Share

Dia Siapa?

Penulis: Qoi_hami
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 11:31:28

Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.

Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari.

"Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."

Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaskan betapa kerasnya ia berusaha melawan waktu, menahan kesadarannya sebelum semuanya menjadi gelap.

Alex menoleh mengikuti arah pandangan ibunya. Ia menemukan sosok Laila berdiri di ambang pintu, tubuhnya tampak rapuh seperti daun kering di ujung musim gugur. Laila membekap mulutnya dengan kerudung hitam yang basah oleh air mata. Pandangannya terpaku pada tubuh lemah Bu Fatma, seolah hatinya pecah melihat sosok yang selama ini menjadi sandarannya kini berada di ambang maut.

"Laila," suara Alex pecah, ia memanggil gadis itu. "Ibu mencarimu."

Laila menggeleng pelan, wajahnya memucat, menyembunyikan isak yang hampir meledak. "Aku... aku tidak sanggup, Mas Alex," gumamnya di sela isak tangisnya. "Aku tidak ingin kehilangan lagi."

Bu Fatma adalah lebih dari sekadar ibu angkat bagi Laila. Ia adalah pelindung, pengganti ibu kandung yang pergi terlalu cepat dari hidupnya. Dan kini, melihat Bu Fatma yang hampir tak berdaya, Laila merasa hatinya direnggut untuk kedua kalinya.

Alex berdiri, melangkah mendekati Laila. "Laila," suaranya bergetar. "Ibu membutuhkanmu. Jangan buat dia menunggu."

Dengan langkah berat, Laila akhirnya mendekat. Ia duduk di sisi lain ranjang, menggenggam tangan Bu Fatma yang satu lagi. Hangatnya hampir hilang, tapi masih ada sedikit kehidupan di sana. Bu Fatma perlahan menoleh, bibirnya bergerak kecil, seakan mencoba mengatakan sesuatu.

"Ibu..." bisik Laila, matanya membasah. "Aku di sini."

Mata Bu Fatma bergerak lambat, lalu berpindah ke arah Alex. Dengan sisa tenaganya, ia mencoba berbicara. Suaranya nyaris tak terdengar, namun Alex dan Laila memahaminya.

"Alex..." Suara itu lemah, hampir tenggelam dalam desah napas terakhirnya. "Janji pada Ibu ... jaga Laila ... nikahi dia...."

Alex tertegun, tubuhnya membeku. Ia menatap ibunya dengan mata penuh keputusasaan. Laila, yang mendengar itu, hanya bisa membelalakkan mata, air matanya semakin deras menyadari bahwa perpisahan abadi itu akan datang sebentar lagi.

"Ibu, aku ...." Alex mencoba menjawab, tapi tenggorokannya kembali tercekat.

"Janji, Nak ...." desak Bu Fatma, kali ini lebih tegas, meski suaranya seperti angin yang hendak mati. "Laila ... dia ... tak punya siapa-siapa ... selain kamu ...."

Alex menunduk, hatinya bergemuruh. Ia menatap Laila yang kini menutup wajah dengan kerudung hitamnya, menangis tanpa suara. Alex tahu, ini bukan permintaan yang bisa ia abaikan. Bagi Alex, ini adalah permintaan yang paling menyakitkan di sepanjang hidupnya.

"Iya, Bu," akhirnya Alex berbisik, suaranya gemetar. "Alex janji." Entah dia bisa menepatinya atau tidak, yang terpenting adalah membuat lega sang ibu. Alex benar-benar tidak bisa berpikir panjang lagi.

Senyum kecil terlukis di wajah Bu Fatma. Matanya kembali ke arah Laila, lalu perlahan memejam. 

Laila segera menyadari bahwa detik-detik terakhir Bu Fatma telah tiba. Dengan cepat, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Bu Fatma. Suaranya lembut namun penuh getaran emosi ketika ia mulai membimbing Bu Fatma melafalkan syahadat. Bibir Bu Fatma yang lemah perlahan mengikuti, meskipun tanpa suara, hanya gerakan kecil yang hampir tak terlihat. Laila tetap setia menuntunnya, meski air matanya terus mengalir deras.

Hingga akhirnya, dada yang tadinya bergerak naik turun perlahan itu kini berhenti. Diam. Tidak ada lagi tarikan napas. Keheningan menyelimuti ruangan kecil itu. Bu Fatma telah pergi dengan tenang, meninggalkan dunia fana ini. Pagi yang sunyi kini hanya diisi dengan isak tangis dua jiwa yang kehilangan pegangan mereka.

Laila tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia menjerit tertahan, membekap mulutnya sendiri dengan tangan gemetar. Tubuhnya terguncang oleh kesedihan yang mendalam. Di sisi lain, Alex terduduk kaku di lantai. Ia memanggil-manggil ibunya, suara parau keluar dari tenggorokannya yang tercekat. "Bu... bangun, Bu! Jangan tinggalin aku...!" Teriakannya menggema di ruangan itu. Dengan penuh amarah pada diri sendiri, ia memukul-mukul kepalanya, mencoba melampiaskan rasa bersalah yang tak terungkapkan.

Namun, kesedihan tidak membiarkan Alex tenggelam terlalu lama. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatur napas dan menenangkan diri. Pandangannya kosong menatap tubuh ibunya yang kini terbujur kaku. Dalam benaknya, janji yang baru saja ia ucapkan kepada Bu Fatma terasa seperti beban yang berat. Ia merasa tidak mampu untuk menanggungnya sendiri.

Berita kematian Bu Fatma dengan cepat menyebar. Para tetangga berdatangan, membanjiri rumah kecil itu dengan ucapan bela sungkawa. Suasana rumah dipenuhi isak tangis dan doa yang terus dipanjatkan untuk almarhumah. Bu Fatma adalah sosok yang dicintai banyak orang, seorang ibu yang bukan hanya menjadi pelindung bagi Alex dan Laila, tapi juga seorang yang dikenal karena kebaikan hatinya kepada orang-orang di sekitarnya.

Di tengah keramaian itu, Alex dan Laila mengambil tanggung jawab mereka masing-masing. Laila sibuk menyiapkan kebutuhan untuk prosesi pemakaman, sementara Alex mengurus administrasi dan memastikan semua berjalan lancar. Tidak ada waktu untuk benar-benar menangis. Keduanya berusaha menahan air mata di tengah kesibukan, meski hati mereka hancur berkeping-keping.

Hari itu juga, Bu Fatma dikebumikan di pemakaman desa. Matahari yang cerah seolah menjadi saksi kepergian seorang wanita mulia. Laila berdiri di samping Alex, kerudung hitamnya tertiup angin, menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menggenggam tangannya erat, mencoba menahan diri agar tidak terjatuh karena lemah. Di sisi lain, Alex memandang lurus ke arah liang lahat. Pandangannya kosong, tapi di dalam hatinya, ia bergemuruh.

Saat tanah mulai menutupi tubuh Bu Fatma, Laila akhirnya tak bisa menahan diri. Ia terisak keras, memanggil-manggil sosok yang selama ini menjadi pengganti ibu kandungnya. "Ibu... kenapa secepat ini...?" suaranya bergetar, dipenuhi luka mendalam. Alex hanya bisa menggenggam bahunya, mencoba memberikan kekuatan yang tak sepenuhnya ia miliki.

Setelah prosesi selesai, para pelayat mulai beranjak pergi satu per satu. Namun, Alex dan Laila tetap berdiri di sana, memandangi gundukan tanah merah yang kini menjadi rumah baru bagi Bu Fatma. Di tengah keheningan itu, Alex menoleh ke arah Laila.

"Laila," katanya pelan, suara seraknya penuh keraguan. "Aku... aku akan memenuhi janji Ibu. Aku akan menjagamu."

Laila menatap Alex dengan mata yang masih dipenuhi air mata. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kesedihan masih melingkupi hatinya, tetapi di balik itu, ada kehangatan yang perlahan tumbuh. Janji Alex terasa tulus, seperti pijar kecil yang mencoba mengusir gelapnya duka. Namun, bayangan tentang wanita lain yang pernah Alex ceritakan kembali menghantui pikirannya. Ia adalah momok yang menakutkan bagi Laila. Ia tidak mau dicap sebagai perusak hubungan orang lain. Bahkan jika semua ini adalah bagian dari wasiat Bu Fatma, jika Alex tidak sepenuh hati melakukannya, ia rela melepaskan semuanya.

Laila mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba menyembunyikan pergulatan dalam hatinya. Tapi Alex menyadarinya. Suaranya pelan, penuh keraguan, ketika ia akhirnya bertanya, "Laila... bagaimana denganmu?"

Laila tetap terdiam sesaat. Pandangannya kosong, tertuju jauh ke depan. Setelah menarik napas dalam, ia menjawab dengan suara yang nyaris berbisik, "Maaf, Mas. Aku... aku belum siap."

Alex mengangguk perlahan. Jawaban itu, meski menyakitkan, tidak mengejutkannya. "Baiklah," katanya lembut. "Aku akan menunggumu. Sampai kapan pun kamu siap. Sekarang... mari kita pulang dulu."

Laila hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia berdiri dengan gerakan pelan, tubuhnya terasa begitu lemah oleh kelelahan fisik dan emosional. Alex membantu menopangnya, meski ia tahu gadis itu berusaha terlihat kuat. Matahari sudah mulai tenggelam, langit memancarkan warna jingga yang sendu, seakan ikut berkabung. Keduanya pun beranjak meninggalkan makam Bu Fatma, berjalan berdampingan di bawah bayangan senja.

Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba. Laila membelalakkan mata ketika melihat sosok seorang wanita berdiri di depan mereka, hanya beberapa langkah dari jalan keluar pemakaman. Wanita itu tampak muda, dengan rambut panjang terurai dan raut wajah yang sulit diterka. Ia menatap Alex dengan pandangan tajam, seolah membawa badai dalam dirinya. Dengan langkah cepat, wanita itu menghampiri Alex.

"Mas," suara wanita itu terdengar gemetar. Ia masih menatap tajam ke arah Alex, wajahnya penuh kebingungan. "Dia ini ... siapa?"

Bab terkait

  • Wanita Pilihan Ibu   Permintaan Ibu

    Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Dilema

    Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca."Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis. Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terde

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Bicara Dengan Laila

    "Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan. Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex."Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu.""Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex den

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Suara Wanita di Telepon

    Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15

Bab terbaru

  • Wanita Pilihan Ibu   Dia Siapa?

    Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska

  • Wanita Pilihan Ibu   Suara Wanita di Telepon

    Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye

  • Wanita Pilihan Ibu   Bicara Dengan Laila

    "Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan. Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex."Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu.""Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex den

  • Wanita Pilihan Ibu   Dilema

    Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca."Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis. Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terde

  • Wanita Pilihan Ibu   Permintaan Ibu

    Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status