Keluarga Rheyner dan Nadira kembali ke rumah setelah acara wisuda di kampus Rheyner berakhir. Rheyner sempat berkumpul dengan teman-teman akrabnya sebentar sebelum ikut pulang. Keluarga Rheyner dan Nadira akan melakukan foto keluarga di rumah. Tentu saja Bima—adik pertama Rheyner—yang akan menjadi fotografernya. Setelah foto bersama mereka akan syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kelulusan Rheyner.
Hari ini sebenarnya bukan hari libur untuk anak sekolah, tetapi Adiguna Effendi mengizinkan Bima dan Fian untuk membolos. Rendra—ayah Nadira—pun mengambil jatah liburnya dua hari lebih cepat demi bisa menghadiri kelulusan Rheyner.
Foto resmi dilakukan di dalam rumah. Bima dan Shinta Effendi sudah menata sedemikian rupa kemarin. Latar foto terlihat sama seperti di studio. Hasil foto pun tak perlu diragukan mengingat peralatan fotografi Bima tergolong lengkap. Namun, semahal, selengkap, dan secanggih apa pun alatnya tentu tidak berarti jika pengoperasinya tidak memiliki kemampuan apik saat menggunakan. Bidikan Bima memang juara.
Usai melakukan foto di dalam rumah, semua beralih ke taman belakang. Di sana mereka bisa berfoto dengan gaya bebas. Tentu yang terlihat banyak gaya adalah yang muda. Para orang tua lebih memilih bersantai dengan kudapan dan minuman segar di tangan. Meski sesekali Bima tetap mengarahkan lensa ke arah mereka.
“Bim, foto gue sama Dira coba,” teriak Rheyner mengembalikan fokus Bima untuk kembali ke arahnya.
Benar saja. Bima segera membidikkan lensa pada Rheyner yang sedang merangkul bahu Nadira. Fyi, Rheyner masih mengenakan toga kebanggannya. Sudut bibir Bima terangkat melihat Nadira yang menyelubungi tubuh Rheyner dengan tautan tangan dari balik lensa. Kedua kakaknya terlihat serasi. Kebersamaan Rheyner dan Nadira adalah salah satu objek favorit Bima dari dulu ketika ia baru bisa memotret hingga kini. Beberapa kali Rheyner dan Nadira berganti gaya, sesekali mengajak Fian masuk frame.
“Puas-puasin fotonya sebelum Rheyner copot baju toganya. Kalau selesai langsung makan, ya.” Shinta menghampiri anak-anaknya. Rupanya hanya tersisa Shinta di taman. Adi dan orang tua Nadira sudah tidak ada.
“Aku udah capek,” keluh Fian.
“Ganti baju sana, Dek, terus makan. Setelah makan nanti bantuin Mama.” Shinta menggiring Fian masuk setelah menitahkan hal yang sama pada Rheyner, Nadira, dan Bima.
“Masih mau foto lagi nggak, Mas?” tanya Bima.
“Eh, sini gantian kamu yang foto sama Mas Rheyner, Dek,” kata Nadira. “Mbak yang foto, tapi hasilnya seadanya ya.”
Bima menyerahkan kameranya pada Nadira. Rheyner langsung merangkul Bima yang tingginya hampir setara dengannya. Kedua pemuda itu menatap kamera dengan wajah berbinar. Keduanya berfoto bersama dengan bermacam gaya bahkan ada pose Rheyner menggendong Bima.
“Udah, Mbak, bosen.” Bima kembali meminta kameranya.
“Aku mau foto sekali lagi. Mau digendong kayak Bima tadi dong, Rheyn,” pinta Nadira antusias.
“Buset, dah! Patah pinggang gue, Nad,” keluh Rheyner berlebihan. “Lagian lo pakai rok gitu masa mau digendong kayak Bima.”
“Yaaah!” Nadira kecewa dengan penampilannya sendiri. Padahal sudah lama ia tidak digendong Rheyner seperti waktu kecil dulu.
“Ya udah sini.” Rheyner memakaikan topi toganya pada Nadira lalu tanpa aba-aba Rheyner mengangkat tubuh gadis itu. Nadira terpekik, tangannya refleks melingkari leher Rheyner. Rheyner membopong Nadira bukan menggendongnya di punggung seperti pada Bima tadi. Bima sang juru foto langsung menjepret keduanya tanpa dikomando oleh Rheyner.
“Foto paling keren nih,” puji Bima. Senyum puas menghiasi raut remaja tersebut.
“Udah, ya, capek benar gue.” Rheyner menurunkan Nadira.
“Makasih, ya.” Nadira mengusap peluh di kening Rheyner. Keduanya bertatapan dan saling melempar senyum. Bima bergegas pergi begitu melihat aksi kedua kakaknya. Bima malas jadi obat nyamuk. Lagi pula ia juga sudah lapar.
“Yuk, masuk. Kamu tadi nggak sempat sarapan juga ‘kan?”
Rheyner mengambil kesempatan untuk menggandeng Nadira. “Iya. Ayo, masuk.”
Nadira mengikuti langkah Rheyner yang menuntunnya masuk ke rumah Rheyner. Tatapan Nadira terarah pada tautan tangannya dan Rheyner. Ia sadar itu sedikit janggal, tetapi enggan melepaskan. Kadang Nadira diliputi beragam perasaan asing saat bersama Rheyner. Nadira benar-benar tidak paham dengan apa yang ia rasakan. Nadira hanya tahu bahwa itu mendebarkan sekaligus membuat nyaman.
***
Rheyner bergeming. Bagaimana tidak, Panji baru saja memberi tahu bahwa dia akan meneruskan S2 di Jepang. Lalu setelahnya Panji memberitahukan bahwa akan melamar Putri terlebih dahulu. Bagaimana bisa Panji memiliki pikiran seperti itu. Rheyner tidak menyangka Panji sudah seserius itu memandang hubungannya.
Memang Panji dan Putri telah menjalin kasih hampir 5 tahun. Hanya saja berita barusan di luar ekspektasi Rheyner. Bukan ia meragukan Panji, ia justru kagum dengan Panji. Panji sudah seberani itu. Rheyner tahu Panji orangnya slengekan, tetapi ia juga tahu Panji tidak pernah main-main jika menyangkut sesuatu yang dianggapnya serius.
Berita yang barusan ia dengar membuat Rheyner merasa keberaniannya terpecut. Kalau Panji bisa lantas kenapa dari kemarin ia masih saja menjadi pengecut? Rheyner membulatkan tekad, ia takkan menunda sesuatu yang ingin dia lakukan. Apalagi, sebentar lagi ia juga akan kuliah di Jepang.
Baru saja Rheyner bersiap keluar kamar ketika lagi-lagi ponselnya berdering. Nama pembimbingnya terpampang di layar. Rheyner segera menerima panggilan tersebut.
“Kamu sudah membuka pengumuman beasiswa S-2?” tanya pembimbingnya setelah keduanya berbasa-basi.
Rheyner mengernyit. “Belum, Prof.”
“Pantas saja kamu belum tahu. Segera lihat lalu bergegas untuk pergi.”
Kernyitan Rheyner semakin dalam. Seingatnya pengumuman tahap pertama masih tiga hari lagi. Namun, tak urung Rheyner mengiakan.
Begitu sambungan telepon terputus, Rheyner duduk di depan laptopnya. Ia membuka email terlebih dahulu. Ada beberapa email baru yang belum ia buka. Seminggu ini memang ia sama sekali tidak membuka email maupun mengurus pekerjaan. Dua email di antaranya adalah email dari kampus terkait beasiswa S-2. Satu email berisi pemberitahuan pergantian tanggal pengumumuan tahap pertama dan satunya lagi berisi pemberitahuan bahwa Rheyner lolos pada tahap pertama. Pada pemberitahuan yang kedua Rheyner diminta ke kampus sesuai tanggal yang tertera untuk ujian tahap kedua. Tanggal yang tertera adalah dua minggu dari sekarang.
Rheyner senang bukan main. Meskipun belum sepenuhnya lolos mendapatkan beasiswa, tetapi membuat Rheyner semakin optimis. Rheyner menggeser tatapannya pada sebuah figura foto baru yang terletak di meja belajar. Ada potret Rheyner mengenakan toga yang diapit oleh keluarganya dan keluarga Nadira. Rheyner sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membanggakan mereka. Mereka adalah alasannya untuk sukses. Rheyner merasa jalannya menuju kesuksesan semakin lebar.
***
Temans Dera, kalau ada yang bingung gitu komen aja, ya~
Suara gemuruh hujan masih menyambangi gendang telinga Nadira. Ia mengangkat nampan yang berisi 8 cangkir teh panas menuju ruang keluarga di vila keluarga Rheyner. Keluarganya dan keluarga Rheyner baru saja tiba sebelum hujan deras mengguyur daerah puncak. Sebenarnya Nadira heran karena mereka tiba-tiba saja pergi berlibur, padahal bukan musim liburan dan tidak sedang dalam perayaan apa pun. Wisuda Rheyner sudah sebulan berlalu, lagi pula sudah dirayakan di rumah.Ketika Nadira masuk ke ruang keluarga, atmosfir di sana terasa berbeda dengan sebelum ia ke dapur. Orang tua Rheyner masih belum ada di sana. Namun, tadi Nadira samar-samar mendengar perbincangan yang berakhir begitu ia sampai. Semua bungkam, keadaan senyap. Tanda tanya di benak Nadira semakin besar.“Kok tiba-tiba pada diam sih?” Nadira meletakkan nampan di atas meja dan langsung menurunka
Setelah mengantar Rheyner ke bandara, Nadira segera memblokir semua kontak Rheyner. Ia takut tiba-tiba menghubungi Rheyner dan meminta pemuda itu pulang. Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan. Nadira belum tahu rasanya berjauhan lama dengan Rheyner.Nadira menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mata agar tidak terjatuh. Sejak dulu memang dia cenderung cengeng. Namun, kali ini Nadira mencoba untuk tegar. Tidak ada Rheyner yang menghiburnya. Lagi pula Nadira juga tidak pantas menangisi kepergian Rheyner. Rheyner pergi untuk mengejar cita-citanya. Apa haknya melarang Rhyener? Bukankah ini waktu yang pas untuk belajar hidup mandiri tanpa Rheyner?Nadira menghela napas. Dia yakin akan melewati hari-hari yang akan datang dengan lebih ceria. Mungkin sebaiknya mulai besok ia menyibukkan diri agar tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan Rheyner.
Waktu melakukan tugasnya dengan baik. Selalu berputar, tetapi tak mengizinkan pengulangan keadaan. Secara tidak langsung manusia dituntut menerima dan mengikuti ritmenya. Bagi Rheyner pergerakan waktu terasa sangat lambat. Banyak hal yang telah ia lakukan, tetapi ia merasa belum banyak hari terlampaui. Padahal kenyataannya sudah 1,5 tahun terlewati. Waktu 1,5 tahun ini adalah saat-saat terberat bagi Rheyner. Ia berada jauh dari keluarga, dari sahabat-sahabatnya, dan terutama dari gadis yang disayanginya. Rheyner juga harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Enam bulan pertama ia harus belajar bahasa Jepang—meski kuliahnya menggunakan bahasa Inggris, mengejar ketertinggalan materi, menyamakan ritme belajar, dan masih banyak hal yang harus ia sesuaikan. Namun, Rheyner mencoba untuk menikmati semua itu. Terlebih berkat semua kesibukan tersebut bisa membuat Rheyner abai dengan rindu yang mendera.
Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Rheyner. Dua hari yang lalu ia baru saja sidang untuk gelar S-2-nya di Tokyo Institute of Technology atau sering disebut Tokodai. Rencananya, dua minggu lagi Rheyner akan pulang ke Indonesia.Rheyner membuka website pembelian tiket pesawat via online. Selesai melakukan transaksi, Rheyner keluar dari kamar untuk mencari makanan. Shinar sedang kuliah sehingga Rheyner berada di apartemen sendiri.Ponsel di atas meja makan berbunyi secara beruntun menandakan banyak pesan masuk. Rheyner terus mengunyah makanannya sembari menunggu nada pesan berhenti berbunyi. Sekon kelima belas barulah ponselnya senyap. Namun, Rheyner belum kunjung menyentuh. Mungki
Subuh tadi turun hujan. Tidak lama, tetapi meninggalkan mendung berkepanjangan. Rheyner baru saja mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Sedikit aneh bagi Rheyner karena adiknya sudah duduk di kelas 7 dan sebentar lagi naik ke kelas 8. Padahal rasanya baru kemarin Rheyner mengantarkannya ke sekolah dasar. Time flies. Mungkin setelah ini Fian tidak akan mau diantar-jemput.Rheyner memasuki rumah Nadira dengan senyum cerah. Senyumnya kontras sekali dengan cuaca pagi ini. Rheyner melihat Rendra membaca koran di ruang keluarga ditemani Dewi. Rheyner menyapa keduanya.“Mau ibu bikinin kopi, Nak?” tawar Dewi.“Nggak usah, Bu. Tadi udah ngopi. Lagian nanti kalau mau Rhey bikin sendiri. Kayak siapa aja sih, Bu, segala d
Rheyner tersentak. Tiba-tiba ingatannya pulih. Tadi bukankah ia akan menemui Nadira? Rheyner pun segera mematikan laptop. Ia segera keluar dari kamar. Memang begitu makan malam usai Rheyner langsung masuk ke kamar. Sesampainya di anak tangga terakhir Rheyner berpapasan dengan Shinta. Rheyner hanya berpamitan pada Shinta. Ia abaikan papa dan kedua adiknya yang masih di ruang keluarga.Anak sulung dari pemilik perusahaan properti cukup ternama tersebut berlari kecil menuju rumah di seberang jalan. Rheyner mengetuk pintu utama rumah sekali sebelum mendorong pintu itu agar terbuka. Ia ulukkan salam sembari melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Terdengar jawaban salam dari ruang keluarga. Rheyner percepat langkahnya ke sana.“Rhey, ada apa?” tanya Rendra yang sedang menonton berita di salah satu televisi swasta.
“Kenapa cepat banget, sih.”Itu adalah keluhan yang entah sudah berapa kali Nadira lontarkan. Rheyner hanya akan mengusap kepala Nadira sebagai balasan. Sesungguhnya itu juga menjadi keluhan Rheyner.“Kamu benaran cuma mau dibawain kue satu jenis aja?” tanya Nadira yang sibuk memasukkan nastar ke stoples berukuran lumayan besar.“Hm. Nanti lo repot bikinnya kalau banyak-banyak.”“Enggak apa-apa, Rheyn.”“Udah segitu aja.” Dagu Rheyner menunjuk stoples di tangan Nadira.“Yakin cuma satu stoples? Enggak kurang?” tanya Nadira lagi.“Yakin,” tegas Rheyner.
Kaki berbalut flatshoes berwarna abu-abu dengan bahan beludru melangkah santai di sepanjang selasar mal. Ponsel layar sentuh keluaran terbaru menempel di telinga. Lipstick waterproof berwarna coral menghiasi bibir yang terus melengkung penuh senyum. “Aku cuma pengin jalan-jalan sendiri aja. Lagian kalau aku kelamaan jalan sama teman cowokku kamu ngomel terus. Jadi, mending sendirian.” “Masalahnya, gue ‘kan enggak kenal sama mereka. Kalau mereka bukan cowok baik-baik gimana?” “Alah, kamunya aja yang lebay. Tempo hari aku jalan sama teman kuliahku yang udah dikenal Bima aja kamu tetap ngomel. Pada