“Kenapa cepat banget, sih.”
Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.
“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.
“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”
“Enggak apa-apa, Rheyn.”
“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.
“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.
“Yakin,” tegas Rheyner.<
Kaki berbalut flatshoes berwarna abu-abu dengan bahan beludru melangkah santai di sepanjang selasar mal. Ponsel layar sentuh keluaran terbaru menempel di telinga. Lipstick waterproof berwarna coral menghiasi bibir yang terus melengkung penuh senyum. “Aku cuma pengin jalan-jalan sendiri aja. Lagian kalau aku kelamaan jalan sama teman cowokku kamu ngomel terus. Jadi, mending sendirian.” “Masalahnya, gue ‘kan enggak kenal sama mereka. Kalau mereka bukan cowok baik-baik gimana?” “Alah, kamunya aja yang lebay. Tempo hari aku jalan sama teman kuliahku yang udah dikenal Bima aja kamu tetap ngomel. Pada
Hari ini adalah hari kelulusan S-2 Nadira. Nadira tidak menyangka bisa lulus sedikit lebih cepat. Padahal dia kuliah sambil bekerja. Perempuan muda itu sudah bersiap ke kampus. Ia sudah dirias sedemikian rupa oleh sang ibu dan mama Rheyner. Kebaya berwarna lavender membalut tubuhnya dengan apik. Penampilannya amat cantik. Bahkan menurutnya, lebih cantik dibanding saat kelulusan S-1. Nadira dan orang tuanya berangkat ke kampus lebih dulu. Sementara orang tua Rheyner akan menyusul nanti kendati mereka sudah terlihat rapi. Biar bagaimanapun yang bisa masuk ke hall hanya orang tua Nadira saja. Jadi, mereka akan datang saat wisuda selesai. Selama perjalanan menuju kampus, Nadira diliputi kesedihan alih-alih kebahagiaan. Rasa sedihnya dilatari tidak hadirnya Rheyner di hari kelulusannya. Padahal Rheyner sudah tidak datang di kelulusan pertamanya, kelulusan S-1. Nadira ingin setidaknya satu kali Rheyner ada di dua momen bersejarahnya tersebut. Seperti dirinya yang juga ada di salah satu kel
“Jadi, kapan kamu pulang?” tanya Nadira lagi saat memasuki mobil.“Kemarin sore,” jawab Rheyner santai.“Kemarin sore?! Kok aku nggak tahu?” cecar Nadira.Rheyner mengedikkan bahu.“Hih!” Nadira melayangkan tabokan ke lengan Rheyner yang memegang setir.“Jangan bar-bar ngapa, Nad!” Rheyner mendelik sekilas.“Ya, kamunya nyebelin. Senang banget ngerjain aku,” rajuk Nadira. Tangannya bersidekap dengan pandangan lurus.“Kok disebut ngerjain, sih? Ini gue ngasih kejutan manis di hari kelulusan lo, lho.” Rheyner membela diri.“Dih, kejutan manis.” Nadira mencibir. Kepalanya menoleh ke luar jendela.Rheyner balas berdecih. Pria itu tahu kalau Nadira hanya berpura-pura. Aslinya Nadira sangat senang dengan kehadiran Rheyner. Terbukti dengan wajah Nadira yang berseri dan sering kali memeluk bunga pemberian pria itu. Bahkan bunga pemberian pria yang hadir sebelum Rheyner sekarang sudah entah ke mana, tergantikan oleh bunga dari Rheyner.Perjalanan yang masih lumayan jauh itu tidak lagi diselimu
Alur waktunya banyak yang dipercepat. Buat yang bingung silakan baca dari depan dengan teliti.***Satu tahun kemudian.Sejak kembali ke Tanah Air, Rheyner sudah langsung disibukkan dengan pekerjaan. Usaha yang dibangun bersama Panji sejak memasuki bangku kuliah memang maju pesat. Di awal membangun usaha mereka hanya menyewa ruko kecil 3 lantai sebagai kantor. Sekarang ini mereka sudah memiliki bangunan kantor sendiri. Bangunan 3 lantai yang jelas lebih luas ketimbang ruko 3 lantai yang dulu mereka sewa.Awalnya hanya mereka berdua, lalu ada enam orang yang bekerja bersama mereka. Sekarang konsultan arsitektur yang diberi nama PRArch ini sudah memiliki beberapa divisi. PRArch sudah bekerja dengan sangat terstruktur. Klien yang datang pun sudah bukan atas nama perseorangan lagi, melainkan atas nama instansi. Entah itu instansi swasta maupun pemerintah.Kesuksesan usaha Rheyner dan Panji tersebut jelas tidak instan. Ada banyak hal yang harus dikorbankan. Tidak hanya dari segi materi. Kl
“Capek, ya?” Tangan Rheyner singgah di puncak kepala Nadira.Nadira memang langsung memejamkan mata ketika memasuki mobil Rheyner. Tidak langsung ada obrolan apa pun di antara keduanya. Rheyner baru menyapa setelah mobil berjalan beberapa meter.“Hm.” Nadira yang tengah terpejam hanya bergumam.“Tidur aja kalau gitu. Ntar gue bangunin kalau udah sampai.” Rheyner mulai menjalankan SUV-nya.Nadira membuka matanya sedikit. “Maaf, ya,” lirih Nadira.“It's okay.” Tangan Rheyner menepuk puncak kepala Nadira sekali. Mata Nadira kembali tertutup rapat.Rheyner dan Nadira sudah hampir seminggu tidak pulang bersama. Intensitas pertemuan mereka otomatis berkurang. Keduanya sama-sama sibuk. Hari ini keluarga mereka mengajak makan malam di luar. Jadi, Rheyner dan Nadira diwajibkan meluangkan waktu.Suasana mobil kembali senyap. Terjebak macet sudah biasa. Namun, biasanya suasana mobil Rheyner hampir tidak pernah sehening ini. Jika pulang dengan Nadira, maka akan selalu ada obrolan. Kalau pun tidak
Nadira memandangi jemari tangan kirinya. Cincin dari Rheyner terpasang di jari manis. Sedikit terasa longgar, tetapi tidak sampai membuatnya terlepas. Bobot tubuhnya memang turun. Menjadi kepala editor memang kadang terlalu menguras tenaga terutama pikiran. Saat ini posisi Nadira tengah rebah di ranjang dan sudah bersiap tidur. Namun, matanya enggan diajak terpejam. Cincin yang terdapat lekukan bunga sakura itu kembali Nadira kenakan setelah mendengar protesan Rheyner berulang kali. Sebenarnya, Nadira bukan bermaksud tidak menghargai Rheyner. Ia hanya terlalu sayang pada cincin cantik itu. Cincin tersebut salah satu wujud dari kerja keras Rheyner, bentuk dari perasan keringat Rheyner. Mana tega Nadira melihat cincin itu rusak apalagi hilang. Maka menyimpannya menjadi pilihan. Namun, ternyata Rheyner berpikiran lain. Melihat sorot kecewa di mata Rheyner membuat dada Nadira nyeri.Rheyner tidak pernah membocorkan harga cincin yang ia berikan. Rheyner selalu mengatakan bahwa itu hanya c
Nadira menyandarkan kepala di pundak Rheyner. Mereka sedang berada di ruang tunggu rumah sakit, tepatnya di depan ruang periksa kandungan. Panji yang sedang di luar kota memberi tugas Rheyner untuk mengantar istrinya periksa kandungan rutin. Keikutsertaan Nadira adalah hasil ajakan Rheyner. Rheyner merasa tidak terlalu dekat dengan Putri. Jadi, daripada canggung ia mengajak Nadira. Nadira tentu saja sangat antusias.Namun ketika sedang menunggu antrean masuk, bunda Panji menyusul. Sehingga sekarang Putri masuk ke ruang periksa ditemani ibu mertuanya. Nadira yang harusnya ikut masuk ke ruang periksa kini hanya bisa menunggu di luar bersama Rheyner.“Rheyn, pinjem hape.”Rheyner menyerahkan ponselnya dengan sukarela. “Hape lo mana?”Nadira menukar ponselnya dengan ponsel Rheyner. “Mati, nih. Lupa bawa powerbank.”“Di mobil ada. Mau gue ambilin?”“Nggak usah. Siapa juga yang mau hubungin. Tadi aku udah izin orang kantor, kok.”
Hari demi hari terlewati. Malam dengan cepat berganti. Matahari begitu cepat tiba. Hiruk-pikuk pagi mulai terdengar dari rumah Adiguna Effendi. Semua anggota Effendi sudah berkumpul di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ibu Ratu masih sibuk di dapur bersama si anak tengah yang memang lebih familiar dengan dapur daripada dua saudaranya. Sementara sang kepala keluarga sudah duduk ditemani koran dan kopi. Fokusnya tidak pecah meski si sulung dan si bungsu berdebat.“Eh, Bocil.” Rheyner senang sekali menyulut kekesalan adik-adiknya, terutama adik bungsunya yang emosinya memang paling meledak-ledak.Fian tidak menyahut. Dia tidak suka dipanggil anak kecil. Sekarang Fian sudah masuk SMA. Menurut Fian panggilan itu tidak pantas diterimanya lagi.“Heh, dipanggil juga.” Rheyner melempar sebuah anggur pada Fian.Fian mendongak, mengalihkan pandangan dari gawai menuju Rheyner. “Siapa yang Mas panggil? Namaku Alfian Valentino Effendi kalau Mas lupa.”