Nadira sedang berada di depan laptop ketika merasakan pelukan di pinggangnya. Ada dua pasang lengan yang melingkari. Sepasang lengan kecil dan sepasang lengan kokoh. Nadira hanya tersenyum dan terus melakukan pekerjaannya. Ia tahu benar siapa mereka.Melihat respons cuek Nadira membuat kedua pemilik lengan-lengan itu mengeratkan pelukan. Mereka memang sedang menarik perhatian Nadira. Mereka tidak rela Nadira lebih memperhatikan pekerjaannya dibanding mereka. Akhirnya keinginan mereka terkabul. Nadira menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menari di papan ketik.“Ayah Rheyner Aditya, Karelino Aksa Raditya!” ucap Nadira tertahan.“Iya, Bunda Sayang,” sahut kedua orang kesayangan Nadira itu bersamaan.“Bunda lagi kerja, lho.”“Tahu, kok. Kita ‘kan cuma peluk Bunda, ya, Rel.” Sang suami fasih menjawab.“Iya.” Bocah yang baru sebulan lalu genap 4 tahun itu menyetujui.Nadira berdecak. Ia berikan tatapan lembut pada pri
“Aku bakal panggil kamu ‘Mas’ secara permanen kalo aku jadi istri kamu.” “Benar ya?” Tawa Nadira malah pecah. “Benar, tapi ‘kan itu nggak mungkin terjadi Rheyn.” Sesuatu dalam dada Rheyner berdesir. Entah mengapa benaknya menolak ucapan Nadira barusan. Bayangan hidup bersama Nadira dalam ikatan pernikahan membuat jantung Rheyner berdentum-dentum. Perasaan macam apa ini? *** “Pa, seandainya someday aku nikah sama Nadira gimana?”
Nadira berjalan ke arah gerbang fakultas dengan tergesa. Rheyner telah menunggunya sedari tadi. Nadira sama sekali tidak membuka ponsel sejak dua jam setelah kelas terakhirnya usai. Gadis itu sibuk mengerjakan tugas di perpustakaan fakultas. Ternyata Rheyner menjemputnya sejak tadi karena pemuda itu memang tahu jadwal kuliahnya. Bukan salah Nadira juga sebenarnya kalau tidak tahu. Pasalnya mereka memang tidak janjian. Rheyner sedang disibukkan oleh banyak hal.Nadira dan Rheyner adalah sepasang sahabat yang sudah seperti kakak adik. Sejak balita mereka sudah bersama. Rumah mereka pun berhadapan dan hanya terpisahkan jalan selebar lima meter.Semenjak masuk kuliah kesibukan Rheyner semakin menjadi-jadi, padahal pemuda itu tidak lagi mengajar karate. Sudah berkurang satu kegiatan. Namun, Rheyner masih sibuk mengurus usaha ini-itu. Ia mulai fokus dengan proyeknya
Keluarga Rheyner dan Nadira kembali ke rumah setelah acara wisuda di kampus Rheyner berakhir. Rheyner sempat berkumpul dengan teman-teman akrabnya sebentar sebelum ikut pulang. Keluarga Rheyner dan Nadira akan melakukan foto keluarga di rumah. Tentu saja Bima—adik pertama Rheyner—yang akan menjadi fotografernya. Setelah foto bersama mereka akan syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kelulusan Rheyner.Hari ini sebenarnya bukan hari libur untuk anak sekolah, tetapi Adiguna Effendi mengizinkan Bima dan Fian untuk membolos. Rendra—ayah Nadira—pun mengambil jatah liburnya dua hari lebih cepat demi bisa menghadiri kelulusan Rheyner.Foto resmi dilakukan di dalam rumah. Bima dan Shinta Effendi sudah menata sedemikian rupa kemarin. Latar foto terlihat sama seperti di studio. Hasil foto pun tak perlu diragukan mengingat peralatan fotografi Bima
Suara gemuruh hujan masih menyambangi gendang telinga Nadira. Ia mengangkat nampan yang berisi 8 cangkir teh panas menuju ruang keluarga di vila keluarga Rheyner. Keluarganya dan keluarga Rheyner baru saja tiba sebelum hujan deras mengguyur daerah puncak. Sebenarnya Nadira heran karena mereka tiba-tiba saja pergi berlibur, padahal bukan musim liburan dan tidak sedang dalam perayaan apa pun. Wisuda Rheyner sudah sebulan berlalu, lagi pula sudah dirayakan di rumah.Ketika Nadira masuk ke ruang keluarga, atmosfir di sana terasa berbeda dengan sebelum ia ke dapur. Orang tua Rheyner masih belum ada di sana. Namun, tadi Nadira samar-samar mendengar perbincangan yang berakhir begitu ia sampai. Semua bungkam, keadaan senyap. Tanda tanya di benak Nadira semakin besar.“Kok tiba-tiba pada diam sih?” Nadira meletakkan nampan di atas meja dan langsung menurunka
Setelah mengantar Rheyner ke bandara, Nadira segera memblokir semua kontak Rheyner. Ia takut tiba-tiba menghubungi Rheyner dan meminta pemuda itu pulang. Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan. Nadira belum tahu rasanya berjauhan lama dengan Rheyner.Nadira menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mata agar tidak terjatuh. Sejak dulu memang dia cenderung cengeng. Namun, kali ini Nadira mencoba untuk tegar. Tidak ada Rheyner yang menghiburnya. Lagi pula Nadira juga tidak pantas menangisi kepergian Rheyner. Rheyner pergi untuk mengejar cita-citanya. Apa haknya melarang Rhyener? Bukankah ini waktu yang pas untuk belajar hidup mandiri tanpa Rheyner?Nadira menghela napas. Dia yakin akan melewati hari-hari yang akan datang dengan lebih ceria. Mungkin sebaiknya mulai besok ia menyibukkan diri agar tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan Rheyner.
Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati. Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.
Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungki