Setelah mengantar Rheyner ke bandara, Nadira segera memblokir semua kontak Rheyner. Ia takut tiba-tiba menghubungi Rheyner dan meminta pemuda itu pulang. Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan. Nadira belum tahu rasanya berjauhan lama dengan Rheyner.
Nadira menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mata agar tidak terjatuh. Sejak dulu memang dia cenderung cengeng. Namun, kali ini Nadira mencoba untuk tegar. Tidak ada Rheyner yang menghiburnya. Lagi pula Nadira juga tidak pantas menangisi kepergian Rheyner. Rheyner pergi untuk mengejar cita-citanya. Apa haknya melarang Rhyener? Bukankah ini waktu yang pas untuk belajar hidup mandiri tanpa Rheyner?
Nadira menghela napas. Dia yakin akan melewati hari-hari yang akan datang dengan lebih ceria. Mungkin sebaiknya mulai besok ia menyibukkan diri agar tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan Rheyner.
Hari-hari berjalan dengan cepat. Sudah lebih dari dua minggu Rheyner pergi. Selama dua minggu ini Nadira menyibukkan diri di kafe ibunya. Di sela kuliah Nadira selalu ke kafe untuk belajar bekerja. Biar bagaimanapun dia satu-satunya anak dari Dewi dan Rendra. Kelak Nadira yang akan meneruskan mengelola kafe bernama Blueming itu.
Hari ini Dewi tidak bisa datang ke kafe. Nadira yang hanya ada satu mata kuliah pun segera ke Blueming Cafe. Kalau biasanya Nadira ikut menjadi pramusaji, hari ini dia hanya ada di ruangan sang ibu. Gadis itu memeriksa laporan penjulan kafe kemarin.
Saat sedang serius membaca laporan, ponsel Nadira berbunyi. Deretan nomor tak bernama terpampang di layar enam inchi tersebut. Nadira menerima panggilan tersebut setelah menimbangnya sejenak.
“Halo?” Nadira bersuara dengan ragu-ragu.
Nadira mendengarkan ucapan dari si penelepon dengan seksama usai diberi tahu identitias penelepon tersebut. Perlahan senyum semringah terukir di wajahnya.
“Baik, terima kasih banyak.” Nadira mengakhiri panggilan tersebut.
Perempuan berdarah Jawa itu baru saja mendapat telepon bahwa ia diterima di penerbitan buku indie tempatnya mengajukan magang. Nadira mengucap syukur karena bisa di terima oleh penebit indie yang dia tuju itu. Raut semringah tergambar di wajahnya.
“Aku harus kasih tahu Rheyner,” gumam Nadira senang.
Ia menyalakan lagi layar ponselnya yang menggelap. Namun, seketika senyumnya luntur. Ia teringat Rheyner tidak ada di rumah dan semua kontak Rheyner sudah diblokir. Biasanya Rheyner menjadi orang pertama tempat Nadira berbagi. Sekarang tidak bisa lagi. Dan itu pilihan yang Nadira pilih sendiri.
Gadis itu merebahkan kepala di meja dengan beralas lengannya. Minat untuk memberi tahu orang tuanya ikut lenyap. Sekarang ia justru ingin pulang secepatnya dan segera lelap disambut buaian mimpi. Mimpi bertemu orang yang dirindukan.
***
Petang ini Nadira berada di kediaman Effendi. Ibunya sedang mengunjungi sang ayah ke tempat dinas sejak kemarin pagi. Seperti kebiasaannya sejak dulu, setiap ditinggal sendiri Nadira akan disuruh menginap di rumah orang tua Rheyner.
Sepulang dari kafe, Nadira menyibukkan diri di dapur. Nadira yang semula memiliki niat menghabiskan waktu untuk tidur pun tidak jadi. Ia memutuskan memasak untuk makan malam.
Sinta dan Adi sedang pergi karena mendapat undangan pesta dari kolega bisnis Adi. Sebenarnya Sinta sudah berpesan agar mereka memesan makan malam dari luar saja. Namun, Nadira lebih senang memasak. Bima dan Fian pun lebih menyukai masakannya. Repot sedikit tidak masalah bagi Nadira. Jadilah, gadis itu berkutat di dapur.
Sekarang makanan yang ia masak sudah matang semua. Nadira tinggal menyajikan ke meja makan saja. Lalu ia akan memanggil Bima dan Fian yang sedang berada di ruang tengah untuk makan bersama. Sesuai janjinya pada si sulung rumah ini, Nadira akan menggantikan dia.
“Mbak, Mas Rhey lagi video call. Mau inframe enggak?” tanya Bima menghampiri Nadira yang berada di dapur rumahnya.
Nadira mengulum senyum lalu ia memberi Bima gelengan.
“Yakin?” tanya Bima mengonfirmasi.
Nadira mengangguk. “Mbak ke kamar dulu, ya.”
“Eh, Mbak enggak makan dulu?”
Nadira menggeleng tanpa berucap.
Gadis itu sudah langsung melangkahkan kakinya pergi sebelum Bima bersuara lagi padanya. Gadis itu menulikan telinga atas percakapan Bima dan orang yang saat ini paling dirindukannya. Nadira mempercepat langkah menuju kamar yang selalu ia huni saat berada di kediaman keluarga Effendi. Aroma khas Rheyner segera memenuhi rongga penciuman Nadira begitu pintu dikuak.
Pintu kamar kembali dia tutup rapat. Kaki Nadira melangkah menuju ranjang besar di tengah ruangan. Ia menjatuhkan diri pada ranjang. Tangannya lalu meraih kaus tanpa lengan milik Rheyner yang ia ambil dari lemari tadi malam. Nadira membawa kaus itu ke dalam dekapannya. Ia menghirup dalam-dalam aroma khas Rheyner yang tertinggal di sana.
“Kangen kamu, Rheyn. Kangen banget.”
Bulir air mata Nadira mengalir.
“Padahal baru dua minggu, Rheyn. Gimana aku akan lewati dua tahun tanpa kamu?” gumam Nadira di sela sesak yang menghimpit dadanya.
Tubuh Nadira kembali bangun. Ia menyandarkan punggung ke headbed. Kaus kutung Rhyener masih dipegangnya. Netra gadis itu melirik nakas. Ada figura berisi potretnya dan Rheyner. Tanpa ragu tangannya mengambil figura tersebut.
Jemari Nadira mengusap kaca figura itu. Air mata masih konstan menuruni pipi mulusnya. Namun, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Bayangan momen di foto tersebut menyambangi benak Nadira. Itu adalah saat Nadira dan Rheyner saling menyemprotkan air. Kala itu mereka masih SMA. Walaupun saat momen tersebut berlangsung Nadira dibuat kesal pada Rheyner, ternyata sekarang malah Nadira ingin mengulangi masa itu lagi. Tak apa kalau Rheyner mengganggunya menyiram tanaman lagi. Tak apa kalau Rheyner membuatnya harus mandi dua kali lagi karena basah. Sungguh tidak masalah, asalkan Rheyner di sini lagi bersamanya.
“Apa kamu rasain yang aku rasain ini, Rheyn?”
***
Bisa baca ‘Sahabat Jadi Cinta, Why Not?’ kalau penasaran dengan cerita di foto yang Nadira lihat.
Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati. Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.
Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungki
Subuh tadi turun hujan. Tidak lama, tetapi meninggalkan mendung berkepanjangan. Rheyner baru saja mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Sedikit aneh bagi Rheyner karena adiknya sudah duduk di kelas 7 dan sebentar lagi naik ke kelas 8. Padahal rasanya baru kemarin Rheyner mengantarkannya ke sekolah dasar. Time flies. Mungkin setelah ini Fian tidak akan mau diantar-jemput.Rheyner memasuki rumah Nadira dengan senyum cerah. Senyumnya kontras sekali dengan cuaca pagi ini. Rheyner melihat Rendra membaca koran di ruang keluarga ditemani Dewi. Rheyner menyapa keduanya.“Mau ibu bikinin kopi, Nak?” tawar Dewi.“Nggak usah, Bu. Tadi udah ngopi. Lagian nanti kalau mau Rhey bikin sendiri. Kayak siapa aja sih, Bu, segala d
Rheyner tersentak. Tiba-tiba ingatannya pulih. Tadi bukankah ia akan menemui Nadira? Rheyner pun segera mematikan laptop. Ia segera keluar dari kamar. Memang begitu makan malam usai Rheyner langsung masuk ke kamar. Sesampainya di anak tangga terakhir Rheyner berpapasan dengan Shinta. Rheyner hanya berpamitan pada Shinta. Ia abaikan papa dan kedua adiknya yang masih di ruang keluarga.Anak sulung dari pemilik perusahaan properti cukup ternama tersebut berlari kecil menuju rumah di seberang jalan. Rheyner mengetuk pintu utama rumah sekali sebelum mendorong pintu itu agar terbuka. Ia ulukkan salam sembari melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Terdengar jawaban salam dari ruang keluarga. Rheyner percepat langkahnya ke sana.“Rhey, ada apa?” tanya Rendra yang sedang menonton berita di salah satu televisi swasta.
“Kenapa cepat banget, sih.”Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”“Enggak apa-apa, Rheyn.”“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.“Yakin,” tegas Rheyner.
Kaki berbalut flatshoes berwarna abu-abu dengan bahan beludru melangkah santai di sepanjang selasar mal. Ponsel layar sentuh keluaran terbaru menempel di telinga. Lipstick waterproof berwarna coral menghiasi bibir yang terus melengkung penuh senyum. “Aku cuma pengin jalan-jalan sendiri aja. Lagian kalau aku kelamaan jalan sama teman cowokku kamu ngomel terus. Jadi, mending sendirian.” “Masalahnya, gue ‘kan enggak kenal sama mereka. Kalau mereka bukan cowok baik-baik gimana?” “Alah, kamunya aja yang lebay. Tempo hari aku jalan sama teman kuliahku yang udah dikenal Bima aja kamu tetap ngomel. Pada
Hari ini adalah hari kelulusan S-2 Nadira. Nadira tidak menyangka bisa lulus sedikit lebih cepat. Padahal dia kuliah sambil bekerja. Perempuan muda itu sudah bersiap ke kampus. Ia sudah dirias sedemikian rupa oleh sang ibu dan mama Rheyner. Kebaya berwarna lavender membalut tubuhnya dengan apik. Penampilannya amat cantik. Bahkan menurutnya, lebih cantik dibanding saat kelulusan S-1. Nadira dan orang tuanya berangkat ke kampus lebih dulu. Sementara orang tua Rheyner akan menyusul nanti kendati mereka sudah terlihat rapi. Biar bagaimanapun yang bisa masuk ke hall hanya orang tua Nadira saja. Jadi, mereka akan datang saat wisuda selesai. Selama perjalanan menuju kampus, Nadira diliputi kesedihan alih-alih kebahagiaan. Rasa sedihnya dilatari tidak hadirnya Rheyner di hari kelulusannya. Padahal Rheyner sudah tidak datang di kelulusan pertamanya, kelulusan S-1. Nadira ingin setidaknya satu kali Rheyner ada di dua momen bersejarahnya tersebut. Seperti dirinya yang juga ada di salah satu kel
“Jadi, kapan kamu pulang?” tanya Nadira lagi saat memasuki mobil.“Kemarin sore,” jawab Rheyner santai.“Kemarin sore?! Kok aku nggak tahu?” cecar Nadira.Rheyner mengedikkan bahu.“Hih!” Nadira melayangkan tabokan ke lengan Rheyner yang memegang setir.“Jangan bar-bar ngapa, Nad!” Rheyner mendelik sekilas.“Ya, kamunya nyebelin. Senang banget ngerjain aku,” rajuk Nadira. Tangannya bersidekap dengan pandangan lurus.“Kok disebut ngerjain, sih? Ini gue ngasih kejutan manis di hari kelulusan lo, lho.” Rheyner membela diri.“Dih, kejutan manis.” Nadira mencibir. Kepalanya menoleh ke luar jendela.Rheyner balas berdecih. Pria itu tahu kalau Nadira hanya berpura-pura. Aslinya Nadira sangat senang dengan kehadiran Rheyner. Terbukti dengan wajah Nadira yang berseri dan sering kali memeluk bunga pemberian pria itu. Bahkan bunga pemberian pria yang hadir sebelum Rheyner sekarang sudah entah ke mana, tergantikan oleh bunga dari Rheyner.Perjalanan yang masih lumayan jauh itu tidak lagi diselimu