Alex pulang ke kampung halamannya setelah mendapatkan telepon kalau ibunya sakit parah. kondisinya Ibunya memang sudah sakit-sakitan. Permintaan terakhir ibunya, Alex disuruh menikahi Laila, gadis berkerudung yang setia merawat ibunya. Alex terpaksa menyetujui permintaan itu, tapi dia sudah terlanjur melamar Nina sang kekasih yang tidak pernah direstui ibunya. Pada akhirnya sang ibu tidak bisa tertolong. Alex berada dalam dilema, antara menjalankan wasiat ibunya, atau menepati janjinya pada Nina.
View MoreNina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d
“Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d
Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s
“Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak
Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng
Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na
Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan
Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska
Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye
Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments