“Kamu jauh-jauh ke pantai hanya untuk membelikanku rumah keong murahan seperti ini? Astaga! Aku baru sadar kalau punya bos sepelit dirimu!”
“Jangan cerewet, Boy! Sudah aku bilang, kami nggak sempat ke pasar ikan. Lagi pula di supermarket banyak jenis ikan, baik lokal maupun import. Lucu sekali kalau kamu berlibur ke pantai hanya untuk membeli ikan!” protes Arum balik.
“Tahu begitu aku ikut!”
“Kenapa juga batal ikut?”
“Karena kamu mengajaknya!”
“Mengajak siapa? Diaz, maksudmu?”
“Ya, tentu saja! Dia pacarmu, dia punya mobil untukmu, jadi kamu tidak perlu berpanas-panasan naik motor, ‘kan? Lagi pula aku harus mengurus restoranmu yang sedang ramai!”
“Aku nggak membanding-bandingkan, loh! Kamu sendiri yang bilang gitu. Bukankah kamu sudah janji sama Maira mau ikut? Kenapa kamu batalkan?”
Boy tidak menjawab lagi. Dia fokus memotong s
Di dalam ruangan itu Pak Jaya menggenggam tangan istrinya. Dia terkantuk-kantuk tanpa sadar kalau Bu Andini belum memejamkan mata. Jadi tampak lucu karena sekilas terlihat Bu Andini yang sedang menjaga suaminya tidur pada siang hari.Tidak ada Diaz bersama mereka. Akan tetapi, ada Mea yang duduk di sofa dan membaca majalah. Sebelum Arum memberanikan diri mengetuk pintu, dia pastikan dulu situasi di ruangan itu lewat kaca di pintu yang tidak lebih lebar dari kusennya.“Arum, terima kasih karena mau menjenguk Tante,” sapa Mea begitu Arum masuk ke ruangan itu. Seketika Mea berdiri dan menyalami Arum.Pak Jaya membuka matanya, lalu mengedarkan pandangan hingga terpusat kepada Arum. Begitu pula Bu Andini, dia menoleh pelan ke tempat Arum berdiri. Wanita itu tampak sayu, hilang semua gurat rahang kukuh yang biasa menghias wajahnya, apalagi saat bertemu dengan Arum.“Kalian keluarlah! Aku mau bicara dengan Arum,” ucap Bu Andini memelas.
Setelah beralih kereta dari Semarang ke Jakarta, Arum mencari angkudes tujuan Pasar Kalinyamatan. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahirannya, banyak yang telah berubah. Kemajuan terlihat di sana-sini. Pembangunan terlihat pesat. Dia agak dibuat bingung fengan jalanan yang tidak sama lagi seperti ketika dia pergi meninggalkan kota itu.“Setelah ini, aku membayangkan kita akan naik delman! Aku belum pernah mencobanya! Kurasa menjadi tour guidelokal jauh lebih menarik daripada di luar!” kata Boy memecah kesunyian.“Ya, kita akan naik delman. Biar kamu bisa belajar dari seekor kuda, bagaimana cara menutup mata dari hal-hal tidak penting.”“Aku terbiasa mengurusi masalah yang penting saja.”“Oh, ya? Berarti aku termasuk salah satu yang penting itu, Boy?”“Apa?”“Tidak apa. Lupakan. Sudah waktunya kita turun.” Arum tampak menyembunyikan rasa malunya.Arum dan
Surat itu berisi beberapa lembar kertas dengan tulisan penuh di setiap lembar usangnya. Pena yang digunakan juga memendarkan warna hitam kekuningan. Khas orang tua zaman dahulu, tulisan tegak bersambung dengan ejaan lama.Baru membuka amplop bertuliskan “Untuk Arum” saja, matanya sudah berkunang-kunang. Huruf-huruf itu bertumpuk satu sama lain, kemudian memunculkan siluet-siluet aneh yang membuat kepalanya pusing. Keringat dinginnya bercucuran di tengkuk dan pelipis. Dia lupa kalau kemampuan membacanya menurun setelah meninggalnya Bu Asiyah.“Aku akan membacakannya untukmu. Tapi hanya satu-dua lembar. Sisanya, kamu harus membacanya sendiri.”Arum tampak lega saat Boy tidak jadi pergi dan memegangi badannya yang hampir roboh. Napas Arum yang tersengal berangsur normal. Dia sungguh berterima kasih karena Boy tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti itu sendirian.“Untuk Arum. Cucu Mbah Uti yang tersayang.” Boy mulai me
“Dalam dua hari ini aku belajar memaafkan banyak hal. Bu Andini, Mbah Uti, terlebih diriku sendiri. Bagaimana denganmu, Boy?”Boy menikmati deru kereta api yang membawanya kembali ke Jakarta. Namun, pikirannya masih tertinggal di surat Mbah Uti yang belum selesai terbacakan untuk Arum. Arum memang membawa surat itu dalam tasnya, tetapi sepertinya dia mulai lupa telah berjanji untuk mengejanya sendiri.“Boy! Kamu nggak dengar aku bicara apa? Astaga, sejak kapan seorang Boy melamun? Oh, ya, ampun, Boy!”“Apa?”“Apa aku sudah keterlaluan mengambil jatah malam minggumu dengan pacarmu?”Dasar tidak peka, batin Boy.“Hanya anak muda yang pergi malam mingguan. Kekanakan!” ejek Boy.“Baiklah, Boy. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia. Katakan, apa sampai sekarang kamu masih berpacaran dengannya? Apa Mama tahu dia calon istrimu?”Boy tertawa kecil, d
Diaz percaya satu hal, bahwa sebuah pengorbanan dalam urusan cinta itu datang dari hati. Seperti sebuah perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, maka pengorbanan itu pun tidak bisa dilakukannya sendiri. Hatinya dan hati Arum akan berusaha keras untuk itu.Dia berdiri di balkon kamar dan memandang sendu ke halaman rumahnya. Di gazebo itu mama dan papanya bercanda dengan mesra. Entah itu perasaan Diaz saja atau bagaimana, semenjak Bu Andini dirawat di rumah sakit, Pak Jaya sedikit banyak berubah. Pria yang dulu tidak terlalu peduli urusan keluarga dan membiarkan istrinya mengatur anak-anak sesuai kedisiplinannya, kini tampak perhatian. Mereka berdua bahkan saling mencium pipi di antara gelak tawa.Setelah Arum melepaskannya malam itu, Diaz yang bergejolak ingin segera memaki Bu Andini di ruang rawatnya. Dia ingin meminta keadilan dan pengertian, bahwa cintanya layak untuk diperjuangkan. Namun begitu dia membuka pintu ruangan itu, Mea menghalaunya.“Jang
“Mau jalan-jalan denganku hari ini?”“Bukankah kita sudah jalan-jalan sepanjang trotoar ini?” sergah Arum.Boy berdesis. “Maksudku, kita jalan ke suatu tempat untuk memulihkan perasaanmu, Arumanis Karamel!”Seterbit senyum menghias wajah Arum. Sejak pertemuan dengan Diaz di kafe tadi, rasa-rasnaya baru detik itu dia bisa tersenyum. Baiklah. Habis sudah acara bersedih hati. Semakin berdamai dengan hati sendiri, maka akan semakin mudah untuk melupakan segala luka.“Berapa lama kamu tidak memanggilku seperti itu?” tanya Arum.Boy tampak berpikir keras. Tak disangka, dia benar-benar menghitung angka di kalender sejak pancake Arum gosong saat itu.“Sebulan, delapan hari, lebih sejam.”“Wah, hebat! Sepenting itu kamu mengingat kapan terakhir kali memanggilku Arumanis!” Arum tergelak sembari bertepuk tangan.“Jadi, mau ikut jalan-jalan, nggak?”
Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.“Bukan itu rahasia terbesarnya!”“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.“Aku ... oh, aku ....”Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo
PrologKetika air langit jatuh, sudah pasti bumi akan basah. Entah gerimis, hujan petir, ataupun hujan es ... nyatanya aroma petrichor menandakan bahwa titik-titik air dari mega mendung itu telah mengecup tanah. Sama seperti satu alasan yang membuat aku buta sewaktu kecil. Entah itu alasan kecil, sedang, besar ....Sewaktu kecil aku buta. Anggap saja seperti itu. Aku tidak bisa melihat warna sinar matahari yang beralih dari oranye, kuning, merah, kemudian berubah gelap karena ditelan batas pandangan. Juga tidak bisa kulihat air yang semula berwarna bening menjadi biru kehijauan sehingga dinamakan laut. Di tepinya pun adalah pantai dengan butir-butir pasir beraneka warna, berbeda-beda di setiap bibirnya. Katanya.Anggap saja aku buta, tidak pasti kapan awalnya, juga tidak pasti kapan berakhirnya. Setiap kali Mbah Uti mengatakan bahwa aku sakit mata, maka detik itu pandanganku memburam dan berangsur tidak bisa melihat apa-apa. Mbah Uti biasanya menga