Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!
“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.
Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.
“Bukan itu rahasia terbesarnya!”
“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.
“Aku ... oh, aku ....”
Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo
PrologKetika air langit jatuh, sudah pasti bumi akan basah. Entah gerimis, hujan petir, ataupun hujan es ... nyatanya aroma petrichor menandakan bahwa titik-titik air dari mega mendung itu telah mengecup tanah. Sama seperti satu alasan yang membuat aku buta sewaktu kecil. Entah itu alasan kecil, sedang, besar ....Sewaktu kecil aku buta. Anggap saja seperti itu. Aku tidak bisa melihat warna sinar matahari yang beralih dari oranye, kuning, merah, kemudian berubah gelap karena ditelan batas pandangan. Juga tidak bisa kulihat air yang semula berwarna bening menjadi biru kehijauan sehingga dinamakan laut. Di tepinya pun adalah pantai dengan butir-butir pasir beraneka warna, berbeda-beda di setiap bibirnya. Katanya.Anggap saja aku buta, tidak pasti kapan awalnya, juga tidak pasti kapan berakhirnya. Setiap kali Mbah Uti mengatakan bahwa aku sakit mata, maka detik itu pandanganku memburam dan berangsur tidak bisa melihat apa-apa. Mbah Uti biasanya menga
“Rum! Arumanis! Pancakemu gosong!”Teriakan Boy sontak membuat Arum berdesis. Mengganggu konsentrasi mengintip saja, pikir Arum. Perempuan itu melesat menuju pan di mana pancake yang didadarnya beberapa menit yang lalu, kini telah berwarna cokelat seperti kulit eksotisnya. Dia sibuk mengomel dan menyalahkan Boy karena tidak mau mematikan kompor atau apalah—yang bisa membantunya barang sedikit.“Jangan jadi pengintip, nanti matamu bintitan! Ya, kali ... kamu putri raja pakai mahkota, meskipun bintitan masih mengagumkan. Dasar, Arumanis Karamel!” Koki Benua Resto yang sekaligus sahabat Arum sejak SMA itu tertawa keras hingga memegangi perutnya.Selalu, pria jail yang memanggil Arum dengan sebutan Arumanis Karamel itu menggodanya akhir-akhir ini. Tepatnya sejak Arum mulai dekat dengan Diaz. Siang ini pun, saat Arum sedang asyik membuat pengisi perut di sela kegiatan menghitung administrasi restoran, Boy menarik lengannya dalam satu cek
Kamar almarhum Bu Asiyah adalah kamar Arum. Bukan karena dia kehabisan kamar di rumah yang sekarang beralih fungsi menjadi panti asuhan, melainkan karena sejak awal dia tidak mau tidur di kamarnya sendiri. Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang dulu masih dua tingkat itu, Arum mengetuk pintu kamar Bu Asiyah, meminta beliau agar membolehkannya tidur bersamanya. Ada ketakutan saat dia harus berada di kamar sendiri. Arum takut kembali menangis, takut sendirian.Dibukanya lemari baju di sudut dekat jendela. Aroma Bu Asiyah seketika menyeruak hidungnya. Meski telah bertahun-tahun lamanya ditinggal pergi, kenangan bersama ibu angkatnya tak lekang dari pikiran. Semangat, kasih sayang, juga pelukan ... terlalu membekas di sanubari Arum. Terkadang, ingatan yang manis justru membuatnya lemah untuk beberapa saat.“Arum kangen Ibu ....” Air mata Arum membasahi sepotong baju Bu Asiyah yang diambilnya.Besok, Diaz akan mengenalkannya kepada orangtuanya.
Terkadang, wajah yang setiap hari dengan begitu mudah menatapmu, justru di hatinya ada rahasia yang tidak pernah kamu ketahui. Setiap orang bebas meluapkan perasaannya, tetapi ada juga yang memilih diam dan menyimpan rasa dalam keheningan.Boy sudah menghabiskan dua cangkir kopinya di teras. Akan tetapi, hingga malam menjelang, orang yang dinantinya tak kunjung datang. Lelaki itu mengulum senyum kecewa. Denyut nyeri di hatinya memang sudah biasa dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, mengobati dengan kesendirian, tetaplah sulit dilakukan.“Makan dulu, Boy!” Bu Wanti—mama Boy—muncul dari dalam rumah, mengingatkan.Patuh. Boy memang patuh kepada orangtua tunggalnya. Hanya sekali dia berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan mamanya, yaitu ketika dia meninggalkan perusahaan travel, tepat saat jenjang kariernya tengah menanjak. Satu-satunya nama yang menjadi alasan lelaki itu, kini justru kembali memberikan aroma kekecewaa
Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.“Rum, tunggu dulu!”“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah ter
Kalau ada pria yang berisik mengacaukan dapur bahkan saat Arum tengah bersedih, tentu itu adalah Boy. Arum sempat mengerucutkan bibir saat pria itu tidak bisa diajak serius untuk berbagi duka. Saat Arum berusaha menata hati untuk bercerita tentang kejadian di rumah Diaz, Boy justru bertanya apa dia sudah makan malam atau belum. Saat Arum ingin menangis lagi, Boy justru berlari ke dapur dan mengguncangkan peralatan memasak dengan senandung lagu ceria. Gila!“Aku langsung jatuh cin ... taaa ... kepa ... damuuu .... Cinta pada pandangan per ... tamaaa ....”Boy meramaikan sunyinya dapur Arum dengan nada suara “maksa” menyanyikan lagu Dewa 19 itu.“Boy, berisik!” teriak Arum yang tak bisa konsentrasi dengan patah hatinya. Dia mengelap ingus alih-alih air mata di pipi. Saat hatinya kacau dan malah mendapat suara bass Boy yang dibuat falset, kepalanya jadi pusing.Boy mendengar keluhan itu, tetapi dia tak mau menjawab. Hanya
“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”“Maafkan Arum.”“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rum
D untuk Diaz.Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.Ayolah! D untuk Diaz!Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay