Nadira berjalan ke arah gerbang fakultas dengan tergesa. Rheyner telah menunggunya sedari tadi. Nadira sama sekali tidak membuka ponsel sejak dua jam setelah kelas terakhirnya usai. Gadis itu sibuk mengerjakan tugas di perpustakaan fakultas. Ternyata Rheyner menjemputnya sejak tadi karena pemuda itu memang tahu jadwal kuliahnya. Bukan salah Nadira juga sebenarnya kalau tidak tahu. Pasalnya mereka memang tidak janjian. Rheyner sedang disibukkan oleh banyak hal.
Nadira dan Rheyner adalah sepasang sahabat yang sudah seperti kakak adik. Sejak balita mereka sudah bersama. Rumah mereka pun berhadapan dan hanya terpisahkan jalan selebar lima meter.
Semenjak masuk kuliah kesibukan Rheyner semakin menjadi-jadi, padahal pemuda itu tidak lagi mengajar karate. Sudah berkurang satu kegiatan. Namun, Rheyner masih sibuk mengurus usaha ini-itu. Ia mulai fokus dengan proyeknya bersama Panji dan Rama. Bersama Panji, ia ingin mendirikan usaha di bidang arsitektur sesuai jurusan mereka. Sedangkan dengan Rama, Rheyner diajak bergabung dalam usaha pembuatan website yang Rama rintis. Rheyner juga merekomendasikan Bima kepada Rama karena adiknya sama-sama tertarik dengan dunia coding.
Untuk mendirikan usaha di bidang arsitektur, Rheyner dan Panji harus benar-benar dari nol. Sementara di bidang perancangan website, paling tidak Rheyner dan Rama sudah memiliki beberapa klien. Karena Rheyner dan Rama sudah sama-sama berkecimpung di dunia tersebut sejak berseragam putih abu. Apalagi saat ini Rama berkuliah di bidang tersebut.
Awalnya Rheyner dan dua sahabatnya tetap merasakan jatuh-bangun untuk meluaskan jaringan. Namun, kini kedua usaha itu sudah berjalan stabil walau belum menangani proyek-proyek besar. Tabungan Rheyner pun semakin menggembung di usia 21 tahun. Rheyner menggunakan uangnya sehemat yang ia bisa agar tabungannya tidak berkurang banyak. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan dengan uangnya di masa depan. Nadira bangga dan kagum sekali dengan Rheyner.
Nadira sudah melihat punggung Rheyner. Pemuda itu duduk di atas motor sport-nya. Kepala pemuda itu tampak menunduk. Mungkin saja Rheyner tengah sibuk dengan gawainya. Nadira kembali memacu langkah yang tadi sempat memelan. Ia ingin segera mencapai posisi Rheyner berada. Sudah dua hari ia tidak bertemu dengan pemuda itu.
“Rheyn,” Nadira menepuk bahu Rheyner dan sukses membuat Rheyner terlonjak hingga motornya oleng.
“Nadira Almira!” geram Rheyner tertahan.
“Maaf,” cengir Nadira. Rheyner tidak menanggapi, ia malah sibuk memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya.
“Maaf juga karena bikin kamu nunggu lama. Aku nggak tahu kalau kamu jemput. Lagian kamu tumben jam segini free,” lanjut Nadira.
“Tadi ke kampus cuma bimbingan doang. Karena nggak ada acara setelahnya, ya udah gue jemput lo aja.”
“Terus mana tas kamu kok sekarang nggak ada?” tanya Nadira sarat keheranan.
“Gue taruh di tempat kerja. Tadi mampir bentar.”
“Terus kenapa nggak pulang aja? Istirahat di rumah gitu lho, Rheyn, kamu pasti capek.”
“Nggak papa, sekalian pengin ngajak lo jalan. Udah lama kita nggak pergi bareng. Udah dua hari juga kita nggak ketemu.” Rheyner memberi alasan untuk meredam kekhawatiran Nadira. Akan tetapi, alasan sebenarnya adalah karena Rheyner merasa rindu pada sang pujaan hati.
“Iya juga sih.”
“Buruan naik, gih,” perintah Rheyner yang telah menyalakan mesin motor.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Nadira segera duduk di boncengan motor Rheyner. Ia taruh kedua tangannya di atas pundak Rheyner. Rheyner pun tanpa disuruh segera melajukan kendaraannya.
Nadira tidak bertanya ke mana Rheyner akan membawanya. Gadis itu hanya diam sepanjang jalan. Rheyner pun sama. Pemuda itu fokus pada jalanan di depannya. Hingga setengah jam kemudian motor Rheyner berhenti pada sebuah rumah makan khas Jawa.
“Lagi kangen masakan Jawa?” tanya Nadira setelah pramusaji yang mencatat pesanan berlalu.
“Iya,” jawab Rheyner singkat. Ponselnya kembali menyita perhatian. Nadira paham karena tahu Rheyner pasti sedang mengurus pekerjaan.
Nadira tengah melihat dekorasi rumah makan ketika Rheyner meletakkan ponsel dan menjatuhkan pandangan pada dirinya. Gadis itu segera membalas pandangan Rheyner. “Kenapa?”
Rheyner menggeleng. Namun, tidak mengalihkan tatapan. Nadira mendorong nomor meja untuk menutupi pandangan Rheyner. Rheyner memang menumpukan dagunya pada meja.
“Tugas akhir kamu emangnya udah sampai mana?” tanya Nadira untuk mengalihkan perhatian Rheyner.
“Tinggal finishing kok. Laporannya juga. Gue optimis ikut wisuda gelombang pertama.”
“Alhamdulillah, tiga setengah tahun ya.” Nadira senang mendengar jawaban Rheyner. Ia sudah menduga sejak awal pasti Rheyner akan lulus cepat.
Rheyner kembali menegakkan tubuhnya. “Lo sendiri udah masukin proposal magang belum?”
“Udahlah. Aku jadinya ke LP, Light Publishing.”
Belum jadi Rheyner memberi respons makanan yang mereka pesan sudah datang. Atensi keduanya beralih ke makanan masing-masing. Sesekali masih diiringi obrolan, tetapi lebih banyak diamnya.
“Yakin, mau magang di penerbitan indie?” Rheyner menyambung obrolan tentang tempat magang yang Nadira pilih. Pemuda itu telah menyelesaikan makannya.
“Iya, Rheyn.”
Rheyner berdecak. “Berapa ribu kali gue harus bilang jangan panggil ‘Rheyn’? Itu kedengaran girly banget di telinga gue, Nad.”
“Berapa ribu kali juga aku musti jawab kalau itu udah kebiasaan dan sulit diubah?” balas Nadira.
Rheyner mendesah pasrah.
“Lagian kenapa kalau aku pilih penerbitan indie?” Nadira mengembalikan topik.
“Ya enggak apa-apa, sih. Cuma kenapa enggak coba yang mayor dulu?”
“Indie lebih welcome sama mahasiswa magang. Udah pasti keterima. Kakak tingkatku banyak juga yang pernah magang di sana.”
“Ya udah, lah. Terserah lo aja yang penting lo happy dan semua diberi kelancaran.”
“Amin. Ya udah, ayo, pulang aja.”
Rheyner menilik arloji. “Ya udah, ayo. Gue bayar dulu, lo duluan ke parkiran aja.”
Nadira mengikuti Rheyner berdiri. “Aku ikut kamu aja. Kita keluar bareng,” ucap gadis itu sembari mendekatkan diri pada Rheyner.
Rheyner mengacak rambut Nadira. Lengannya segera merangkul bahu “adik” perempuan satu-satunya tersebut. Mereka berjalan menuju meja kasir. Tidak butuh waktu lama mereka menyelesaikan urusan pembayaran.
Rheyner menaiki lagi motor sport-nya. Nadira juga sudah nangkring di boncengan. Sebelum menjalankan motor, Rheyner menunduk sekilas hanya untuk melihat tangan Nadira yang melingkari perutnya. Senyum Rheyner merekah di balik kaca helm yang ia kenakan.
‘I’ll making you mine, Nadira Almira.’
***
Nadira memasuki kamar dengan senyum terpatri di wajah ayunya. Setiap kali bersama Rheyner, Nadira selalu merasa senang dan ceria. Rheyner selalu tahu caranya bersikap padanya. Nadira tidak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Rheyner. Mungkin selamanya dia hanya akan menjadi anak pendiam yang tidak pernah keluar rumah. Bersama Rheyner, Nadira banyak mencoba hal baru dan mendatangi tempat baru.
Hari ini Rheyner mengajaknya melihat pemandangan city light. Lelaki itu cukup sibuk untuk bepergian, tetapi untuk menghiburnya Rheyner rela meninggalkan kesibukannya bekerja. Tadi Nadira bercerita via chat kalau dia terlambat masuk ke kelas dosennya yang killer. Karena telat Nadira tidak diizinkan masuk. Nadira yang memang anak rajin tentu sedih karena tidak bisa masuk kelas saat ada kuis.
Rheyner sigap menjemput Nadira. Nadira diajak keliling kota. Lalu saat petang hampir tiba, Rheyner mengajak Nadira ke Bukit Bintang. Bukit Bintang adalah dataran tinggi yang dapat untuk melihat pemandangan seluruh kota. Omong-omong, ini sudah berselang tiga hari sejak Rheyner menjemputnya mengajak makan di restoran Jawa.
Di Bukit Bintang tadi Nadira dan Rheyner tidak hanya melihat pemandangan kota di malam hari. Mereka juga menikmati jagung bakar dan pisang rebus. Ada teh jahe yang menemani. Momen yang sangat sempurna untuk mengembalikan mood Nadira.
Rheyner dan Nadira bertukar cerita tentang kegiatan yang sudah mereka lewati di hari ini. Cukup lama mereka berada di Bukit Bintang. Udara dinginlah yang membuat mereka akhirnya pulang. Nadira yang mendesak karena takut Rheyner sakit. Jaket Rheyner dipinjamkan untuknya sehingga pemuda itu hanya mengenakan kaus lengan pendek.
Entah mengapa Nadira merasa berbunga-bunga mengingat sikap gentle Rheyner. Rheyner memang selalu perhatian begitu kepadanya. Nadira tidak tahu bagaimana sikap Rheyner terhadap perempuan lain. Yang jelas pemuda itu selalu sigap menjaganya dari apa pun.
Sejak putus dari Sherin di akhir masa SMA-nya Rheyner tidak lagi terlihat dekat dengan perempuan selain dirinya. Rheyner tidak pernah bercerita tentang teman perempuannya. Nadira tidak tahu pasti alasan Rheyner tidak berpacaran lagi. Entah karena belum move on, entah karena sibuk membangun karier. Namun, fakta itu membuat Nadira senang. Nadira merasa spesial karena hanya dia yang menjadi perempuan terdekat Rhyener.
Nadira menjatuhkan diri di ranjang. Posisinya kini rebah. Netra gadis itu tertancap ke langit-langit kamar, di mana ada tempelan bintang glow in the dark yang dipasang Rheyner. Di seluruh kamarnya ada saja sentuhan tangan Rheyner. Senyum Nadira yang sempat pudar sekarang kembali tercipta.
“Rheyner, Rheyner. Kamu itu tukang jungkir balikin mood aku,” gumam Nadira. “Aku harap selamanya kita bisa seperti ini, Rheyn.”
***
Cerita ini sekuel dari Sahabat Jadi Cinta, Why Not? Ceritanya ringan aja, kok. Ikuti terus, ya.
follow IG-ku di @dera_05
Keluarga Rheyner dan Nadira kembali ke rumah setelah acara wisuda di kampus Rheyner berakhir. Rheyner sempat berkumpul dengan teman-teman akrabnya sebentar sebelum ikut pulang. Keluarga Rheyner dan Nadira akan melakukan foto keluarga di rumah. Tentu saja Bima—adik pertama Rheyner—yang akan menjadi fotografernya. Setelah foto bersama mereka akan syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kelulusan Rheyner.Hari ini sebenarnya bukan hari libur untuk anak sekolah, tetapi Adiguna Effendi mengizinkan Bima dan Fian untuk membolos. Rendra—ayah Nadira—pun mengambil jatah liburnya dua hari lebih cepat demi bisa menghadiri kelulusan Rheyner.Foto resmi dilakukan di dalam rumah. Bima dan Shinta Effendi sudah menata sedemikian rupa kemarin. Latar foto terlihat sama seperti di studio. Hasil foto pun tak perlu diragukan mengingat peralatan fotografi Bima
Suara gemuruh hujan masih menyambangi gendang telinga Nadira. Ia mengangkat nampan yang berisi 8 cangkir teh panas menuju ruang keluarga di vila keluarga Rheyner. Keluarganya dan keluarga Rheyner baru saja tiba sebelum hujan deras mengguyur daerah puncak. Sebenarnya Nadira heran karena mereka tiba-tiba saja pergi berlibur, padahal bukan musim liburan dan tidak sedang dalam perayaan apa pun. Wisuda Rheyner sudah sebulan berlalu, lagi pula sudah dirayakan di rumah.Ketika Nadira masuk ke ruang keluarga, atmosfir di sana terasa berbeda dengan sebelum ia ke dapur. Orang tua Rheyner masih belum ada di sana. Namun, tadi Nadira samar-samar mendengar perbincangan yang berakhir begitu ia sampai. Semua bungkam, keadaan senyap. Tanda tanya di benak Nadira semakin besar.“Kok tiba-tiba pada diam sih?” Nadira meletakkan nampan di atas meja dan langsung menurunka
Setelah mengantar Rheyner ke bandara, Nadira segera memblokir semua kontak Rheyner. Ia takut tiba-tiba menghubungi Rheyner dan meminta pemuda itu pulang. Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan. Nadira belum tahu rasanya berjauhan lama dengan Rheyner.Nadira menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mata agar tidak terjatuh. Sejak dulu memang dia cenderung cengeng. Namun, kali ini Nadira mencoba untuk tegar. Tidak ada Rheyner yang menghiburnya. Lagi pula Nadira juga tidak pantas menangisi kepergian Rheyner. Rheyner pergi untuk mengejar cita-citanya. Apa haknya melarang Rhyener? Bukankah ini waktu yang pas untuk belajar hidup mandiri tanpa Rheyner?Nadira menghela napas. Dia yakin akan melewati hari-hari yang akan datang dengan lebih ceria. Mungkin sebaiknya mulai besok ia menyibukkan diri agar tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan Rheyner.
Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati. Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.
Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungki
Subuh tadi turun hujan. Tidak lama, tetapi meninggalkan mendung berkepanjangan. Rheyner baru saja mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Sedikit aneh bagi Rheyner karena adiknya sudah duduk di kelas 7 dan sebentar lagi naik ke kelas 8. Padahal rasanya baru kemarin Rheyner mengantarkannya ke sekolah dasar. Time flies. Mungkin setelah ini Fian tidak akan mau diantar-jemput.Rheyner memasuki rumah Nadira dengan senyum cerah. Senyumnya kontras sekali dengan cuaca pagi ini. Rheyner melihat Rendra membaca koran di ruang keluarga ditemani Dewi. Rheyner menyapa keduanya.“Mau ibu bikinin kopi, Nak?” tawar Dewi.“Nggak usah, Bu. Tadi udah ngopi. Lagian nanti kalau mau Rhey bikin sendiri. Kayak siapa aja sih, Bu, segala d
Rheyner tersentak. Tiba-tiba ingatannya pulih. Tadi bukankah ia akan menemui Nadira? Rheyner pun segera mematikan laptop. Ia segera keluar dari kamar. Memang begitu makan malam usai Rheyner langsung masuk ke kamar. Sesampainya di anak tangga terakhir Rheyner berpapasan dengan Shinta. Rheyner hanya berpamitan pada Shinta. Ia abaikan papa dan kedua adiknya yang masih di ruang keluarga.Anak sulung dari pemilik perusahaan properti cukup ternama tersebut berlari kecil menuju rumah di seberang jalan. Rheyner mengetuk pintu utama rumah sekali sebelum mendorong pintu itu agar terbuka. Ia ulukkan salam sembari melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Terdengar jawaban salam dari ruang keluarga. Rheyner percepat langkahnya ke sana.“Rhey, ada apa?” tanya Rendra yang sedang menonton berita di salah satu televisi swasta.
“Kenapa cepat banget, sih.”Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”“Enggak apa-apa, Rheyn.”“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.“Yakin,” tegas Rheyner.