Ketika itu malam telah menyelimuti Champs-Élysées. Ia menatap kosong pada lampu-lampu hias yang menggantung menghias jalanan dan berkedip bergantian. "I'm not hungry!" katanya sempat melirik ke meja. "Since you came back here, you didn't eat anything yet," ucap Mrs. Alena lagi. Julian mengangkat gelas wine-nya lagi. Sudah lebih dari 24 jam ia berada di Paris, Julian mengakui ia masih belum bisa menenangkan dirinya. Julian bahkan telah mengosongkan dua botol wine untuk diminum sendiri. Ia punya sedikit harapan untuk melupakan Ana
Read more

Chapter 30: Welcome To Paris

Beberapa hari kemudian, "Sir... sorry!" Mrs. Alena terpaksa membangunkan Julian yang tertidur bersama sketsa-sketsanya. "What happened?" "Someone calling you!" "Did you say I'm sleeping?" "I did. But, he said this is about urgent things!" Julian mengusap rambutnya, "Who?" "Mr. Ruin!" "Ruin?" ulang Julian berharap Alena mengucapkan nama yang salah. "Give me!" Julian mengusap rambutnya sebelum mulai bicara, hormon stressnya memuncak dan itu membuatnya gugup. Tentu saja ia
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status