Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.
Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?
“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.
“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.
“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k
Aku hanya mengalami kesulitan membaca, bukan bodoh. Hanya karena ada tekanan di dalam diri sedari kecil yang menyebabkan aku murung dan menyendiri, maka secara tak sadar berimbas terhadap kemampuan belajar yang lainnya. Ini bukan kesimpulanku, melainkan kesimpulan seorang wanita yang membuat janji temu denganku dan Bu Asiyah. Dia mengatakan itu lepas aku bercerita poin-poin penting saja dalam perjalanan masa kecilku. Tidak semuanya.Namanya Bu Wanti. Seorang guru les privat calistung, juga sahabat Bu Asiyah. Seorang wanita yang pertama kali mengucapkan bahwa aku sebenarnya punya daya inteligensi yang bagus walau aku sulit membaca. Ini aneh. Sementara kenyataannya aku pernah tidak naik kelas, dan selalu mendapat peringkat terbawah. Beberapa guru pun menaikkan aku ke tingkat selanjutnya karena terang-terangan bosan melihatku.Selama tinggal di rumah Bu Asiyah, beliau menawarkan untuk melanjutkan sekolah. Bisa saja langsung masuk kelas sepuluh, jika memang aku sejatinya t
Suasana riuh. Suara-suara sumbang kembali berdenging. Aku merasa kembali duduk di bangku SD maupun SMP. Teman-teman melempariku dengan bulatan kertas dan spidol. Benda-benda itu serentak menutul kepala, hingga aku takut dan menyembunyikan wajah di balik lengan.Namun, sekarang aku bukan lagi di sekolah itu. Aku duduk manis di sebuah kelas di sekolah kejuruan swasta. Bukan sekolah terbaik, kata Bu Asiyah, tetapi akan tepat untukku menuntut ilmu. Meski agak kesiangan dan terpaksa duduk di bangku paling belakang, setidaknya suara berisik siswa-siswa di sini tidak seperti di Jepara. Mereka lebih cuek dari yang kukira, tidak menyapa jika tidak disapa lebih dulu, pun tidak ambil pusing dengan orang lain di sekitar mereka.Beberapa hari yang lalu, aku telah belajar lebih giat kepada Bu Wanti. Bagaimana tidak? Tersisa hanya enam hari sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Sementara ibuku telah mengeluarkan uang yang tak sedikit demi terapiku. Aku tidak mau mengecewakannya. Samp
Boy adalah lelaki yang paling menyebalkan dalam hidupku. Memang, dia tidak jahat seperti teman-teman dari nasa laluku. Akan tetapi, sejak pertemuan pertama, dia tidak henti membuat hidupku semakin kacau. Dia tidak henti mengganggu konsentrasi saat membaca, merebut buku tulis kemudian menyalinkan pelajaran pada saat aku ingin mencobanya sendiri, bahkan membantu menghabiskan bekal makan tanpa kuminta. Dia selalu ada ke mana pun aku pergi. Sudah seperti bayang-bayang saja!Akan tetapi dia tak mengganggu siswi lainnya. Kenapa hanya aku? Bahkan, saat beberapa teman menyatakan perasaannya kepada Boy, anak menyebalkan itu tak acuh sekali. Belum lagi serangan penggemarnya dari kelas lain. Hampir setiap hari kelasku ramai anak perempuan yang mengejar Boy. Kenapa tidak dia terima saja salah satu dari mereka untuk dijadikan pacar? Jadi, aku tidak sampai tergencet seperti sekarang ini.“Lo anak cupu itu, ‘kan? Kenapa, sih, mepet Boy terus? Nggak ada kerjaan?”
Aku tidak pernah berpikir sebelumnya, bahwa seorang pelindung itu bisa saja bermula dari kelembutan yang rapuh, bahkan hampir saja kehilangan nyawanya. Namun nyatanya, Boy adalah seorang anak lelaki yang demikian. Itu tidak bisa dilihat dari seberapa menyebalkannya dia. Dari caranya yang cuek terhadap siswi perempuan satu sekolah, sampai seringnya dia menggetok kepalaku dengan kuat, juga dari sebuah tatoo di lengannya yang sekilas kulihat saat dia mengenakan kaus olahraga, menurutku Boy hanya seorang anak nakal dan tidak tahu aturan. Itu saja.“Dia anak Mama satu-satunya. Mama minta sekolah di tempat yang sama seperti kamu, biar bisa bantu kamu di sekolah.”Ini bukan kali pertama aku bertandang ke rumah Boy dan bertemu mamanya yang tak lain adalah Bu Wanti, tetapi ini pertama kalinya aku tahu bahwa ini rumahnya. Selain karena aku tidak pernah melihat Boy saat terapi membaca, Bu Wanti juga tidak pernah menyebutkan nama anak lelakinya.Entah kenapa dad
“Kamu tahu, Boy, semakin kita dekat, mereka memandangku seolah-olah aku tikus kecil yang siap diterkam. Bukankah mereka itu kucing-kucing manis yang sedang lapar?”“Mereka siapa? Aku nggak lihat siapa-siapa.”Kami sedang makan di kantin saat jam kosong. Setelah ujian semester akhir kelas sepuluh, banyak jam kosong yang diisi kegiatan siswa. Pengurus OSIS mengundang band lokal untuk mengisi acara. Murid-murid berkumpul di halaman sekolah dan bersuka cita. Akan tetapi, masih saja ada yang bergerombol di dekat kantin hanya untuk kepo terhadapku dan Boy.“Boy, lihatlah mereka! Itu yang duduk di bangku dekat koperasi, namanya Shila. Kakak kelas kita. Dia sudah lama memperhatikanmu. Aku sering lihat banyak anak SMA lain menemuinya di depan gerbang saat pulang sekolah. Dia populer, sepertinya. Cantik lagi.”“Hmm... dia pernah nembak langsung,” kata Boy sambil mengunyah mi ayam.“Oh, iya? Kok, kam
“Jadi Boy cinta pertama kamu?”Pertanyaan itu keluar juga dari bibir Diaz, tepat saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di halaman panti asuhan. Tepat juga ketika Arum selesai menceritakan satu bagian penting masa lalunya.Diaz tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, bahwa pria yang dimintainya tolong untuk menjadi perantara dirinya dan Arum, justru merupakan sosok penting dalam perjalanan hidup kekasihnya.“Mumpung belum malam, kita segera masuk, ya. Tempo hari kamu tidak sempat menyapa anak-anak karena mereka sudah tidur.” Alih-alih menjawab pertanyaan pria itu, Arum malah membuka pintu mobil dan berjalan santai naik ke teras rumahnya.“Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa menghindar? Malu?” Diaz menyusul langkah Arum. “Atau ... kamu masih ada rasa?” godanya.“Omong kosong. Kalau memang begitu, aku tidak akan menghabiskan air mata selama dua hari ini karena jauh darimu,” jujur Arum.
“Horeee ... Maira mau ke ke pantai!”Suasana riuh dan sibuk pagi ini. Anak-anak itu berkemas pakaian sambil berceloteh riang tentang liburan seru kali ini. Sebagian yang lebih dewasa telah selesai dengan bawaannya, kemudian membantu Mbak Windri dan pengasuh yang lain di dapur untuk menyiapkan bekal.Cuaca sangat mendukung. Awan tipis-tipis berarak ke selatan, sesekali menghilang ditelan matahari yang benderang. Angin tidak terlalu kencang, jadi kemungkinan tidak akan turun hujan. Rekreasi ke pantai ini harus dinikmati banyak anak, makanya sedari malam Arum berdoa agar tidak turun hujan walau sudah masuk bulan Desember. Setidaknya hanya untuk hari ini.“Anak-anak sudah siap, Mbak Arum,” jelas Mbak Windri.Arum duduk di ruang tamu, memandang ke halaman sedari tadi. Apa lagi kata yang tepat kalau bukan sedang menunggu. Meski bukan menunggu tiga mobil sewaannya untuk berlibur, karena mobil itu sudah berjajar rapi di halaman rumah panti
“Kamu jauh-jauh ke pantai hanya untuk membelikanku rumah keong murahan seperti ini? Astaga! Aku baru sadar kalau punya bos sepelit dirimu!”“Jangan cerewet, Boy! Sudah aku bilang, kami nggak sempat ke pasar ikan. Lagi pula di supermarket banyak jenis ikan, baik lokal maupun import. Lucu sekali kalau kamu berlibur ke pantai hanya untuk membeli ikan!” protes Arum balik.“Tahu begitu aku ikut!”“Kenapa juga batal ikut?”“Karena kamu mengajaknya!”“Mengajak siapa? Diaz, maksudmu?”“Ya, tentu saja! Dia pacarmu, dia punya mobil untukmu, jadi kamu tidak perlu berpanas-panasan naik motor, ‘kan? Lagi pula aku harus mengurus restoranmu yang sedang ramai!”“Aku nggak membanding-bandingkan, loh! Kamu sendiri yang bilang gitu. Bukankah kamu sudah janji sama Maira mau ikut? Kenapa kamu batalkan?”Boy tidak menjawab lagi. Dia fokus memotong s