D untuk Diaz.
Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.
Ayolah! D untuk Diaz!
Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.
Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay
Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.“Kamu minum teh? Sejak kapan?” jawab Arum.“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.“Semalam aku bilang, ‘kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum beru
Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k
Aku hanya mengalami kesulitan membaca, bukan bodoh. Hanya karena ada tekanan di dalam diri sedari kecil yang menyebabkan aku murung dan menyendiri, maka secara tak sadar berimbas terhadap kemampuan belajar yang lainnya. Ini bukan kesimpulanku, melainkan kesimpulan seorang wanita yang membuat janji temu denganku dan Bu Asiyah. Dia mengatakan itu lepas aku bercerita poin-poin penting saja dalam perjalanan masa kecilku. Tidak semuanya.Namanya Bu Wanti. Seorang guru les privat calistung, juga sahabat Bu Asiyah. Seorang wanita yang pertama kali mengucapkan bahwa aku sebenarnya punya daya inteligensi yang bagus walau aku sulit membaca. Ini aneh. Sementara kenyataannya aku pernah tidak naik kelas, dan selalu mendapat peringkat terbawah. Beberapa guru pun menaikkan aku ke tingkat selanjutnya karena terang-terangan bosan melihatku.Selama tinggal di rumah Bu Asiyah, beliau menawarkan untuk melanjutkan sekolah. Bisa saja langsung masuk kelas sepuluh, jika memang aku sejatinya t
Suasana riuh. Suara-suara sumbang kembali berdenging. Aku merasa kembali duduk di bangku SD maupun SMP. Teman-teman melempariku dengan bulatan kertas dan spidol. Benda-benda itu serentak menutul kepala, hingga aku takut dan menyembunyikan wajah di balik lengan.Namun, sekarang aku bukan lagi di sekolah itu. Aku duduk manis di sebuah kelas di sekolah kejuruan swasta. Bukan sekolah terbaik, kata Bu Asiyah, tetapi akan tepat untukku menuntut ilmu. Meski agak kesiangan dan terpaksa duduk di bangku paling belakang, setidaknya suara berisik siswa-siswa di sini tidak seperti di Jepara. Mereka lebih cuek dari yang kukira, tidak menyapa jika tidak disapa lebih dulu, pun tidak ambil pusing dengan orang lain di sekitar mereka.Beberapa hari yang lalu, aku telah belajar lebih giat kepada Bu Wanti. Bagaimana tidak? Tersisa hanya enam hari sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Sementara ibuku telah mengeluarkan uang yang tak sedikit demi terapiku. Aku tidak mau mengecewakannya. Samp
Boy adalah lelaki yang paling menyebalkan dalam hidupku. Memang, dia tidak jahat seperti teman-teman dari nasa laluku. Akan tetapi, sejak pertemuan pertama, dia tidak henti membuat hidupku semakin kacau. Dia tidak henti mengganggu konsentrasi saat membaca, merebut buku tulis kemudian menyalinkan pelajaran pada saat aku ingin mencobanya sendiri, bahkan membantu menghabiskan bekal makan tanpa kuminta. Dia selalu ada ke mana pun aku pergi. Sudah seperti bayang-bayang saja!Akan tetapi dia tak mengganggu siswi lainnya. Kenapa hanya aku? Bahkan, saat beberapa teman menyatakan perasaannya kepada Boy, anak menyebalkan itu tak acuh sekali. Belum lagi serangan penggemarnya dari kelas lain. Hampir setiap hari kelasku ramai anak perempuan yang mengejar Boy. Kenapa tidak dia terima saja salah satu dari mereka untuk dijadikan pacar? Jadi, aku tidak sampai tergencet seperti sekarang ini.“Lo anak cupu itu, ‘kan? Kenapa, sih, mepet Boy terus? Nggak ada kerjaan?”
Aku tidak pernah berpikir sebelumnya, bahwa seorang pelindung itu bisa saja bermula dari kelembutan yang rapuh, bahkan hampir saja kehilangan nyawanya. Namun nyatanya, Boy adalah seorang anak lelaki yang demikian. Itu tidak bisa dilihat dari seberapa menyebalkannya dia. Dari caranya yang cuek terhadap siswi perempuan satu sekolah, sampai seringnya dia menggetok kepalaku dengan kuat, juga dari sebuah tatoo di lengannya yang sekilas kulihat saat dia mengenakan kaus olahraga, menurutku Boy hanya seorang anak nakal dan tidak tahu aturan. Itu saja.“Dia anak Mama satu-satunya. Mama minta sekolah di tempat yang sama seperti kamu, biar bisa bantu kamu di sekolah.”Ini bukan kali pertama aku bertandang ke rumah Boy dan bertemu mamanya yang tak lain adalah Bu Wanti, tetapi ini pertama kalinya aku tahu bahwa ini rumahnya. Selain karena aku tidak pernah melihat Boy saat terapi membaca, Bu Wanti juga tidak pernah menyebutkan nama anak lelakinya.Entah kenapa dad
“Kamu tahu, Boy, semakin kita dekat, mereka memandangku seolah-olah aku tikus kecil yang siap diterkam. Bukankah mereka itu kucing-kucing manis yang sedang lapar?”“Mereka siapa? Aku nggak lihat siapa-siapa.”Kami sedang makan di kantin saat jam kosong. Setelah ujian semester akhir kelas sepuluh, banyak jam kosong yang diisi kegiatan siswa. Pengurus OSIS mengundang band lokal untuk mengisi acara. Murid-murid berkumpul di halaman sekolah dan bersuka cita. Akan tetapi, masih saja ada yang bergerombol di dekat kantin hanya untuk kepo terhadapku dan Boy.“Boy, lihatlah mereka! Itu yang duduk di bangku dekat koperasi, namanya Shila. Kakak kelas kita. Dia sudah lama memperhatikanmu. Aku sering lihat banyak anak SMA lain menemuinya di depan gerbang saat pulang sekolah. Dia populer, sepertinya. Cantik lagi.”“Hmm... dia pernah nembak langsung,” kata Boy sambil mengunyah mi ayam.“Oh, iya? Kok, kam
“Jadi Boy cinta pertama kamu?”Pertanyaan itu keluar juga dari bibir Diaz, tepat saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di halaman panti asuhan. Tepat juga ketika Arum selesai menceritakan satu bagian penting masa lalunya.Diaz tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, bahwa pria yang dimintainya tolong untuk menjadi perantara dirinya dan Arum, justru merupakan sosok penting dalam perjalanan hidup kekasihnya.“Mumpung belum malam, kita segera masuk, ya. Tempo hari kamu tidak sempat menyapa anak-anak karena mereka sudah tidur.” Alih-alih menjawab pertanyaan pria itu, Arum malah membuka pintu mobil dan berjalan santai naik ke teras rumahnya.“Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa menghindar? Malu?” Diaz menyusul langkah Arum. “Atau ... kamu masih ada rasa?” godanya.“Omong kosong. Kalau memang begitu, aku tidak akan menghabiskan air mata selama dua hari ini karena jauh darimu,” jujur Arum.