Suara gemuruh hujan masih menyambangi gendang telinga Nadira. Ia mengangkat nampan yang berisi 8 cangkir teh panas menuju ruang keluarga di vila keluarga Rheyner. Keluarganya dan keluarga Rheyner baru saja tiba sebelum hujan deras mengguyur daerah puncak. Sebenarnya Nadira heran karena mereka tiba-tiba saja pergi berlibur, padahal bukan musim liburan dan tidak sedang dalam perayaan apa pun. Wisuda Rheyner sudah sebulan berlalu, lagi pula sudah dirayakan di rumah.
Ketika Nadira masuk ke ruang keluarga, atmosfir di sana terasa berbeda dengan sebelum ia ke dapur. Orang tua Rheyner masih belum ada di sana. Namun, tadi Nadira samar-samar mendengar perbincangan yang berakhir begitu ia sampai. Semua bungkam, keadaan senyap. Tanda tanya di benak Nadira semakin besar.
“Kok tiba-tiba pada diam sih?” Nadira meletakkan nampan di atas meja dan langsung menurunkan cangkir-cangkir di atasnya.
“Emang dari tadi diam,” jawab Rheyner.
Nadira hanya mengerutkan kening. “Tehnya, Yah, Bu. Papa sama Mama masih di rumah Pak Cecep?”
“Iya,” jawab Dewi sembari menyeruput tehnya. Pak Cecep adalah orang yang bertugas menjaga vila. Beliau diliburkan ketika keluarga Rheyner dan Nadira ada di sana.
“Nyalain teve dong, Mas.” Bima berusaha mengembalikan suasana.
“Lagi hujan deras, Dek. Kalau ada petir gimana?” sahut Nadira. Rheyner mendengkus.
“Takut kesambar?” ledek Rheyner.
“Sepi nih, Mbak,” keluh Bima. Siswa kelas 12 itu merebahkan kepala ke sandaran sofa.
“Ngobrol dong biar ramai.” Rendra berpindah duduk di sebelah Bima. “Anak ketiga Ayah ini udah punya cewek belum sih?”
“Nggak tertarik, Yah,” jawab Bima.
“Serem amat jawaban lo, Bim.” Rheyner pura-pura bergidik. Nadira yang di sampingnya langsung menepuk bahunya dengan keras. Rheyner menatap Nadira tidak terima. “Lho, benar dong gue?”
Omong-omong, semenjak Rheyner masuk bangku kuliah aturan untuk tidak menggunakan bahasa ‘lo-gue’ sudah tidak berlaku. Asalkan Rheyner tidak mengumpat dan berkata kasar.
“Kamu tahu maksud Bima bukan kayak gitu,” kata Nadira sebal.
“Yeah whatever. Nggak penting.” Rheyner mengibaskan tangan sebelum menyesap tehnya.
Dari pintu terdengar ulukan salam. Orang tua dan adik bungsu Rheyner masuk. Hujan telah mereda.
“Wah, lagi pada ngapain nih? Ngobrolin keberangkatan Mas Rheyner ya?” Shinta dengan ceria menyapa.
Tidak ada yang bersuara. Keadaan menjadi tegang. Nadira menatap Rheyner. Raut ceria Shinta menghilang. Ternyata Nadira belum diberi tahu tentang alasan mereka berlibur bersama.
“Kamu mau pergi ke mana?” tanya Nadira pelan. Rheyner bungkam. “Rheyn, aku tanya, kamu mau pergi ke mana?”
Nadira beralih menatap orang tua Rheyner. “Pa, Ma, Rheyner mau pergi ke mana?”
Shinta dan Adiguna Effendi menatap Nadira dengan rasa bersalah alih-alih menjawab pertanyaan gadis yang sudah mereka anggap anak itu.
“Ayah sama Ibu nggak mau jawab juga?” Nadira bertanya pada orang tuanya yang ia yakini sudah mengetahui semuanya.
Nadira mengangguk. Ia beranjak dari duduknya untuk pergi ke kamar. Nadira tahu itu tidak sopan, tetapi ia merasa harus segera pergi dari sana. Rheyner akan pergi entah ke mana dan ternyata hanya dirinya yang tidak diberi tahu. Apa memang sebegitu tidak pentingnya ia bagi Rheyner? Apa begitu Rheyner memperlakukan sahabat yang ia kenal sejak usia lima?
Nadira menenggelamkan wajahnya pada bantal. Air matanya sudah luruh. Nadira tidak mengerti apa yang ia rasakan. Mendengar Rheyner akan pergi membuat dirinya tidak rela. Melihat reaksi semua orang di ruang keluarga tadi sudah menjelaskan bahwa Rheyner akan pergi jauh.
Pintu kamar terkuak. Nadira tidak tertarik untuk menoleh. Nadira tahu siapa yang membukanya. Parfum orang itu tercium meski samar. Suara langkah kaki terdengar. Berhenti tepat di sebelah ranjang.
“Maaf.” Rheyner berucap lirih.
“Gue … gue akan ke Jepang. Gue dapat beasiswa untuk nerusin kuliah di sana sampai lulus. Berkat desain yang gue dan Panji buat waktu itu, gue dapat surat rekomendasi ikutan beasiswa S-2 ke Tokodai. Maaf, gue nggak cerita.”
Isakan Nadira lolos. Membuat hati Rheyner mencelos. Kalau saja Rheyner tahu, tangisan Nadira yang bertambah kencang adalah akibat dari rasa bangga yang tiba-tiba mendera. Rheyner mengepalkan kedua tangan demi menahan rasa ingin memenjarakan Nadira dalam pelukan. Nadira akan lebih marah jika Rheyner menuruti keinginannya tersebut.
“Gue tahu kalau tindakan gue salah, tapi jujur gue nggak sanggup untuk pamit sama lo. Gu—”
“Kapan berangkat?” Nadira memotong ucapan Rheyner dengan suara seraknya.
Rheyner menelan ludah, gugup. “Lusa.”
“Keluar, Rheyn!” usir Nadira tanpa menoleh. Rheyner tersentak.
Rheyner tidak menyangka Nadira akan mengusirnya. Ia berharap Nadira akan memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Lalu seperti yang sudah-sudah Nadira akan mengerti dan memaafkan. Mungkin Rheyner yang tidak tahu diri. Bersikap seenaknya, meminta maaf, mengulanginya lagi.
Rheyner menuruti ucapan Nadira. Di dalam hati Rheyner berdoa semoga Nadira tidak mengeraskan hati.
***
Harapan Rheyner rupanya tidak terkabul. Nadira tidak memberinya kesempatan untuk berbicara lagi bahkan hingga detik-detik keberangkatan Rheyner ke Jepang. Semua anggota keluarga dan teman-teman terdekat Rheyner berkumpul di bandara untuk melepaskan Rheyner meraih mimpi. Nadira bergabung di dalamnya, hanya saja tidak mengucapkan apa pun. Sedari tadi Nadira bersama Bima.
Rheyner memandang Nadira dari jarak beberapa meter. Mengetahui kegundahan hati anak sulungnya, Shinta pun meminta Rheyner menghampiri Nadira. Rheyner melangkahkan kakinya optimis. Kesempatan terakhir harus ia manfaatkan sebaik mungkin. Bima menyingkir begitu Rheyner sampai di dekatnya dan Nadira.
“Nad,” Rheyner menarik napas dan mengembuskannya perlahan guna menghilangkan sesak, “gue pergi ya.”
Nadira masih setia untuk bungkam. Ia juga masih enggan memberi Rheyner pandangan.
“Jaga diri baik-baik. Selama gue nggak ada minta antar Bima atau sopir ke mana pun lo pergi. Gue juga akan minta tolong Rama sama Damar. Cuma mereka yang—” ucapan Rheyner terhenti karena pelukan yang tiba-tiba ia dapatkan dari Nadira. Rheyner hanya mampu mengerjap.
“Kamu berisik.” Suara serak Nadira tertangkap jelas di telinga Rheyner. “Jangan macam-macam di sana. Kamu harus lulus cepat dan segera pulang ke sini,” lanjut Nadira.
Kesadaran Rheyner kembali. Ia membalas pelukan Nadira sama eratnya.
“Jaga kesehatan. Jaga pola makan dan pola tidur. Ja—” Isakan Nadira lolos memotong ucapannya sendiri. “Aku harap setelah ini nggak ada lagi hal yang kamu sembunyikan dari aku.”
“Hm.” Rheyner mengecupi puncak kepala Nadira.
“Pokoknya kamu kuliah aja yang benar. Jangan pac—”
“Nggak akan.”
“Apa coba yang mau aku bilang?”
“Jangan pacaran terus.” Rheyner beralih ke ceruk leher Nadira. Menghirup aroma Nadira untuk ia simpan di memori otaknya. “Gue nggak akan pacaran. Gue bakal fokus ngejar mimpi gue. Setelah lulus SMA sampai sekarang juga nggak punya pacar ‘kan? Ke mana-mana sama lo doang.”
“Tapi cewek yang suka sama kamu banyak.” Suara Nadira teredam di dada Rheyner, tetapi pemuda itu tetap mendengarnya.
“Bukan salah gue yang terlahir ganteng,” seloroh Rheyner yang langsung mendapat geplakan di punggungnya.
Nadira mengurai pelukan. Ia tatap manik hitam Rheyner. “Aku bakal kangen sama galaknya kamu.”
Rheyner menghadiahi Nadira dengan senyum terbaik yang ia punya.
“Ak-aku akan gantiin kamu jadi anak sulung untuk sementara.” Air mata yang sedari tadi Nadira tahan akhirnya menetes.
“Makasih,” balas Rheyner lembut. Ia hapus air mata yang menganak sungai di pipi Nadira. Mereka berakhir saling tatap.
Pengumuman keberangkatan menuju Jepang dikumandangkan. Arti lainnya adalah waktu kebersamaan Rheyner dan Nadira sudah berakhir. Rheyner membawa Nadira ke pelukannya lagi. Ia tidak peduli dengan keluarga maupun teman-temannya yang mungkin memperhatikan.
“Nggak boleh dekat-dekat sama cowok selain yang udah gue percaya. Jangan suka sedih sendiri. Jangan tidur malam-malam. Gue akan menepati janji gue. Gue akan berusaha menyelesaikan studi dengan sebaik dan secepat mungkin. Gue bakal sukses. Lo harus selalu ingat bahwa lo adalah salah satu alasan gue sukses.”
Rheyner melepas dekapannya. Sebagai gantinya Rheyner menangkup pipi Nadira dan mencium kening gadis itu dengan lembut. Nadira tergugu.
“Jangan nangis, nanti gue nggak jadi pergi,” kata Rheyner selepas mencium kening Nadira.
“Kamu tetap harus pergi. Kamu harus tepati janji kamu.” Nadira mencoba untuk terlihat tegar.
Keduanya bertatapan saling melempar senyum. Kemudian berjalan beriringan ke gerombolan keluarga dan teman-teman mereka berada. Rheyner berpamitan pada orang-orang yang telah merelakan waktu untuk mengantarkannya. Rheyner memeluk mereka satu per satu hingga tiba saatnya ia harus benar-benar pergi.
Rheyner berjalan menjauhi keluarga dan teman-temannya. Ia tolehkan sekali lagi kepalanya hanya untuk menatap senyum ikhlas Nadira. Lalu Rheyner benar-benar memantapkan setiap langkah kakinya menjauh. Nadira tidak tahu bahwa masih ada hal yang Rheyner sembunyikan, Nadira tidak tahu bahwa Rheyner menyayanginya lebih dari seorang sahabat atau bahkan adik sekalipun, Nadira tidak tahu bahwa hati Rheyner tertuju padanya. Hati Rheyner menginginkan Nadira. Semakin yakin dari hari ke hari.
‘Tolong tunggu gue pulang, Nad.’
***
Yuk, di-review biar bintangnya nyala.
Setelah mengantar Rheyner ke bandara, Nadira segera memblokir semua kontak Rheyner. Ia takut tiba-tiba menghubungi Rheyner dan meminta pemuda itu pulang. Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan. Nadira belum tahu rasanya berjauhan lama dengan Rheyner.Nadira menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mata agar tidak terjatuh. Sejak dulu memang dia cenderung cengeng. Namun, kali ini Nadira mencoba untuk tegar. Tidak ada Rheyner yang menghiburnya. Lagi pula Nadira juga tidak pantas menangisi kepergian Rheyner. Rheyner pergi untuk mengejar cita-citanya. Apa haknya melarang Rhyener? Bukankah ini waktu yang pas untuk belajar hidup mandiri tanpa Rheyner?Nadira menghela napas. Dia yakin akan melewati hari-hari yang akan datang dengan lebih ceria. Mungkin sebaiknya mulai besok ia menyibukkan diri agar tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan Rheyner.
Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati. Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.
Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungki
Subuh tadi turun hujan. Tidak lama, tetapi meninggalkan mendung berkepanjangan. Rheyner baru saja mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Sedikit aneh bagi Rheyner karena adiknya sudah duduk di kelas 7 dan sebentar lagi naik ke kelas 8. Padahal rasanya baru kemarin Rheyner mengantarkannya ke sekolah dasar. Time flies. Mungkin setelah ini Fian tidak akan mau diantar-jemput.Rheyner memasuki rumah Nadira dengan senyum cerah. Senyumnya kontras sekali dengan cuaca pagi ini. Rheyner melihat Rendra membaca koran di ruang keluarga ditemani Dewi. Rheyner menyapa keduanya.“Mau ibu bikinin kopi, Nak?” tawar Dewi.“Nggak usah, Bu. Tadi udah ngopi. Lagian nanti kalau mau Rhey bikin sendiri. Kayak siapa aja sih, Bu, segala d
Rheyner tersentak. Tiba-tiba ingatannya pulih. Tadi bukankah ia akan menemui Nadira? Rheyner pun segera mematikan laptop. Ia segera keluar dari kamar. Memang begitu makan malam usai Rheyner langsung masuk ke kamar. Sesampainya di anak tangga terakhir Rheyner berpapasan dengan Shinta. Rheyner hanya berpamitan pada Shinta. Ia abaikan papa dan kedua adiknya yang masih di ruang keluarga.Anak sulung dari pemilik perusahaan properti cukup ternama tersebut berlari kecil menuju rumah di seberang jalan. Rheyner mengetuk pintu utama rumah sekali sebelum mendorong pintu itu agar terbuka. Ia ulukkan salam sembari melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Terdengar jawaban salam dari ruang keluarga. Rheyner percepat langkahnya ke sana.“Rhey, ada apa?” tanya Rendra yang sedang menonton berita di salah satu televisi swasta.
“Kenapa cepat banget, sih.”Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”“Enggak apa-apa, Rheyn.”“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.“Yakin,” tegas Rheyner.
Kaki berbalut flatshoes berwarna abu-abu dengan bahan beludru melangkah santai di sepanjang selasar mal. Ponsel layar sentuh keluaran terbaru menempel di telinga. Lipstick waterproof berwarna coral menghiasi bibir yang terus melengkung penuh senyum. “Aku cuma pengin jalan-jalan sendiri aja. Lagian kalau aku kelamaan jalan sama teman cowokku kamu ngomel terus. Jadi, mending sendirian.” “Masalahnya, gue ‘kan enggak kenal sama mereka. Kalau mereka bukan cowok baik-baik gimana?” “Alah, kamunya aja yang lebay. Tempo hari aku jalan sama teman kuliahku yang udah dikenal Bima aja kamu tetap ngomel. Pada
Hari ini adalah hari kelulusan S-2 Nadira. Nadira tidak menyangka bisa lulus sedikit lebih cepat. Padahal dia kuliah sambil bekerja. Perempuan muda itu sudah bersiap ke kampus. Ia sudah dirias sedemikian rupa oleh sang ibu dan mama Rheyner. Kebaya berwarna lavender membalut tubuhnya dengan apik. Penampilannya amat cantik. Bahkan menurutnya, lebih cantik dibanding saat kelulusan S-1. Nadira dan orang tuanya berangkat ke kampus lebih dulu. Sementara orang tua Rheyner akan menyusul nanti kendati mereka sudah terlihat rapi. Biar bagaimanapun yang bisa masuk ke hall hanya orang tua Nadira saja. Jadi, mereka akan datang saat wisuda selesai. Selama perjalanan menuju kampus, Nadira diliputi kesedihan alih-alih kebahagiaan. Rasa sedihnya dilatari tidak hadirnya Rheyner di hari kelulusannya. Padahal Rheyner sudah tidak datang di kelulusan pertamanya, kelulusan S-1. Nadira ingin setidaknya satu kali Rheyner ada di dua momen bersejarahnya tersebut. Seperti dirinya yang juga ada di salah satu kel