“Akhirnya kamu datang.” Si lelaki membalikkan tubuh.
“Rheyn …,” lirih Nadira.“Ya, it’s me.” Rheyner mendekati Nadira. Tangannya meraih pergelangan perempuan itu. Ia tuntun Nadira menuju ayunan pohon yang telah ia buat dan hias sedemikian rupa.“Kamu duduk. Aku mau ngomong.”Nadira duduk di ayunan, sedangkan Rheyner berjongkok di hadapannya. Rheyner memegang sebelah tangan Nadira. “Jangan dipotong, ya.”Nadira sama sekali tidak membuka mulut. Netranya terpancang pada manik hitam kecokelatan Rheyner. Ucapan lembut Rheyner sulit ia bantah. Apalagi Rheyner tak lagi menggunakan sapaan lo-gue andalannya.“Aku minta maaf atas ucapan kasarku tempo hari. Aku mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir. Aku membiarkan amarah menguasa diri. Aku sadar, nggak semudah itu aku menghapus luka yang kutorehkan di hati kamu. Tapi, Nad, tolong izinkan cowok berengsek di hadapan kamu ini menjelaskan dan mengungkapkan perasaan yang bertahun-tahun dipendamLamaran yang Rheyner lakukan di puncak sudah tiga hari berlalu. Hubungan Rheyner dan Nadira sudah kembali seperti semula. Tidak ada perubahan berarti, kecuali status mereka.Seperti biasa, Rheyner lebih ekspresif menunjukkan perasaannya dibanding Nadira. Sampai detik ini mulut Nadira belum mengatakan secara langsung perihal perasaannya. Ungkapan cinta Rheyner hanya dibalas dengan kata ‘hm’ atau ‘aku tahu’.Namun, saat ini Rheyner tidak terlalu mempermasalahkan. Ia tahu cintanya terbalas. Ia juga dapat merasakan bahwa Nadira tidak lagi sungkan menunjukkan perhatiannya. Kadang kala ungkapan tidak terlalu penting, yang terpenting adalah sikapnya. Lagi pula Nadira sudah resmi menjadi calon istri Rheyner. Mereka sudah terikat komitmen serius. Boleh, dong, Rheyner merasa lega?Saat ini Rheyner dan Nadira masih berada di jalan sepulang dari bekerja. Jalanan cukup padat karena memang sedang jam pulang kantor. Akan tetapi, jalanan macet tidak membuat mereka berdua bosan. Kebersamaan ketika pul
Nadira bersiap-siap ke kafe dengan tergesa. Kemarin pagi Rheyner memang memberi kabar bahwa kantor Rheyner memenangkan tender. Tiba-tiba Rheyner memberi kabar kalau ingin melakukan perayaan di kafe sore ini setelah pemuda itu lembur. Padahal kemarin Rheyner tidak menyinggungnya sama sekali.Hari ini memang Sabtu, tetapi Nadira sedang tidak ke kafe. Ibunya menyuruh Nadira istirahat di rumah saja karena seminggu ini pekerjaannya cukup hectic. Nadira menurut dan membiarkan ibunya yang ke kafe, meskipun harusnya sang ibu tidak ke sana saat weekend. Lalu bukankah seharusnya Nadira merasa tenang karena ibunya sudah di kafe? Seharusnya iya, tetapi kenyataannya ibu Nadira tidak di sana. Ketika Nadira menelepon pun tidak dijawab.Nadira melirik jam di pergelangan tangannya. Waktunya semakin mepet. Lembur di kantor Rheyner pada hari Sabtu akan berakhir pukul 13.00, sedangkan sekarang sudah pukul 12.40. Nadira mengeluh dalam hati atas pemberitahuan Rheyner yang mendadak. Ia hanya bisa meminta dr
Detak jantung Rheyner menggedor-gedor dada. Peluh sebesar kacang menghiasi dahi. Shinta yang duduk tidak jauh darinya memberi tisu. Rheyner menghapus keringatnya hati-hati. Untuk pertama kalinya Rheyner setuju wajahnya dirias dengan butir-butir bedak. Jadi, ia harus hati-hati kalau tidak ingin makeup-nya luntur.Rheyner melirik kursi di sebelahnya. Pengisinya nanti adalah salah satu penyebab jantungnya berulah. Benak Rheyner terus menebak-nebak akan seperti apa sosok yang mengisi kursi itu setelah satu minggu mereka tidak bersua. Rheyner mengembuskan napas untuk menenangkan dirinya. Kegugupan Rheyner pagi ini adalah kegugupan terhebat yang ia alami. Bahkan ketika ia harus mempresentasikan hasil desainnya di hadapan petinggi-petinggi ITB dan Tokodai dulu tidak segugup ini. Ijab kabul yang akan segera ia lakukan benar-benar membuat jantung bertalu. Penghulu yang ditunggu sedari tadi sudah datang, saatnya inti acara dilaksanakan.Rheyner mencium punggung tan
Rheyner dan Nadira kembali ke kamar saat sudah lewat tengah malam. Selesai acara resepsi Rheyner dan Nadira tertahan oleh sahabat serta kerabat yang masih ingin mengobrol. Meski harus melawan rasa ingin segera tidur di kasur yang sangat kuat. Begitu sampai di dalam kamar, Rheyner langsung merebahkan tubuh di kasur secara serampangan. Kalau sesuai dengan rencana awal sebenarnya Rheyner dan Nadira akan langsung pulang. Akan tetapi, ini sudah lewat tengah malam. Tubuh mereka juga terlampau lelah. Jadi, mereka memutuskan untuk menginap semalam di hotel.Nadira langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Untung saja tadi ia membawa baju tambahan sebagai antisipasi kalau harus menginap di hotel. Setengah jam kemudian Nadira keluar dari kamar mandi. Ia melihat Rheyner masih di posisi yang sama seperti saat Nadira tinggalkan, sungguh tidak nyaman. Sepertinya Rheyner benaran tertidur.Nadira menepuk lengan Rheyner pelan. “Mas, bangun dulu. Ganti baju k
Rheyner membuka pintu kamar perlahan. Nampak bidadarinya terbaring dengan damai di tengah ranjang berukuran king size-nya. Sudut bibir Rheyner kontan tertarik. Ia langkahkan kaki mendekati ranjang. Tangan besarnya tak kuasa untuk tidak mengelus kepala bidadari itu. Bidadarinya menggeliat kecil perlahan kelopak matanya juga bergerak sebelum membuka sempurna.“Mas?” ucapnya serak, seksi kalau Rheyner diminta menilai.“Hai,” balas Rheyner. Kini ia sudah duduk di tepi ranjang.“Setengah dua belas, kamu baru pulang?” tanya si bidadari setelah melirik jam di atas nakas.“Keasyikan lembur sama anak magang. Maaf, ya.” Rheyner mengecup kening perempuan yang dicintainya itu. “Nggak apa-apa. Maaf aku tidur duluan. Kamu udah makan?” Si bidadari pengisi hati Rheyner mengubah posisinya menjadi bersandar di headbed.“Kamu tenang aja, aku udah makan. Kamu tidur lagi aja. Aku mau mandi dulu.” Rheyner beranjak menuju kamar mandi.Bukannya kembali tidur seperti perin
Nadira sedang berada di depan laptop ketika merasakan pelukan di pinggangnya. Ada dua pasang lengan yang melingkari. Sepasang lengan kecil dan sepasang lengan kokoh. Nadira hanya tersenyum dan terus melakukan pekerjaannya. Ia tahu benar siapa mereka.Melihat respons cuek Nadira membuat kedua pemilik lengan-lengan itu mengeratkan pelukan. Mereka memang sedang menarik perhatian Nadira. Mereka tidak rela Nadira lebih memperhatikan pekerjaannya dibanding mereka. Akhirnya keinginan mereka terkabul. Nadira menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menari di papan ketik.“Ayah Rheyner Aditya, Karelino Aksa Raditya!” ucap Nadira tertahan.“Iya, Bunda Sayang,” sahut kedua orang kesayangan Nadira itu bersamaan.“Bunda lagi kerja, lho.”“Tahu, kok. Kita ‘kan cuma peluk Bunda, ya, Rel.” Sang suami fasih menjawab.“Iya.” Bocah yang baru sebulan lalu genap 4 tahun itu menyetujui.Nadira berdecak. Ia berikan tatapan lembut pada pri
“Aku bakal panggil kamu ‘Mas’ secara permanen kalo aku jadi istri kamu.” “Benar ya?” Tawa Nadira malah pecah. “Benar, tapi ‘kan itu nggak mungkin terjadi Rheyn.” Sesuatu dalam dada Rheyner berdesir. Entah mengapa benaknya menolak ucapan Nadira barusan. Bayangan hidup bersama Nadira dalam ikatan pernikahan membuat jantung Rheyner berdentum-dentum. Perasaan macam apa ini? *** “Pa, seandainya someday aku nikah sama Nadira gimana?”
Nadira berjalan ke arah gerbang fakultas dengan tergesa. Rheyner telah menunggunya sedari tadi. Nadira sama sekali tidak membuka ponsel sejak dua jam setelah kelas terakhirnya usai. Gadis itu sibuk mengerjakan tugas di perpustakaan fakultas. Ternyata Rheyner menjemputnya sejak tadi karena pemuda itu memang tahu jadwal kuliahnya. Bukan salah Nadira juga sebenarnya kalau tidak tahu. Pasalnya mereka memang tidak janjian. Rheyner sedang disibukkan oleh banyak hal.Nadira dan Rheyner adalah sepasang sahabat yang sudah seperti kakak adik. Sejak balita mereka sudah bersama. Rumah mereka pun berhadapan dan hanya terpisahkan jalan selebar lima meter.Semenjak masuk kuliah kesibukan Rheyner semakin menjadi-jadi, padahal pemuda itu tidak lagi mengajar karate. Sudah berkurang satu kegiatan. Namun, Rheyner masih sibuk mengurus usaha ini-itu. Ia mulai fokus dengan proyeknya