Home / Romansa / When I Was Blind / Prolog dan Bab 1

Share

When I Was Blind
When I Was Blind
Author: Peri Manta

Prolog dan Bab 1

Prolog

Ketika air langit jatuh, sudah pasti bumi akan basah. Entah gerimis, hujan petir, ataupun hujan es ... nyatanya aroma petrichor menandakan bahwa titik-titik air dari mega mendung itu telah mengecup tanah. Sama seperti satu alasan yang membuat aku buta sewaktu kecil. Entah itu alasan kecil, sedang, besar ....

Sewaktu kecil aku buta. Anggap saja seperti itu. Aku tidak bisa melihat warna sinar matahari yang beralih dari oranye, kuning, merah, kemudian berubah gelap karena ditelan batas pandangan. Juga tidak bisa kulihat air yang semula berwarna bening menjadi biru kehijauan sehingga dinamakan laut. Di tepinya pun adalah pantai dengan butir-butir pasir beraneka warna, berbeda-beda di setiap bibirnya. Katanya.

Anggap saja aku buta, tidak pasti kapan awalnya, juga tidak pasti kapan berakhirnya. Setiap kali Mbah Uti mengatakan bahwa aku sakit mata, maka detik itu pandanganku memburam dan berangsur tidak bisa melihat apa-apa. Mbah Uti biasanya mengatakan itu saat aku jatuh ketika berlari kencang, gagal mengantar pesanan kue buatannya ke alamat yang tepat, atau saat peringkat di raporku adalah terbaik ketiga dari bawah, tepatnya dari dua puluh lima siswa.

“Memangnya tidak lihat di jalan ada apa saja? Lubang, kerikil, tanjakan. Itu bisa dilihat dengan mata, kecuali kalau kamu buta.”

Itu salah satu perkataan Mbah Uti yang dia katakan dengan nada lembut. Namun, tatapan matanya fokus mengarah ke gambar motif bunga yang terarsir di sebentang kain taplak meja. Lekat dia mengamati, lalu mulai menusukkan jarum dengan pola keluar masuk hingga muncul sulaman satu kelopak bunga.

Aku masih mendengarkan kalimatnya, sampai tiba-tiba aku menjadi buta. Pandanganku memburam lalu berangsur gelap. Gambaran ubin dingin kotak-kotak abu-abu yang tadi masih tertangkap mata, mendadak hilang dari pandangan. Jika sudah begitu, seperti sebelum-sebelumnya, aku akan masuk ke kamar dan menangis sendirian.

“Mbah tulis di catatan tadi, alamat pemesan kuenya nomer tiga belas. Kamu antar ke nomer berapa?” tanya Mbah Uti pada lain kesempatan.

“Delapan belas, Mbah.”

“Apa kamu sakit mata? Kalau iya, Mbah Uti bawa ke puskesmas besok. Ada banyak obat mata gratis di sana. Mau?”

Mbah Uti mengatakan hal itu saat aku keliru mengantarkan pesanan kue orang. Aku juga tidak paham, kenapa susah sekali membedakan antara angka delapan dan tiga. Mungkin benar kata Mbah Uti, mataku sakit.

Aku mendengkus, bersamaan dengan menggelapnya pandangan, seperti biasanya lepas Mbah Uti bicara. Padahal Mbah Uti tidak memarahiku, malahan perhatiannya berlebih-lebih.

Dasarnya sewaktu kecil aku buta, tidak bisa melihat dunia seperti manusia normal—yang melihat langit gelap bertabur bintang seumpama permadani memikat, yang menafsirkan warna-warna bunga sebagai terapi ketenangan hati, yang merefleksikan gambar merah hati sebagai tanda cinta. Aku buta, entah sejak kapan dan kapan akan berakhir.

“Aku sudah berusaha, Mbah. Sehabis membantu Mbah bikin adonan setiap malam, aku masih belajar, kok. Aku menghitung, aku menghafal, aku juga mengulangi bacaan,” kataku sepulang dari acara pengambilan rapor kenaikan kelas lima, pada lain kesempatan pula.

“Terus, kenapa kamu bisa tidak naik kelas? Jangan bilang obat tetes mata dari puskesmas tidak manjur. Apa Mbah Uti perlu membawamu ke rumah sakit, Nduk?”

“Kenapa harus ke sana?”

“Biar mata kamu sembuh.”

Aku bergeming, menyadari semakin Mbah Uti berbicara, maka semakin gelap penglihatanku. Suara Mbah Uti semakin keras hingga bergema di kepala. Akan tetapi, aku mulai tidak tahu apa yang dia lakukan sekarang. Apa sulamannya sudah selesai satu motif bunga? Apa di sudah mulai menyulam kelopak bunga yang baru, ataukah dia lebih dulu menyulam ranting dengan metode sulam semut mundur?

Ah, kenapa aku tidak bisa melihat?

Aku terjatuh, merangkak-rangkak sambil meraba-raba jalan hingga sampai di kamar. Jika sebelumnya aku bisa berlari karena masih ada setitik cahaya di antara pekat, kali ini tidak! Gelap sekali.

Sewaktu kecil aku buta. Anggap saja begitu. Aku tidak tahu sejak kapan, dan kapan pula akan berakhir. Namun satu hal yang pasti, aku tidak suka lagi kepada Mbah Uti, kepada ucapan lembutnya, juga caranya yang anggun saat menyulam. Aku tidak suka kue buatan Mbah Uti, aku tidak mau melihat atau mendengar suara perhatian yang dia buat-buat. Aku benci Mbah Uti, semenjak dia mengatakan bahwa anak perempuannya bunuh diri sesaat setelah aku lahir.

Seperti aku mempunyai sebab menjadi buta, ibuku juga punya alasan kenapa memilih bunuh diri. Kukira kami sama. Bukankah bunuh diri itu hanya berlaku bagi orang-orang yang buta?

~~~~~

Bab 1

Diaz menjentikkan jari ke depan wajah Arum. Sudah ada empat menit gadis itu terbengong memandangi kotak cincin di meja dinner mereka. Entah dia memandangi betapa indahnya cincin lamaran Diaz, atau karena tak menyangka akan dilamar secepat itu.

Terhitung tiga bulan, dua puluh empat hari, dan dua jam mereka saling kenal. Berawal dari rasa terima kasih Diaz karena restoran Arum telah memberikan pelayanan terbaik untuk acara gathering keluarga besarnya. Sekali-dua kali mereka bicara tentang bisnis, lalu pertemuan berikutnya mereka mulai merasa cocok untuk membuka diri satu sama lain. Namun, untuk bicara soal pernikahan, Arum pikir itu terlalu ... dini.

“Hai, mau jawab sekarang atau butuh waktu? Asal jangan waktu untuk melamun saja, Rum. Bisa-bisa kamu ketiduran!” gurau Diaz, menyembunyikan rasa gugup yang sebenarnya hampir mendobrak pertahanan senyumnya.

“Ini ... serius?” Arum tak bisa lepas dari mimik terkejut. Lamaran Diaz memang mengejutkan.

Diaz adalah pria pertama yang mengisi hati Arum sepanjang usianya yang berada di ambang angka dua puluh enam. Diaz tampan dan menawan, bujang pula. Suatu keberuntungan jika pria yang dua tahun lebih tua darinya itu menjatuhkan pilihan kepadanya. Arum pun berniat serius, hanya saja dia butuh waktu untuk mengenal lebih dalam pribadi masing-masing.

“Kamu belum kenal aku seratus persen,” ucap Arum lirih. Sungguh kontradiksi dengan pembawaannya selama ini sebagai pemilik sekaligus manajer restoran.

Diaz tersenyum lembut. Katanya, “Aku akan mengenalmu seribu persen setelah kita menikah.”

Arum tergelak, memperlihatkan dua lesung pipit yang dalam dan indah disertai binar mata yang semakin teduh. Dia main-mainkan jemarinya di kotak cincin beludru warna merah, sesekali membuka-tutup kotak itu, hingga suara tak-tuk-tak-tuk mengisi jeda sunyi setelah tawanya reda.

“Aku tahu kamu tidak bercanda, Iaz. Aku juga tidak sedang main-main. Usiaku tidak lucu lagi untuk membahas lelucon,” ucap Arum dengan memanggil sebutan khas kepada Diaz.

“Oke, aku memberimu waktu. Satu bulan saja.” Diaz mengulas senyum seraya mengacak rambut Arum.

Andai saja mereka tidak sedang di restoran Arum dan duduk di meja khusus pembeli VIP, tentu Arum tak bisa mengelak dari rona merah yang menyebar cepat di pipinya. Diaz selalu lembut dan memperlakukannya seperti anak SMA, dan itu selalu sukses membuat debar di dada Arum seumpama bola bekel yang terpantul-pantul di atas lantai.

“Seharusnya aku yang meminta waktu ....” Malu-malu, Arum berucap.

“Aku akan memberi sebelum kamu meminta.” Diaz semakin gencar menggelitik hati Arum, membuat perempuan itu semakin kesusahan mengalihkan degupnya.

“Kamu bukan kaum bucin, ‘kan?”

Kali ini Diaz tak mau bercanda. Dipegangnya tangan lembut itu hingga sentuhan hangatnya mengalir melakui buku-buku tangan Arum. Matanya lekat menatap, menelusuri kedalaman rahasia yang memang belum terlalu dikuaknya. Akan tetapi segera, segala tentang perempuan itu, Diaz akan membacanya secepat dia membaca buku-buku manajemen atau perbisnisan.

“Kita hanya bisa memahami jika kita punya ruang untuk menyelami. Aku ingin ... berenang bahkan tenggelam di ruang hatimu.”

🍁🍁🍁

Hal pertama yang Arum ingin Diaz tahu adalah bahwa dia seorang perempuan yang tinggal di panti asuhan. Sebuah rumah bertingkat tiga dengan tujuh asisten yang membantunya mengurus dua puluh satu anak yatim piatu. Arum menemukan anak-anak itu satu demi satu di jalanan, di kantor satpol PP, bahkan di depan halaman panti—berupa bayi merah yang ari-arinya belum terputus. Selama lima tahun terakhir, Arum mengeluarkan uang hasil kerja kerasnya demi membangun panti tersebut.

“Hampir empat bulan, Rum. Dan aku sangat keterlaluan karena tidak pernah tahu di sini tempat tinggalmu yang sebenarnya.” Diaz menggelengkan kepala begitu duduk di ruang tamu panti.

Sudah pukul sembilan malam, anak-anak sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Kalau tidak, tentu mereka sudah menghambur ke pelukan Arum, juga menebar tawa cekikikan ketika tahu ibu asuh mereka datang bersama seorang pria tampan.

“Jarak panti dengan resto cukup jauh. Aku tidak mungkin pulang setiap hari. Karenanya aku menyewa rumah dekat resto,” jelas Arum.

“Dan aku tertipu!” Diaz menepuk keningnya, masih bergeleng-geleng.

“Aku tidak berniat, kamu saja yang belum tahu. Sudah kubilang, kita belum saling mengenal dengan baik.” Arum menyatukan jempol dan telunjuk kanannya hingga membentuk lingkaran. Satu kedipan matanya membuat Diaz semakin gemas.

“Apa lagi yang tidak kutahu?”

Pertanyaan itu hanya mendapatkan helaan napas Arum. Sejenak perempuan itu menyandarkan kepala di sandaran sofa, memejam selama setengah hingga satu menit, lantas bersenandung kecil. Sebuah lagu yang tidak jelas nadanya, apalagi hanya berupa gumaman.

“Katakan hal kedua yang ingin kamu ceritakan. Lima menit lagi aku akan pulang, Rum.”

Arum membuka mata. Senandungnya terhenti. Dia menoleh ke kiri, lalu menyilakan Diaz minum. “Tidak ada yang pulang dari panti ini sebelum menghabiskan secangkir teh pandan.”

“Aku akan habiskan kalau kamu mau bercerita. Sedikit, mungkin.” Diaz mengerling.

Arum mengedarkan pandangan ke sekitar ruang tamu. Dia berdeham, kemudian berkata, “Tiga belas tahun yang lalu aku menapakkan kaki di kota ini. Tepatnya setelah lulus SMP. Sendiri. Sendiri saja.” Tampak mimiknya beralih sendu.

“Sendiri? Gila!”

“Aku sama seperti anak-anak panti yang kubawa dari jalanan. Aku berjalan sendiri di sekitaran stasiun, dengan sisa uang celengan di saku baju. Aku berhenti di warung, mengisi perut, lalu berjalan lagi tanpa tujuan. Sampai seorang perempuan dewasa menyapa dan menanyakan asal-usulku. Namanya Bu Asiyah.”

Arum berjalan ke sudut ruangan, membuka salah satu laci nakas, kemudian mengambil album foto kecil yang tidak terlalu tebal. Disodorkannya album itu kepada Diaz yang masih menanti kelanjutan ceritanya.

“Bu Asiyah seorang janda. Tinggal sendiri di rumah ini sepeninggal suaminya. Dia tidak punya anak. Makanya, dengan senangnya menemukan aku seperti anak kecil menemukan mainannya yang hilang.”

“Ke mana Bu Asiyah sekarang?”

“Ibu sudah meninggal. Beberapa hari setelah aku lulus SMA.”

🍁🍁🍁

Ada banyak hal yang tidak ingin kita ketahui, tetapi nyatanya seperti lembar-lembar buku yang kita baca dengan teliti. Ada juga banyak hal yang ingin kita sembunyikan, tetapi nyatanya seperti tumpukan belanjaan yang mau tidak mau harus discan harganya di depan kasir. Rahasia dan keingintahuan itu adalah dua hal bertentangan yang jaraknya dekat sekali.

Darah Arum berdesir kuat melihat tumpukan buku di pelukan Diaz. Pria bermata tajam itu bilang, hanya tersisa satu buku di meja kerjanya yang hampir tuntas dibaca. Jadi Minggu pagi ini adalah waktu yang tepat untuk memborong buku di toko buku pusat kota.

“Berapa lama biasanya kamu habiskan buku ini?” tanya Arum.

Seusai membayar buku, mereka bergegas mencari tempat duduk di salah satu kafe dekat toko buku. Menu breakfast dan secangkir kopi rasanya pas menemani pagi yang agak dingin.

Diaz duduk di sebelah Arum, mengeluarkan sebuah buku yang lebih tipis dari kawannya, kemudian membuka halaman pertama. “Satu jam untuk buku ini,” ucapnya.

Arum tercekat. Tenggorokannya seketika kering. Dia haus, tetapi kopinya belum diantar. Sial sekali!

“Kamu tidak pernah baca buku bisnis, Rum?” Diaz bertanya tanpa menoleh. Pandangannya fokus ke abjad-abjad yang berderet cantik di bukunya.

“Memang harus, ya?” Wajah Arum tampak polos. Ah, tidak! Mungkin lebih tepatnya tampak bodoh. “Aku membangun resto dari nol. Tanpa membaca buku, Iaz.”

Sontak Diaz menghentikan kegiatan membacanya. Dia merasa lucu mendengar perkataan kekasihnya. Bagaimana mungkin ada pebisnis yang tidak membaca buku dalam mengembangkan bisnis yang dikelolanya? Kalaupun ada, biasanya tidak akan bertahan lama.

Arum yang merasa diperhatikan seperti itu, merasa geli sendiri. Cubitannya mendarat di lengan Diaz. “Aku serius. Maksudku, kenapa kita harus membaca banyak teori, sedangkan praktiknya nol! Itu membuang waktu! Dan ... kamu jangan pernah memandangku dengan wajah seperti itu, Iaz! Itu menyebalkan! Aku tahu, aku bukan orang kantoran sukses sepertimu. Rival kerjamu siap menerkam setiap saat. Tapi serius, ini serius! Aku tidak suka membaca.”

Diaz tertawa lepas melihat Arum kebakaran jenggot hanya karena masalah buku. Pikirnya, kalau tidak mau baca buku bisnis, ya, sudah! Tidak perlu sewot juga. Lagi, cubitan perempuan itu masih panas terasa, membuatnya ingin membalas, tetapi ....

“Kita tidak dipandang kaya atau miskin saat membaca, Rum. Setiap bacaan pun akan bermakna pada saatnya. Ada banyak keajaiban dalam sebuah buku, dan tidak ada yang tahu selain pembacanya.”

Arum berpikir keras, sekeras perasaannya yang menolak untuk menyentuh buku bacaan setelah kepergian Bu Asiyah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status