Nadira berjalan ke arah gerbang fakultas dengan tergesa. Rheyner telah menunggunya sedari tadi. Nadira sama sekali tidak membuka ponsel sejak dua jam setelah kelas terakhirnya usai. Gadis itu sibuk mengerjakan tugas di perpustakaan fakultas. Ternyata Rheyner menjemputnya sejak tadi karena pemuda itu memang tahu jadwal kuliahnya. Bukan salah Nadira juga sebenarnya kalau tidak tahu. Pasalnya mereka memang tidak janjian. Rheyner sedang disibukkan oleh banyak hal.
Nadira dan Rheyner adalah sepasang sahabat yang sudah seperti kakak adik. Sejak balita mereka sudah bersama. Rumah mereka pun berhadapan dan hanya terpisahkan jalan selebar lima meter.
Semenjak masuk kuliah kesibukan Rheyner semakin menjadi-jadi, padahal pemuda itu tidak lagi mengajar karate. Sudah berkurang satu kegiatan. Namun, Rheyner masih sibuk mengurus usaha ini-itu. Ia mulai fokus dengan proyeknya bersama Panji dan Rama. Bersama Panji, ia ingin mendirikan usaha di bidang arsitektur sesuai jurusan mereka. Sedangkan dengan Rama, Rheyner diajak bergabung dalam usaha pembuatan website yang Rama rintis. Rheyner juga merekomendasikan Bima kepada Rama karena adiknya sama-sama tertarik dengan dunia coding.
Untuk mendirikan usaha di bidang arsitektur, Rheyner dan Panji harus benar-benar dari nol. Sementara di bidang perancangan website, paling tidak Rheyner dan Rama sudah memiliki beberapa klien. Karena Rheyner dan Rama sudah sama-sama berkecimpung di dunia tersebut sejak berseragam putih abu. Apalagi saat ini Rama berkuliah di bidang tersebut.
Awalnya Rheyner dan dua sahabatnya tetap merasakan jatuh-bangun untuk meluaskan jaringan. Namun, kini kedua usaha itu sudah berjalan stabil walau belum menangani proyek-proyek besar. Tabungan Rheyner pun semakin menggembung di usia 21 tahun. Rheyner menggunakan uangnya sehemat yang ia bisa agar tabungannya tidak berkurang banyak. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan dengan uangnya di masa depan. Nadira bangga dan kagum sekali dengan Rheyner.
Nadira sudah melihat punggung Rheyner. Pemuda itu duduk di atas motor sport-nya. Kepala pemuda itu tampak menunduk. Mungkin saja Rheyner tengah sibuk dengan gawainya. Nadira kembali memacu langkah yang tadi sempat memelan. Ia ingin segera mencapai posisi Rheyner berada. Sudah dua hari ia tidak bertemu dengan pemuda itu.
“Rheyn,” Nadira menepuk bahu Rheyner dan sukses membuat Rheyner terlonjak hingga motornya oleng.
“Nadira Almira!” geram Rheyner tertahan.
“Maaf,” cengir Nadira. Rheyner tidak menanggapi, ia malah sibuk memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya.
“Maaf juga karena bikin kamu nunggu lama. Aku nggak tahu kalau kamu jemput. Lagian kamu tumben jam segini free,” lanjut Nadira.
“Tadi ke kampus cuma bimbingan doang. Karena nggak ada acara setelahnya, ya udah gue jemput lo aja.”
“Terus mana tas kamu kok sekarang nggak ada?” tanya Nadira sarat keheranan.
“Gue taruh di tempat kerja. Tadi mampir bentar.”
“Terus kenapa nggak pulang aja? Istirahat di rumah gitu lho, Rheyn, kamu pasti capek.”
“Nggak papa, sekalian pengin ngajak lo jalan. Udah lama kita nggak pergi bareng. Udah dua hari juga kita nggak ketemu.” Rheyner memberi alasan untuk meredam kekhawatiran Nadira. Akan tetapi, alasan sebenarnya adalah karena Rheyner merasa rindu pada sang pujaan hati.
“Iya juga sih.”
“Buruan naik, gih,” perintah Rheyner yang telah menyalakan mesin motor.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Nadira segera duduk di boncengan motor Rheyner. Ia taruh kedua tangannya di atas pundak Rheyner. Rheyner pun tanpa disuruh segera melajukan kendaraannya.
Nadira tidak bertanya ke mana Rheyner akan membawanya. Gadis itu hanya diam sepanjang jalan. Rheyner pun sama. Pemuda itu fokus pada jalanan di depannya. Hingga setengah jam kemudian motor Rheyner berhenti pada sebuah rumah makan khas Jawa.
“Lagi kangen masakan Jawa?” tanya Nadira setelah pramusaji yang mencatat pesanan berlalu.
“Iya,” jawab Rheyner singkat. Ponselnya kembali menyita perhatian. Nadira paham karena tahu Rheyner pasti sedang mengurus pekerjaan.
Nadira tengah melihat dekorasi rumah makan ketika Rheyner meletakkan ponsel dan menjatuhkan pandangan pada dirinya. Gadis itu segera membalas pandangan Rheyner. “Kenapa?”
Rheyner menggeleng. Namun, tidak mengalihkan tatapan. Nadira mendorong nomor meja untuk menutupi pandangan Rheyner. Rheyner memang menumpukan dagunya pada meja.
“Tugas akhir kamu emangnya udah sampai mana?” tanya Nadira untuk mengalihkan perhatian Rheyner.
“Tinggal finishing kok. Laporannya juga. Gue optimis ikut wisuda gelombang pertama.”
“Alhamdulillah, tiga setengah tahun ya.” Nadira senang mendengar jawaban Rheyner. Ia sudah menduga sejak awal pasti Rheyner akan lulus cepat.
Rheyner kembali menegakkan tubuhnya. “Lo sendiri udah masukin proposal magang belum?”
“Udahlah. Aku jadinya ke LP, Light Publishing.”
Belum jadi Rheyner memberi respons makanan yang mereka pesan sudah datang. Atensi keduanya beralih ke makanan masing-masing. Sesekali masih diiringi obrolan, tetapi lebih banyak diamnya.
“Yakin, mau magang di penerbitan indie?” Rheyner menyambung obrolan tentang tempat magang yang Nadira pilih. Pemuda itu telah menyelesaikan makannya.
“Iya, Rheyn.”
Rheyner berdecak. “Berapa ribu kali gue harus bilang jangan panggil ‘Rheyn’? Itu kedengaran girly banget di telinga gue, Nad.”
“Berapa ribu kali juga aku musti jawab kalau itu udah kebiasaan dan sulit diubah?” balas Nadira.
Rheyner mendesah pasrah.
“Lagian kenapa kalau aku pilih penerbitan indie?” Nadira mengembalikan topik.
“Ya enggak apa-apa, sih. Cuma kenapa enggak coba yang mayor dulu?”
“Indie lebih welcome sama mahasiswa magang. Udah pasti keterima. Kakak tingkatku banyak juga yang pernah magang di sana.”
“Ya udah, lah. Terserah lo aja yang penting lo happy dan semua diberi kelancaran.”
“Amin. Ya udah, ayo, pulang aja.”
Rheyner menilik arloji. “Ya udah, ayo. Gue bayar dulu, lo duluan ke parkiran aja.”
Nadira mengikuti Rheyner berdiri. “Aku ikut kamu aja. Kita keluar bareng,” ucap gadis itu sembari mendekatkan diri pada Rheyner.
Rheyner mengacak rambut Nadira. Lengannya segera merangkul bahu “adik” perempuan satu-satunya tersebut. Mereka berjalan menuju meja kasir. Tidak butuh waktu lama mereka menyelesaikan urusan pembayaran.
Rheyner menaiki lagi motor sport-nya. Nadira juga sudah nangkring di boncengan. Sebelum menjalankan motor, Rheyner menunduk sekilas hanya untuk melihat tangan Nadira yang melingkari perutnya. Senyum Rheyner merekah di balik kaca helm yang ia kenakan.
‘I’ll making you mine, Nadira Almira.’
***
Nadira memasuki kamar dengan senyum terpatri di wajah ayunya. Setiap kali bersama Rheyner, Nadira selalu merasa senang dan ceria. Rheyner selalu tahu caranya bersikap padanya. Nadira tidak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Rheyner. Mungkin selamanya dia hanya akan menjadi anak pendiam yang tidak pernah keluar rumah. Bersama Rheyner, Nadira banyak mencoba hal baru dan mendatangi tempat baru.
Hari ini Rheyner mengajaknya melihat pemandangan city light. Lelaki itu cukup sibuk untuk bepergian, tetapi untuk menghiburnya Rheyner rela meninggalkan kesibukannya bekerja. Tadi Nadira bercerita via chat kalau dia terlambat masuk ke kelas dosennya yang killer. Karena telat Nadira tidak diizinkan masuk. Nadira yang memang anak rajin tentu sedih karena tidak bisa masuk kelas saat ada kuis.
Rheyner sigap menjemput Nadira. Nadira diajak keliling kota. Lalu saat petang hampir tiba, Rheyner mengajak Nadira ke Bukit Bintang. Bukit Bintang adalah dataran tinggi yang dapat untuk melihat pemandangan seluruh kota. Omong-omong, ini sudah berselang tiga hari sejak Rheyner menjemputnya mengajak makan di restoran Jawa.
Di Bukit Bintang tadi Nadira dan Rheyner tidak hanya melihat pemandangan kota di malam hari. Mereka juga menikmati jagung bakar dan pisang rebus. Ada teh jahe yang menemani. Momen yang sangat sempurna untuk mengembalikan mood Nadira.
Rheyner dan Nadira bertukar cerita tentang kegiatan yang sudah mereka lewati di hari ini. Cukup lama mereka berada di Bukit Bintang. Udara dinginlah yang membuat mereka akhirnya pulang. Nadira yang mendesak karena takut Rheyner sakit. Jaket Rheyner dipinjamkan untuknya sehingga pemuda itu hanya mengenakan kaus lengan pendek.
Entah mengapa Nadira merasa berbunga-bunga mengingat sikap gentle Rheyner. Rheyner memang selalu perhatian begitu kepadanya. Nadira tidak tahu bagaimana sikap Rheyner terhadap perempuan lain. Yang jelas pemuda itu selalu sigap menjaganya dari apa pun.
Sejak putus dari Sherin di akhir masa SMA-nya Rheyner tidak lagi terlihat dekat dengan perempuan selain dirinya. Rheyner tidak pernah bercerita tentang teman perempuannya. Nadira tidak tahu pasti alasan Rheyner tidak berpacaran lagi. Entah karena belum move on, entah karena sibuk membangun karier. Namun, fakta itu membuat Nadira senang. Nadira merasa spesial karena hanya dia yang menjadi perempuan terdekat Rhyener.
Nadira menjatuhkan diri di ranjang. Posisinya kini rebah. Netra gadis itu tertancap ke langit-langit kamar, di mana ada tempelan bintang glow in the dark yang dipasang Rheyner. Di seluruh kamarnya ada saja sentuhan tangan Rheyner. Senyum Nadira yang sempat pudar sekarang kembali tercipta.
“Rheyner, Rheyner. Kamu itu tukang jungkir balikin mood aku,” gumam Nadira. “Aku harap selamanya kita bisa seperti ini, Rheyn.”
***
Cerita ini sekuel dari Sahabat Jadi Cinta, Why Not? Ceritanya ringan aja, kok. Ikuti terus, ya.
follow IG-ku di @dera_05
Keluarga Rheyner dan Nadira kembali ke rumah setelah acara wisuda di kampus Rheyner berakhir. Rheyner sempat berkumpul dengan teman-teman akrabnya sebentar sebelum ikut pulang. Keluarga Rheyner dan Nadira akan melakukan foto keluarga di rumah. Tentu saja Bima—adik pertama Rheyner—yang akan menjadi fotografernya. Setelah foto bersama mereka akan syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kelulusan Rheyner.Hari ini sebenarnya bukan hari libur untuk anak sekolah, tetapi Adiguna Effendi mengizinkan Bima dan Fian untuk membolos. Rendra—ayah Nadira—pun mengambil jatah liburnya dua hari lebih cepat demi bisa menghadiri kelulusan Rheyner.Foto resmi dilakukan di dalam rumah. Bima dan Shinta Effendi sudah menata sedemikian rupa kemarin. Latar foto terlihat sama seperti di studio. Hasil foto pun tak perlu diragukan mengingat peralatan fotografi Bima
Suara gemuruh hujan masih menyambangi gendang telinga Nadira. Ia mengangkat nampan yang berisi 8 cangkir teh panas menuju ruang keluarga di vila keluarga Rheyner. Keluarganya dan keluarga Rheyner baru saja tiba sebelum hujan deras mengguyur daerah puncak. Sebenarnya Nadira heran karena mereka tiba-tiba saja pergi berlibur, padahal bukan musim liburan dan tidak sedang dalam perayaan apa pun. Wisuda Rheyner sudah sebulan berlalu, lagi pula sudah dirayakan di rumah.Ketika Nadira masuk ke ruang keluarga, atmosfir di sana terasa berbeda dengan sebelum ia ke dapur. Orang tua Rheyner masih belum ada di sana. Namun, tadi Nadira samar-samar mendengar perbincangan yang berakhir begitu ia sampai. Semua bungkam, keadaan senyap. Tanda tanya di benak Nadira semakin besar.“Kok tiba-tiba pada diam sih?” Nadira meletakkan nampan di atas meja dan langsung menurunka
Setelah mengantar Rheyner ke bandara, Nadira segera memblokir semua kontak Rheyner. Ia takut tiba-tiba menghubungi Rheyner dan meminta pemuda itu pulang. Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan. Nadira belum tahu rasanya berjauhan lama dengan Rheyner.Nadira menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mata agar tidak terjatuh. Sejak dulu memang dia cenderung cengeng. Namun, kali ini Nadira mencoba untuk tegar. Tidak ada Rheyner yang menghiburnya. Lagi pula Nadira juga tidak pantas menangisi kepergian Rheyner. Rheyner pergi untuk mengejar cita-citanya. Apa haknya melarang Rhyener? Bukankah ini waktu yang pas untuk belajar hidup mandiri tanpa Rheyner?Nadira menghela napas. Dia yakin akan melewati hari-hari yang akan datang dengan lebih ceria. Mungkin sebaiknya mulai besok ia menyibukkan diri agar tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan Rheyner.
Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati. Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.
Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungki
Subuh tadi turun hujan. Tidak lama, tetapi meninggalkan mendung berkepanjangan. Rheyner baru saja mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Sedikit aneh bagi Rheyner karena adiknya sudah duduk di kelas 7 dan sebentar lagi naik ke kelas 8. Padahal rasanya baru kemarin Rheyner mengantarkannya ke sekolah dasar. Time flies. Mungkin setelah ini Fian tidak akan mau diantar-jemput.Rheyner memasuki rumah Nadira dengan senyum cerah. Senyumnya kontras sekali dengan cuaca pagi ini. Rheyner melihat Rendra membaca koran di ruang keluarga ditemani Dewi. Rheyner menyapa keduanya.“Mau ibu bikinin kopi, Nak?” tawar Dewi.“Nggak usah, Bu. Tadi udah ngopi. Lagian nanti kalau mau Rhey bikin sendiri. Kayak siapa aja sih, Bu, segala d
Rheyner tersentak. Tiba-tiba ingatannya pulih. Tadi bukankah ia akan menemui Nadira? Rheyner pun segera mematikan laptop. Ia segera keluar dari kamar. Memang begitu makan malam usai Rheyner langsung masuk ke kamar. Sesampainya di anak tangga terakhir Rheyner berpapasan dengan Shinta. Rheyner hanya berpamitan pada Shinta. Ia abaikan papa dan kedua adiknya yang masih di ruang keluarga.Anak sulung dari pemilik perusahaan properti cukup ternama tersebut berlari kecil menuju rumah di seberang jalan. Rheyner mengetuk pintu utama rumah sekali sebelum mendorong pintu itu agar terbuka. Ia ulukkan salam sembari melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Terdengar jawaban salam dari ruang keluarga. Rheyner percepat langkahnya ke sana.“Rhey, ada apa?” tanya Rendra yang sedang menonton berita di salah satu televisi swasta.
“Kenapa cepat banget, sih.”Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”“Enggak apa-apa, Rheyn.”“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.“Yakin,” tegas Rheyner.
Nadira sedang berada di depan laptop ketika merasakan pelukan di pinggangnya. Ada dua pasang lengan yang melingkari. Sepasang lengan kecil dan sepasang lengan kokoh. Nadira hanya tersenyum dan terus melakukan pekerjaannya. Ia tahu benar siapa mereka.Melihat respons cuek Nadira membuat kedua pemilik lengan-lengan itu mengeratkan pelukan. Mereka memang sedang menarik perhatian Nadira. Mereka tidak rela Nadira lebih memperhatikan pekerjaannya dibanding mereka. Akhirnya keinginan mereka terkabul. Nadira menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menari di papan ketik.“Ayah Rheyner Aditya, Karelino Aksa Raditya!” ucap Nadira tertahan.“Iya, Bunda Sayang,” sahut kedua orang kesayangan Nadira itu bersamaan.“Bunda lagi kerja, lho.”“Tahu, kok. Kita ‘kan cuma peluk Bunda, ya, Rel.” Sang suami fasih menjawab.“Iya.” Bocah yang baru sebulan lalu genap 4 tahun itu menyetujui.Nadira berdecak. Ia berikan tatapan lembut pada pri
Rheyner membuka pintu kamar perlahan. Nampak bidadarinya terbaring dengan damai di tengah ranjang berukuran king size-nya. Sudut bibir Rheyner kontan tertarik. Ia langkahkan kaki mendekati ranjang. Tangan besarnya tak kuasa untuk tidak mengelus kepala bidadari itu. Bidadarinya menggeliat kecil perlahan kelopak matanya juga bergerak sebelum membuka sempurna.“Mas?” ucapnya serak, seksi kalau Rheyner diminta menilai.“Hai,” balas Rheyner. Kini ia sudah duduk di tepi ranjang.“Setengah dua belas, kamu baru pulang?” tanya si bidadari setelah melirik jam di atas nakas.“Keasyikan lembur sama anak magang. Maaf, ya.” Rheyner mengecup kening perempuan yang dicintainya itu. “Nggak apa-apa. Maaf aku tidur duluan. Kamu udah makan?” Si bidadari pengisi hati Rheyner mengubah posisinya menjadi bersandar di headbed.“Kamu tenang aja, aku udah makan. Kamu tidur lagi aja. Aku mau mandi dulu.” Rheyner beranjak menuju kamar mandi.Bukannya kembali tidur seperti perin
Rheyner dan Nadira kembali ke kamar saat sudah lewat tengah malam. Selesai acara resepsi Rheyner dan Nadira tertahan oleh sahabat serta kerabat yang masih ingin mengobrol. Meski harus melawan rasa ingin segera tidur di kasur yang sangat kuat. Begitu sampai di dalam kamar, Rheyner langsung merebahkan tubuh di kasur secara serampangan. Kalau sesuai dengan rencana awal sebenarnya Rheyner dan Nadira akan langsung pulang. Akan tetapi, ini sudah lewat tengah malam. Tubuh mereka juga terlampau lelah. Jadi, mereka memutuskan untuk menginap semalam di hotel.Nadira langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Untung saja tadi ia membawa baju tambahan sebagai antisipasi kalau harus menginap di hotel. Setengah jam kemudian Nadira keluar dari kamar mandi. Ia melihat Rheyner masih di posisi yang sama seperti saat Nadira tinggalkan, sungguh tidak nyaman. Sepertinya Rheyner benaran tertidur.Nadira menepuk lengan Rheyner pelan. “Mas, bangun dulu. Ganti baju k
Detak jantung Rheyner menggedor-gedor dada. Peluh sebesar kacang menghiasi dahi. Shinta yang duduk tidak jauh darinya memberi tisu. Rheyner menghapus keringatnya hati-hati. Untuk pertama kalinya Rheyner setuju wajahnya dirias dengan butir-butir bedak. Jadi, ia harus hati-hati kalau tidak ingin makeup-nya luntur.Rheyner melirik kursi di sebelahnya. Pengisinya nanti adalah salah satu penyebab jantungnya berulah. Benak Rheyner terus menebak-nebak akan seperti apa sosok yang mengisi kursi itu setelah satu minggu mereka tidak bersua. Rheyner mengembuskan napas untuk menenangkan dirinya. Kegugupan Rheyner pagi ini adalah kegugupan terhebat yang ia alami. Bahkan ketika ia harus mempresentasikan hasil desainnya di hadapan petinggi-petinggi ITB dan Tokodai dulu tidak segugup ini. Ijab kabul yang akan segera ia lakukan benar-benar membuat jantung bertalu. Penghulu yang ditunggu sedari tadi sudah datang, saatnya inti acara dilaksanakan.Rheyner mencium punggung tan
Nadira bersiap-siap ke kafe dengan tergesa. Kemarin pagi Rheyner memang memberi kabar bahwa kantor Rheyner memenangkan tender. Tiba-tiba Rheyner memberi kabar kalau ingin melakukan perayaan di kafe sore ini setelah pemuda itu lembur. Padahal kemarin Rheyner tidak menyinggungnya sama sekali.Hari ini memang Sabtu, tetapi Nadira sedang tidak ke kafe. Ibunya menyuruh Nadira istirahat di rumah saja karena seminggu ini pekerjaannya cukup hectic. Nadira menurut dan membiarkan ibunya yang ke kafe, meskipun harusnya sang ibu tidak ke sana saat weekend. Lalu bukankah seharusnya Nadira merasa tenang karena ibunya sudah di kafe? Seharusnya iya, tetapi kenyataannya ibu Nadira tidak di sana. Ketika Nadira menelepon pun tidak dijawab.Nadira melirik jam di pergelangan tangannya. Waktunya semakin mepet. Lembur di kantor Rheyner pada hari Sabtu akan berakhir pukul 13.00, sedangkan sekarang sudah pukul 12.40. Nadira mengeluh dalam hati atas pemberitahuan Rheyner yang mendadak. Ia hanya bisa meminta dr
Lamaran yang Rheyner lakukan di puncak sudah tiga hari berlalu. Hubungan Rheyner dan Nadira sudah kembali seperti semula. Tidak ada perubahan berarti, kecuali status mereka.Seperti biasa, Rheyner lebih ekspresif menunjukkan perasaannya dibanding Nadira. Sampai detik ini mulut Nadira belum mengatakan secara langsung perihal perasaannya. Ungkapan cinta Rheyner hanya dibalas dengan kata ‘hm’ atau ‘aku tahu’.Namun, saat ini Rheyner tidak terlalu mempermasalahkan. Ia tahu cintanya terbalas. Ia juga dapat merasakan bahwa Nadira tidak lagi sungkan menunjukkan perhatiannya. Kadang kala ungkapan tidak terlalu penting, yang terpenting adalah sikapnya. Lagi pula Nadira sudah resmi menjadi calon istri Rheyner. Mereka sudah terikat komitmen serius. Boleh, dong, Rheyner merasa lega?Saat ini Rheyner dan Nadira masih berada di jalan sepulang dari bekerja. Jalanan cukup padat karena memang sedang jam pulang kantor. Akan tetapi, jalanan macet tidak membuat mereka berdua bosan. Kebersamaan ketika pul
“Akhirnya kamu datang.” Si lelaki membalikkan tubuh.“Rheyn …,” lirih Nadira.“Ya, it’s me.” Rheyner mendekati Nadira. Tangannya meraih pergelangan perempuan itu. Ia tuntun Nadira menuju ayunan pohon yang telah ia buat dan hias sedemikian rupa.“Kamu duduk. Aku mau ngomong.”Nadira duduk di ayunan, sedangkan Rheyner berjongkok di hadapannya. Rheyner memegang sebelah tangan Nadira. “Jangan dipotong, ya.”Nadira sama sekali tidak membuka mulut. Netranya terpancang pada manik hitam kecokelatan Rheyner. Ucapan lembut Rheyner sulit ia bantah. Apalagi Rheyner tak lagi menggunakan sapaan lo-gue andalannya.“Aku minta maaf atas ucapan kasarku tempo hari. Aku mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir. Aku membiarkan amarah menguasa diri. Aku sadar, nggak semudah itu aku menghapus luka yang kutorehkan di hati kamu. Tapi, Nad, tolong izinkan cowok berengsek di hadapan kamu ini menjelaskan dan mengungkapkan perasaan yang bertahun-tahun dipendam
Seminggu ini Rheyner terus menempeli Nadira. Ia rajin mengantar dan menjemput Nadira meski sering kali tak diacuhkan. Ia juga selalu menyambangi rumah Nadira sepulang kerja meski yang disambangi tidak keluar dari kamar.Nadira belum juga luluh. Jangankan menerima lamaran Rheyner, permintaan maaf Rheyner saja tidak pernah digubris. Keduanya masih dalam mode bertengkar. Namun, Rheyner tidak mau dianggap frustasi. Ia terus berusaha untuk mengambil hati Nadira. Sekalipun Nadira enggan bertemu muka dengannya. Orang tua keduanya sampai dibuat cemas juga gemas. Mereka tidak bisa tinggal diam. Apa jadinya kalau Nadira tidak menerima lamaran Rheyner? Mereka diam-diam sudah mulai mencari gedung dan katering untuk acara pernikahan. Awalnya mereka optimis Nadira menerima lamaran Rheyner, tetapi kini mereka mulai was-was.Sekarang sudah saatnya menggunakan andil orang tua. Rheyner akhirnya setuju saja ketika diberi ide. Orang tuanya dan orang tua Nadira akan mengajak mereka berlibur ke puncak. Ke
Rheyner menunggu Nadira dengan tidak sabar. Kalau saja hubungan mereka tidak sedang buruk sudah tentu Rheyner langsung ke kamar Nadira. Tidak seperti sekarang, dia hanya bisa menunggu di teras. Ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan Nadira pasca pertengkaran mereka. Nadira sudah pulang dari dinas kemarin sore. Hari ini memang weekend, hari libur, tetapi Nadira tetap pergi ke kantor sebentar. Informasi tersebut didapatkan dari ibu Nadira. Rheyner akan mengambil kesempatan untuk mengajak Nadira berbaikan. Ini sudah hari ketiga mereka bertengkar hebat. Untung saja Nadira mau bertemu dan diantar olehnya. Namun, sebenarnya selalu ada bantuan dari orang tua Nadira juga. Orang tua Nadira berpura-pura meminta Rheyner mengantar putri mereka itu ke kantor. Bahkan cenderung memaksa Nadira agar mau diantar oleh Rheyner.Nadira keluar setelah 10 menit Rheyner menunggu. Gadis yang memakai turtle neck berlengan panjang itu menghampiri Rheyner tanpa mengucapkan sepatah kata