Terima kasih untuk yang setia menunggu.
Cerita ini udah tamat sejak lama di platform lain. Kenapa di sini update-nya lama? Karena aku harus merevisi beberapa hal dan menulis penambahan bab, tapi dari segi alur cerita sama.***Suasana di rumah rumah Adiguna Effendi sudah riuh. Padahal ini masih sangat pagi. Sedari tadi Ibunda Ratu di rumah tersebut sudah banyak mengeluarkan suara. Sementara si biang ribut justru anteng menikmati sarapannya. Si bungsu yang masih terlihat mengantuk sudah memakai seragam sekolah. Sementara sang kepala keluarga dan si tengah tidak ada di ruang makan.Shinta menjadi orang yang paling banyak mengurusi segala hal. Ia harus menyiapkan hantaran. Meski semalam sudah mencari inspirasi, tetapi Shinta belum sempat memilih produk-produk yang harus dijadikan hantaran. Shinta benar-benar dibuat sebal oleh putra sulungnya.Bisa-bisanya Rheyner meminta lamaran diadakan nanti malam. Padahal baru semalam Rheyner mengutarakan perasaanRheyner menunggu Nadira dengan tidak sabar. Kalau saja hubungan mereka tidak sedang buruk sudah tentu Rheyner langsung ke kamar Nadira. Tidak seperti sekarang, dia hanya bisa menunggu di teras. Ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan Nadira pasca pertengkaran mereka. Nadira sudah pulang dari dinas kemarin sore. Hari ini memang weekend, hari libur, tetapi Nadira tetap pergi ke kantor sebentar. Informasi tersebut didapatkan dari ibu Nadira. Rheyner akan mengambil kesempatan untuk mengajak Nadira berbaikan. Ini sudah hari ketiga mereka bertengkar hebat. Untung saja Nadira mau bertemu dan diantar olehnya. Namun, sebenarnya selalu ada bantuan dari orang tua Nadira juga. Orang tua Nadira berpura-pura meminta Rheyner mengantar putri mereka itu ke kantor. Bahkan cenderung memaksa Nadira agar mau diantar oleh Rheyner.Nadira keluar setelah 10 menit Rheyner menunggu. Gadis yang memakai turtle neck berlengan panjang itu menghampiri Rheyner tanpa mengucapkan sepatah kata
Seminggu ini Rheyner terus menempeli Nadira. Ia rajin mengantar dan menjemput Nadira meski sering kali tak diacuhkan. Ia juga selalu menyambangi rumah Nadira sepulang kerja meski yang disambangi tidak keluar dari kamar.Nadira belum juga luluh. Jangankan menerima lamaran Rheyner, permintaan maaf Rheyner saja tidak pernah digubris. Keduanya masih dalam mode bertengkar. Namun, Rheyner tidak mau dianggap frustasi. Ia terus berusaha untuk mengambil hati Nadira. Sekalipun Nadira enggan bertemu muka dengannya. Orang tua keduanya sampai dibuat cemas juga gemas. Mereka tidak bisa tinggal diam. Apa jadinya kalau Nadira tidak menerima lamaran Rheyner? Mereka diam-diam sudah mulai mencari gedung dan katering untuk acara pernikahan. Awalnya mereka optimis Nadira menerima lamaran Rheyner, tetapi kini mereka mulai was-was.Sekarang sudah saatnya menggunakan andil orang tua. Rheyner akhirnya setuju saja ketika diberi ide. Orang tuanya dan orang tua Nadira akan mengajak mereka berlibur ke puncak. Ke
“Akhirnya kamu datang.” Si lelaki membalikkan tubuh.“Rheyn …,” lirih Nadira.“Ya, it’s me.” Rheyner mendekati Nadira. Tangannya meraih pergelangan perempuan itu. Ia tuntun Nadira menuju ayunan pohon yang telah ia buat dan hias sedemikian rupa.“Kamu duduk. Aku mau ngomong.”Nadira duduk di ayunan, sedangkan Rheyner berjongkok di hadapannya. Rheyner memegang sebelah tangan Nadira. “Jangan dipotong, ya.”Nadira sama sekali tidak membuka mulut. Netranya terpancang pada manik hitam kecokelatan Rheyner. Ucapan lembut Rheyner sulit ia bantah. Apalagi Rheyner tak lagi menggunakan sapaan lo-gue andalannya.“Aku minta maaf atas ucapan kasarku tempo hari. Aku mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir. Aku membiarkan amarah menguasa diri. Aku sadar, nggak semudah itu aku menghapus luka yang kutorehkan di hati kamu. Tapi, Nad, tolong izinkan cowok berengsek di hadapan kamu ini menjelaskan dan mengungkapkan perasaan yang bertahun-tahun dipendam
Lamaran yang Rheyner lakukan di puncak sudah tiga hari berlalu. Hubungan Rheyner dan Nadira sudah kembali seperti semula. Tidak ada perubahan berarti, kecuali status mereka.Seperti biasa, Rheyner lebih ekspresif menunjukkan perasaannya dibanding Nadira. Sampai detik ini mulut Nadira belum mengatakan secara langsung perihal perasaannya. Ungkapan cinta Rheyner hanya dibalas dengan kata ‘hm’ atau ‘aku tahu’.Namun, saat ini Rheyner tidak terlalu mempermasalahkan. Ia tahu cintanya terbalas. Ia juga dapat merasakan bahwa Nadira tidak lagi sungkan menunjukkan perhatiannya. Kadang kala ungkapan tidak terlalu penting, yang terpenting adalah sikapnya. Lagi pula Nadira sudah resmi menjadi calon istri Rheyner. Mereka sudah terikat komitmen serius. Boleh, dong, Rheyner merasa lega?Saat ini Rheyner dan Nadira masih berada di jalan sepulang dari bekerja. Jalanan cukup padat karena memang sedang jam pulang kantor. Akan tetapi, jalanan macet tidak membuat mereka berdua bosan. Kebersamaan ketika pul
Nadira bersiap-siap ke kafe dengan tergesa. Kemarin pagi Rheyner memang memberi kabar bahwa kantor Rheyner memenangkan tender. Tiba-tiba Rheyner memberi kabar kalau ingin melakukan perayaan di kafe sore ini setelah pemuda itu lembur. Padahal kemarin Rheyner tidak menyinggungnya sama sekali.Hari ini memang Sabtu, tetapi Nadira sedang tidak ke kafe. Ibunya menyuruh Nadira istirahat di rumah saja karena seminggu ini pekerjaannya cukup hectic. Nadira menurut dan membiarkan ibunya yang ke kafe, meskipun harusnya sang ibu tidak ke sana saat weekend. Lalu bukankah seharusnya Nadira merasa tenang karena ibunya sudah di kafe? Seharusnya iya, tetapi kenyataannya ibu Nadira tidak di sana. Ketika Nadira menelepon pun tidak dijawab.Nadira melirik jam di pergelangan tangannya. Waktunya semakin mepet. Lembur di kantor Rheyner pada hari Sabtu akan berakhir pukul 13.00, sedangkan sekarang sudah pukul 12.40. Nadira mengeluh dalam hati atas pemberitahuan Rheyner yang mendadak. Ia hanya bisa meminta dr
Detak jantung Rheyner menggedor-gedor dada. Peluh sebesar kacang menghiasi dahi. Shinta yang duduk tidak jauh darinya memberi tisu. Rheyner menghapus keringatnya hati-hati. Untuk pertama kalinya Rheyner setuju wajahnya dirias dengan butir-butir bedak. Jadi, ia harus hati-hati kalau tidak ingin makeup-nya luntur.Rheyner melirik kursi di sebelahnya. Pengisinya nanti adalah salah satu penyebab jantungnya berulah. Benak Rheyner terus menebak-nebak akan seperti apa sosok yang mengisi kursi itu setelah satu minggu mereka tidak bersua. Rheyner mengembuskan napas untuk menenangkan dirinya. Kegugupan Rheyner pagi ini adalah kegugupan terhebat yang ia alami. Bahkan ketika ia harus mempresentasikan hasil desainnya di hadapan petinggi-petinggi ITB dan Tokodai dulu tidak segugup ini. Ijab kabul yang akan segera ia lakukan benar-benar membuat jantung bertalu. Penghulu yang ditunggu sedari tadi sudah datang, saatnya inti acara dilaksanakan.Rheyner mencium punggung tan
Rheyner dan Nadira kembali ke kamar saat sudah lewat tengah malam. Selesai acara resepsi Rheyner dan Nadira tertahan oleh sahabat serta kerabat yang masih ingin mengobrol. Meski harus melawan rasa ingin segera tidur di kasur yang sangat kuat. Begitu sampai di dalam kamar, Rheyner langsung merebahkan tubuh di kasur secara serampangan. Kalau sesuai dengan rencana awal sebenarnya Rheyner dan Nadira akan langsung pulang. Akan tetapi, ini sudah lewat tengah malam. Tubuh mereka juga terlampau lelah. Jadi, mereka memutuskan untuk menginap semalam di hotel.Nadira langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Untung saja tadi ia membawa baju tambahan sebagai antisipasi kalau harus menginap di hotel. Setengah jam kemudian Nadira keluar dari kamar mandi. Ia melihat Rheyner masih di posisi yang sama seperti saat Nadira tinggalkan, sungguh tidak nyaman. Sepertinya Rheyner benaran tertidur.Nadira menepuk lengan Rheyner pelan. “Mas, bangun dulu. Ganti baju k
Rheyner membuka pintu kamar perlahan. Nampak bidadarinya terbaring dengan damai di tengah ranjang berukuran king size-nya. Sudut bibir Rheyner kontan tertarik. Ia langkahkan kaki mendekati ranjang. Tangan besarnya tak kuasa untuk tidak mengelus kepala bidadari itu. Bidadarinya menggeliat kecil perlahan kelopak matanya juga bergerak sebelum membuka sempurna.“Mas?” ucapnya serak, seksi kalau Rheyner diminta menilai.“Hai,” balas Rheyner. Kini ia sudah duduk di tepi ranjang.“Setengah dua belas, kamu baru pulang?” tanya si bidadari setelah melirik jam di atas nakas.“Keasyikan lembur sama anak magang. Maaf, ya.” Rheyner mengecup kening perempuan yang dicintainya itu. “Nggak apa-apa. Maaf aku tidur duluan. Kamu udah makan?” Si bidadari pengisi hati Rheyner mengubah posisinya menjadi bersandar di headbed.“Kamu tenang aja, aku udah makan. Kamu tidur lagi aja. Aku mau mandi dulu.” Rheyner beranjak menuju kamar mandi.Bukannya kembali tidur seperti perin