Beranda / Romansa / Wanita Pilihan Ibu / Saya Calon Istrinya

Share

Saya Calon Istrinya

Penulis: Qoi_hami
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 04:34:16

Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.

“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. 

Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.

Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.

“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.

Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan yang terakhir. Bagaimanapun juga, kelak aku akan menjadi menantunya,” jawab Nina lugas.

Mereka terdiam sejenak. Angin sore berhembus, menggoyangkan pepohonan di sekitar pemakaman. Suasana sunyi hanya diiringi suara pelan orang-orang yang hendak pulang ke rumah.

Laila memilin ujung kerudungnya, ia tahu cepat atau lambat akan bertemu wanita yang menjadi kekasih Alex, tapi entah mengapa saat ini rasanya tidak tepat sama sekali. Mereka masih berduka. Akhirnya setelah mempersiapkan diri dengan baik, ia membuka mulutnya, suaranya lembut namun terdengar tegas. "Mas Alex, antarkan Mbak-nya ke pusara Ibu. Beliau sudah datang jauh-jauh kemari. Aku akan pulang dulu.”

Alex menoleh dan mengangguk tanpa berkata-kata. Bingung harus menjawab apa. Di satu sisi dia tertekan dengan kehadiran Nina di kampungnya, di sisi yang lain terbit rasa kasihan dalam hatinya pada Laila.

“Siapa dia?” Kembali Nina memberanikan diri bertanya setelah Laila meninggalkan mereka berdua. Berjalan cepat pulang ke rumah.

Alex menatap Nina lama sebelum akhirnya menjawab. “Namanya Laila. Dia yang banyak bantuin di sini sejak Ibu sakit. Dia juga yang merawat dan memasak untuk Ibu.”

Nina menghela napas lega tanpa sadar. “Oh ... Aku kira—” dia menggantungkan kalimatnya, enggan melanjutkan.

Alex mengernyit, lalu tersenyum tipis. “Nina, ini bukan waktunya untuk itu.”

Nina menunduk, merasa bersalah. "Maaf ... Aku nggak bermaksud begitu.”

“Ayo kita ke pusara Ibu dulu, baru nanti ke rumah, ya!”

Nina mengangguk tanpa banyak tanya, mengikuti langkah Alex memasuki gerbang pemakaman umum di kampung itu. Dari sana, mereka melewati jalan kecil berbatu. Langit sudah mulai gelap, Nina sedikit merinding melirik ke arah kanan kirinya yang penuh dengan nisan-nisan yang berjejer rapi.

Tak butuh waktu lama, mereka tiba di pusara ibu Alex. Batu nisannya masih basah, taburan bunga di atasnya tampak segar, seolah baru saja ditebarkan.

Alex berjongkok di samping makam, tangannya menyentuh nisan dengan lembut. “Bu, aku datang lagi, kali ini membawa calon istri Alex,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Nina ikut berjongkok, merapatkan tangannya di dada, menundukkan kepala dalam doa.

“Aku masih nggak percaya beliau udah nggak ada, Nina,” suara Alex terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang selama ini berusaha ia pendam. “Kemarin aku masih bisa denger suaranya, masih bisa liat senyumnya … Sekarang semua tinggal kenangan.”

Nina menatap Alex yang terlihat begitu rapuh di hadapannya. “Aku tahu kehilangan itu nggak mudah, Sayang. Tapi ibumu pasti tenang di sana. Dia pasti bangga sama kamu.”

Alex mengusap wajahnya, menegakkan punggungnya sedikit. “Aku cuma berharap aku bisa lebih banyak ada di sisinya sebelum semuanya terlambat.”

Nina menggigit bibirnya. Dia tahu Alex sudah berusaha sebaik mungkin, tapi penyesalan memang selalu datang terlambat. Apalagi selama ini ia sering menahan Alex untuk tidak pulang, sekarang sepertinya bukan hanya Alex, tetapi Nina juga ikut merasa bersalah.

“Yang terpenting sekarang, kamu harus tetap kuat. Untuk beliau,” ucap Nina berusaha menghibur Alex, meski matanya ikut berkaca-kaca.

Alex menoleh padanya, menatap dalam-dalam. Sejenak, tak ada kata-kata di antara mereka, hanya keheningan yang dipenuhi dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Kemudian, Alex menghela napas, kembali menatap pusara ibunya. “Bu, ini Nina,” katanya lirih. “Dia datang, meski aku nggak nyangka dia bakal ke sini. Gadis ini yang sering Alex ceritakan ke Ibu. Rencananya Alex akan meminangnya secara resmi mengajak Ibu,” ucap Alex sendu, pria itu mengusap-usap nisan Ibunya.

Nina tersenyum kecil. “Aku nggak mungkin nggak datang, Lex. Aku tahu betapa pentingnya beliau buatmu.”

Lama mereka terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan doa.

Saat angin petang mulai terasa lebih menusuk, Alex akhirnya berdiri. “Ayo, Nina. Kita balik ke rumah.”

Nina mengangguk, gadis itu kembali komat kamit membaca doa sebelum akhirnya bangkit dan mengikuti langkah Alex meninggalkan pusara. Tapi, sebelum benar-benar pergi, dia menoleh sekali lagi ke arah makam itu, seakan ingin mengukir momen ini dalam ingatannya.

***

“Laila, mana Alex? Aku ingin bertanya hari ini akan diadakan tahlilan atau tidak,” tanya salah satu warga yang melihat Laila berjalan gontai memasuki halaman rumah Alex.

Laila menghentikan langkahnya, menatap kosong ke arah pria paruh baya yang bertanya padanya. Tenggorokannya terasa kering, suaranya hampir tak keluar.

“Alex … Dia masih di pemakaman. Mungkin sebentar lagi pulang,” jawabnya lirih.

Warga itu mengangguk pelan, lalu melangkah pergi, meninggalkan Laila yang masih berdiri terpaku. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang menekan tanpa henti.

Dia menatap rumah itu—rumah yang dulu terasa hangat, penuh tawa, kini sunyi dan menyisakan kesedihan yang menyesakkan. Kehilangan ini terlalu mendalam baginya. Ia kehilangan sosok Ibu yang selama ini menyayanginya.

Laila berjalan pelan ke dalam, melewati tetangga yang masih bertahan melayat. Dia bisa melihat wajah-wajah yang juga bersedih, tapi tidak ada yang bisa memahami betapa perihnya kehilangan ini untuknya. Karena bagi mereka, mungkin ini hanya duka yang akan berlalu seiring waktu. Tapi bagi Laila, ini adalah luka yang mengoyak jiwanya, kehilangan yang tak tergantikan.

Dan yang paling menyakitkan adalah—dia harus menghadapi semua ini sendirian. Sementara orang lain bisa tetap menjalani hidup mereka, dia harus menelan kenyataan bahwa sebagian dari dirinya telah pergi untuk selamanya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi.

Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. Laila menggigit bibirnya, berusaha tidak terisak.

Namun sekuat apa pun dia mencoba menahan, hatinya tetap hancur berkeping-keping. Ia kemudian berjalan menuju ke dapur untuk membereskan beberapa hal sebagai persiapan tahlilan nanti malam.

Sementara itu, Nina berdiri di depan rumah Alex, menatap bangunan sederhana itu dengan ekspresi tak terbaca. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia ke sini, dan dia tidak pernah menyangka kondisinya akan seperti ini.

Dindingnya terlihat kusam, catnya mulai mengelupas di beberapa bagian. Pintu kayunya tampak tua, dan pekarangan depan dipenuhi pot tanaman yang dibiarkan seadanya. Langit-langit teras terlihat sedikit retak, dan saat melangkah masuk, aroma khas rumah lama menyambutnya.

Dia menelan ludah, berusaha menahan ekspresi kecewa yang hampir muncul di wajahnya. Ini … rumah Alex? Dia masih tinggal di tempat seperti ini?

Dulu, dia selalu membayangkan bahwa Alex akan berubah. Bahwa pria itu akan sukses, punya kehidupan lebih baik, tinggal di rumah yang lebih layak. Tapi nyatanya, semua itu hanya ada dalam angan-angannya saja. Nina mencintai Alex, dia tidak bisa memungkiri itu. Tapi kalau harus hidup susah dengannya? Tidak. Dia tidak sanggup.

Matanya beralih ke Alex, yang tampak tenang, seolah tidak merasa malu dengan keadaan rumahnya. Seolah baginya, hidup seperti ini sudah cukup.

“Eh, Nak Alex, dia siapa?” tanya para ibu-ibu yang menata kue di depan. 

Alex gelagapan menjawab, dan Nina berinisiatif untuk menjawabnya dengan penuh percaya diri. “Saya calon istri, mas Alex.”

Seketika ruangan yang tadi ramai dengan suara para tetangga mendadak sunyi.

Bab terkait

  • Wanita Pilihan Ibu   Bab. 7. Perkara Menginap

    Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Tamu Arogan

    Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Ditinggalkan Sendirian

    “Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Wanita Pilihan Ibu   Mencoba Bicara

    Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Wanita Pilihan Ibu   Nikahi Saja

    “Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Wanita Pilihan Ibu   Batas Seorang Anak

    Nina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Wanita Pilihan Ibu   Permintaan Ibu

    Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Wanita Pilihan Ibu   Dilema

    Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca."Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis. Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terde

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15

Bab terbaru

  • Wanita Pilihan Ibu   Batas Seorang Anak

    Nina terisak lirih mendengar suara keras Alex, mereka sudah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, baru kali ia melihat Alex begitu marah hanya karena dia menyuruh Alex menikahi wanita kampung itu. Sebenarnya apa mau Alex, bukankah dia membela gadis bernama Laila itu mati-matian? Kenapa sekarang seolah memberi harapan padanya?Alex bangkit dari duduknya, ia membereskan makanan di meja dengan cepat dan menutupinya dengan tudung saji, kecuali piring Nina yang belum habis nasinya. Pria itu berusaha meredam kemarahannya, meninggalkan Nina yang semakin terisak-isak karena didiamkan oleh Alex.Alex masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras hingga pintu tua itu rusak. ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nina. Bisa-bisanya berkata seperti itu padahal … aaaarrrgghhh … Ibu, aku mulai mengerti sekarang, Bu! jeritnya dalam hati. Alex mulai menyadari bahwa ibunya melihat seorang gadis dari perilakunya, mungkinkah … Nina yang mandiri, apa adanya itu memang tidak tulus d

  • Wanita Pilihan Ibu   Nikahi Saja

    “Waalaikumsalam,” jawab Alex. Pria itu dengan cepat berbalik menghadap ke arah pintu depan yang memang belum tertutup sempurna.Laila mendorong pintu hingga terbuka lebar, gadis itu tersenyum ke arah sepasang kekasih yang sama-sama berdiri menatap ke arahnya.“Kok gak sopan sekali sih, kamu?! Pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah orang,” ucap Nina sarkas. Laila tersenyum kecil, mencoba memahami karakter Nina yang ceplas ceplos, tak jarang ucapannya melukai hati. “Saya ke sini cuma mau nganter sarapan, Mbak. Almarhumah Bu Fatma berpesan kepadaku supaya menyediakan makanan untuk tamu. Mbak Nina ‘kan tamu. Jadi saya yang akan menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Semoga Mbak Nina berkenan.”“Tidak perlu, aku bisa beli makanan sendiri, lagi pula … sepertinya makanan kamu nggak higienis loh.”“Terserah apa kata Mbak Nina, tugas saya cuma menjalankan apa yang sekiranya bisa saya kerjakan.”Nina mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu pelayan d

  • Wanita Pilihan Ibu   Mencoba Bicara

    Secinta-cintanya seorang pria terhadap kekasihnya, kehilangan seorang ibu tetaplah luka yang tak terobati. Dalam duka sedalam itu, bahkan kehadiran orang yang paling dicintai pun tak mampu meredakan pedihnya.Nina mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan menguasai pikirannya. Rumah ini–rumah Bu Fatma—harusnya menjadi tempat di mana ia diterima dengan tangan terbuka. Tapi kenyataannya, sejak awal ibu Alex tidak pernah merestui hubungannya dengan Alex. Dan sekarang, seolah tak cukup dengan penolakan itu, Alex justru pergi dari rumah, menghindari terjadinya penggerebekan seandainya mereka hanya berdua di rumah ini. Sial, seharusnya ia menahan Laila supaya tidak pulang.Nina mengepalkan tangannya. Kalau Alex benar-benar mencintainya, seharusnya pria itu tidak lari. Seharusnya, dia tetap di sini, menghadapi semuanya. Kalau saja penggerebekan itu terjadi, bukankah mereka bisa langsung dinikahkan? Bukankah itu lebih baik daripada terus-terusan terombang-ambing dalam ketidakpastian? Apalagi s

  • Wanita Pilihan Ibu   Ditinggalkan Sendirian

    “Laila, maafkan sikap Nina yang kekanak-kanakan. Dia belum terbiasa dengan adat istiadat di kampung kita,” ucap Alex memecah keheningan di antara keduanya.Laila menghembuskan napas kasar. “Jangan meminta maaf pada saya, Mas. Saya nggak berhak menghakimi dan menilai sikap Mbak Nina, minta maaflah pada almarhumah Ibu karena ketenangannya mungkin terganggu. Setelah beliau pergi, kita tidak benar-benar fokus mendoakannya tapi malah fokus dengan permasalahan duniawi.”Alex menelan ludah, ucapan Laila ada benarnya. Tapi ….”“Apa Mas Alex sudah bicara dengan Pak RT? Jangan sampai kedatangan Mbak Nina menjadi masalah baru, saya tidak akan ikut campur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”“Sudah, dan sesuai dengan kesepakatan … kamu juga harus menginap di sini untuk menghindari fitnah.”“Bagaimana, ya, saya tahu Mbak Nina ingin saya pulang, Mbak Nina sama sekali tidak suka saya berada di rumah ini,” ucap Laila datar.“Aku mohon, Laila, aku tidak mau digerebek dan menanggung malu.”“Mak

  • Wanita Pilihan Ibu   Tamu Arogan

    Seketika ketegangan kembali terjadi. Nina kembali muncul dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Tanpa menunggu jawaban dari Laila, Alex menyeret Nina masuk ke kamarnya. “Kamu kenapa keluar, Sayang? Aku sudah bilang, kamu istirahat saja di dalam. Aku akan bicara dengan Laila.”“Bicara? Kamu menyuruhnya menginap di sini, Lex. Gila kamu!” Nina menggelengkan kepalanya, tidak menyangka Alex akan berubah hanya dalam hitungan hari setelh bertemu wanita kampung itu.“Nina, Ibu baru saja dimakamkan, kedatangan kamu ke sini bukannya membantu Laila malah membuat keributan. Kalau kamu mau menginap di sini hanya berdua denganku, kita akan digrebek dan mendapat malu, Nina. Ini kampung, bukan Jakarta!”Nina mendengus, wajahnya memerah karena emosi. “Lalu, kenapa harus dia? Kenapa bukan saudara atau siapa pun selain perempuan itu?”Alex menghela napas, berusaha bersabar. “Laila yang paling tahu kondisi rumah ini. Dia yang selalu menemani Ibu, merawatnya sampai akhir. Aku tidak bisa seenaknya meng

  • Wanita Pilihan Ibu   Bab. 7. Perkara Menginap

    Seketika suasana berubah hening. Nuansa berkabung masih kental terasa, ditambah lagi dengan ucapan Nina barusan. Semua orang di kampung itu tahu dengan siapa Bu Fatma ingin menjodohkan putranya. Lagipula, selama ini Laila-lah yang merawat Bu Fatma. Alex memang pulang, tapi hanya beberapa hari, dan itupun … Laila yang memasakkan makanan untuk mereka.Semua orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. Kecanggungan itu begitu menyiksa. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, membahas situasi yang terjadi di depan mereka.Alex berdehem, mencoba mengalihkan perhatian para tetangga. Ia melirik Nina yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Pria itu kemudian tersenyum canggung.“Namanya Nina, dia teman Alex di Jakarta,” ucap Alex, berusaha meredakan ketegangan. Sejurus kemudian, kelegaan terpancar dari wajah para ibu-ibu. Salah satu dari mereka, Bu Rina, langsung menyahut.“Oh, cuma teman toh? Kirain beneran calon istri. Terus Neng Laila mau dikemanain?” gumamnya dengan na

  • Wanita Pilihan Ibu   Saya Calon Istrinya

    Nina membeku di tempatnya, tidak menyangka akan bertemu dengan Alex dan seorang wanita berkerudung kusam di sampingnya. Sejenak, hatinya bergemuruh merasa cemburu, tetapi detik berikutnya, gadis itu berhasil menguasai dirinya dan menyapa lebih dulu.“Alex, eh …maksudku Mas Alex, maaf aku terlambat datang,” ucapnya memecah keheningan yang mencekam. Hari yang memang sudah memasuki waktu petang itu semakin menambah kesan sendu di antara mereka. Udara Sukabumi yang sejuk terasa menusuk lebih dalam, seolah mencerminkan suasana hati Alex yang masih larut dalam duka.Alex mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan sembab. Dia menatap Nina dengan ekspresi yang sulit ditebak, seakan tak yakin harus berkata apa. Wanita berkerudung di sampingnya menundukkan kepala, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara.“Kamu datang …” suara Alex terdengar serak.Nina mengangguk pelan. “Ya, setelah mendengar kabar Ibu, aku segera berangkat ke sini sendirian. Setidaknya aku harus memberikan penghormatan

  • Wanita Pilihan Ibu   Dia Siapa?

    Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska

  • Wanita Pilihan Ibu   Suara Wanita di Telepon

    Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status