Home / Romansa / Wanita Pilihan Ibu / Suara Wanita di Telepon

Share

Suara Wanita di Telepon

Author: Qoi_hami
last update Last Updated: 2025-01-15 11:30:35

Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.

Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara.

"Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.

Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.

Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"

Laila menggeleng sambil menyesuaikan posisi bantal di belakang Bu Fatma. "Aku membawa pekerjaanku pulang, Bu. Bos di kantor memperbolehkannya. Aku tidak mau jauh-jauh dari Ibu."

Bu Fatma menghela napas lega. "Syukurlah. Kamu memang anak baik. Semoga Allah selalu menjagamu dan mengelilingi kamu dengan orang-orang yang baik."

"Amin," jawab Laila sambil tersenyum, tapi di matanya tersirat keletihan yang disembunyikan. Ia tahu perjuangannya membagi waktu antara pekerjaan dan merawat Bu Fatma tidaklah mudah, tapi hatinya tenang setiap kali melihat wanita tua itu tersenyum.

Setelah mengambil sendok, Laila mulai menyuapi Bu Fatma dengan perlahan. "Bismillah, Bu. Kita makan dulu ya. Jangan buru-buru," ujarnya lembut.

Bu Fatma mengunyah perlahan, matanya tetap menatap Laila. "Andai saja Alex bisa sebaik dirimu," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.

Laila tersenyum kaku. Ucapan itu terasa seperti duri kecil yang menusuk, tapi ia memilih diam. Ia tahu Alex sedang berjuang dengan caranya sendiri, meskipun seringkali caranya justru membuat Bu Fatma kecewa.

"Ibu tidak perlu memikirkan yang lain. Fokus saja untuk sehat, ya," kata Laila akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Bu Fatma mengangguk, tapi matanya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu betapa besar peran Laila dalam hidupnya, jauh melampaui Alex, putranya sendiri.

Tanpa keduanya sadari, sejak Laila melangkah masuk ke kamar Bu Fatma, Alex mengintip dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Mata pria itu memperhatikan setiap gerakan Laila. Hatinya mencelos melihat bagaimana gadis itu memperlakukan ibunya dengan penuh kelembutan. Laila menyuapi Bu Fatma dengan telaten, menemaninya berbicara, dan membujuknya dengan kalimat-kalimat penuh penyemangat. Seolah-olah Bu Fatma adalah ibu kandungnya sendiri, bukan milik Alex.

Alex berdiri kaku di ambang pintu. Ada rasa asing yang menjalari dadanya. Sejenak pikirannya melayang pada Nina—gadis yang selama ini menjadi bagian dari rencananya untuk masa depan. Nina tidak pernah selembut Laila. Kekasihnya itu selalu tampil apa adanya, energik, dan lugas. Ia mencintai Nina karena kejujurannya, meskipun terkadang sikapnya terasa terlalu blak-blakan.

Namun, berbeda dengan Laila. Bagi Alex, Laila adalah teka-teki. Gadis itu tampak terlalu tertutup, menyimpan banyak hal dalam diamnya. Sejak kapan ia sedekat itu dengan ibunya? Pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya.

"Aku seperti tidak mengenali Ibu lagi," gumam Alex lirih, suaranya tenggelam dalam ruang kosong di sekitarnya. Ia tidak ingin mengganggu momen sarapan ibunya, jadi ia memutuskan pergi ke dapur. Tangannya cekatan menyeduh kopi, meski pikirannya berkelana entah ke mana. Dengan secangkir kopi di tangan, ia melangkah ke ruang tamu, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya.

Di ruang tamu yang sepi, Alex duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding. Sesekali ia menyeruput kopi, berharap cairan pahit itu bisa menenangkan pikirannya. Di kepalanya, rencana-rencana yang selama ini ia susun mulai terasa berantakan.

Lamunannya pecah ketika nada dering ponselnya tiba-tiba menggema, memekakkan telinga. Suara itu begitu keras hingga membuatnya terlonjak. Alex merutuk pelan, mungkin semalam ia lupa mengatur volume ponselnya. Dengan cepat, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

Seketika dadanya berdebar saat membaca nama yang tertera di layar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengangkat panggilan itu. Nama Nina terpampang jelas di layar ponselnya.

“Halo, Nin.”

“Halo, Mas. Kok kamu nggak ngabarin aku kalau sudah sampai sih?” Nada suara Nina terdengar kesal, seperti biasa ketika ia merasa diabaikan.

Alex menghela napas, berusaha menahan emosinya. “Maaf, Nin. Aku langsung sibuk begitu sampai. Sakit Ibu sudah lumayan parah. Sekarang Ibu hanya bisa terbaring di tempat tidur.”

Di seberang sana, terdengar helaan napas Nina, kali ini lebih lembut. “Ya Tuhan... kenapa kamu nggak kasih tahu aku, Mas? Terus gimana? Kamu sudah bawa Ibu ke rumah sakit?”

Alex menggeleng meski tahu Nina tidak akan melihatnya. “Sudah, kemarin Ibu dibawa ke rumah sakit sama para warga. Tapi dokter bilang rawat jalan saja.”

“Lho, kok nggak opname?” Nada Nina mulai meninggi, mencerminkan kekhawatirannya.

Alex memijat pelipisnya. Pertanyaan itu membuatnya kembali diingatkan pada kesulitannya. “Nggak ada yang bisa menunggu Ibu di rumah sakit, Nin. Ibu lebih nyaman di rumah, walaupun keadaannya lemah.”

Sejenak hening. Nina akhirnya bertanya lagi, suaranya terdengar lebih lembut. “Mas, kamu nggak apa-apa, kan? Kamu oke?”

Alex menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Mas nggak bisa bilang kalau Mas baik-baik saja, Nin. Kondisi Ibu sudah sangat lemah, dan aku... aku hanya berusaha melakukan yang terbaik sekarang.”

“Kalau gitu aku akan menyusul ke Sukabumi, Mas. Aku bisa bantu kamu merawat Ibu.”

Alex terdiam. Kalimat Nina itu membuat dadanya terasa sesak. Sebuah perasaan campur aduk menguasainya—antara rasa syukur atas niat baik Nina dan kecemasan akan dampak kehadirannya di rumah. Ia tahu, Nina dengan sifatnya yang blak-blakan mungkin akan membuat situasi semakin rumit.

“Nin, kamu nggak perlu ke sini. Aku tahu kamu sibuk kerja. Doakan Ibu saja dari sana,” ujarnya akhirnya, berusaha membuat suaranya setenang mungkin.

“Tapi, Mas—”

“Sudahlah, Nin,” potong Alex dengan lembut. “Kamu nggak perlu repot-repot. Doamu sudah cukup untuk bantu Mas di sini.”

“Ya sudah, tapi aku minta kamu terus mengabari aku,” ujar Nina, suaranya terdengar tegas namun mengandung nada khawatir.

“Baik, Nin. Aku janji, aku akan terus kasih kabar ke kamu. Maaf kalau aku...”

Ucapan Alex terhenti. Dari arah kamar Bu Fatma terdengar suara ribut, seperti sesuatu yang jatuh. Refleks, Alex bangkit dari sofa, matanya terarah ke pintu kamar. Ponselnya masih di tangan, tetapi pikirannya langsung terfokus pada sumber keributan itu.

“Mas Alex, Ii-ibu, Mas!” Laila muncul dari balik pintu kamar, suaranya bergetar dan penuh kepanikan. Tubuh gadis itu gemetar, sementara air mata sudah menggenang di matanya, siap tumpah kapan saja.

“Ada apa dengan Ibu?” Alex langsung melangkah cepat mendekati Laila, rasa panik mulai merayap di dadanya. Ia segera masuk ke kamar, melewati Laila yang berdiri terpaku.

Di seberang telepon, Nina yang mendengarkan semua itu membeku. Suara lembut seorang wanita memanggil nama kekasihnya tadi membuat dadanya berdegup kencang, tapi bukan karena cinta—melainkan cemburu yang mendidih. Ia tahu Alex tidak punya saudara perempuan. Jadi, siapa wanita itu?

Nina mengepalkan tangannya, mencoba meredam gelombang emosi yang tiba-tiba menghantam. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dugaan-dugaan. Ia ingin bertanya, tapi suara Alex sudah hilang dari telepon, menyisakan bunyi samar langkah-langkah tergesa.

Related chapters

  • Wanita Pilihan Ibu   Dia Siapa?

    Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska

    Last Updated : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Saya Calon Istrinya

    Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan

    Last Updated : 2025-02-11
  • Wanita Pilihan Ibu   Bab. 7. Perkara Menginap

    Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na

    Last Updated : 2025-02-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Tamu Arogan

    Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng

    Last Updated : 2025-02-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Ditinggalkan Sendirian

    “Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak

    Last Updated : 2025-02-17
  • Wanita Pilihan Ibu   Mencoba Bicara

    Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s

    Last Updated : 2025-02-18
  • Wanita Pilihan Ibu   Nikahi Saja

    “Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d

    Last Updated : 2025-03-06
  • Wanita Pilihan Ibu   Batas Seorang Anak

    Nina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d

    Last Updated : 2025-03-06

Latest chapter

  • Wanita Pilihan Ibu   Batas Seorang Anak

    Nina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d

  • Wanita Pilihan Ibu   Nikahi Saja

    “Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d

  • Wanita Pilihan Ibu   Mencoba Bicara

    Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s

  • Wanita Pilihan Ibu   Ditinggalkan Sendirian

    “Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak

  • Wanita Pilihan Ibu   Tamu Arogan

    Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng

  • Wanita Pilihan Ibu   Bab. 7. Perkara Menginap

    Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na

  • Wanita Pilihan Ibu   Saya Calon Istrinya

    Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan

  • Wanita Pilihan Ibu   Dia Siapa?

    Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska

  • Wanita Pilihan Ibu   Suara Wanita di Telepon

    Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status