Beranda / Romansa / Wanita Pilihan Ibu / Suara Wanita di Telepon

Share

Suara Wanita di Telepon

Penulis: Qoi_hami
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 11:30:35

Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.

Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara.

"Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.

Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.

Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"

Laila menggeleng sambil menyesuaikan posisi bantal di belakang Bu Fatma. "Aku membawa pekerjaanku pulang, Bu. Bos di kantor memperbolehkannya. Aku tidak mau jauh-jauh dari Ibu."

Bu Fatma menghela napas lega. "Syukurlah. Kamu memang anak baik. Semoga Allah selalu menjagamu dan mengelilingi kamu dengan orang-orang yang baik."

"Amin," jawab Laila sambil tersenyum, tapi di matanya tersirat keletihan yang disembunyikan. Ia tahu perjuangannya membagi waktu antara pekerjaan dan merawat Bu Fatma tidaklah mudah, tapi hatinya tenang setiap kali melihat wanita tua itu tersenyum.

Setelah mengambil sendok, Laila mulai menyuapi Bu Fatma dengan perlahan. "Bismillah, Bu. Kita makan dulu ya. Jangan buru-buru," ujarnya lembut.

Bu Fatma mengunyah perlahan, matanya tetap menatap Laila. "Andai saja Alex bisa sebaik dirimu," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.

Laila tersenyum kaku. Ucapan itu terasa seperti duri kecil yang menusuk, tapi ia memilih diam. Ia tahu Alex sedang berjuang dengan caranya sendiri, meskipun seringkali caranya justru membuat Bu Fatma kecewa.

"Ibu tidak perlu memikirkan yang lain. Fokus saja untuk sehat, ya," kata Laila akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Bu Fatma mengangguk, tapi matanya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu betapa besar peran Laila dalam hidupnya, jauh melampaui Alex, putranya sendiri.

Tanpa keduanya sadari, sejak Laila melangkah masuk ke kamar Bu Fatma, Alex mengintip dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Mata pria itu memperhatikan setiap gerakan Laila. Hatinya mencelos melihat bagaimana gadis itu memperlakukan ibunya dengan penuh kelembutan. Laila menyuapi Bu Fatma dengan telaten, menemaninya berbicara, dan membujuknya dengan kalimat-kalimat penuh penyemangat. Seolah-olah Bu Fatma adalah ibu kandungnya sendiri, bukan milik Alex.

Alex berdiri kaku di ambang pintu. Ada rasa asing yang menjalari dadanya. Sejenak pikirannya melayang pada Nina—gadis yang selama ini menjadi bagian dari rencananya untuk masa depan. Nina tidak pernah selembut Laila. Kekasihnya itu selalu tampil apa adanya, energik, dan lugas. Ia mencintai Nina karena kejujurannya, meskipun terkadang sikapnya terasa terlalu blak-blakan.

Namun, berbeda dengan Laila. Bagi Alex, Laila adalah teka-teki. Gadis itu tampak terlalu tertutup, menyimpan banyak hal dalam diamnya. Sejak kapan ia sedekat itu dengan ibunya? Pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya.

"Aku seperti tidak mengenali Ibu lagi," gumam Alex lirih, suaranya tenggelam dalam ruang kosong di sekitarnya. Ia tidak ingin mengganggu momen sarapan ibunya, jadi ia memutuskan pergi ke dapur. Tangannya cekatan menyeduh kopi, meski pikirannya berkelana entah ke mana. Dengan secangkir kopi di tangan, ia melangkah ke ruang tamu, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya.

Di ruang tamu yang sepi, Alex duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding. Sesekali ia menyeruput kopi, berharap cairan pahit itu bisa menenangkan pikirannya. Di kepalanya, rencana-rencana yang selama ini ia susun mulai terasa berantakan.

Lamunannya pecah ketika nada dering ponselnya tiba-tiba menggema, memekakkan telinga. Suara itu begitu keras hingga membuatnya terlonjak. Alex merutuk pelan, mungkin semalam ia lupa mengatur volume ponselnya. Dengan cepat, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

Seketika dadanya berdebar saat membaca nama yang tertera di layar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengangkat panggilan itu. Nama Nina terpampang jelas di layar ponselnya.

“Halo, Nin.”

“Halo, Mas. Kok kamu nggak ngabarin aku kalau sudah sampai sih?” Nada suara Nina terdengar kesal, seperti biasa ketika ia merasa diabaikan.

Alex menghela napas, berusaha menahan emosinya. “Maaf, Nin. Aku langsung sibuk begitu sampai. Sakit Ibu sudah lumayan parah. Sekarang Ibu hanya bisa terbaring di tempat tidur.”

Di seberang sana, terdengar helaan napas Nina, kali ini lebih lembut. “Ya Tuhan... kenapa kamu nggak kasih tahu aku, Mas? Terus gimana? Kamu sudah bawa Ibu ke rumah sakit?”

Alex menggeleng meski tahu Nina tidak akan melihatnya. “Sudah, kemarin Ibu dibawa ke rumah sakit sama para warga. Tapi dokter bilang rawat jalan saja.”

“Lho, kok nggak opname?” Nada Nina mulai meninggi, mencerminkan kekhawatirannya.

Alex memijat pelipisnya. Pertanyaan itu membuatnya kembali diingatkan pada kesulitannya. “Nggak ada yang bisa menunggu Ibu di rumah sakit, Nin. Ibu lebih nyaman di rumah, walaupun keadaannya lemah.”

Sejenak hening. Nina akhirnya bertanya lagi, suaranya terdengar lebih lembut. “Mas, kamu nggak apa-apa, kan? Kamu oke?”

Alex menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Mas nggak bisa bilang kalau Mas baik-baik saja, Nin. Kondisi Ibu sudah sangat lemah, dan aku... aku hanya berusaha melakukan yang terbaik sekarang.”

“Kalau gitu aku akan menyusul ke Sukabumi, Mas. Aku bisa bantu kamu merawat Ibu.”

Alex terdiam. Kalimat Nina itu membuat dadanya terasa sesak. Sebuah perasaan campur aduk menguasainya—antara rasa syukur atas niat baik Nina dan kecemasan akan dampak kehadirannya di rumah. Ia tahu, Nina dengan sifatnya yang blak-blakan mungkin akan membuat situasi semakin rumit.

“Nin, kamu nggak perlu ke sini. Aku tahu kamu sibuk kerja. Doakan Ibu saja dari sana,” ujarnya akhirnya, berusaha membuat suaranya setenang mungkin.

“Tapi, Mas—”

“Sudahlah, Nin,” potong Alex dengan lembut. “Kamu nggak perlu repot-repot. Doamu sudah cukup untuk bantu Mas di sini.”

“Ya sudah, tapi aku minta kamu terus mengabari aku,” ujar Nina, suaranya terdengar tegas namun mengandung nada khawatir.

“Baik, Nin. Aku janji, aku akan terus kasih kabar ke kamu. Maaf kalau aku...”

Ucapan Alex terhenti. Dari arah kamar Bu Fatma terdengar suara ribut, seperti sesuatu yang jatuh. Refleks, Alex bangkit dari sofa, matanya terarah ke pintu kamar. Ponselnya masih di tangan, tetapi pikirannya langsung terfokus pada sumber keributan itu.

“Mas Alex, Ii-ibu, Mas!” Laila muncul dari balik pintu kamar, suaranya bergetar dan penuh kepanikan. Tubuh gadis itu gemetar, sementara air mata sudah menggenang di matanya, siap tumpah kapan saja.

“Ada apa dengan Ibu?” Alex langsung melangkah cepat mendekati Laila, rasa panik mulai merayap di dadanya. Ia segera masuk ke kamar, melewati Laila yang berdiri terpaku.

Di seberang telepon, Nina yang mendengarkan semua itu membeku. Suara lembut seorang wanita memanggil nama kekasihnya tadi membuat dadanya berdegup kencang, tapi bukan karena cinta—melainkan cemburu yang mendidih. Ia tahu Alex tidak punya saudara perempuan. Jadi, siapa wanita itu?

Nina mengepalkan tangannya, mencoba meredam gelombang emosi yang tiba-tiba menghantam. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dugaan-dugaan. Ia ingin bertanya, tapi suara Alex sudah hilang dari telepon, menyisakan bunyi samar langkah-langkah tergesa.

Bab terkait

  • Wanita Pilihan Ibu   Dia Siapa?

    Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Permintaan Ibu

    Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Dilema

    Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca."Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis. Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terde

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Bicara Dengan Laila

    "Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan. Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex."Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu.""Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex den

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15

Bab terbaru

  • Wanita Pilihan Ibu   Dia Siapa?

    Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska

  • Wanita Pilihan Ibu   Suara Wanita di Telepon

    Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye

  • Wanita Pilihan Ibu   Bicara Dengan Laila

    "Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan. Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex."Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu.""Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex den

  • Wanita Pilihan Ibu   Dilema

    Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca."Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis. Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terde

  • Wanita Pilihan Ibu   Permintaan Ibu

    Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status