Kalau ada pria yang berisik mengacaukan dapur bahkan saat Arum tengah bersedih, tentu itu adalah Boy. Arum sempat mengerucutkan bibir saat pria itu tidak bisa diajak serius untuk berbagi duka. Saat Arum berusaha menata hati untuk bercerita tentang kejadian di rumah Diaz, Boy justru bertanya apa dia sudah makan malam atau belum. Saat Arum ingin menangis lagi, Boy justru berlari ke dapur dan mengguncangkan peralatan memasak dengan senandung lagu ceria. Gila!
“Aku langsung jatuh cin ... taaa ... kepa ... damuuu .... Cinta pada pandangan per ... tamaaa ....”
Boy meramaikan sunyinya dapur Arum dengan nada suara “maksa” menyanyikan lagu Dewa 19 itu.
“Boy, berisik!” teriak Arum yang tak bisa konsentrasi dengan patah hatinya. Dia mengelap ingus alih-alih air mata di pipi. Saat hatinya kacau dan malah mendapat suara bass Boy yang dibuat falset, kepalanya jadi pusing.
Boy mendengar keluhan itu, tetapi dia tak mau menjawab. Hanya selengkung bibir tertarik ke atas saat hidangan makan malamnya hampir siap disajikan. Sejenak dia pandangi jejak air mata Arum di bagian dada kausnya yang melebar. Dia menelan ludah, mengusap dengan lembut seumpama mengelus detak jantungnya yang tak biasa. Hah, air mata yang lekat dengannya saja bisa membuat Boy tersenyum. Apalagi kalau mendapat pelukan.
Sepiring nasi goreng udang pedas telah siap. Boy membawanya dengan satu telapak tangan, lalu mengangkatnya setinggi wajah. Persis seperti waitre di restoran. Sampai di ruang tengah, diletakkan piring itu di meja depan Arum duduk.
Arum masih memejam sambil bersandar di sandaran sofa. Senandung lagu tidak jelas tergumam dari bibirnya. Dia tahu Boy sudah datang lewat aroma nasi goreng yang tercium hidungnya. Mungkin Boy sedang menunggunya membuka mata. Namun, dalam posisi seperti itu, Arum telanjur merasa nyaman. Setidaknya resah dan gulananya sedikit mereda.
“Bukan begitu lagunya!” Boy mengetuk hidung Arum, membuat gadis itu terkesiap. Hanya bersenandung saja dikoreksi, pikir Arum.
“Ah, berisik! Kenapa kamu selalu berisik, Boy?” Arum mengenyahkan jemari Boy, kemudian memejam lagi.
Tak dinyana, Boy melakukan hal yang sama. Dia duduk di dekat Arum, bersandar dan memejam, kemudian menggumamkan senandung lagu yang sering Arum nyanyikan. Tentu saja dengan susunan nada yang benar, pikir Boy.
Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini. Melakukan yang terbaik
Tuhan pasti ‘kan menunjukkan. Kebesaran dan kuasa-Nya
Bagi hamba-Nya yang sabar, dak tak pernah putus asa.
“Kamu masih menggumamkannya saat sedang takut?” tanya Boy. Dia teringat masa SMK mereka yang suka menyanyikan lagu itu bersama, apalagi saat Arum sedang bersedih.
Arum menghela napas. Tampak pelupuk matanya yang mulai terbuka itu menggelembung. “Sudah beberapa tahun berlalu. Hanya sesekali aku melakukan itu.”
“Jangan terlalu memikirkan apa yang belum pasti terjadi, Rum. Kalaupun suatu hal buruk terjadi, setidaknya perasaan bersalahmu tidak terlalu dalam.” Boy mencoba menasihati tanpa tahu masalah sebenarnya yang dihadapi sahabat sekaligus bosnya itu.
“Kadang aku mencoba bersikap wajar. Aku bahkan membuat benteng untuk diriku sendiri, menyembunyikan apa yang belum orang tahu, lalu mengunci diri untuk membunuh ketakutanku. Padahal, kesendirian itu pun salah satu ketakutanku.” Arum menatap nanar ke Boy. “Beberapa saat yang lalu aku berharap Diaz bisa menjadi sandaran ketakutan itu.”
Boy tak terlalu menanggapi ucapan gadis itu. Diraihnya piring nasi goreng, menyendok, kemudian meniup-niupkan udara sampai uapnya melayang sempurna. “Makan dulu, nanti saja ceritanya.”
Arum patuh. Dia membuka mulutnya tanpa harus merasa menjadi anak kecil. Baginya, Boy adalah cermin yang tahu segala apa tentangnya, walau mungkin pria itu tak akan menyangka bahwa mama Diaz adalah Bu Andini.
Suapan pertama lolos masuk ke lambungnya. Entah kenapa tiba-tiba dia merindukan momen itu. Momen ketika sepulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah Bu Asiyah, melainkan ke rumah Boy untuk bertemu Bu Wanti. Sementara Boy membuatkannya sesuatu di dapur, maka Arum akan menghadap mama Boy untuk berlatih membaca cepat, belajar, sekaligus terapi. Di tengah-tengah konsentrasinya belajar, Boy selalu muncul untuk menyuapinya sedendok makanan. Tester rasa, katanya.
“Bagaimana kabar Mama?” Arum masih terus membuka mulut di suapan ketiga. Sejenak dia terlupa perasaan kalutnya akan Diaz, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Baik. Tadi Mama benar-benar nunggu kamu. Sayang anak gadisnya tak tahu diri, belum mau pulang,” gurau Boy.
“Besok aku mau ketemu Mama.”
“Terlambat. Mama sudah nggak mau ketemu kamu.”
Arum berdecak sebal. Sadar, Boy hanya bercanda dan sengaja menggodanya. Sambil berpura-pura menolak suapan kesekian, Arum menutupi wajah dengan bantal sofa.
“Sudah kenyang? Baiklah, akan kumakan sendiri. Kamu pikir aku kemari dalam keadaan perut terisi? Miris!” Boy memalingkan muka pula. Dilahapnya makan malam terlambat yang diawali dengan perut melilit itu. Dalam hatinya dia membatin, seandainya Arum tahu betapa dia rela meninggalkan piring makan yang disajikan mamanya hanya demi dia. Kecemasan itu bukan tanpa alasan. Seperti kecemasannya kepada Arum, maka dia pun paham kenapa Arum sering terbawa kecemasan sendirinya.
“Boy, mau kusuapi?” Iseng, Arum bertanya sekaligus meraih sendok di tangan Boy.
Senyum Boy terkembang. Sejatinya dia tahu Arum masih lapar. Namun, diberikannya juga piring itu kepada Arum, lalu bersiap membuka mulutnya. Hatinya mulai menghangat dan dadanya berdebaran.
Sayang, Arum lebih simpati kepada lambungnya sendiri yang masih meminta diisi. Gadis itu benar-benar tidak tahu kalau Boy belum makan malam, memang. Dia asyik makan sendiri, sedangkan Boy hanya bisa menelan ludah.
“Aku nggak akan cari istri model kamu, yang tega kenyang sendiri sebelum suaminya makan!” Boy beranjak, berniat membuat omelet untuk mengganjal perut.
“Siapa juga yang mau jadi istrimu!” Arum tersenyum samar. Lama-lama dia tidak tega juga memandang keputus-asaan Boy. Bagaimanapun Arum mengerti, Boy adalah pria yang tidak pernah merasa cukup kenyang hanya dengan satu piring makanan.
Tangan Boy tertarik hingga dia kembali duduk di sisi Arum. Setelah Arum memasang senyum yang dipaksakan, dia suapi sahabatnya itu sampai kembali tercipta suasana hangat.
“Ceritakan tentang calon istrimu itu,” pinta Arum.
Mulanya Boy sibuk meminta suapan lagi dan lagi dengan cepat, bergantian dengan dia menyuapi Arum. Saat acara makan malam itu telah selesai, barulah dia bicara. “Dia masih butuh waktu untuk memantapkan hati.”
“Oh, ya? Serius, kamu sudah punya calon? Kok, nggak cerita sama aku?” Arum menatap tak percaya.
“Karena otak kamu pasti akan terlalu lemot untuk mengurusi masalahku.”
“Jahat!” Arum memukul lengan Boy dengan sofa bantal.
“Biarin!” Boy membereskan piring makan. Setelahnya, dia membuka kulkas, lalu kembali dengan segelas air putih untuk Arum.
“Sekarang ceritakan, kenapa kamu pulang naik taksi sambil nangis?” Barulah Boy pasang wajah serius.
Lagi-lagi Arum berdecak sebal. Baru beberapa menit yang lalu luka hatinya ditutup oleh cita rasa makanan, sekarang Boy membukanya lagi. Haruskah dia mencubiti luka itu sendiri dengan berkisah?
“Sepertinya aku nggak akan nikah sama Diaz,” ucap Arum pasrah. Pandangannya menyapu lantai, tidak berani dia tujukan langsung ke Boy.
“Berarti cinta kalian omong kosong!” ejek Boy.
Denyut itu kembali dirasakan Arum. Saat kembali mengingat Diaz, maka yang tergambar di kepalanya adalah wajah Bu Andini dengan sebilah penggaris kayu yang dientak-entakkan ke papan tulis saat memberikan materi. Arum berusaha menghilangkan pemandangan itu dari kepalanya, tetapi ingatan tentang tudingan tajam di rumah Diaz tadi kembali menyeruak. Air matanya tumpah bahkan sebelum dia mampu bercerita.
“Aku sayang Diaz, Boy ....”
“Ya, aku tahu. Kamu sudah sering bilang gitu. Kamu selalu berbunga-bunga kalau ketemu dia.”
"Tapi kami nggak mungkin bisa bersatu. Apalagi bersanding di pelaminan.”
Wajah Arum terlihat semakin masam. Air matanya yang panas terus mengalir di pipi. Boy tak tahan dan akhirnya merengkuh tubuh perempuan itu.
“Nangis ajalah, nggak usah cerita.” Boy mengelus kepala Arum. “Cerita hanya saat kamu siap aja.”
“Boy, ingat aku pernah cerita tentang guruku yang paling galak di SMP?”
Perasaan Boy mulai tidak enak. Dia bahkan melepas cepat pelukannya. Sedari tadi Arum tampak patah hati, dan kemudian malah bercerita tentang gurunya yang killer? Apa mungkin ....
“Jangan bilang dia muncul dan mau ngajak kamu sekolah lagi?” Boy senagaj menebak asal. Meskipun dia punya insting kalau mama Diaz adalah guru tersebut.
"Nggak. Bukan begitu. Boy, kamu selalu–”
"Nggak, nggak. Bercanda.”
"Aku serius!” Arum merengek lagi. Air matanya tak bisa surut dengan mudah walau Boy sudah menggodanya.
Boy kembali memeluk. Dia tidak bisa lagi bercanda. Keadaan Arum memang sudah gawat. Petempuan itu mulai terisak kuat, bahunya naik turun.
“Putus saja kalau memang putus. Mungkin dia belum jodoh kamu. Tapi kalau kamu mau berjuang dan meluluhkan hati gurumu demi dia, ya lakukan! Menangislah cukup malam ini. Besok, ambil keputusan dengan pikiran dingin.” Hanya itu yang bisa Boy katakan.
Dan Arum, dia akhirnya tersenyum setelah mendengar kalimat itu. Boy memang tidak memberi solusi langsung. Akan tetapi, kalimatnya yang bijak selalu membuat Arum menghela napas lebih lega dalam masa-masa sulitnya.
“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”“Maafkan Arum.”“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rum
D untuk Diaz.Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.Ayolah! D untuk Diaz!Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay
Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.“Kamu minum teh? Sejak kapan?” jawab Arum.“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.“Semalam aku bilang, ‘kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum beru
Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k
Aku hanya mengalami kesulitan membaca, bukan bodoh. Hanya karena ada tekanan di dalam diri sedari kecil yang menyebabkan aku murung dan menyendiri, maka secara tak sadar berimbas terhadap kemampuan belajar yang lainnya. Ini bukan kesimpulanku, melainkan kesimpulan seorang wanita yang membuat janji temu denganku dan Bu Asiyah. Dia mengatakan itu lepas aku bercerita poin-poin penting saja dalam perjalanan masa kecilku. Tidak semuanya.Namanya Bu Wanti. Seorang guru les privat calistung, juga sahabat Bu Asiyah. Seorang wanita yang pertama kali mengucapkan bahwa aku sebenarnya punya daya inteligensi yang bagus walau aku sulit membaca. Ini aneh. Sementara kenyataannya aku pernah tidak naik kelas, dan selalu mendapat peringkat terbawah. Beberapa guru pun menaikkan aku ke tingkat selanjutnya karena terang-terangan bosan melihatku.Selama tinggal di rumah Bu Asiyah, beliau menawarkan untuk melanjutkan sekolah. Bisa saja langsung masuk kelas sepuluh, jika memang aku sejatinya t
Suasana riuh. Suara-suara sumbang kembali berdenging. Aku merasa kembali duduk di bangku SD maupun SMP. Teman-teman melempariku dengan bulatan kertas dan spidol. Benda-benda itu serentak menutul kepala, hingga aku takut dan menyembunyikan wajah di balik lengan.Namun, sekarang aku bukan lagi di sekolah itu. Aku duduk manis di sebuah kelas di sekolah kejuruan swasta. Bukan sekolah terbaik, kata Bu Asiyah, tetapi akan tepat untukku menuntut ilmu. Meski agak kesiangan dan terpaksa duduk di bangku paling belakang, setidaknya suara berisik siswa-siswa di sini tidak seperti di Jepara. Mereka lebih cuek dari yang kukira, tidak menyapa jika tidak disapa lebih dulu, pun tidak ambil pusing dengan orang lain di sekitar mereka.Beberapa hari yang lalu, aku telah belajar lebih giat kepada Bu Wanti. Bagaimana tidak? Tersisa hanya enam hari sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Sementara ibuku telah mengeluarkan uang yang tak sedikit demi terapiku. Aku tidak mau mengecewakannya. Samp
Boy adalah lelaki yang paling menyebalkan dalam hidupku. Memang, dia tidak jahat seperti teman-teman dari nasa laluku. Akan tetapi, sejak pertemuan pertama, dia tidak henti membuat hidupku semakin kacau. Dia tidak henti mengganggu konsentrasi saat membaca, merebut buku tulis kemudian menyalinkan pelajaran pada saat aku ingin mencobanya sendiri, bahkan membantu menghabiskan bekal makan tanpa kuminta. Dia selalu ada ke mana pun aku pergi. Sudah seperti bayang-bayang saja!Akan tetapi dia tak mengganggu siswi lainnya. Kenapa hanya aku? Bahkan, saat beberapa teman menyatakan perasaannya kepada Boy, anak menyebalkan itu tak acuh sekali. Belum lagi serangan penggemarnya dari kelas lain. Hampir setiap hari kelasku ramai anak perempuan yang mengejar Boy. Kenapa tidak dia terima saja salah satu dari mereka untuk dijadikan pacar? Jadi, aku tidak sampai tergencet seperti sekarang ini.“Lo anak cupu itu, ‘kan? Kenapa, sih, mepet Boy terus? Nggak ada kerjaan?”
Aku tidak pernah berpikir sebelumnya, bahwa seorang pelindung itu bisa saja bermula dari kelembutan yang rapuh, bahkan hampir saja kehilangan nyawanya. Namun nyatanya, Boy adalah seorang anak lelaki yang demikian. Itu tidak bisa dilihat dari seberapa menyebalkannya dia. Dari caranya yang cuek terhadap siswi perempuan satu sekolah, sampai seringnya dia menggetok kepalaku dengan kuat, juga dari sebuah tatoo di lengannya yang sekilas kulihat saat dia mengenakan kaus olahraga, menurutku Boy hanya seorang anak nakal dan tidak tahu aturan. Itu saja.“Dia anak Mama satu-satunya. Mama minta sekolah di tempat yang sama seperti kamu, biar bisa bantu kamu di sekolah.”Ini bukan kali pertama aku bertandang ke rumah Boy dan bertemu mamanya yang tak lain adalah Bu Wanti, tetapi ini pertama kalinya aku tahu bahwa ini rumahnya. Selain karena aku tidak pernah melihat Boy saat terapi membaca, Bu Wanti juga tidak pernah menyebutkan nama anak lelakinya.Entah kenapa dad