Terkadang, wajah yang setiap hari dengan begitu mudah menatapmu, justru di hatinya ada rahasia yang tidak pernah kamu ketahui. Setiap orang bebas meluapkan perasaannya, tetapi ada juga yang memilih diam dan menyimpan rasa dalam keheningan.
Boy sudah menghabiskan dua cangkir kopinya di teras. Akan tetapi, hingga malam menjelang, orang yang dinantinya tak kunjung datang. Lelaki itu mengulum senyum kecewa. Denyut nyeri di hatinya memang sudah biasa dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, mengobati dengan kesendirian, tetaplah sulit dilakukan.
“Makan dulu, Boy!” Bu Wanti—mama Boy—muncul dari dalam rumah, mengingatkan.
Patuh. Boy memang patuh kepada orangtua tunggalnya. Hanya sekali dia berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan mamanya, yaitu ketika dia meninggalkan perusahaan travel, tepat saat jenjang kariernya tengah menanjak. Satu-satunya nama yang menjadi alasan lelaki itu, kini justru kembali memberikan aroma kekecewaan.
“Kalau Arum ada acara, ya, sudah. Jangan ditunggu,” ucap wanita paruh baya itu sembari menyiapkan makan malam putranya.
“Boy hanya cemas sama Arum, Ma. Dia kelihatan nggak percaya diri sejak tadi pagi. Apa perlu Boy susul aja, ya?”
“Kamu ini ada-ada saja. Arum itu sudah dewasa, bukan lagi anak kelas satu SMK yang sering kamu bikin nangis seperti dulu. Lagi pula, kamu mau ngapain di tengah orang pacaran?” Bu Wanti tersenyum lembut. Wajahnya yang menenangkan dan tampak sabar itu selalu bisa meredam ketergesaan Boy.
Boy melahap makan malamnya dengan tenang. Meski begitu, perasaannya gelisah. Dia pikir, seharusnya Arum mau bertemu dengan mamanya dulu sebelum pergi bertemu keluarga Diaz. Seharusnya Arum mengobati ketidakpercayaan dirinya dulu, seharusnya dia memperbaiki traumanya dulu, seharusnya dia mau belajar membaca kembali di rumahnya seperti waktu dulu. Seharusnya ....
Akan tetapi, Arum benar-benar tidak peduli dengan kecemasannya. Mungkin benar kata mamanya, Arum sudah dewasa. Dia punya kanvas sendiri tempatnya melukis sesuai kemauannya. Bukan lagi anak baru di kelas sepuluh di jurusan perhotelan sekolah menengah kejuruan yang dungu dan paling sering menerima teguran dari guru mereka.
“Ma, Boy ke rumah Arumlah!” Merasa tak tenang walau sudah mencoba, nyatanya Boy meninggalkan piringnya begitu saja dan bergegas pergi.
“Habiskan dulu makanmu!”
“Nanti aja Boy makan sama Arum. Ya?” Boy mencium pipi mamanya. Diraihnya kontak motor di buffet lalu melenggang keluar.
“Jangan ngebut! Jangan ganggu orang pacaran! Tunggu aja dengan manis!” nasihat Bu Wanti ketika mesin motor Boy mulai menyala.
🍁🍁🍁
Arum baru saja turun dari mobil. Ditatapnya bangunan berdesain Jawa klasik yang berdiri di tengah-tengah halaman berumput dan taman bunga, serta gazebo di dekat kolam air mancur. Sungguh pemandangan yang berbeda dengan perkiraan di dalam kepalanya.
Tadinya sebelum naik ke mobil jemputan Diaz, Arum pikir, dia akan menapakkan kaki di sebuah apartemen atau perumahan elit—tempat kebanyakan para pebisnis tinggal. Arum mawas akan gemetaran hebat sebelum bertemu orangtua Diaz. Namun, kini dia bisa bernapas lega setelah meyakini bahwa keluarga Diaz pasti ramah dan bersikap humble layaknya suasana rumah itu.
“Ini rumahku,” kata Diaz. “Tenang saja. Tidak ada pohon beringinnya, kok.”
Arum meringis, merasa tersentil, sedikit. Dia sadar pernah keterlaluan karena menanyakan apakah ibu atau ayah Diaz seperti penghuni pohon beringin atau tidak. Namun, manisnya, Diaz tak merasa tersinggung dengan hal itu.
“Ayo, masuk!” Diaz menggenggam erat tangan Arum.
Menapaki tiga tangga kayu di teras rumah Diaz, entah kenapa Arum kembali diserang kecemasan. Degup di dadanya bertalu cepat, ada desau angin dingin yang mengalirkan desiran hebat dalam darahnya. Aroma rumah kayu jati yang khas, seakan-akan membawa ingatan pada masa yang telah lalu. Arum berjalan pelan, hanya saja nyalinya mendadak seperti sedang ditantang.
“Iaz ... aku ....”
“Jangan takut, Mama dan Papa nggak akan gigit kamu,” gurau Diaz.
“Bukan, bukan itu ....” Arum berhenti melangkah. Dilepaskannya genggaman tangan Diaz. Bisa dia rasakan keringat dingin mulai membasahi telapaknya. Matanya pun mulai berkaca-kaca.
“Apa aku harus memelukmu lebih dulu biar kamu nggak nervous, hmm?”
Ayolah, Arum! Ketakutan di kepalamu itu hanya mengada-ada! Tidak ada yang perlu kamu cemaskan! Arum berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ya, ya. Ini rumah Diaz, te.pat keluarga calon suamiku. Kenapa harus takut? Lagi pula Diaz bilang orangtuanya baik, bukan? Lihat, rumahnya saja sederhana walau mereka orang kaya!
Arum menarik napas panjang, lantas mengeluarkannya dalam sekali embus. Dua kali dia lakukan itu, sampai akhirnya berani berkata, “Bismillah. Ayo, masuk!”
Diaz melengkungkan senyum, kembali diraihnya tangan sang kekasih. Mereka berjalan dan membuka kenop pintu bersama-sama tanpa sengaja. Detik itu mereka tertawa kecil, menghibur diri sekaligus menghilangkan resah di hati.
Sampai di ruang tamu, Diaz meninggalkan Arum dan memanggil orangtuanya. Sementara gadis itu belum bisa duduk dengan tenang. Dia berdiri dan mengedarkan pandangan, melihat satu per satu hiasan dinding dan ornamen rumah.
Ada banyak foto Diaz yang terpampang manis dalam pigura sejak dia bayi hingga dewasa. Wajah pria itu selalu sukses membuat hati Arum bergetar walau hanya dalam bentuk foto. Ah, hampir saja Arum lupa kalau belum pernah mengambil gambar bersama Diaz. Selain karena Arum memang tidak mau menggunakan ponsel, Diaz pun jarang menemuinya jika sedang sibuk bekerja.
Beralih ke dinding ruang tamu sisi kanan, Arum menatap dua pigura berukuran jumbo yang memperlihatkan keluarga Diaz. Diaz, adik laki-lakinya yang masih remaja, papanya, dan ....
“Rum, ini Papa,” sapa Diaz, cukup membuat jantung Arum terlonjak keras. “Mama lagi ke kamar mandi. Tunggu sebentar, ya.”
Arum seolah-olah kesulitan bernapas. Ada yang mencekat di saluran napasnya. Dia bahkan tak bisa menyeka peluh yang mulai membanjiri pelipis dan tengkuknya. Dengan gemetar, dia menyalami Pak Jaya—papa Diaz sambil mengangguk takzim. Bibirnya gemetar memperkenalkan diri.
“Sa–saya A–Arum.”
“Ya, saya tahu. Diaz sudah cerita banyak tentang kamu. Perempuan hebat yang menjalankan bisnis kulinernya demi membangun panti asuhan. Saya terkesan sama Nak Arum,” kata Pak Jaya dengan seulas senyum ramah.
Ya, beliau ramah, seperti kata Diaz. Namun, ada yang membuat Arum canggung saat menatap pria itu. Seperti ada desiran aneh di dalam dadanya. Lelaki yang berwajah tegas dan maskulin seperti Diaz itu seperti tak asing baginya. Ada getaran tak biasa dalam diri Arum saat bersalaman tadi
“Ayo, duduk! Bibi sedang buatkan minum. Tunggu, ya,” bisik Diaz.
Arum tersenyum canggung. Gejolak dalam raganya semakin tak terkendali. Semakin detik waktu berjalan, perasaannya semakin tak keruan.
Diaz masih sibuk memasang tawa seraya mengobrol tentang bisnis kuliner Arum, meninggalkan Arum dengan segumpal kekhawatiran yang bercokol di pikiran Arum. Sempat terlintas niat untuk pergi saja sebelum orang yang membuat gelenyar dadanya memanas itu muncul ke ruang tamu.
Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.“Rum, tunggu dulu!”“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah ter
Kalau ada pria yang berisik mengacaukan dapur bahkan saat Arum tengah bersedih, tentu itu adalah Boy. Arum sempat mengerucutkan bibir saat pria itu tidak bisa diajak serius untuk berbagi duka. Saat Arum berusaha menata hati untuk bercerita tentang kejadian di rumah Diaz, Boy justru bertanya apa dia sudah makan malam atau belum. Saat Arum ingin menangis lagi, Boy justru berlari ke dapur dan mengguncangkan peralatan memasak dengan senandung lagu ceria. Gila!“Aku langsung jatuh cin ... taaa ... kepa ... damuuu .... Cinta pada pandangan per ... tamaaa ....”Boy meramaikan sunyinya dapur Arum dengan nada suara “maksa” menyanyikan lagu Dewa 19 itu.“Boy, berisik!” teriak Arum yang tak bisa konsentrasi dengan patah hatinya. Dia mengelap ingus alih-alih air mata di pipi. Saat hatinya kacau dan malah mendapat suara bass Boy yang dibuat falset, kepalanya jadi pusing.Boy mendengar keluhan itu, tetapi dia tak mau menjawab. Hanya
“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”“Maafkan Arum.”“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rum
D untuk Diaz.Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.Ayolah! D untuk Diaz!Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay
Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.“Kamu minum teh? Sejak kapan?” jawab Arum.“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.“Semalam aku bilang, ‘kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum beru
Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k
Aku hanya mengalami kesulitan membaca, bukan bodoh. Hanya karena ada tekanan di dalam diri sedari kecil yang menyebabkan aku murung dan menyendiri, maka secara tak sadar berimbas terhadap kemampuan belajar yang lainnya. Ini bukan kesimpulanku, melainkan kesimpulan seorang wanita yang membuat janji temu denganku dan Bu Asiyah. Dia mengatakan itu lepas aku bercerita poin-poin penting saja dalam perjalanan masa kecilku. Tidak semuanya.Namanya Bu Wanti. Seorang guru les privat calistung, juga sahabat Bu Asiyah. Seorang wanita yang pertama kali mengucapkan bahwa aku sebenarnya punya daya inteligensi yang bagus walau aku sulit membaca. Ini aneh. Sementara kenyataannya aku pernah tidak naik kelas, dan selalu mendapat peringkat terbawah. Beberapa guru pun menaikkan aku ke tingkat selanjutnya karena terang-terangan bosan melihatku.Selama tinggal di rumah Bu Asiyah, beliau menawarkan untuk melanjutkan sekolah. Bisa saja langsung masuk kelas sepuluh, jika memang aku sejatinya t
Suasana riuh. Suara-suara sumbang kembali berdenging. Aku merasa kembali duduk di bangku SD maupun SMP. Teman-teman melempariku dengan bulatan kertas dan spidol. Benda-benda itu serentak menutul kepala, hingga aku takut dan menyembunyikan wajah di balik lengan.Namun, sekarang aku bukan lagi di sekolah itu. Aku duduk manis di sebuah kelas di sekolah kejuruan swasta. Bukan sekolah terbaik, kata Bu Asiyah, tetapi akan tepat untukku menuntut ilmu. Meski agak kesiangan dan terpaksa duduk di bangku paling belakang, setidaknya suara berisik siswa-siswa di sini tidak seperti di Jepara. Mereka lebih cuek dari yang kukira, tidak menyapa jika tidak disapa lebih dulu, pun tidak ambil pusing dengan orang lain di sekitar mereka.Beberapa hari yang lalu, aku telah belajar lebih giat kepada Bu Wanti. Bagaimana tidak? Tersisa hanya enam hari sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Sementara ibuku telah mengeluarkan uang yang tak sedikit demi terapiku. Aku tidak mau mengecewakannya. Samp