Terkadang, wajah yang setiap hari dengan begitu mudah menatapmu, justru di hatinya ada rahasia yang tidak pernah kamu ketahui. Setiap orang bebas meluapkan perasaannya, tetapi ada juga yang memilih diam dan menyimpan rasa dalam keheningan.
Boy sudah menghabiskan dua cangkir kopinya di teras. Akan tetapi, hingga malam menjelang, orang yang dinantinya tak kunjung datang. Lelaki itu mengulum senyum kecewa. Denyut nyeri di hatinya memang sudah biasa dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, mengobati dengan kesendirian, tetaplah sulit dilakukan.
“Makan dulu, Boy!” Bu Wanti—mama Boy—muncul dari dalam rumah, mengingatkan.
Patuh. Boy memang patuh kepada orangtua tunggalnya. Hanya sekali dia berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan mamanya, yaitu ketika dia meninggalkan perusahaan travel, tepat saat jenjang kariernya tengah menanjak. Satu-satunya nama yang menjadi alasan lelaki itu, kini justru kembali memberikan aroma kekecewaan.
“Kalau Arum ada acara, ya, sudah. Jangan ditunggu,” ucap wanita paruh baya itu sembari menyiapkan makan malam putranya.
“Boy hanya cemas sama Arum, Ma. Dia kelihatan nggak percaya diri sejak tadi pagi. Apa perlu Boy susul aja, ya?”
“Kamu ini ada-ada saja. Arum itu sudah dewasa, bukan lagi anak kelas satu SMK yang sering kamu bikin nangis seperti dulu. Lagi pula, kamu mau ngapain di tengah orang pacaran?” Bu Wanti tersenyum lembut. Wajahnya yang menenangkan dan tampak sabar itu selalu bisa meredam ketergesaan Boy.
Boy melahap makan malamnya dengan tenang. Meski begitu, perasaannya gelisah. Dia pikir, seharusnya Arum mau bertemu dengan mamanya dulu sebelum pergi bertemu keluarga Diaz. Seharusnya Arum mengobati ketidakpercayaan dirinya dulu, seharusnya dia memperbaiki traumanya dulu, seharusnya dia mau belajar membaca kembali di rumahnya seperti waktu dulu. Seharusnya ....
Akan tetapi, Arum benar-benar tidak peduli dengan kecemasannya. Mungkin benar kata mamanya, Arum sudah dewasa. Dia punya kanvas sendiri tempatnya melukis sesuai kemauannya. Bukan lagi anak baru di kelas sepuluh di jurusan perhotelan sekolah menengah kejuruan yang dungu dan paling sering menerima teguran dari guru mereka.
“Ma, Boy ke rumah Arumlah!” Merasa tak tenang walau sudah mencoba, nyatanya Boy meninggalkan piringnya begitu saja dan bergegas pergi.
“Habiskan dulu makanmu!”
“Nanti aja Boy makan sama Arum. Ya?” Boy mencium pipi mamanya. Diraihnya kontak motor di buffet lalu melenggang keluar.
“Jangan ngebut! Jangan ganggu orang pacaran! Tunggu aja dengan manis!” nasihat Bu Wanti ketika mesin motor Boy mulai menyala.
🍁🍁🍁
Arum baru saja turun dari mobil. Ditatapnya bangunan berdesain Jawa klasik yang berdiri di tengah-tengah halaman berumput dan taman bunga, serta gazebo di dekat kolam air mancur. Sungguh pemandangan yang berbeda dengan perkiraan di dalam kepalanya.
Tadinya sebelum naik ke mobil jemputan Diaz, Arum pikir, dia akan menapakkan kaki di sebuah apartemen atau perumahan elit—tempat kebanyakan para pebisnis tinggal. Arum mawas akan gemetaran hebat sebelum bertemu orangtua Diaz. Namun, kini dia bisa bernapas lega setelah meyakini bahwa keluarga Diaz pasti ramah dan bersikap humble layaknya suasana rumah itu.
“Ini rumahku,” kata Diaz. “Tenang saja. Tidak ada pohon beringinnya, kok.”
Arum meringis, merasa tersentil, sedikit. Dia sadar pernah keterlaluan karena menanyakan apakah ibu atau ayah Diaz seperti penghuni pohon beringin atau tidak. Namun, manisnya, Diaz tak merasa tersinggung dengan hal itu.
“Ayo, masuk!” Diaz menggenggam erat tangan Arum.
Menapaki tiga tangga kayu di teras rumah Diaz, entah kenapa Arum kembali diserang kecemasan. Degup di dadanya bertalu cepat, ada desau angin dingin yang mengalirkan desiran hebat dalam darahnya. Aroma rumah kayu jati yang khas, seakan-akan membawa ingatan pada masa yang telah lalu. Arum berjalan pelan, hanya saja nyalinya mendadak seperti sedang ditantang.
“Iaz ... aku ....”
“Jangan takut, Mama dan Papa nggak akan gigit kamu,” gurau Diaz.
“Bukan, bukan itu ....” Arum berhenti melangkah. Dilepaskannya genggaman tangan Diaz. Bisa dia rasakan keringat dingin mulai membasahi telapaknya. Matanya pun mulai berkaca-kaca.
“Apa aku harus memelukmu lebih dulu biar kamu nggak nervous, hmm?”
Ayolah, Arum! Ketakutan di kepalamu itu hanya mengada-ada! Tidak ada yang perlu kamu cemaskan! Arum berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ya, ya. Ini rumah Diaz, te.pat keluarga calon suamiku. Kenapa harus takut? Lagi pula Diaz bilang orangtuanya baik, bukan? Lihat, rumahnya saja sederhana walau mereka orang kaya!
Arum menarik napas panjang, lantas mengeluarkannya dalam sekali embus. Dua kali dia lakukan itu, sampai akhirnya berani berkata, “Bismillah. Ayo, masuk!”
Diaz melengkungkan senyum, kembali diraihnya tangan sang kekasih. Mereka berjalan dan membuka kenop pintu bersama-sama tanpa sengaja. Detik itu mereka tertawa kecil, menghibur diri sekaligus menghilangkan resah di hati.
Sampai di ruang tamu, Diaz meninggalkan Arum dan memanggil orangtuanya. Sementara gadis itu belum bisa duduk dengan tenang. Dia berdiri dan mengedarkan pandangan, melihat satu per satu hiasan dinding dan ornamen rumah.
Ada banyak foto Diaz yang terpampang manis dalam pigura sejak dia bayi hingga dewasa. Wajah pria itu selalu sukses membuat hati Arum bergetar walau hanya dalam bentuk foto. Ah, hampir saja Arum lupa kalau belum pernah mengambil gambar bersama Diaz. Selain karena Arum memang tidak mau menggunakan ponsel, Diaz pun jarang menemuinya jika sedang sibuk bekerja.
Beralih ke dinding ruang tamu sisi kanan, Arum menatap dua pigura berukuran jumbo yang memperlihatkan keluarga Diaz. Diaz, adik laki-lakinya yang masih remaja, papanya, dan ....
“Rum, ini Papa,” sapa Diaz, cukup membuat jantung Arum terlonjak keras. “Mama lagi ke kamar mandi. Tunggu sebentar, ya.”
Arum seolah-olah kesulitan bernapas. Ada yang mencekat di saluran napasnya. Dia bahkan tak bisa menyeka peluh yang mulai membanjiri pelipis dan tengkuknya. Dengan gemetar, dia menyalami Pak Jaya—papa Diaz sambil mengangguk takzim. Bibirnya gemetar memperkenalkan diri.
“Sa–saya A–Arum.”
“Ya, saya tahu. Diaz sudah cerita banyak tentang kamu. Perempuan hebat yang menjalankan bisnis kulinernya demi membangun panti asuhan. Saya terkesan sama Nak Arum,” kata Pak Jaya dengan seulas senyum ramah.
Ya, beliau ramah, seperti kata Diaz. Namun, ada yang membuat Arum canggung saat menatap pria itu. Seperti ada desiran aneh di dalam dadanya. Lelaki yang berwajah tegas dan maskulin seperti Diaz itu seperti tak asing baginya. Ada getaran tak biasa dalam diri Arum saat bersalaman tadi
“Ayo, duduk! Bibi sedang buatkan minum. Tunggu, ya,” bisik Diaz.
Arum tersenyum canggung. Gejolak dalam raganya semakin tak terkendali. Semakin detik waktu berjalan, perasaannya semakin tak keruan.
Diaz masih sibuk memasang tawa seraya mengobrol tentang bisnis kuliner Arum, meninggalkan Arum dengan segumpal kekhawatiran yang bercokol di pikiran Arum. Sempat terlintas niat untuk pergi saja sebelum orang yang membuat gelenyar dadanya memanas itu muncul ke ruang tamu.
Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.“Rum, tunggu dulu!”“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah ter
Kalau ada pria yang berisik mengacaukan dapur bahkan saat Arum tengah bersedih, tentu itu adalah Boy. Arum sempat mengerucutkan bibir saat pria itu tidak bisa diajak serius untuk berbagi duka. Saat Arum berusaha menata hati untuk bercerita tentang kejadian di rumah Diaz, Boy justru bertanya apa dia sudah makan malam atau belum. Saat Arum ingin menangis lagi, Boy justru berlari ke dapur dan mengguncangkan peralatan memasak dengan senandung lagu ceria. Gila!“Aku langsung jatuh cin ... taaa ... kepa ... damuuu .... Cinta pada pandangan per ... tamaaa ....”Boy meramaikan sunyinya dapur Arum dengan nada suara “maksa” menyanyikan lagu Dewa 19 itu.“Boy, berisik!” teriak Arum yang tak bisa konsentrasi dengan patah hatinya. Dia mengelap ingus alih-alih air mata di pipi. Saat hatinya kacau dan malah mendapat suara bass Boy yang dibuat falset, kepalanya jadi pusing.Boy mendengar keluhan itu, tetapi dia tak mau menjawab. Hanya
“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”“Maafkan Arum.”“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rum
D untuk Diaz.Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.Ayolah! D untuk Diaz!Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay
Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.“Kamu minum teh? Sejak kapan?” jawab Arum.“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.“Semalam aku bilang, ‘kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum beru
Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k
Aku hanya mengalami kesulitan membaca, bukan bodoh. Hanya karena ada tekanan di dalam diri sedari kecil yang menyebabkan aku murung dan menyendiri, maka secara tak sadar berimbas terhadap kemampuan belajar yang lainnya. Ini bukan kesimpulanku, melainkan kesimpulan seorang wanita yang membuat janji temu denganku dan Bu Asiyah. Dia mengatakan itu lepas aku bercerita poin-poin penting saja dalam perjalanan masa kecilku. Tidak semuanya.Namanya Bu Wanti. Seorang guru les privat calistung, juga sahabat Bu Asiyah. Seorang wanita yang pertama kali mengucapkan bahwa aku sebenarnya punya daya inteligensi yang bagus walau aku sulit membaca. Ini aneh. Sementara kenyataannya aku pernah tidak naik kelas, dan selalu mendapat peringkat terbawah. Beberapa guru pun menaikkan aku ke tingkat selanjutnya karena terang-terangan bosan melihatku.Selama tinggal di rumah Bu Asiyah, beliau menawarkan untuk melanjutkan sekolah. Bisa saja langsung masuk kelas sepuluh, jika memang aku sejatinya t
Suasana riuh. Suara-suara sumbang kembali berdenging. Aku merasa kembali duduk di bangku SD maupun SMP. Teman-teman melempariku dengan bulatan kertas dan spidol. Benda-benda itu serentak menutul kepala, hingga aku takut dan menyembunyikan wajah di balik lengan.Namun, sekarang aku bukan lagi di sekolah itu. Aku duduk manis di sebuah kelas di sekolah kejuruan swasta. Bukan sekolah terbaik, kata Bu Asiyah, tetapi akan tepat untukku menuntut ilmu. Meski agak kesiangan dan terpaksa duduk di bangku paling belakang, setidaknya suara berisik siswa-siswa di sini tidak seperti di Jepara. Mereka lebih cuek dari yang kukira, tidak menyapa jika tidak disapa lebih dulu, pun tidak ambil pusing dengan orang lain di sekitar mereka.Beberapa hari yang lalu, aku telah belajar lebih giat kepada Bu Wanti. Bagaimana tidak? Tersisa hanya enam hari sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Sementara ibuku telah mengeluarkan uang yang tak sedikit demi terapiku. Aku tidak mau mengecewakannya. Samp
Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.“Bukan itu rahasia terbesarnya!”“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.“Aku ... oh, aku ....”Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo
“Mau jalan-jalan denganku hari ini?”“Bukankah kita sudah jalan-jalan sepanjang trotoar ini?” sergah Arum.Boy berdesis. “Maksudku, kita jalan ke suatu tempat untuk memulihkan perasaanmu, Arumanis Karamel!”Seterbit senyum menghias wajah Arum. Sejak pertemuan dengan Diaz di kafe tadi, rasa-rasnaya baru detik itu dia bisa tersenyum. Baiklah. Habis sudah acara bersedih hati. Semakin berdamai dengan hati sendiri, maka akan semakin mudah untuk melupakan segala luka.“Berapa lama kamu tidak memanggilku seperti itu?” tanya Arum.Boy tampak berpikir keras. Tak disangka, dia benar-benar menghitung angka di kalender sejak pancake Arum gosong saat itu.“Sebulan, delapan hari, lebih sejam.”“Wah, hebat! Sepenting itu kamu mengingat kapan terakhir kali memanggilku Arumanis!” Arum tergelak sembari bertepuk tangan.“Jadi, mau ikut jalan-jalan, nggak?”
Diaz percaya satu hal, bahwa sebuah pengorbanan dalam urusan cinta itu datang dari hati. Seperti sebuah perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, maka pengorbanan itu pun tidak bisa dilakukannya sendiri. Hatinya dan hati Arum akan berusaha keras untuk itu.Dia berdiri di balkon kamar dan memandang sendu ke halaman rumahnya. Di gazebo itu mama dan papanya bercanda dengan mesra. Entah itu perasaan Diaz saja atau bagaimana, semenjak Bu Andini dirawat di rumah sakit, Pak Jaya sedikit banyak berubah. Pria yang dulu tidak terlalu peduli urusan keluarga dan membiarkan istrinya mengatur anak-anak sesuai kedisiplinannya, kini tampak perhatian. Mereka berdua bahkan saling mencium pipi di antara gelak tawa.Setelah Arum melepaskannya malam itu, Diaz yang bergejolak ingin segera memaki Bu Andini di ruang rawatnya. Dia ingin meminta keadilan dan pengertian, bahwa cintanya layak untuk diperjuangkan. Namun begitu dia membuka pintu ruangan itu, Mea menghalaunya.“Jang
“Dalam dua hari ini aku belajar memaafkan banyak hal. Bu Andini, Mbah Uti, terlebih diriku sendiri. Bagaimana denganmu, Boy?”Boy menikmati deru kereta api yang membawanya kembali ke Jakarta. Namun, pikirannya masih tertinggal di surat Mbah Uti yang belum selesai terbacakan untuk Arum. Arum memang membawa surat itu dalam tasnya, tetapi sepertinya dia mulai lupa telah berjanji untuk mengejanya sendiri.“Boy! Kamu nggak dengar aku bicara apa? Astaga, sejak kapan seorang Boy melamun? Oh, ya, ampun, Boy!”“Apa?”“Apa aku sudah keterlaluan mengambil jatah malam minggumu dengan pacarmu?”Dasar tidak peka, batin Boy.“Hanya anak muda yang pergi malam mingguan. Kekanakan!” ejek Boy.“Baiklah, Boy. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia. Katakan, apa sampai sekarang kamu masih berpacaran dengannya? Apa Mama tahu dia calon istrimu?”Boy tertawa kecil, d
Surat itu berisi beberapa lembar kertas dengan tulisan penuh di setiap lembar usangnya. Pena yang digunakan juga memendarkan warna hitam kekuningan. Khas orang tua zaman dahulu, tulisan tegak bersambung dengan ejaan lama.Baru membuka amplop bertuliskan “Untuk Arum” saja, matanya sudah berkunang-kunang. Huruf-huruf itu bertumpuk satu sama lain, kemudian memunculkan siluet-siluet aneh yang membuat kepalanya pusing. Keringat dinginnya bercucuran di tengkuk dan pelipis. Dia lupa kalau kemampuan membacanya menurun setelah meninggalnya Bu Asiyah.“Aku akan membacakannya untukmu. Tapi hanya satu-dua lembar. Sisanya, kamu harus membacanya sendiri.”Arum tampak lega saat Boy tidak jadi pergi dan memegangi badannya yang hampir roboh. Napas Arum yang tersengal berangsur normal. Dia sungguh berterima kasih karena Boy tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti itu sendirian.“Untuk Arum. Cucu Mbah Uti yang tersayang.” Boy mulai me
Setelah beralih kereta dari Semarang ke Jakarta, Arum mencari angkudes tujuan Pasar Kalinyamatan. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahirannya, banyak yang telah berubah. Kemajuan terlihat di sana-sini. Pembangunan terlihat pesat. Dia agak dibuat bingung fengan jalanan yang tidak sama lagi seperti ketika dia pergi meninggalkan kota itu.“Setelah ini, aku membayangkan kita akan naik delman! Aku belum pernah mencobanya! Kurasa menjadi tour guidelokal jauh lebih menarik daripada di luar!” kata Boy memecah kesunyian.“Ya, kita akan naik delman. Biar kamu bisa belajar dari seekor kuda, bagaimana cara menutup mata dari hal-hal tidak penting.”“Aku terbiasa mengurusi masalah yang penting saja.”“Oh, ya? Berarti aku termasuk salah satu yang penting itu, Boy?”“Apa?”“Tidak apa. Lupakan. Sudah waktunya kita turun.” Arum tampak menyembunyikan rasa malunya.Arum dan
Di dalam ruangan itu Pak Jaya menggenggam tangan istrinya. Dia terkantuk-kantuk tanpa sadar kalau Bu Andini belum memejamkan mata. Jadi tampak lucu karena sekilas terlihat Bu Andini yang sedang menjaga suaminya tidur pada siang hari.Tidak ada Diaz bersama mereka. Akan tetapi, ada Mea yang duduk di sofa dan membaca majalah. Sebelum Arum memberanikan diri mengetuk pintu, dia pastikan dulu situasi di ruangan itu lewat kaca di pintu yang tidak lebih lebar dari kusennya.“Arum, terima kasih karena mau menjenguk Tante,” sapa Mea begitu Arum masuk ke ruangan itu. Seketika Mea berdiri dan menyalami Arum.Pak Jaya membuka matanya, lalu mengedarkan pandangan hingga terpusat kepada Arum. Begitu pula Bu Andini, dia menoleh pelan ke tempat Arum berdiri. Wanita itu tampak sayu, hilang semua gurat rahang kukuh yang biasa menghias wajahnya, apalagi saat bertemu dengan Arum.“Kalian keluarlah! Aku mau bicara dengan Arum,” ucap Bu Andini memelas.
“Kamu jauh-jauh ke pantai hanya untuk membelikanku rumah keong murahan seperti ini? Astaga! Aku baru sadar kalau punya bos sepelit dirimu!”“Jangan cerewet, Boy! Sudah aku bilang, kami nggak sempat ke pasar ikan. Lagi pula di supermarket banyak jenis ikan, baik lokal maupun import. Lucu sekali kalau kamu berlibur ke pantai hanya untuk membeli ikan!” protes Arum balik.“Tahu begitu aku ikut!”“Kenapa juga batal ikut?”“Karena kamu mengajaknya!”“Mengajak siapa? Diaz, maksudmu?”“Ya, tentu saja! Dia pacarmu, dia punya mobil untukmu, jadi kamu tidak perlu berpanas-panasan naik motor, ‘kan? Lagi pula aku harus mengurus restoranmu yang sedang ramai!”“Aku nggak membanding-bandingkan, loh! Kamu sendiri yang bilang gitu. Bukankah kamu sudah janji sama Maira mau ikut? Kenapa kamu batalkan?”Boy tidak menjawab lagi. Dia fokus memotong s
“Horeee ... Maira mau ke ke pantai!”Suasana riuh dan sibuk pagi ini. Anak-anak itu berkemas pakaian sambil berceloteh riang tentang liburan seru kali ini. Sebagian yang lebih dewasa telah selesai dengan bawaannya, kemudian membantu Mbak Windri dan pengasuh yang lain di dapur untuk menyiapkan bekal.Cuaca sangat mendukung. Awan tipis-tipis berarak ke selatan, sesekali menghilang ditelan matahari yang benderang. Angin tidak terlalu kencang, jadi kemungkinan tidak akan turun hujan. Rekreasi ke pantai ini harus dinikmati banyak anak, makanya sedari malam Arum berdoa agar tidak turun hujan walau sudah masuk bulan Desember. Setidaknya hanya untuk hari ini.“Anak-anak sudah siap, Mbak Arum,” jelas Mbak Windri.Arum duduk di ruang tamu, memandang ke halaman sedari tadi. Apa lagi kata yang tepat kalau bukan sedang menunggu. Meski bukan menunggu tiga mobil sewaannya untuk berlibur, karena mobil itu sudah berjajar rapi di halaman rumah panti