Beranda / Romansa / Wanita Pilihan Ibu / Bab. 7. Perkara Menginap

Share

Bab. 7. Perkara Menginap

Penulis: Qoi_hami
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 10:52:53

Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.

Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.

Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.

“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. 

Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.

“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan nada setengah bercanda, tapi penuh arti.

Nina melongo. Matanya melirik ke arah Laila, yang baru keluar dari ruang dalam dan hanya menunduk diam, jemarinya saling meremas. Ada ekspresi yang sulit dibaca di wajahnya, antara pasrah dan tak ingin bereaksi berlebihan. Nina tentu bisa menebak dengan cepat kalau hubungan Alex dan Laila sudah menjadi rahasia umum di kampung ini.

Alex menarik napas panjang. “Bu, urusan jodoh ‘kan bukan cuma karena wasiat. Aku dan Laila ...,” pria itu terdiam sejenak, melirik Laila,  lalu melanjutkan, “kami belum tentu cocok.”

Hening. Kata-kata Alex seakan menekan suasana lebih dalam. Pria itu tidak memikirkan perasaan Laila yang mungkin saja merasa malu setelah mendengar penolakannya yang halus di depan semua orang.

“Mas Alex, kita tahu kalau wasiat orang yang sudah meninggal itu, kalau kita mampu ya sebisa mungkin dijalani. Jangan ingkar janji,” ucap Bu Jami mencoba memberikan penjelasan. “Lagipula, Bu Fatma pernah cerita kalau beliau tidak merestui hubungan kalian berdua,” lanjutnya.

Nina mengeraskan rahangnya mendengar ucapan orang kampung itu. Wajahnya memerah dan tangannya terkepal di samping tubuhnya. Ia tidak mungkin membiarkan orang-orang kampung mengolok-olok hubungannya dengan Alex.

“Sudah-sudah, Bu Fatma baru saja meninggal malah membicarakan hal yang tak penting,” tegur Laila yang merasa tak nyaman dengan situasi saat itu. Matanya memerah hampir saja menangis. “Kasihan Bu Fatma, beliau sudah sakit-sakitan dan sekarang tanah kuburnya masih basah, tetapi kita sudah membicarakan hal-hal yang belum pasti. Mas Alex, tolong bawa Mbak Nina beristirahat, Mbak Nina pasti lelah menempuh perjalanan jauh,” ucapnya tegas. 

Laila meredam gejolak perasaannya yang tidak menentu, ia harus memastikan acara tahlilan berjalan lancar. Ada atau tidak adanya Nina jangan sampai menghambat niat baik mengirim doa untuk Bu Fatma.

Nina menelan ludah. Ia merasa seperti orang luar yang tiba-tiba terseret ke dalam drama keluarga ini. Jika saja ia tahu suasananya akan seperti ini, mungkin ia tak akan datang ke kampung hanya untuk menunjukkan simpatinya pada Alex sekaligus membuktikan suara wanita yang ada di teleponnya. 

Kau sengaja berpura-pura baik di depan semua orang supaya orang-orang bersimpati padamu, Laila. Lihat saja, aku akan tinggal berhari-hari di rumah ini. Aku yang lebih berhak karena aku adalah calon istri Alex. Batin Nina berkecamuk, meskipun sangat ingin menunjukkan ketidaksukaannya pada Laila, ia harus menahan diri.

Bu Rina tetangga paling dekat dengan rumah Alex menatap Nina dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum kecil. “Kalau cuma teman, ya nggak apa-apa, lah. Tapi kalau jadi calon istri, harus siap dibandingin sama Neng Laila, lho.”

Nina tertawa kecil, meskipun hatinya mulai merasa tak nyaman. Sementara itu, Alex merasa kepalanya mulai pening. Ia belum siap menghadapi ini, apalagi saat Bu Fatma baru saja berpulang.

“Mas Alex, kenapa malah diam di situ? Cepat bawa Mbak Nina masuk ke dalam untuk beristirahat.” 

Suara Laila menyadarkan Alex yang mematung melihat reaksi para tetangga. Pria itu menggandeng tangan Nina dan mengajaknya masuk ke dalam. 

“Ayo masuk! Biarkan urusan ini diselesaikan sama Laila, dia lebih mengerti daripada aku,” ucapnya pelan. 

Nina pun mengikuti langkah Alex dengan diam, ia bisa merasakan tatapan tidak suka dari para tetangga. Mereka orang kampung itu jelas menunjukkan dukungannya pada Laila yang bukan siapa-siapanya Alex.

“Lex, aku mau pulang saja, situasinya nggak nyaman sama sekali,” keluh Nina. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang milik pria tersebut. Ya, Alex membawa Nina ke kamarnya. 

“Sayang, jangan berkata seperti itu. Mereka hanya belum kenal sama kamu saja.”

“Tapi, Lex, aku nggak suka mereka lebih memilih orang kampung itu. Aku dan dia jauh berbeda. Dia itu udik, kampungan, nggak ada bagus-bagusnya.”

“Nina!” Alex menatap wanita itu dengan tatapan tajam, sedikit gusar dengan ucapannya. “Jangan bicara seperti itu.”

Nina mendengus kesal. “Tapi itu kenyataan, ‘kan? Lihat saja, dia sok berkuasa di rumah ini, seolah dia yang lebih pantas berada di sisimu dibanding aku.” Ia melipat tangan di dada, matanya menyiratkan rasa tidak terima.

Alex mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Laila bukan orang sembarangan, dia yang selama ini menjaga rumah ini. Kalau para tetangga lebih mengenalnya, itu wajar. Bukan berarti mereka membenci kamu. Dia pula yang merawat ibu selama ini,” ucap Alex tegas tak ingin dibantah.

Nina melongo mendengar Alex lebih membela Laila dibanding dia yang merupakan calon istri pria itu. “Tapi mereka jelas tidak menerimaku, Lex! Aku bisa lihat tatapan mereka yang meremehkan,” Nina kembali berucap, kali ini suaranya sedikit meninggi.

Alex terdiam. Ia tahu Nina tidak salah, tetapi bukan berarti sikapnya bisa dibenarkan. Laila memang memiliki tempat sendiri di lingkungan ini, dan kedatangan Nina memang akan menimbulkan reaksi. Tapi, bukan berarti Nina bisa merendahkan Laila begitu saja.

“Kamu istirahat saja dulu,” ucap Alex akhirnya, memilih menghindari perdebatan. “Aku mau bicara sama Laila.”

Nina meliriknya tajam. “Untuk apa lagi bicara sama dia?”

Alex hanya menghela napas, lalu keluar dari kamar tanpa menjawab. Nina menatap punggung pria itu dengan perasaan campur aduk.

Sementara itu, di luar, Laila masih berdiri menghadapi para tetangga yang masih berbisik-bisik. Saat melihat Alex keluar, wanita itu langsung menatapnya dengan pandangan penuh pertanyaan.

“Kenapa meninggalkan Mbak Nina sendirian, Mas?” Laila bertanya, nadanya datar, tapi ada ketegangan di baliknya. “Dia tamu di sini dan pasti merasa gak nyaman dengan kejadian barusan,” lanjutnya setengah berbisik.

“Maaf kalau kedatangannya nggak pas, kita masih berkabung dan kehadirannya menimbulkan ketidaknyamanan.”

Laila tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, niatnya baik, melawat … lagipula dia calon istri Mas ALex, semoga Mbak Nina betah di kampung ini.”

Alex terdiam, tahu betul apa yang Laila maksud. Nina tidak akan pernah suka dan betah dengan tempat ini, apalagi dengan orang-orangnya. Baru datang saja sudah membuat kehebohan.

“Laila, aku ingin bicara,” ucap Alex pelan, ia melirik ke arah Ibu-ibu yang membantu dengan perasaan tidak enak.

“Bicara di sini saja, aku sedang membantu para tetangga bersiap sebelum adzan maghrib semua harus sudah selesai.”

“Laila, ini soal Nina.”

Laila menghentikan gerakan tangannya menata kue. “Ada apa dengannya?”

“Kalau Nina menginap di sini bagaimana? Kau lebih tahu peraturan kampung ini daripada aku.”

“Mas Alex nanti lapor Pak Rt, dan … tidak bisa kalau kalian hanya berdua di rumah ini.”

Alex terdiam, tapi detik berikutnya langsung memohon. “Kamu ikut menginap di sini, ya. Aku akan tidur di kamar Ibu dan kamu sama Nina di kamarku.”

Tubuh Laila membeku, haruskah dia berkorban lebih jauh untuk pria yang tidak menginginkannya itu? Kebingungan melandanya, ia tidak ingin menjadi penonton sepasang kekasih itu. Dan di saat kebingungannya belum menemukan jawaban, ucapan Nina yang tiba-tiba muncul di belakang mereka mengejutkannya.

“Aku tidak mau dia ikut menginap di sini, Lex!” 

Bab terkait

  • Wanita Pilihan Ibu   Tamu Arogan

    Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Ditinggalkan Sendirian

    “Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Wanita Pilihan Ibu   Mencoba Bicara

    Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Wanita Pilihan Ibu   Nikahi Saja

    “Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Wanita Pilihan Ibu   Batas Seorang Anak

    Nina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Wanita Pilihan Ibu   Permintaan Ibu

    Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Dilema

    Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca."Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis. Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terde

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Bicara Dengan Laila

    "Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan. Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex."Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu.""Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex den

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15

Bab terbaru

  • Wanita Pilihan Ibu   Batas Seorang Anak

    Nina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d

  • Wanita Pilihan Ibu   Nikahi Saja

    “Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d

  • Wanita Pilihan Ibu   Mencoba Bicara

    Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s

  • Wanita Pilihan Ibu   Ditinggalkan Sendirian

    “Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak

  • Wanita Pilihan Ibu   Tamu Arogan

    Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng

  • Wanita Pilihan Ibu   Bab. 7. Perkara Menginap

    Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na

  • Wanita Pilihan Ibu   Saya Calon Istrinya

    Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan

  • Wanita Pilihan Ibu   Dia Siapa?

    Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska

  • Wanita Pilihan Ibu   Suara Wanita di Telepon

    Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status