“Dalam dua hari ini aku belajar memaafkan banyak hal. Bu Andini, Mbah Uti, terlebih diriku sendiri. Bagaimana denganmu, Boy?”
Boy menikmati deru kereta api yang membawanya kembali ke Jakarta. Namun, pikirannya masih tertinggal di surat Mbah Uti yang belum selesai terbacakan untuk Arum. Arum memang membawa surat itu dalam tasnya, tetapi sepertinya dia mulai lupa telah berjanji untuk mengejanya sendiri.
“Boy! Kamu nggak dengar aku bicara apa? Astaga, sejak kapan seorang Boy melamun? Oh, ya, ampun, Boy!”
“Apa?”
“Apa aku sudah keterlaluan mengambil jatah malam minggumu dengan pacarmu?”
Dasar tidak peka, batin Boy.
“Hanya anak muda yang pergi malam mingguan. Kekanakan!” ejek Boy.
“Baiklah, Boy. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia. Katakan, apa sampai sekarang kamu masih berpacaran dengannya? Apa Mama tahu dia calon istrimu?”
Boy tertawa kecil, d
Diaz percaya satu hal, bahwa sebuah pengorbanan dalam urusan cinta itu datang dari hati. Seperti sebuah perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, maka pengorbanan itu pun tidak bisa dilakukannya sendiri. Hatinya dan hati Arum akan berusaha keras untuk itu.Dia berdiri di balkon kamar dan memandang sendu ke halaman rumahnya. Di gazebo itu mama dan papanya bercanda dengan mesra. Entah itu perasaan Diaz saja atau bagaimana, semenjak Bu Andini dirawat di rumah sakit, Pak Jaya sedikit banyak berubah. Pria yang dulu tidak terlalu peduli urusan keluarga dan membiarkan istrinya mengatur anak-anak sesuai kedisiplinannya, kini tampak perhatian. Mereka berdua bahkan saling mencium pipi di antara gelak tawa.Setelah Arum melepaskannya malam itu, Diaz yang bergejolak ingin segera memaki Bu Andini di ruang rawatnya. Dia ingin meminta keadilan dan pengertian, bahwa cintanya layak untuk diperjuangkan. Namun begitu dia membuka pintu ruangan itu, Mea menghalaunya.“Jang
“Mau jalan-jalan denganku hari ini?”“Bukankah kita sudah jalan-jalan sepanjang trotoar ini?” sergah Arum.Boy berdesis. “Maksudku, kita jalan ke suatu tempat untuk memulihkan perasaanmu, Arumanis Karamel!”Seterbit senyum menghias wajah Arum. Sejak pertemuan dengan Diaz di kafe tadi, rasa-rasnaya baru detik itu dia bisa tersenyum. Baiklah. Habis sudah acara bersedih hati. Semakin berdamai dengan hati sendiri, maka akan semakin mudah untuk melupakan segala luka.“Berapa lama kamu tidak memanggilku seperti itu?” tanya Arum.Boy tampak berpikir keras. Tak disangka, dia benar-benar menghitung angka di kalender sejak pancake Arum gosong saat itu.“Sebulan, delapan hari, lebih sejam.”“Wah, hebat! Sepenting itu kamu mengingat kapan terakhir kali memanggilku Arumanis!” Arum tergelak sembari bertepuk tangan.“Jadi, mau ikut jalan-jalan, nggak?”
Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.“Bukan itu rahasia terbesarnya!”“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.“Aku ... oh, aku ....”Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo
PrologKetika air langit jatuh, sudah pasti bumi akan basah. Entah gerimis, hujan petir, ataupun hujan es ... nyatanya aroma petrichor menandakan bahwa titik-titik air dari mega mendung itu telah mengecup tanah. Sama seperti satu alasan yang membuat aku buta sewaktu kecil. Entah itu alasan kecil, sedang, besar ....Sewaktu kecil aku buta. Anggap saja seperti itu. Aku tidak bisa melihat warna sinar matahari yang beralih dari oranye, kuning, merah, kemudian berubah gelap karena ditelan batas pandangan. Juga tidak bisa kulihat air yang semula berwarna bening menjadi biru kehijauan sehingga dinamakan laut. Di tepinya pun adalah pantai dengan butir-butir pasir beraneka warna, berbeda-beda di setiap bibirnya. Katanya.Anggap saja aku buta, tidak pasti kapan awalnya, juga tidak pasti kapan berakhirnya. Setiap kali Mbah Uti mengatakan bahwa aku sakit mata, maka detik itu pandanganku memburam dan berangsur tidak bisa melihat apa-apa. Mbah Uti biasanya menga
“Rum! Arumanis! Pancakemu gosong!”Teriakan Boy sontak membuat Arum berdesis. Mengganggu konsentrasi mengintip saja, pikir Arum. Perempuan itu melesat menuju pan di mana pancake yang didadarnya beberapa menit yang lalu, kini telah berwarna cokelat seperti kulit eksotisnya. Dia sibuk mengomel dan menyalahkan Boy karena tidak mau mematikan kompor atau apalah—yang bisa membantunya barang sedikit.“Jangan jadi pengintip, nanti matamu bintitan! Ya, kali ... kamu putri raja pakai mahkota, meskipun bintitan masih mengagumkan. Dasar, Arumanis Karamel!” Koki Benua Resto yang sekaligus sahabat Arum sejak SMA itu tertawa keras hingga memegangi perutnya.Selalu, pria jail yang memanggil Arum dengan sebutan Arumanis Karamel itu menggodanya akhir-akhir ini. Tepatnya sejak Arum mulai dekat dengan Diaz. Siang ini pun, saat Arum sedang asyik membuat pengisi perut di sela kegiatan menghitung administrasi restoran, Boy menarik lengannya dalam satu cek
Kamar almarhum Bu Asiyah adalah kamar Arum. Bukan karena dia kehabisan kamar di rumah yang sekarang beralih fungsi menjadi panti asuhan, melainkan karena sejak awal dia tidak mau tidur di kamarnya sendiri. Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang dulu masih dua tingkat itu, Arum mengetuk pintu kamar Bu Asiyah, meminta beliau agar membolehkannya tidur bersamanya. Ada ketakutan saat dia harus berada di kamar sendiri. Arum takut kembali menangis, takut sendirian.Dibukanya lemari baju di sudut dekat jendela. Aroma Bu Asiyah seketika menyeruak hidungnya. Meski telah bertahun-tahun lamanya ditinggal pergi, kenangan bersama ibu angkatnya tak lekang dari pikiran. Semangat, kasih sayang, juga pelukan ... terlalu membekas di sanubari Arum. Terkadang, ingatan yang manis justru membuatnya lemah untuk beberapa saat.“Arum kangen Ibu ....” Air mata Arum membasahi sepotong baju Bu Asiyah yang diambilnya.Besok, Diaz akan mengenalkannya kepada orangtuanya.
Terkadang, wajah yang setiap hari dengan begitu mudah menatapmu, justru di hatinya ada rahasia yang tidak pernah kamu ketahui. Setiap orang bebas meluapkan perasaannya, tetapi ada juga yang memilih diam dan menyimpan rasa dalam keheningan.Boy sudah menghabiskan dua cangkir kopinya di teras. Akan tetapi, hingga malam menjelang, orang yang dinantinya tak kunjung datang. Lelaki itu mengulum senyum kecewa. Denyut nyeri di hatinya memang sudah biasa dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, mengobati dengan kesendirian, tetaplah sulit dilakukan.“Makan dulu, Boy!” Bu Wanti—mama Boy—muncul dari dalam rumah, mengingatkan.Patuh. Boy memang patuh kepada orangtua tunggalnya. Hanya sekali dia berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan mamanya, yaitu ketika dia meninggalkan perusahaan travel, tepat saat jenjang kariernya tengah menanjak. Satu-satunya nama yang menjadi alasan lelaki itu, kini justru kembali memberikan aroma kekecewaa
Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.“Rum, tunggu dulu!”“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah ter