Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca.
"Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.
Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."
Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."
Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis.
Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terdengar. Alex merasa lebih lega meskipun sekarang hatinya berkecamuk tidak menentu.
Alex menoleh ke arah gadis yang dipanggil oleh ibunya dengan nama Laila. Banyak sekali pertanyaan yang ingin disampaikannya pada gadis itu, tapi Alex merasa saat ini bukan saat yang tepat untuk mengorek keterangan dari gadis yang tidak dikenalnya itu.
Sementara itu, wajah Laila terlihat sedih menatap wanita tua yang selalu mengurusnya selama ini. Wanita tua itu selalu mengirimkan makanan ke rumah dan memastikan dirinya baik-baik saja. Sekarang, wanita tua itu tidak berdaya dan menawarkan sebuah pernikahan yang sama sekali tidak dibayangkannya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa, tetapi raut wajahnya menggambarkan kalau dirinya digelayuti beban berat. Mungkin ia bisa belajar menerima Alex, masalahnya, apa Alex juga akan menerimanya? Entahlah.
"Sejak kapan ibu sakit? Kenapa baru semalam mengabariku?" tanya Alex memecah keheningan. Pria itu bertanya setengah berbisik, tidak mau mengganggu ibunya yang bisa tertidur.
Laila meremas kedua telapak tangannya. Sebenarnya ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Namun, tatapan Alex yang tajam dan penuh rasa ingin tahu membuatnya merasa terintimidasi. "Sudah beberapa waktu yang lalu," jawabnya singkat.
"Kamu tahu tapi tidak mengabariku?" tanya Alex penuh penekanan.
Laila kebingungan merangkai kata, ini adalah kali pertama bertemu Alex dan secara tiba-tiba mereka harus terjebak dalam situasi yang begitu canggung. Laila ingin menjelaskan situasinya, tapi sepertinya hubungan ibu dan anak itu tidak begitu baik. Meskipun ibu Alex sering menceritakan tentang anak lelakinya, tapi Laila merasa semua cerita itu bertolak belakang dengan kenyataan di depan matanya saat ini. Ia tidak melihat Alex sebagai anak yang berbakti, justru yang ia lihat Alex adalah seorang yang sedikit egois.
Genggaman tangan sang ibu di tangan Alex semakin erat. "Aku yang melarangnya mengabarimu. Aku tahu kamu sibuk bekerja dan mungkin sibuk dengan Nina, kalau aku menyuruhmu pulang dan sampai rumah kamu melihatku sehat, kamu pasti akan kembali marah dan menuduhku berbohong."
Ucapan sang ibu menampar Alex dengan kuat. Ingatannya kembali ke setahun yang lalu. Saat itu Alex meminta izin untuk membawa pulang Nina, tapi ibunya menolak dengan keras. Sang Ibu juga berpesan untuk tidak menikah dengan orang kota. Entah apa yang dipikirkan ibunya padahal Nina adalah gadis yang baik. Alex yang baru saja berangkat ke kota seminggu kemudian mendapat telepon dari tetangganya, mengatakan kalau ibunya jatuh sakit. Alex tidak percaya dan malah mengatakan kalau ibunya terlalu manja dan mengada-ada supaya dirinya pulang.
Sekarang, di depannya sang ibu terlihat kurus dengan wajah penuh gurat kecewa. Alex benar-benar merasa gagal sebagai anak.
"Bu, menikah itu harus diputuskan dengan pikiran yang matang, aku ...."
Mata ibunya menyiratkan kelelahan. "Kamu masih ingin membantah ibu, Alex? Selama ini ibu diam bukan berarti tidak tahu dengan kelakuanmu di luar sana. Kamu tinggal di kos dan dengan bebas membawa pacarmu masuk ke kamar. Apakah ibu mengajarimu seperti itu?"
Alex menunduk. Kata-kata ibunya bagaikan tamparan keras yang menghantam kesadarannya. Selama ini, ia memang terlalu sibuk membangun hidup di kota dan mengabaikan banyak hal yang sebenarnya penting, terutama ibunya. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Ia tak mampu membantah.
"Bu, aku minta maaf," lirih Alex, suaranya serak. Ia tahu, tidak ada alasan yang cukup untuk membenarkan tindakannya selama ini. Ia selalu beranggapan bahwa ibunya terlalu mengontrol hidupnya, padahal mungkin semua itu adalah bentuk kasih sayang.
Ibunya menarik napas panjang, terlihat berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Ibu tidak menyalahkan kamu, Nak. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Laila ini gadis yang baik. Ibu percaya dia bisa menjaga kamu setelah Ibu pergi."
Alex menoleh lagi ke arah Laila. Gadis itu tampak semakin gugup, matanya tidak berani menatap langsung ke arah Alex. Semua ini terasa begitu mendadak dan tidak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan seseorang yang bahkan tidak dikenalnya?
"Bu, menikah itu bukan hal kecil. Aku dan Laila bahkan belum saling kenal. Bagaimana jika kami tidak cocok?" tanya Alex dengan hati-hati. Ia mencoba menjelaskan, meskipun ia tahu ibunya mungkin tidak akan mengubah pikirannya.
"Laila sudah tinggal di dekat Ibu selama bertahun-tahun. Ibu tahu dia orang seperti apa. Kalau kamu mau meluangkan waktu untuk mengenalnya, kamu juga akan melihat bahwa dia adalah wanita yang tepat," balas ibunya dengan tegas, meskipun suaranya tetap lembut. "Selama ini hanya Laila yang peduli dengan ibu. Laila yang selalu menemani hari-hari Ibu. Kamu ... setiap pulang ke rumah juga sibuk dengan ponselmu sendiri, seolah-olah ibu adalah manusia transparan yang tidak bisa kamu lihat," lanjut wanita tua itu penuh keluhan.
Laila akhirnya angkat bicara, suaranya pelan tapi cukup jelas. "Maaf, Bu, tapi saya tidak ingin menjadi beban untuk Mas Alex. Kalau Mas Alex merasa tidak siap atau tidak mau, saya tidak apa-apa."
Namun, ibunya menggeleng dengan lemah. "Laila, ini bukan soal siapa yang siap atau tidak. Ini soal bagaimana kalian saling mendukung. Ibu tahu, semua ini sulit untuk kalian berdua, tapi tolong, lakukan ini demi Ibu."
Alex merasa dadanya semakin sesak. Ia tidak ingin mengecewakan ibunya, tetapi ia juga tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaannya sendiri, dan terlebih lagi, Nina. Apa yang akan Nina pikirkan jika tahu tentang semua ini? Ia sudah berjanji untuk menikahinya, tetapi sekarang situasinya jauh lebih rumit.
"Alex, kamu bersedia 'kan menikahi Laila demi ibu?"
Sekali lagi pertanyaan itu dilontarkan sang ibu. Mungkin ibunya tahu bahwa jawaban pertamanya hanya pura-pura. Alex tidak bisa menjawabnya, wajah Nina kembali membayang. Janji-janjinya pada gadis itu kembali terngiang. Alex dilema.
"Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan. Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex."Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu.""Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex den
Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye
Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska
Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu
Ponsel yang digenggam Alex terjatuh begitu saja, menghantam lantai dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Di atas ranjang dengan kasur dan sprei lusuh itu, Bu Fatma tampak terengah-engah. Nafasnya berat, tersengal-sengal, seperti ada beban besar yang ia pikul di detik-detik terakhir kehidupannya. Namun, matanya yang keruh tetap menyiratkan harap, menatap Alex seolah meminta anaknya untuk lebih dekat.Alex bergerak dengan langkah ragu, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang dingin dan gemetar perlahan menggenggam tangan Bu Fatma. Ia bisa merasakan kulit tua itu, kasar dan dingin, tapi masih ada sedikit kehangatan yang menyentuh jiwanya. Alex menelan ludah, lidahnya kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari."Ibu," bisik Alex pelan, mencoba memberanikan diri, "Alex di sini."Namun, Bu Fatma tidak menoleh. Matanya terus bergerak, mencari sesuatu atau seseorang. Kerut wajahnya menegaska
Bu Fatma tersenyum lemah begitu melihat Laila masuk ke kamarnya. Senyuman itu seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah tubuhnya yang renta. Gadis itu sudah dianggap seperti anak kandung sendiri, selalu membawa kehangatan di setiap kedatangannya.Dengan perlahan, wanita tua itu berusaha bangkit. Tangannya yang gemetar mengambil tiga bantal lusuh di sampingnya dan menumpuknya untuk menyangga punggung. Sorot matanya, yang tadi redup karena lelah, kini tampak bersemangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya semalam saat Alex menyuapinya makan malam tanpa banyak bicara."Kau memang paling tahu apa yang Ibu butuhkan," ucap Bu Fatma, suaranya lirih namun penuh kehangatan.Laila tersenyum dan mendekati ranjang, meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil di sebelahnya. "Ibu harus cepat sehat. Aku akan menyuapi Ibu, lalu kita minum obat, ya," katanya dengan nada lembut.Bu Fatma menatap Laila dengan penuh kasih. "Apa kamu tidak pergi bekerja hari ini, Nak?"Laila menggeleng sambil menye
"Bu, Mas Alex baru pulang. Biarkan dia beristirahat sebentar. Semua ini pasti membuatnya syok. Ibu bisa menanyakan itu kembali nanti malam," kata Laila lembut. Gadis berkerurdung itu berusaha menyelamatkan Alex dari situasi yang mencekiknya. Ia tidak tega melihat wajah lelaki itu begitu tertekan. Ibu Alex tersenyum dan memberi kode pada Laila untuk semakin mendekat. "Kamu benar, kamu siapkan makan siang dulu, ya, sebentar lagi masuk jam makan siang. Ibu ingin makan bersama kalian berdua."Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu, Laila tinggal ke dapur dulu."Ibu Alex mengangguk, matanya terus saja menatap Laila yang bangkit dari duduknya dengan anggun dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang anak. Ada yang harus disampaikannya pada Alex."Alex, penyakit ibu sudah parah. Ibu sudah ikhlas jika akhirnya ibu harus menyusul bapakmu.""Bu, jangan berkata seperti itu. Ibu pasti sehat, Ibu harus melihat Alex menikah dan bahagia," ujar Alex den
Alex terdiam. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia menoleh ke arah Laila, gadis itu hanya menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan gugup. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan atau keberatan, hanya ada keheningan yang sulit Alex baca."Ibu, aku..." Alex mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Di dalam pikirannya, wajah Nina melintas, lengkap dengan keluhannya tadi pagi tentang lamaran yang belum juga terwujud.Ibunya kembali tersenyum tipis. "Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi Ibu mohon, lakukan ini untuk Ibu."Suara itu terdengar begitu lemah, seperti bisikan terakhir sebelum sebuah lilin padam. Alex meremas tangan ibunya dengan kencang, matanya basah. Ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat. "Baik, Bu. Kalau itu yang Ibu mau."Ibunya tersenyum lega, napasnya lebih pelan. Ia memejamkan mata, masih menggenggam tangan Alex. Bibirnya tersenyum tipis. Alex membiarkannya beristirahat, mengusapnya dengan lembut dampai dengkur halus itu terde
Alex tergesa menyambar tas ranselnya. Semalam sang ibu menelepon, suaranya bergetar menahan sakit. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi, dan kali ini lebih parah. Tidak ada yang bisa diandalkan, hanya Alex—anak semata wayangnya yang kini tinggal di Jakarta. Alex merasa bersalah. Sudah hampir setahun ia tak pulang. Waktu yang ia habiskan bekerja keras untuk masa depannya dan Nina, tunangannya, membuatnya lupa bahwa ada seorang ibu yang menua sendirian di kampung.Setelah menelepon Pak Bowo, atasannya, untuk meminta izin cuti, Alex juga menghubungi Nina agar membantunya menuju terminal pagi-pagi. Ia sudah memutuskan naik bus pertama yang berangkat pukul enam pagi. "Mungkin sekitar pukul sepuluh aku sampai," pikir Alex. Tapi kali ini perasaan tak tenang menghantui sepanjang malam. Pria itu sama sekali tidak tidur setelah dihubungi oleh ibunya. Ia tahu, ibunya harus meminjam ponsel tetangga demi bisa menghubunginya, ia juga sadar sudah sangat lama ia tidak menanyakan kabar ibunya. Ia sibu