Home / Romansa / Why Not? / 5. Perputaran Waktu

Share

5. Perputaran Waktu

Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati.

Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.

Rheyner tidak mengerti dengan sikap Nadira. Ketika mengantarkan Rheyner ke bandara Nadira jelas sudah memaafkannya, tetapi begitu Rheyner di Jepang Nadira tidak mau dihubungi. Nomor Rheyner sudah diblokir oleh Nadira. Setiap Rheyner menghubungi keluarganya atau orang tua Nadira, Nadira tidak mau bersuara. Nadira punya cara yang tepat untuk menghukum Rheyner. Rheyner baru tahu kalau cinta sepihak memang semenyiksa itu, harus rela menahan rindu sendirian.

Keluarga dan sahabat-sahabat Rheyner berbaik hati melaporkan keadaan terkini Nadira. Bima, adik pertamanya, rutin mengirimkan foto-foto Nadira tanpa Rheyner pinta. Terkadang Rheyner merasa Bima mengetahui perasaan tersembunyinya untuk Nadira. Namun, terkadang Bima juga bisa bersikap menyebalkan seolah tidak tahu-menahu. Jadi, Rheyner tidak bisa membenarkan dugaannya terhadap Bima.

Berdasarkan informasi yang didapatkannya, Rheyner tahu bahwa Nadira mulai ikut mengurus kafe milik ibunya. Selain itu, setahun ini Nadira bekerja sebagai editor lepas di sebuah penerbit independen. Penerbit tersebut dibawahi oleh penerbit mayor yang sudah memiliki nama. Kalau tidak salah ingat, penerbit tersebut adalah tempat magang Nadira.

Rheyner akhirnya bisa menyugesti diri bahwa Nadira sama sibuknya. Kalau rindunya kembali menggelegak, biasanya Rheyner akan mengirimi Nadira surel yang berisi cerita-cerita seputar kegiatannya. Memang hal itu tidak dapat menghapus kerinduannya. Akan tetapi, Rheyner merasa lega karena seperti dapat berinteraksi dengan Nadira.

“Buset, tega amat sih lo sama gue, Rhey!” Suara Rama terdengar dari ponsel Rheyner yang diloudspeaker.

Tadi Rheyner dan Rama sedang chatting membahas tentang pekerjaan sampai akhirnya Rama mengumumkan hari ujian skripsinya. Lalu Rama menghubungi Rheyner via suara. Ia meminta Rheyner untuk pulang yang otomatis tidak dikabulkan oleh Rheyner.

“Kalau lo ingat, dua kali lebaran aja gue nggak balik. Ngapain sekarang gue buang-buang duit hanya untuk datang ke sidang lo? Ini gue udah mau lulus S-2, tapi lo baru mau lulus S-1,” sahut Rheyner dengan tangan sibuk membuat rancangan 3D sebuah ruko.

“Tapi ‘kan kalau lo pulang, lo bisa kangen-kangenan sama si Degem. By the way, lo kalau nggak pulang ya udah, tapi nggak usah ngeledek gue juga! Udah syukur gue bisa lulus.”

Degem atau Dedek Gemes adalah sebutan untuk Nadira dari sahabat-sahabat Rheyner.

Rheyner menghela napas. “Benaran nggak bisa pulang, Ram. Gue lagi bantuin proyek dosen dan gue juga mau cepat-cepat sidang biar bisa lulus S-2. Sorry banget.”

“Ya udah, deh, kalau gitu. Ntar gue aja yang ngunjungin lo setelah ujian.” Rama mencoba mengerti.

Thanks. Udah dulu ya, Ram. Gue kelarin kerjaan ini dulu. Ntar gue cek kerjaan lo tadi dan gue akan kirim balik secepatnya biar klien kita puas.”

“Oke, baik-baik lo di Tokodai. Jaga kesehatan jangan kerja mulu,” pesan Rama yang hanya dibalas gumaman Rheyner sebelum sambungan diputuskan.

Rheyner mendesah lelah. Malam ini sepertinya ia tidak akan tidur. Banyak pekerjaan menumpuk. Banyak hal perlu diurus. Namun tak apa. Ia memang harus selalu sibuk demi bertahan dari serangan rindu yang tak pernah pupus.

                                      ***

Seorang pemuda berkulit medium light mengguncang bahu Rheyner yang masih terlelap. Pagi ini Rheyner ada janji temu dengan dosen pembimbingnya, tetapi ia belum bangun. Hanya tinggal setengah jam untuk menuju waktu yang dijanjikan oleh dosennya.

“Rhey, lo nggak jadi bimbingan atau gimana?”

“Hm?” gumam Rheyner masih dengan mata tertutup.

“Lo nggak jadi bimbingan?”

“Jadi.” 

“Buru bangun, udah setengah sembilan.”

Rheyner langsung terduduk. “Sial! Kenapa nggak bangunin dari tadi, Shin?”

Shinar, si pemuda berkulit medium light, hanya menggidikkan bahu. Mau memberi jawaban pun toh tidak akan didengar oleh Rheyner. Teman satu flat-nya itu sudah berlari ke kamar mandi. Shinar mengikuti jejak Rheyner keluar dari kamar. Pemuda Indonesia yang masih memiliki darah Korea tersebut berinisiatif menyiapkan sarapan untuk Rheyner.

Rheyner menghampiri Shinar lengkap dengan drafting tube 15 menit kemudian hanya untuk menyambar setangkup roti bakar. Ia tidak mandi. Waktu 5 menit untuk bersih-bersih, sisanya untuk mempersiapkan berbagai keperluan bimbingan yang belum ia bereskan tadi sebelum tidur. Semalaman ia tidak tidur. Tadi setelah menunaikan salat Subuh baru tubuhnya rebah.

“Iya sama-sama,” sindir Shinar saat Rheyner langsung berjalan ke arah pintu keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Rheyner hanya mengangkat tangan kirinya sebagai pengganti kata pamit. Kemudian kedua tangannya sibuk menalikan sepatu. Shinar hanya menggeleng melihat langkah buru-buru roommate-nya.

Satu jam kemudian.

Rheyner keluar dari ruangan dosen pembimbingnya dengan perasaan lega. Tadi adalah bimbingan terakhirnya. Ia bisa mendaftarkan diri untuk mengikuti sidang. Rasa syukur terus ia panjatkan dalam hati. Harusnya jadwal studinya 2 tahun, tetapi ia bisa menyelesaikan dengan waktu 1,5 tahun saja. Semoga saja semua berjalan sesuai dengan perhitungan dan harapannya. Membayangkan saja membuatnya senang.

Rheyner bergegas untuk mengurus pendaftaran sidang. Senyum tidak hilang dari wajahnya. Setelah selesai dengan urusan di kampus Rheyner akan pergi ke suatu tempat. Tempat di mana ia tidak akan sayang dengan seberapa uang yang dikeluarkan. Ia yakin uangnya sebanding dengan apa yang ia dapatkan nanti, tetapi tidak akan sebanding dengan hal yang sangat ia dambakan kelak.

                                   ***

Di Indonesia pada waktu yang sama.

Nadira terpaku menatap laptopnya. Ia baru saja menuntaskan lima surel yang masuk ke alamat surel pribadinya. Sudah pasti bukanlah surel perihal pekerjaan. Namun, surel-surel itu  mampu membawa lari fokusnya.

Layar laptop masih menyajikan surel terakhir. Ada sebuah foto menjadi lampiran. Nadira mengabaikan. Ia tidak ingin membukanya. Menilik foto tersebut pasti hanya akan menyuburkan rindu yang bersemayam dalam dirinya.

Nadira menghela napas. Seperti yang sudah-sudah, Nadira selalu menyesali keputusannya membaca surel-surel yang dikirim oleh orang yang sama. Efek yang ditimbulkan setiap kali selesai membaca surel dari orang itu selalu sama. Dada Nadira sesak oleh rindu yang menggelegak. Intinya, Nadira tidak pernah baik-baik saja.

Pintu ruangan Nadira diketuk. Saat ini Nadira sedang berada di kafe milik ibunya.  Ia sedang tidak ada pekerjaan di penerbit tempatnya bernaung. Naskah yang ia edit sudah selesai kemarin.

Seorang perempuan berusia lima tahun di atas Nadira masuk, tentu setelah dipersilakan. Nadira melarikan atensinya pada perempuan tersebut.

“Ada apa, Mbak Anti?” tanya Nadira.

“Dir, maaf sebelumnya. Aku boleh minta izin pulang?” Ketidaktenangan terlihat jelas dari raut wajah Anti.

“Terjadi sesuatu, Mbak?” Nadira mendekati Anti yang masih berdiri di dekat pintu.

“Tetanggaku barusan telepon, bilang kalau ibuku jatuh dan pingsan. Sekarang lagi dibawa ke rumah sakit.”

“Ya udah, Mbak Anti pulang aja. Biar diantar Pak Yadi ya?” Nadira paham benar kalau belakangan kondisi kesehatan ibunda Anti menurun.

“Nggak perlu, Mas Reno jemput kok,” kata Anti yang merujuk pada tunangannya.

“Ya udah nggak papa, Mbak. Mbak fokus ke ibunya Mbak dulu aja.”

“Tapi nanti malam ada pesanan—”

“Aku yang gantiin Mbak Anti,” potong Nadira cepat. Anti merupakan koki utama di kafe milik ibu Nadira.

Anti memandang Nadira lama. Bukan karena ragu dengan kemampuan memasak Nadira, tetapi merasa tidak enak dengan anak bosnya itu. Nanti malam ada yang ingin merayakan ulang tahun di rooftop kafe. Memang bukan acara besar, tetapi tetap saja dapur akan sangat repot mempersiapkan makanan.

"Benaran nggak papa, Mbak." Nadira meyakinkan Anti. Akhirnya Anti mengangguk dan segera pamit.

Nadira kembali menghampiri meja. Hal yang tadi sempat teralihkan dengan kedatangan Anti kini ia hadapi lagi. Namun, kali ini ia tidak ingin larut pada rasa apa pun yang timbul akibat surel dari … Rheyner Aditya Effendi.

Nadira segera menekan ikon keluar pada laman surel. Laptop pun dimatikan secepat yang Nadira mampu. Sekarang bukan saatnya meratapi rindu. Rindu yang ia rasa toh hasil perbuatannya sendiri. Ia yang sengaja memutus komunikasi dengan Rheyner. Bukan salah Rheyner kalau kerap mengiriminya surel.

Nadira berjanji pada dirinya sendiri bahwa tadi adalah terakhir kali ia membaca surel Rheyner. Ia ingin mematuhi aturan bodoh yang ia buat—dengan alasan entah apa, yaitu memutus komunikasi dengan Rheyner. Nadira ingin fokus dengan berbagai kegiatan yang ada di depan matanya saja. Sembari berharap semua kesibukan itu mampu memangkas waktu. Hingga tiba saatnya ‘kakak lelakinya’ pulang.

                                     ***

Ikuti terus kelanjutan kisah Rheyner dan Nadira, ya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status