Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.
Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.
Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungkin Rheyner benar kelaparan karena dari pagi belum makan sementara sekarang sudah sore. Padahal Shinar sudah memasak sedari pagi sebelum berangkat kuliah.
By the way, Rheyner dan Shinar memang terbiasa memasak untuk menghemat pengeluaran serta lebih aman karena mereka tahu bahan yang digunakan. Tugas memasak dibebankan pada Shinar. Rheyner buta tentang dapur. Satu-satunya keahliannya hanya membuat mi instan. Jauh dari rumah pun tidak membuat kemampuan Rheyner meningkat.
Rheyner baru menyentuh ponselnya setelah mencuci peralatan makan. Bima mengiriminya beberapa foto terbaru keluarga mereka, tak terkecuali foto Nadira. Senyum Rheyner kontan tercipta. Ia memandangi foto-foto tersebut satu per satu. Rasa rindu menggedor-gedor dadanya.
‘Gue pengin balik, Ya Allah …. Gue kangen banget sama Nadira. Nad, lo kangen sama gue enggak?’
***
Shinta menyongsong kedatangan si putra sulung yang selalu membuatnya tak pernah berhenti merasa bangga. Kedua tangan Shinta terentang lebar tidak peduli dengan tatapan pengunjung di bandara. Rheyner masuk ke pelukan Shinta dan membalut tubuh wanita yang telah membawanya melihat dunia dengan lengan kekarnya. Pelukan sang mama sangat erat. Tergambar jelas kerinduan yang ditanggung selama berbulan-bulan.
“Ma, udah kangen-kangenannya di rumah aja.” Adiguna, sang Suami, mengingatkan padahal ia juga ingin mendapat jatah pelukan dari Jagoan Pertamanya.
Shinta melepas pelukannya. Kedua tangannya merangkum wajah Rheyner. “Rheyner sehat ‘kan, Nak? Mama kangen.”
“Sehat kok, Ma. Mama ‘kan habis nengok Rheyner?”
“Tetap aja kangen. Kita pisah beda negara. Benar kata orang, yang namanya berpisah dengan anak itu nggak pernah mudah meski anak udah besar.”
“Makanya ini Rheyner pulang, Ma.” Shinta hanya mampu mengangguk. Rheyner beralih pada papanya. Ia peluk papanya singkat. “Papa gemukan nih, senang Rheyner pergi ya, Pa?”
“Ngawur! Ini gara-gara Mama maksa Papa habisin makanan terus. Kamu pergi Mama nggak ngurangin jumlah masakannya,” canda Adi. Rheyner terkekeh sembari merangkul bahu Shinta.
“Udah ayo pulang deh daripada bully Mama!” Shinta menunjukkan wajah merajuk.
Rheyner dan papanya adu tatapan sepersekian sekon sebelum tertawa. Shinta berjalan meninggalkan suami dan anak sulungnya. Adi menghela Rheyner untuk mengikuti Shinta. Rheyner tidak membawa banyak barang, hanya sebuah ransel yang ia gendong dan sebuah tas jinjing kecil yang sudah direbut Shinta.
Shinta berdiri di samping mobil yang terkunci karena Adi masih berada lumayan jauh. Begitu Adi datang dan membuka kunci mobil, Shinta langsung masuk di kursi samping kemudi. Rheyner sendiri masuk ke pintu penumpang belakang. Adi segera melajukan mobil meninggalkan bandara. Sepanjang perjalanan mata Rheyner tidak beralih dari pemandangan di luar. Beberapa hal berubah selama 20 bulan ini. Perubahan tersebut tidak hanya dialami oleh kota yang Rheyner tinggalkan saja, tetapi pada dirinya dan mungkin orang yang ia tinggalkan pula. Namun, Rheyner berani menggaransi bahwa tidak ada yang berubah dari hatinya. Hatinya justru semakin yakin siapa orang yang ia inginkan.
Mobil Adi memasuki gerbang rumah, ia memarkirnya di depan garasi. Rheyner mengedarkan pemandangan pada halaman rumah serta bangunan rumah yang cukup megah. Ah, betapa Rheyner merindukan rumah apalagi orang-orang di dalamnya. Mamanya menyenggol lengan Rheyner, menyadarkan.
“Hayuk, malah bengong di sini. Ada kejutan buat kamu.” Shinta melenggang masuk ke rumah disusul oleh Adi yang kembali mengajak Rheyner masuk. Rheyner menyempatkan diri untuk memandang rumah di seberang jalan sebelum ikut masuk, rumah yang dari kecil kerap ia sambangi.
‘Nanti', batin Rheyner.
Teriakan selamat datang memekakkan telinga Rheyner ketika ia baru menginjakkan kaki di ruang tamu. Orang tuanya, adik-adiknya, orang tua Nadira, Valensi, serta beberapa teman yang cukup akrab ada di sana. Rheyner tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar. Ia bahagia kepulangannya disambut sampai sebegininya. Namun, ia tidak dapat memungkiri bahwa ada bagian di hatinya yang merasa sedih saat tidak mendapati sosok Nadira.
“Mas Rheyner!” Fian, adik bungsu Rheyner, menjadi orang pertama yang menghambur ke tubuh Rheyner. Anak Shinta yang paling tengil itu memeluk tubuh kakak sulungnya erat.
Rheyner mengacak rambut Fian dengan sebelah tangannya, sementara tangan yang lain balas memeluk sang adik. Bima mengikuti jejak adiknya untuk memeluk orang yang diam-diam ia jadikan panutan. Rheyner dengan senang hati membalas pelukan adik-adiknya. Mereka bertiga terlihat saling merindukan. Tidak perlu ungkapan verbal untuk menjelaskan.
Selepas berpelukan dengan kedua adiknya, Rheyner menghampiri dua orang yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Dewi langsung merangkul Rheyner dengan erat begitu Rheyner berada di hadapannya. Dewi memang tidak pernah ikut Adi dan Shinta mengunjungi Rheyner ke Jepang.
“Ibu kangen, Nak.” Sudut mata Dewi sudah berair.
“Rheyner juga kangen Ibu.” Rheyner mengusap punggung perempuan yang ia hormati itu. Rheyner beralih memeluk Rendra yang berdiri di samping Dewi.
“Ayah libur?” tanya Rheyner.
“Jatah libur Ayah masih bulan depan, tapi Ayah nggak sabar ketemu kamu.” Rendra menepuk puncak kepala Rheyner.
“Makasih, Yah, udah rela cuti buat Rhey.” Rheyner melepas pelukan.
Begitu Rheyner terlepas dari serbuan keluarganya, gantian sahabat dan temannya yang memberi jabat tangan serta pelukan. Singkat saja. Setelah itu, Shinta dan Dewi menggiring Rheyner dan para tamu untuk makan. Makanan yang disajikan adalah makanan yang menjadi favorit Rheyner.
Sore itu dihabiskan Rheyner untuk bercengkrama dengan keluarga serta sahabat-sahabatnya guna menghabiskan rindu. Nanti malam Rheyner akan memastikan rindunya benar-benar terbayar tuntas.
***
Nadira menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Lehernya luar biasa pegal. Seharian Nadira berada di depan komputer untuk mengejar deadline penerbitan buku yang ia edit. Ia hanya istirahat untuk makan siang dan menunaikan ibadah. Antusiasme terhadap buku yang ia edit sangat besar sehingga jadwal penerbitan dipercepat.
Nadira tidak sabar untuk segera mandi. Ia percaya lelahnya akan luruh bersama air yang mengguyur tubuh. Begitu membuka pintu kamar indera penciumannya menangkap aroma familiar yang sudah lama tidak ia hirup. Nadira gelengkan kepala dan segera mengarahkan tangannya untuk menekan saklar lampu. Seketika kamarnya terang benderang.
Tote bag Nadira terjatuh begitu saja ketika melihat punggung seorang pemuda yang menjulang di depan pintu balkon. Mustahil itu punggung seseorang yang ia rindukan. Pasti ini hanya halusinasinya karena menghamba rindu. Orang itu berbalik dengan kedua tangan diletakkan dalam saku hoodie. Nadira mengeleng-gelengkan kepala dibarengi dengan air mata yang menetes.
Rheyner, pemuda ber-hoodie abu, melangkahkan kaki guna memutus jarak. Langkahnya terhenti ketika ujung sandalnya menyentuh kaki Nadira yang masih berbalut flat shoes. Kepala Nadira sesekali masih menggeleng. Satu isakan lolos. Tangan besar Rheyner merangkum wajah Nadira. Ia hentikan gelengan gadis itu, tetapi tak mampu membendung hujan dari kedua mata sang gadis.
“Masih cengeng, huh?” goda Rheyner. Satu isakan diikuti isakan yang lain keluar dari bibir Nadira. Rheyner tidak dapat menahan diri untuk memeluk Nadira. Gadisnya.
Entah berapa menit yang dilewati mereka dengan saling memeluk. Menuntaskan rindu yang tak terukur besarnya. Ini adalah 20 bulan yang terasa sangat lama. Sejak mereka saling mengenal, baru kali ini berpisah sejauh dan selama ini. Tidak adanya komunikasi hanya menambah tinggi tumpukan rindu.
Tangisan Nadira berangsur-angsur reda. Akan tetapi, pelukan mereka belum terurai. Bedanya hanya tangan kanan Rheyner yang kini mengelus kepala Nadira.
“Kenapa nggak bilang kalau pulang?” Pertanyaan Nadira teredam di dada Rheyner.
“Kalau nggak salah ingat, sih, ada yang blokir nomor HP gue.”
Nadira kontan mendorong tubuh Rheyner menjauh. Nadira menatap Rheyner tajam. “Nggak ada yang bilang juga kalau kamu pulang. Pantas aja Ayah semalam tiba-tiba pulang. Kenapa aku selalu nggak diberi tahu apa pun?”
“Ya udah, anggap aja kejutan. Senang nggak gue balik?”
“Kelakuanku tadi nggak memberi kamu jawaban?” tanya Nadira balik.
Rheyner menyeringai. Tangannya kembali bertengger di puncak kepala Nadira. Mengacak rambut Nadira—yang baru saja dipotong sebahu dua minggu lalu—dengan pelan. Netra keduanya kembali beradu.
“Kenapa blokir nomor dan semua media sosial gue?” Rheyner tidak menghentikan tangan maupun tatapannya.
“Takut kangen,” cicit Nadira. Gadis itu memalingkan wajah yang justru membuat Rheyner dapat melihat rona merah jambu di pipinya dengan jelas.
Rheyner merasakan seperti ada letupan kembang api di dadanya. Bukan sakit yang ia rasa, melainkan hangat yang menyenangkan.
“Coba ulangi, gue nggak dengar.” Rheyner mengucapkan dengan lirih.
“Nggak ada siaran ulang!” Nadira mencoba kabur dari hadapan Rheyner. Rheyner tentu menahan tangan Nadira dengan sigap.
“Jadi, takut kangen?” goda Rheyner.
“Nggak!”
“Uluh-uluh gemesnya.” Rheyner mencolek dagu Nadira.
“Ih, apaan sih?” Nadira coba tepis tangan Rheyner.
“Apa tadi ‘takut kangen’?”
“Kamu salah dengar!”
“Jadi takut ka—”
“Keluar, aku mau mandi!” Nadira mendorong Rheyner keluar dari kamarnya. Perlu kekuatan ekstra untuk melawan pertahanan Rheyner. Entah tenaga Nadira yang terlampau kuat atau Rheyner yang mengalah, tetapi yang jelas Rheyner berhasil diusir.
“Nad,” panggil Rheyner dari luar kamar.
“Diam!” Nadira mengunci pintu.
“Blokir nomor gue karena takut kangen, ya?” lanjut Rheyner di depan pintu.
“Rheyn, diam‼” Nadira balas berteriak. Selang satu detik bibirnya menyunggingkan senyum teramat manis. Mendadak rasa lelahnya menguap. Perasaannya membaik, sangat-amat membaik. Ada perasaan asing yang menyusup ke dalam hatinya. Benar-benar asing karena baru pertama kali ia rasakan. Nadira tidak bisa menjelaskan, hanya saja terasa begitu menghangatkan. Dan Nadira … suka.
***
Subuh tadi turun hujan. Tidak lama, tetapi meninggalkan mendung berkepanjangan. Rheyner baru saja mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Sedikit aneh bagi Rheyner karena adiknya sudah duduk di kelas 7 dan sebentar lagi naik ke kelas 8. Padahal rasanya baru kemarin Rheyner mengantarkannya ke sekolah dasar. Time flies. Mungkin setelah ini Fian tidak akan mau diantar-jemput.Rheyner memasuki rumah Nadira dengan senyum cerah. Senyumnya kontras sekali dengan cuaca pagi ini. Rheyner melihat Rendra membaca koran di ruang keluarga ditemani Dewi. Rheyner menyapa keduanya.“Mau ibu bikinin kopi, Nak?” tawar Dewi.“Nggak usah, Bu. Tadi udah ngopi. Lagian nanti kalau mau Rhey bikin sendiri. Kayak siapa aja sih, Bu, segala d
Rheyner tersentak. Tiba-tiba ingatannya pulih. Tadi bukankah ia akan menemui Nadira? Rheyner pun segera mematikan laptop. Ia segera keluar dari kamar. Memang begitu makan malam usai Rheyner langsung masuk ke kamar. Sesampainya di anak tangga terakhir Rheyner berpapasan dengan Shinta. Rheyner hanya berpamitan pada Shinta. Ia abaikan papa dan kedua adiknya yang masih di ruang keluarga.Anak sulung dari pemilik perusahaan properti cukup ternama tersebut berlari kecil menuju rumah di seberang jalan. Rheyner mengetuk pintu utama rumah sekali sebelum mendorong pintu itu agar terbuka. Ia ulukkan salam sembari melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Terdengar jawaban salam dari ruang keluarga. Rheyner percepat langkahnya ke sana.“Rhey, ada apa?” tanya Rendra yang sedang menonton berita di salah satu televisi swasta.
“Kenapa cepat banget, sih.”Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”“Enggak apa-apa, Rheyn.”“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.“Yakin,” tegas Rheyner.
Kaki berbalut flatshoes berwarna abu-abu dengan bahan beludru melangkah santai di sepanjang selasar mal. Ponsel layar sentuh keluaran terbaru menempel di telinga. Lipstick waterproof berwarna coral menghiasi bibir yang terus melengkung penuh senyum. “Aku cuma pengin jalan-jalan sendiri aja. Lagian kalau aku kelamaan jalan sama teman cowokku kamu ngomel terus. Jadi, mending sendirian.” “Masalahnya, gue ‘kan enggak kenal sama mereka. Kalau mereka bukan cowok baik-baik gimana?” “Alah, kamunya aja yang lebay. Tempo hari aku jalan sama teman kuliahku yang udah dikenal Bima aja kamu tetap ngomel. Pada
Hari ini adalah hari kelulusan S-2 Nadira. Nadira tidak menyangka bisa lulus sedikit lebih cepat. Padahal dia kuliah sambil bekerja. Perempuan muda itu sudah bersiap ke kampus. Ia sudah dirias sedemikian rupa oleh sang ibu dan mama Rheyner. Kebaya berwarna lavender membalut tubuhnya dengan apik. Penampilannya amat cantik. Bahkan menurutnya, lebih cantik dibanding saat kelulusan S-1. Nadira dan orang tuanya berangkat ke kampus lebih dulu. Sementara orang tua Rheyner akan menyusul nanti kendati mereka sudah terlihat rapi. Biar bagaimanapun yang bisa masuk ke hall hanya orang tua Nadira saja. Jadi, mereka akan datang saat wisuda selesai. Selama perjalanan menuju kampus, Nadira diliputi kesedihan alih-alih kebahagiaan. Rasa sedihnya dilatari tidak hadirnya Rheyner di hari kelulusannya. Padahal Rheyner sudah tidak datang di kelulusan pertamanya, kelulusan S-1. Nadira ingin setidaknya satu kali Rheyner ada di dua momen bersejarahnya tersebut. Seperti dirinya yang juga ada di salah satu kel
“Jadi, kapan kamu pulang?” tanya Nadira lagi saat memasuki mobil.“Kemarin sore,” jawab Rheyner santai.“Kemarin sore?! Kok aku nggak tahu?” cecar Nadira.Rheyner mengedikkan bahu.“Hih!” Nadira melayangkan tabokan ke lengan Rheyner yang memegang setir.“Jangan bar-bar ngapa, Nad!” Rheyner mendelik sekilas.“Ya, kamunya nyebelin. Senang banget ngerjain aku,” rajuk Nadira. Tangannya bersidekap dengan pandangan lurus.“Kok disebut ngerjain, sih? Ini gue ngasih kejutan manis di hari kelulusan lo, lho.” Rheyner membela diri.“Dih, kejutan manis.” Nadira mencibir. Kepalanya menoleh ke luar jendela.Rheyner balas berdecih. Pria itu tahu kalau Nadira hanya berpura-pura. Aslinya Nadira sangat senang dengan kehadiran Rheyner. Terbukti dengan wajah Nadira yang berseri dan sering kali memeluk bunga pemberian pria itu. Bahkan bunga pemberian pria yang hadir sebelum Rheyner sekarang sudah entah ke mana, tergantikan oleh bunga dari Rheyner.Perjalanan yang masih lumayan jauh itu tidak lagi diselimu
Alur waktunya banyak yang dipercepat. Buat yang bingung silakan baca dari depan dengan teliti.***Satu tahun kemudian.Sejak kembali ke Tanah Air, Rheyner sudah langsung disibukkan dengan pekerjaan. Usaha yang dibangun bersama Panji sejak memasuki bangku kuliah memang maju pesat. Di awal membangun usaha mereka hanya menyewa ruko kecil 3 lantai sebagai kantor. Sekarang ini mereka sudah memiliki bangunan kantor sendiri. Bangunan 3 lantai yang jelas lebih luas ketimbang ruko 3 lantai yang dulu mereka sewa.Awalnya hanya mereka berdua, lalu ada enam orang yang bekerja bersama mereka. Sekarang konsultan arsitektur yang diberi nama PRArch ini sudah memiliki beberapa divisi. PRArch sudah bekerja dengan sangat terstruktur. Klien yang datang pun sudah bukan atas nama perseorangan lagi, melainkan atas nama instansi. Entah itu instansi swasta maupun pemerintah.Kesuksesan usaha Rheyner dan Panji tersebut jelas tidak instan. Ada banyak hal yang harus dikorbankan. Tidak hanya dari segi materi. Kl
“Capek, ya?” Tangan Rheyner singgah di puncak kepala Nadira.Nadira memang langsung memejamkan mata ketika memasuki mobil Rheyner. Tidak langsung ada obrolan apa pun di antara keduanya. Rheyner baru menyapa setelah mobil berjalan beberapa meter.“Hm.” Nadira yang tengah terpejam hanya bergumam.“Tidur aja kalau gitu. Ntar gue bangunin kalau udah sampai.” Rheyner mulai menjalankan SUV-nya.Nadira membuka matanya sedikit. “Maaf, ya,” lirih Nadira.“It's okay.” Tangan Rheyner menepuk puncak kepala Nadira sekali. Mata Nadira kembali tertutup rapat.Rheyner dan Nadira sudah hampir seminggu tidak pulang bersama. Intensitas pertemuan mereka otomatis berkurang. Keduanya sama-sama sibuk. Hari ini keluarga mereka mengajak makan malam di luar. Jadi, Rheyner dan Nadira diwajibkan meluangkan waktu.Suasana mobil kembali senyap. Terjebak macet sudah biasa. Namun, biasanya suasana mobil Rheyner hampir tidak pernah sehening ini. Jika pulang dengan Nadira, maka akan selalu ada obrolan. Kalau pun tidak