“Capek, ya?” Tangan Rheyner singgah di puncak kepala Nadira.Nadira memang langsung memejamkan mata ketika memasuki mobil Rheyner. Tidak langsung ada obrolan apa pun di antara keduanya. Rheyner baru menyapa setelah mobil berjalan beberapa meter.“Hm.” Nadira yang tengah terpejam hanya bergumam.“Tidur aja kalau gitu. Ntar gue bangunin kalau udah sampai.” Rheyner mulai menjalankan SUV-nya.Nadira membuka matanya sedikit. “Maaf, ya,” lirih Nadira.“It's okay.” Tangan Rheyner menepuk puncak kepala Nadira sekali. Mata Nadira kembali tertutup rapat.Rheyner dan Nadira sudah hampir seminggu tidak pulang bersama. Intensitas pertemuan mereka otomatis berkurang. Keduanya sama-sama sibuk. Hari ini keluarga mereka mengajak makan malam di luar. Jadi, Rheyner dan Nadira diwajibkan meluangkan waktu.Suasana mobil kembali senyap. Terjebak macet sudah biasa. Namun, biasanya suasana mobil Rheyner hampir tidak pernah sehening ini. Jika pulang dengan Nadira, maka akan selalu ada obrolan. Kalau pun tidak
Nadira memandangi jemari tangan kirinya. Cincin dari Rheyner terpasang di jari manis. Sedikit terasa longgar, tetapi tidak sampai membuatnya terlepas. Bobot tubuhnya memang turun. Menjadi kepala editor memang kadang terlalu menguras tenaga terutama pikiran. Saat ini posisi Nadira tengah rebah di ranjang dan sudah bersiap tidur. Namun, matanya enggan diajak terpejam. Cincin yang terdapat lekukan bunga sakura itu kembali Nadira kenakan setelah mendengar protesan Rheyner berulang kali. Sebenarnya, Nadira bukan bermaksud tidak menghargai Rheyner. Ia hanya terlalu sayang pada cincin cantik itu. Cincin tersebut salah satu wujud dari kerja keras Rheyner, bentuk dari perasan keringat Rheyner. Mana tega Nadira melihat cincin itu rusak apalagi hilang. Maka menyimpannya menjadi pilihan. Namun, ternyata Rheyner berpikiran lain. Melihat sorot kecewa di mata Rheyner membuat dada Nadira nyeri.Rheyner tidak pernah membocorkan harga cincin yang ia berikan. Rheyner selalu mengatakan bahwa itu hanya c
Nadira menyandarkan kepala di pundak Rheyner. Mereka sedang berada di ruang tunggu rumah sakit, tepatnya di depan ruang periksa kandungan. Panji yang sedang di luar kota memberi tugas Rheyner untuk mengantar istrinya periksa kandungan rutin. Keikutsertaan Nadira adalah hasil ajakan Rheyner. Rheyner merasa tidak terlalu dekat dengan Putri. Jadi, daripada canggung ia mengajak Nadira. Nadira tentu saja sangat antusias.Namun ketika sedang menunggu antrean masuk, bunda Panji menyusul. Sehingga sekarang Putri masuk ke ruang periksa ditemani ibu mertuanya. Nadira yang harusnya ikut masuk ke ruang periksa kini hanya bisa menunggu di luar bersama Rheyner.“Rheyn, pinjem hape.”Rheyner menyerahkan ponselnya dengan sukarela. “Hape lo mana?”Nadira menukar ponselnya dengan ponsel Rheyner. “Mati, nih. Lupa bawa powerbank.”“Di mobil ada. Mau gue ambilin?”“Nggak usah. Siapa juga yang mau hubungin. Tadi aku udah izin orang kantor, kok.”
Hari demi hari terlewati. Malam dengan cepat berganti. Matahari begitu cepat tiba. Hiruk-pikuk pagi mulai terdengar dari rumah Adiguna Effendi. Semua anggota Effendi sudah berkumpul di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ibu Ratu masih sibuk di dapur bersama si anak tengah yang memang lebih familiar dengan dapur daripada dua saudaranya. Sementara sang kepala keluarga sudah duduk ditemani koran dan kopi. Fokusnya tidak pecah meski si sulung dan si bungsu berdebat.“Eh, Bocil.” Rheyner senang sekali menyulut kekesalan adik-adiknya, terutama adik bungsunya yang emosinya memang paling meledak-ledak.Fian tidak menyahut. Dia tidak suka dipanggil anak kecil. Sekarang Fian sudah masuk SMA. Menurut Fian panggilan itu tidak pantas diterimanya lagi.“Heh, dipanggil juga.” Rheyner melempar sebuah anggur pada Fian.Fian mendongak, mengalihkan pandangan dari gawai menuju Rheyner. “Siapa yang Mas panggil? Namaku Alfian Valentino Effendi kalau Mas lupa.”
Puncak konfliknya memang enggak berat, cukup hidup aja. Terima kasih untuk komentar dan gems-nya~***Rheyner berdiri di balkon kamarnya. Sedari sore ia merasa resah. Tangan kanannya mencengkeram pagar balkon, sedangkan tangan kirinya memegang telepon genggam. Nadira tidak bisa dihubungi. Hal itu yang menjadi sumber keresahan Rheyner. Ibu bilang tadi siang Nadira sudah mengabari bahwa ia akan pulang sedikit larut. Lembur.Rheyner tidak bisa tenang. Ini sudah menunjukkan pukul 22.40. Ia takut Nadira kesulitan untuk pulang. Biasanya Rheyner yang mengantar-jemput. Namun, sudah seminggu ini Nadira tidak pernah mau dijemput. ‘Terus gue musti gimana?’Di tengah kekalutan pikirannya, terdengar mesin mobil berhenti di depan pagar rumah Nadira. Rheyner memicingkan mata. Seorang pria yang lengan kemejanya digulung sampai siku keluar disusul Nadira. Kedua orang itu saling melempar senyum. Rheyner kurang bisa mendengar percakapan mereka. Ia menduga
Terima kasih untuk yang setia menunggu.Cerita ini udah tamat sejak lama di platform lain. Kenapa di sini update-nya lama? Karena aku harus merevisi beberapa hal dan menulis penambahan bab, tapi dari segi alur cerita sama.***Suasana di rumah rumah Adiguna Effendi sudah riuh. Padahal ini masih sangat pagi. Sedari tadi Ibunda Ratu di rumah tersebut sudah banyak mengeluarkan suara. Sementara si biang ribut justru anteng menikmati sarapannya. Si bungsu yang masih terlihat mengantuk sudah memakai seragam sekolah. Sementara sang kepala keluarga dan si tengah tidak ada di ruang makan.Shinta menjadi orang yang paling banyak mengurusi segala hal. Ia harus menyiapkan hantaran. Meski semalam sudah mencari inspirasi, tetapi Shinta belum sempat memilih produk-produk yang harus dijadikan hantaran. Shinta benar-benar dibuat sebal oleh putra sulungnya.Bisa-bisanya Rheyner meminta lamaran diadakan nanti malam. Padahal baru semalam Rheyner mengutarakan perasaan
Rheyner menunggu Nadira dengan tidak sabar. Kalau saja hubungan mereka tidak sedang buruk sudah tentu Rheyner langsung ke kamar Nadira. Tidak seperti sekarang, dia hanya bisa menunggu di teras. Ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan Nadira pasca pertengkaran mereka. Nadira sudah pulang dari dinas kemarin sore. Hari ini memang weekend, hari libur, tetapi Nadira tetap pergi ke kantor sebentar. Informasi tersebut didapatkan dari ibu Nadira. Rheyner akan mengambil kesempatan untuk mengajak Nadira berbaikan. Ini sudah hari ketiga mereka bertengkar hebat. Untung saja Nadira mau bertemu dan diantar olehnya. Namun, sebenarnya selalu ada bantuan dari orang tua Nadira juga. Orang tua Nadira berpura-pura meminta Rheyner mengantar putri mereka itu ke kantor. Bahkan cenderung memaksa Nadira agar mau diantar oleh Rheyner.Nadira keluar setelah 10 menit Rheyner menunggu. Gadis yang memakai turtle neck berlengan panjang itu menghampiri Rheyner tanpa mengucapkan sepatah kata
Seminggu ini Rheyner terus menempeli Nadira. Ia rajin mengantar dan menjemput Nadira meski sering kali tak diacuhkan. Ia juga selalu menyambangi rumah Nadira sepulang kerja meski yang disambangi tidak keluar dari kamar.Nadira belum juga luluh. Jangankan menerima lamaran Rheyner, permintaan maaf Rheyner saja tidak pernah digubris. Keduanya masih dalam mode bertengkar. Namun, Rheyner tidak mau dianggap frustasi. Ia terus berusaha untuk mengambil hati Nadira. Sekalipun Nadira enggan bertemu muka dengannya. Orang tua keduanya sampai dibuat cemas juga gemas. Mereka tidak bisa tinggal diam. Apa jadinya kalau Nadira tidak menerima lamaran Rheyner? Mereka diam-diam sudah mulai mencari gedung dan katering untuk acara pernikahan. Awalnya mereka optimis Nadira menerima lamaran Rheyner, tetapi kini mereka mulai was-was.Sekarang sudah saatnya menggunakan andil orang tua. Rheyner akhirnya setuju saja ketika diberi ide. Orang tuanya dan orang tua Nadira akan mengajak mereka berlibur ke puncak. Ke