Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati.
Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.
Rheyner tidak mengerti dengan sikap Nadira. Ketika mengantarkan Rheyner ke bandara Nadira jelas sudah memaafkannya, tetapi begitu Rheyner di Jepang Nadira tidak mau dihubungi. Nomor Rheyner sudah diblokir oleh Nadira. Setiap Rheyner menghubungi keluarganya atau orang tua Nadira, Nadira tidak mau bersuara. Nadira punya cara yang tepat untuk menghukum Rheyner. Rheyner baru tahu kalau cinta sepihak memang semenyiksa itu, harus rela menahan rindu sendirian.
Keluarga dan sahabat-sahabat Rheyner berbaik hati melaporkan keadaan terkini Nadira. Bima, adik pertamanya, rutin mengirimkan foto-foto Nadira tanpa Rheyner pinta. Terkadang Rheyner merasa Bima mengetahui perasaan tersembunyinya untuk Nadira. Namun, terkadang Bima juga bisa bersikap menyebalkan seolah tidak tahu-menahu. Jadi, Rheyner tidak bisa membenarkan dugaannya terhadap Bima.
Berdasarkan informasi yang didapatkannya, Rheyner tahu bahwa Nadira mulai ikut mengurus kafe milik ibunya. Selain itu, setahun ini Nadira bekerja sebagai editor lepas di sebuah penerbit independen. Penerbit tersebut dibawahi oleh penerbit mayor yang sudah memiliki nama. Kalau tidak salah ingat, penerbit tersebut adalah tempat magang Nadira.
Rheyner akhirnya bisa menyugesti diri bahwa Nadira sama sibuknya. Kalau rindunya kembali menggelegak, biasanya Rheyner akan mengirimi Nadira surel yang berisi cerita-cerita seputar kegiatannya. Memang hal itu tidak dapat menghapus kerinduannya. Akan tetapi, Rheyner merasa lega karena seperti dapat berinteraksi dengan Nadira.
“Buset, tega amat sih lo sama gue, Rhey!” Suara Rama terdengar dari ponsel Rheyner yang diloudspeaker.
Tadi Rheyner dan Rama sedang chatting membahas tentang pekerjaan sampai akhirnya Rama mengumumkan hari ujian skripsinya. Lalu Rama menghubungi Rheyner via suara. Ia meminta Rheyner untuk pulang yang otomatis tidak dikabulkan oleh Rheyner.
“Kalau lo ingat, dua kali lebaran aja gue nggak balik. Ngapain sekarang gue buang-buang duit hanya untuk datang ke sidang lo? Ini gue udah mau lulus S-2, tapi lo baru mau lulus S-1,” sahut Rheyner dengan tangan sibuk membuat rancangan 3D sebuah ruko.
“Tapi ‘kan kalau lo pulang, lo bisa kangen-kangenan sama si Degem. By the way, lo kalau nggak pulang ya udah, tapi nggak usah ngeledek gue juga! Udah syukur gue bisa lulus.”
Degem atau Dedek Gemes adalah sebutan untuk Nadira dari sahabat-sahabat Rheyner.
Rheyner menghela napas. “Benaran nggak bisa pulang, Ram. Gue lagi bantuin proyek dosen dan gue juga mau cepat-cepat sidang biar bisa lulus S-2. Sorry banget.”
“Ya udah, deh, kalau gitu. Ntar gue aja yang ngunjungin lo setelah ujian.” Rama mencoba mengerti.
“Thanks. Udah dulu ya, Ram. Gue kelarin kerjaan ini dulu. Ntar gue cek kerjaan lo tadi dan gue akan kirim balik secepatnya biar klien kita puas.”
“Oke, baik-baik lo di Tokodai. Jaga kesehatan jangan kerja mulu,” pesan Rama yang hanya dibalas gumaman Rheyner sebelum sambungan diputuskan.
Rheyner mendesah lelah. Malam ini sepertinya ia tidak akan tidur. Banyak pekerjaan menumpuk. Banyak hal perlu diurus. Namun tak apa. Ia memang harus selalu sibuk demi bertahan dari serangan rindu yang tak pernah pupus.
***
Seorang pemuda berkulit medium light mengguncang bahu Rheyner yang masih terlelap. Pagi ini Rheyner ada janji temu dengan dosen pembimbingnya, tetapi ia belum bangun. Hanya tinggal setengah jam untuk menuju waktu yang dijanjikan oleh dosennya.
“Rhey, lo nggak jadi bimbingan atau gimana?”
“Hm?” gumam Rheyner masih dengan mata tertutup.
“Lo nggak jadi bimbingan?”
“Jadi.”
“Buru bangun, udah setengah sembilan.”
Rheyner langsung terduduk. “Sial! Kenapa nggak bangunin dari tadi, Shin?”
Shinar, si pemuda berkulit medium light, hanya menggidikkan bahu. Mau memberi jawaban pun toh tidak akan didengar oleh Rheyner. Teman satu flat-nya itu sudah berlari ke kamar mandi. Shinar mengikuti jejak Rheyner keluar dari kamar. Pemuda Indonesia yang masih memiliki darah Korea tersebut berinisiatif menyiapkan sarapan untuk Rheyner.
Rheyner menghampiri Shinar lengkap dengan drafting tube 15 menit kemudian hanya untuk menyambar setangkup roti bakar. Ia tidak mandi. Waktu 5 menit untuk bersih-bersih, sisanya untuk mempersiapkan berbagai keperluan bimbingan yang belum ia bereskan tadi sebelum tidur. Semalaman ia tidak tidur. Tadi setelah menunaikan salat Subuh baru tubuhnya rebah.
“Iya sama-sama,” sindir Shinar saat Rheyner langsung berjalan ke arah pintu keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Rheyner hanya mengangkat tangan kirinya sebagai pengganti kata pamit. Kemudian kedua tangannya sibuk menalikan sepatu. Shinar hanya menggeleng melihat langkah buru-buru roommate-nya.
Satu jam kemudian.
Rheyner keluar dari ruangan dosen pembimbingnya dengan perasaan lega. Tadi adalah bimbingan terakhirnya. Ia bisa mendaftarkan diri untuk mengikuti sidang. Rasa syukur terus ia panjatkan dalam hati. Harusnya jadwal studinya 2 tahun, tetapi ia bisa menyelesaikan dengan waktu 1,5 tahun saja. Semoga saja semua berjalan sesuai dengan perhitungan dan harapannya. Membayangkan saja membuatnya senang.
Rheyner bergegas untuk mengurus pendaftaran sidang. Senyum tidak hilang dari wajahnya. Setelah selesai dengan urusan di kampus Rheyner akan pergi ke suatu tempat. Tempat di mana ia tidak akan sayang dengan seberapa uang yang dikeluarkan. Ia yakin uangnya sebanding dengan apa yang ia dapatkan nanti, tetapi tidak akan sebanding dengan hal yang sangat ia dambakan kelak.
***
Di Indonesia pada waktu yang sama.
Nadira terpaku menatap laptopnya. Ia baru saja menuntaskan lima surel yang masuk ke alamat surel pribadinya. Sudah pasti bukanlah surel perihal pekerjaan. Namun, surel-surel itu mampu membawa lari fokusnya.
Layar laptop masih menyajikan surel terakhir. Ada sebuah foto menjadi lampiran. Nadira mengabaikan. Ia tidak ingin membukanya. Menilik foto tersebut pasti hanya akan menyuburkan rindu yang bersemayam dalam dirinya.
Nadira menghela napas. Seperti yang sudah-sudah, Nadira selalu menyesali keputusannya membaca surel-surel yang dikirim oleh orang yang sama. Efek yang ditimbulkan setiap kali selesai membaca surel dari orang itu selalu sama. Dada Nadira sesak oleh rindu yang menggelegak. Intinya, Nadira tidak pernah baik-baik saja.
Pintu ruangan Nadira diketuk. Saat ini Nadira sedang berada di kafe milik ibunya. Ia sedang tidak ada pekerjaan di penerbit tempatnya bernaung. Naskah yang ia edit sudah selesai kemarin.
Seorang perempuan berusia lima tahun di atas Nadira masuk, tentu setelah dipersilakan. Nadira melarikan atensinya pada perempuan tersebut.
“Ada apa, Mbak Anti?” tanya Nadira.
“Dir, maaf sebelumnya. Aku boleh minta izin pulang?” Ketidaktenangan terlihat jelas dari raut wajah Anti.
“Terjadi sesuatu, Mbak?” Nadira mendekati Anti yang masih berdiri di dekat pintu.
“Tetanggaku barusan telepon, bilang kalau ibuku jatuh dan pingsan. Sekarang lagi dibawa ke rumah sakit.”
“Ya udah, Mbak Anti pulang aja. Biar diantar Pak Yadi ya?” Nadira paham benar kalau belakangan kondisi kesehatan ibunda Anti menurun.
“Nggak perlu, Mas Reno jemput kok,” kata Anti yang merujuk pada tunangannya.
“Ya udah nggak papa, Mbak. Mbak fokus ke ibunya Mbak dulu aja.”
“Tapi nanti malam ada pesanan—”
“Aku yang gantiin Mbak Anti,” potong Nadira cepat. Anti merupakan koki utama di kafe milik ibu Nadira.
Anti memandang Nadira lama. Bukan karena ragu dengan kemampuan memasak Nadira, tetapi merasa tidak enak dengan anak bosnya itu. Nanti malam ada yang ingin merayakan ulang tahun di rooftop kafe. Memang bukan acara besar, tetapi tetap saja dapur akan sangat repot mempersiapkan makanan.
"Benaran nggak papa, Mbak." Nadira meyakinkan Anti. Akhirnya Anti mengangguk dan segera pamit.
Nadira kembali menghampiri meja. Hal yang tadi sempat teralihkan dengan kedatangan Anti kini ia hadapi lagi. Namun, kali ini ia tidak ingin larut pada rasa apa pun yang timbul akibat surel dari … Rheyner Aditya Effendi.
Nadira segera menekan ikon keluar pada laman surel. Laptop pun dimatikan secepat yang Nadira mampu. Sekarang bukan saatnya meratapi rindu. Rindu yang ia rasa toh hasil perbuatannya sendiri. Ia yang sengaja memutus komunikasi dengan Rheyner. Bukan salah Rheyner kalau kerap mengiriminya surel.
Nadira berjanji pada dirinya sendiri bahwa tadi adalah terakhir kali ia membaca surel Rheyner. Ia ingin mematuhi aturan bodoh yang ia buat—dengan alasan entah apa, yaitu memutus komunikasi dengan Rheyner. Nadira ingin fokus dengan berbagai kegiatan yang ada di depan matanya saja. Sembari berharap semua kesibukan itu mampu memangkas waktu. Hingga tiba saatnya ‘kakak lelakinya’ pulang.
***
Ikuti terus kelanjutan kisah Rheyner dan Nadira, ya.
Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungki
Subuh tadi turun hujan. Tidak lama, tetapi meninggalkan mendung berkepanjangan. Rheyner baru saja mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Sedikit aneh bagi Rheyner karena adiknya sudah duduk di kelas 7 dan sebentar lagi naik ke kelas 8. Padahal rasanya baru kemarin Rheyner mengantarkannya ke sekolah dasar. Time flies. Mungkin setelah ini Fian tidak akan mau diantar-jemput.Rheyner memasuki rumah Nadira dengan senyum cerah. Senyumnya kontras sekali dengan cuaca pagi ini. Rheyner melihat Rendra membaca koran di ruang keluarga ditemani Dewi. Rheyner menyapa keduanya.“Mau ibu bikinin kopi, Nak?” tawar Dewi.“Nggak usah, Bu. Tadi udah ngopi. Lagian nanti kalau mau Rhey bikin sendiri. Kayak siapa aja sih, Bu, segala d
Rheyner tersentak. Tiba-tiba ingatannya pulih. Tadi bukankah ia akan menemui Nadira? Rheyner pun segera mematikan laptop. Ia segera keluar dari kamar. Memang begitu makan malam usai Rheyner langsung masuk ke kamar. Sesampainya di anak tangga terakhir Rheyner berpapasan dengan Shinta. Rheyner hanya berpamitan pada Shinta. Ia abaikan papa dan kedua adiknya yang masih di ruang keluarga.Anak sulung dari pemilik perusahaan properti cukup ternama tersebut berlari kecil menuju rumah di seberang jalan. Rheyner mengetuk pintu utama rumah sekali sebelum mendorong pintu itu agar terbuka. Ia ulukkan salam sembari melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Terdengar jawaban salam dari ruang keluarga. Rheyner percepat langkahnya ke sana.“Rhey, ada apa?” tanya Rendra yang sedang menonton berita di salah satu televisi swasta.
“Kenapa cepat banget, sih.”Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”“Enggak apa-apa, Rheyn.”“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.“Yakin,” tegas Rheyner.
Kaki berbalut flatshoes berwarna abu-abu dengan bahan beludru melangkah santai di sepanjang selasar mal. Ponsel layar sentuh keluaran terbaru menempel di telinga. Lipstick waterproof berwarna coral menghiasi bibir yang terus melengkung penuh senyum. “Aku cuma pengin jalan-jalan sendiri aja. Lagian kalau aku kelamaan jalan sama teman cowokku kamu ngomel terus. Jadi, mending sendirian.” “Masalahnya, gue ‘kan enggak kenal sama mereka. Kalau mereka bukan cowok baik-baik gimana?” “Alah, kamunya aja yang lebay. Tempo hari aku jalan sama teman kuliahku yang udah dikenal Bima aja kamu tetap ngomel. Pada
Hari ini adalah hari kelulusan S-2 Nadira. Nadira tidak menyangka bisa lulus sedikit lebih cepat. Padahal dia kuliah sambil bekerja. Perempuan muda itu sudah bersiap ke kampus. Ia sudah dirias sedemikian rupa oleh sang ibu dan mama Rheyner. Kebaya berwarna lavender membalut tubuhnya dengan apik. Penampilannya amat cantik. Bahkan menurutnya, lebih cantik dibanding saat kelulusan S-1. Nadira dan orang tuanya berangkat ke kampus lebih dulu. Sementara orang tua Rheyner akan menyusul nanti kendati mereka sudah terlihat rapi. Biar bagaimanapun yang bisa masuk ke hall hanya orang tua Nadira saja. Jadi, mereka akan datang saat wisuda selesai. Selama perjalanan menuju kampus, Nadira diliputi kesedihan alih-alih kebahagiaan. Rasa sedihnya dilatari tidak hadirnya Rheyner di hari kelulusannya. Padahal Rheyner sudah tidak datang di kelulusan pertamanya, kelulusan S-1. Nadira ingin setidaknya satu kali Rheyner ada di dua momen bersejarahnya tersebut. Seperti dirinya yang juga ada di salah satu kel
“Jadi, kapan kamu pulang?” tanya Nadira lagi saat memasuki mobil.“Kemarin sore,” jawab Rheyner santai.“Kemarin sore?! Kok aku nggak tahu?” cecar Nadira.Rheyner mengedikkan bahu.“Hih!” Nadira melayangkan tabokan ke lengan Rheyner yang memegang setir.“Jangan bar-bar ngapa, Nad!” Rheyner mendelik sekilas.“Ya, kamunya nyebelin. Senang banget ngerjain aku,” rajuk Nadira. Tangannya bersidekap dengan pandangan lurus.“Kok disebut ngerjain, sih? Ini gue ngasih kejutan manis di hari kelulusan lo, lho.” Rheyner membela diri.“Dih, kejutan manis.” Nadira mencibir. Kepalanya menoleh ke luar jendela.Rheyner balas berdecih. Pria itu tahu kalau Nadira hanya berpura-pura. Aslinya Nadira sangat senang dengan kehadiran Rheyner. Terbukti dengan wajah Nadira yang berseri dan sering kali memeluk bunga pemberian pria itu. Bahkan bunga pemberian pria yang hadir sebelum Rheyner sekarang sudah entah ke mana, tergantikan oleh bunga dari Rheyner.Perjalanan yang masih lumayan jauh itu tidak lagi diselimu
Alur waktunya banyak yang dipercepat. Buat yang bingung silakan baca dari depan dengan teliti.***Satu tahun kemudian.Sejak kembali ke Tanah Air, Rheyner sudah langsung disibukkan dengan pekerjaan. Usaha yang dibangun bersama Panji sejak memasuki bangku kuliah memang maju pesat. Di awal membangun usaha mereka hanya menyewa ruko kecil 3 lantai sebagai kantor. Sekarang ini mereka sudah memiliki bangunan kantor sendiri. Bangunan 3 lantai yang jelas lebih luas ketimbang ruko 3 lantai yang dulu mereka sewa.Awalnya hanya mereka berdua, lalu ada enam orang yang bekerja bersama mereka. Sekarang konsultan arsitektur yang diberi nama PRArch ini sudah memiliki beberapa divisi. PRArch sudah bekerja dengan sangat terstruktur. Klien yang datang pun sudah bukan atas nama perseorangan lagi, melainkan atas nama instansi. Entah itu instansi swasta maupun pemerintah.Kesuksesan usaha Rheyner dan Panji tersebut jelas tidak instan. Ada banyak hal yang harus dikorbankan. Tidak hanya dari segi materi. Kl