"Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan.
Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."
Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."
Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex.
"Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu."
"Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex dengan nada yang dibuat bersemangat.
"Sepertinya kamu sudah sangat ingin menikah, usia Laila juga sudah dua puluh tahun. Kalian terlihat sangat serasi sekali."
"Bu, Alex sudah melamar Nina." Alex dengan berat hati menyampaikan apa yang sebenarnya sudah dilakukannya. Biarlah dikatakan dia egois, yang terpenting adalah dia sudah mengupayakan tindakan yang berani. Mengambil resiko atas tindakan yang telah dilakukannya.
Deg. Wajah yang semula mulai cerah dan tersenyum itu sekarang redup kembali. Senyum itu menghilang dalam sekejap, membuat Alex merasa menyesal mengatakan kebenarannya.
"Kamu sama sekali tidak mempertimbangkan ibu, Alex. Ibu tidak menyangka, demi wanita itu kamu melupakan ibu, mengabaikan dan sama sekali tidak menganggap keberadaan ibu. Apa baiknya dia sampai kamu tega pada ibu, hah!"
Ibu Alex memegang dadanya yang terasa nyeri. Gurat kesakitan dan kecewa itu tercetak jelas di wajahnya yang renta.
"Bu, Alex hanya mengatakan yang sebenarnya, kalau Ibu tidak merestui kami ...."
"Pergilah keluar, ibu tidak ingin melihatmu."
"Bu ...."
"Cukup, Alex, jangan membuat ibu semakin kesakitan karena harus mendengar permintaanmu yang jelas-jelas sudah ibu tolak berulang kali."
Alex mengusap wajahnya kasar, ia tidak menyangka reaksi Ibunya akan setegas itu. Dengan ragu, Alex keluar dari kamar ibunya. Ia masih saja menatap ke belakang.
Sang ibu membuang muka, menyembunyikan tangis kepedihannya.
***"Kenapa kamu mau menerima permintaan Ibu?" tanya Alex sore itu. Mereka duduk di ruang tamu, di antara tumpukan piring yang baru dicuci Laila.
Laila menunduk, menatap lantai. "Ibu baik sekali pada saya. Waktu orang tua saya meninggal, Ibu merawat saya seperti anaknya sendiri. Saya tidak bisa menolak permintaan terakhirnya."
Alex mengangguk pelan. Ada rasa hormat dalam dirinya terhadap gadis itu, tetapi juga kebingungan. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Laila hanyalah seseorang yang hampir tidak ia kenal. Dan di sisi lain, ada Nina yang pasti menunggunya di kota dengan banyak pertanyaan.
Alex membuang pandangannya ke arah pintu depan yang dibiarkan terbuka, menurut Laila, untuk menghindari fitnah dari tetangga. Para ibu-ibu yang tadi menemani Laila sejak siang tadi sudah pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah Laila yang telaten mengurus Ibu Fatma--ibunya Alex. Tadi siang kondisinya tidak begitu baik, wanita tua itu menolak makan siang, rencana untuk makan siang bersama gagal total. Laila tahu, itu ada sangkut pautnya dengan Alex, tetapi ia tidak mau terlalu jauh mencampuri urusan ibu dan anak yang menurutnya terlalu rumit itu.
Dua jam kemudian Bu Fatma baru berhasil dibujuk Laila untuk makan dan minum obat, setelahnya, wanita itu tertidur sehingga Laila bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.
Dalam keheningan di antara keduanya, helaan nafas kasar terdengar. Alex tampak sangat frustasi, lelaki itu akhirnya memberanikan diri untuk berbicara secara terbuka dengan Laila. "Laila, aku ingin kita bicara serius," kata Alex. "Aku tahu kita sama-sama gak siap untuk ini."
Laila menunduk, seperti biasa tidak menunjukkan ketertarikan tehadap pembahasan yang dia tahu menyangkut dirinya. "Saya hanya menjalankan amanah Ibu, Mas Alex."
"Aku paham, dan aku menghormati kamu. Tapi aku juga harus jujur. Aku punya seseorang di kota. Aku sudah melamarnya, meskipun belum secara resmi."
Kali ini, Laila mendongak, matanya menunjukkan keterkejutan. "Kalau begitu, kenapa Mas Alex setuju dengan ucapan ibu tadi?"
Alex menggigit bibirnya. "Aku gak punya pilihan lain. Ibu sudah sangat sakit, dan aku gak mau membuatnya kecewa di detik-detik terakhirnya."
Laila diam sejenak, lalu berkata pelan, "Saya juga tidak ingin memaksakan rencana pernikahan itu, Mas. Kalau Mas Alex ingin membatalkannya, saya tidak apa-apa." Nada suara Laila terdengar datar, gadis itu benar-benar tidak tertarik dengan Alex.
"Aku ingin mencari solusi yang terbaik untuk kita semua," kata Alex. "Tapi aku juga gak tahu apa itu."
"Jangan memaksakan diri, Mas."
Alex tidak membalas ucapan Laila. Keheningan dan kecanggungan tampak begitu membelenggu keduanya.
Laila tidak terlalu peduli, ia dengan cekatan mengelap piring dan menyimpannya. Gadis itu juga mengangkat jemuran milik Bu Fatma, melipatnya kemudian menyimpannya di lemari kamar. Ia mengerjakan semuanya dengan cekatan, seolah-olah Alex tidak berada di sana.
Alex sendiri tenggelam dalam kebimbangan, pria itu bahkan lupa mengecek ponselnya. Dia tidak tahu, di Jakarta, Nina menunggu kabar darinya dengan perasaan tak menentu.
Malam itu, usai sholat isya, Laila berpamitan pulang. Ia tidak menginap di rumah Alex mengingat pria itu sudah ada di rumah. Meskipun meragukan kemampuan Alex merawat ibu kandungnya sendiri, Laila terpaksa pulang untuk menghindari ketidaknyamanan berada di sana. Ia juga harus berpikir matang-matang akan keputusannya, mengingat Alex sudah mengikat janji dengan perempuan lain.
Pagi-pagi sekali, Laila yang semalam pulang ke rumahnya sendiri sudah berkunjung. Gadis itu membawakan bubur untuk Bu Fatma. Sesuai pesan dari para tetangga, dia tidak boleh membiarkan Alex merawat ibunya terlalu lama. Pria itu tahunya hanya membuat ibunya menangis dan menangis.
"Apa yang ada di tanganmu?" tanya Alex dengan sorot mata curiga.
"Ini bubur untuk Ibu, apa Ibu sudah bangun, Mas?" Laila bertanya dengan lembut.
Alex mengangguk pelan sambil melipat kedua tangannya di dada. "Ibu sudah bangun. Tapi aku bisa mengurus semuanya sendiri. Kamu tidak perlu repot-repot datang setiap pagi," jawabnya dengan nada dingin.
Laila menarik napas panjang. "Mas, aku tahu kamu bisa mengurusnya. Tapi aku hanya ingin memastikan Ibu mendapatkan perhatian yang dia butuhkan. Dia butuh orang yang sabar untuk merawatnya," katanya, suaranya lembut tapi tegas. Laila tidak akan membiarkan Bu Fatma tambah sakit dengan sikap Alex yang egois.
Alex mendekat, matanya menyipit. "Kamu pikir aku tidak cukup sabar?" Nada bicaranya mulai meninggi.
Laila menatap Alex tanpa gentar. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya ingin membantu. Kita semua tahu ini bukan tentang siapa yang lebih baik. Ini tentang Ibu."
Suasana menjadi tegang. Laila berusaha menjaga ketenangannya, sementara Alex terlihat seperti menahan sesuatu—entah amarah, rasa bersalah, atau mungkin keduanya. Dalam diam yang canggung itu, suara Bu Fatma memecah suasana dari kamar.
"Laila, itu kamu?" panggilnya dengan suara lemah.
Laila segera tersenyum dan melangkah melewati Alex. "Iya, Bu. Aku bawakan bubur untuk Ibu," katanya sambil berjalan menuju kamar Bu Fatma.
Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye
Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska
Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan
Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na
Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng
“Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak
Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s
“Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d
Nina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d
“Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d
Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s
“Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak
Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng
Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na
Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan
Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska
Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye