Share

Bab 3

Author: Peri Manta
last update Last Updated: 2021-09-03 12:59:32

Kamar almarhum Bu Asiyah adalah kamar Arum. Bukan karena dia kehabisan kamar di rumah yang sekarang beralih fungsi menjadi panti asuhan, melainkan karena sejak awal dia tidak mau tidur di kamarnya sendiri. Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang dulu masih dua tingkat itu, Arum mengetuk pintu kamar Bu Asiyah, meminta beliau agar membolehkannya tidur bersamanya. Ada ketakutan saat dia harus berada di kamar sendiri. Arum takut kembali menangis, takut sendirian.

Dibukanya lemari baju di sudut dekat jendela. Aroma Bu Asiyah seketika menyeruak hidungnya. Meski telah bertahun-tahun lamanya ditinggal pergi, kenangan bersama ibu angkatnya tak lekang dari pikiran. Semangat, kasih sayang, juga pelukan ... terlalu membekas di sanubari Arum. Terkadang, ingatan yang manis justru membuatnya lemah untuk beberapa saat.

“Arum kangen Ibu ....” Air mata Arum membasahi sepotong baju Bu Asiyah yang diambilnya.

Besok, Diaz akan mengenalkannya kepada orangtuanya. Entah kenapa tiba-tiba ada cemas yang berkelindan di benaknya. Arum takut ditolak, tak mendapat restu. Membayangkan bagaimana wajah mama dan papa Diaz saja tak berani dia lakukan, apalagi berharap yang muluk-muluk.

Dalam hati dia berharap, seandainya semua orang tua selembut Bu Asiyah, pasti dia tak akan gentar bertemu calon mertua. Arum sadar diri, dia bukan perempuan sempurna. Terlebih, orangtua Diaz pasti menginginkan yang terbaik untuk anak tunggalnya.

“Mbak, Mbak Arum!”

Arum tersentak. Mbak Windri, salah satu pengasuh di panti yang paling lama bekerja di sana, mengetuk pintu kamar Arum. Cepat, dia membukakan pintu.

“Humaira demam, Mbak. Agak rewel, nyari Mbak Arum.”

“Sejak kapan sakitnya?” Arum berlari ke lantai ke lantai dua. Mbak Windri mengikutinya.

“Baru tadi sore. Sudah saya kasih obat, tapi agak rewel anaknya. Untung Mbak Arum ulang.”

Sampai di kamar gadis itu, Arum segera memeluk salah satu anak asuhnya. Benar, Humaira demam. Tidak seberapa tinggi suhunya, hanya saja ketika sakit, anak itu memang agak rewel.

“Kakak ....” Lirih, Humaira merintih di pelukan Arum.

Gadis itu Arum temukan sejak bayi lima tahun yang lalu. Berbeda dengan anak-anak panti lainnya yang datang ke panti pada kisaran usia enam hingga sembilan tahun. Oleh karena itu, Humaira yang paling dekat dan manja kepada Arum.

“Iya, Sayang. Ini, Kakak pulang. Maira mau apa?”

“Peluk,” lirihnya.

“Iya, ini dipeluk.” Arum mengeratkan pelukan.

Mbak Windri keluar kamar setelah dirasa Humaira tidak rewel lagi. Lagi pula Arum paham, pengasuhnya pasti lelah menjaga anak-anak panti dan segala tetek bengeknya sepanjang hari. Mbak Windri sebagai kepala pengasuh sekaligus pengurus panti telah banyak membantunya selama ini.

Humaira mengatupkan kelopak mata, lalu membukanya lebih lebar, walau masih tampak sayu. Dia berkata pelan, “Kakak, bacakan cerita.”

Meski sudah menduga apa kemauan Humaira, Arum tetap merasa seolah-olah tersengat aliran listrik. Kalau sudah begitu, keringat dingin di pelipisnya bermunculan. Dia terbata mengatakan ehm-ehm-ehm beberapa kali sampai Humaira sendiri yang menggertaknya dengan rajukan.

“Kakak, bacakan cerita. Maira gak bisa bobok,” rengek Humaira lagi.

“Besok aja, ya, Sayang. Eh, Maira sudah makan? Mau Kakak suapin?” Arum mengalihkan keinginan anak kesayangannya.

“Maira ngantuk, mau dongeng, mau bobok ....” Pekikan Humaira mulai terdengar. Sebentar lagi, dia bisa saja berteriak, menangis, bahkan memberontak di dekapan Arum.

“Aduh, iya ... iya. Kakak bacakan. Tapi Maira sambil tidur, ya. Harus merem.”

Arum mengambil napas panjang, mengeluarkannya tanpa mingkem, hingga pipinya menggelembung. Lucu. Dalam hati dia selalu berdoa agar anak-anak asuhnya selalu sehat, terutama Humaira. Beginilah, ada saja kemauan anak kecil yang harus diturutinya saat sakit. Arum bisa mengabulkan segala keinginan mereka—yang positif, tentunya—tetapi tidak dengan keinginan Humaira yang satu itu. Permintaanya selalu sukses membuat Arum berdebar-debar.

“Kakak, dongeng Putri Salju, ya.” Humaira kembali mengoceh.

Tangan Arum gemetar menyentuh deretan buku di meja belajar Humaira. Dia menjawab “ya” sekilas, dengan mata masih berkeliaran di antara abjad judul buku cerita. Di mana buku Putri Salju itu berada? Apa warna sampulnya? Hatinya membatin.

Dia tidak pernah merasa membelikan anak-anaknya buku bacaan. Ada donasi tetap yang sering mengirimkan buku-buku bacaan untuk panti asuhan. Arum terbilang jari pernah menyentuh buku-buku hadiah itu. Seperti saat ini, hanya terpaksa ketika Humaira rewel.

“P–U–T–R–I .... Ini bukan, ya?” Arum mengambil buku bersampul putih.

“Kakak, cepetaaan!”

“I–iya, Sayang. Ini bukunya, Kakak bacakan, ya. Ayo, Maira merem dulu.”

Arum kembali ke tempat tidur Humaira. Masih dengan dada berdebar-debar, dia membuka sampul dan melewatkan beberapa halaman pertama, masuk ke bagian satu buku cerita itu.

“Pu–Pu–tri S–Sal–ju ....”

“Yang cepat, Kak. Maira ngantuk ....”

“Iya, iya!”

🍁🍁🍁

“Entahlah, Boy. Kenapa aku jadi gini lagi?”

Arum duduk bersandar di kursi kerjanya, menekan pelipis dengan gerakan memutar.

“Selama ini ngerjain laporan resto gimana? Emangnya kamu nggak baca, nggak ngetik?”

“Astaga, Boy! Si Mila yang mengerjakan. Aku cuma ngecek angkanya.”

Boy berdecak, sebal. Bertahun-tahun tidak bertemu Arum, dia pikir perempuan yang kini jadi bosnya itu sudah ada kemajuan. Nyatanya malah mengalami kemunduran. Padahal, dulu dia bersusah payah menyemangati Arum agar mau berjuang lebih baik.

“Aw, sakit, Boy!” teriak Arum saat kepalanya digetok pulpen dengan keras oleh Boy.

“Nanti malam ikut ke rumah!” perintah Boy.

Arum mendelik. “Ngapain?”

“Ketemu Mama.” Boy bersungut-sungut. “Siapa tahu Mama bisa getok kepala kamu agak keras!”

“Malulah, Boy! Udah lama juga ....”

Sekali lagi Boy menggetok kepala Arum dengan pulpen. “Justru kamu gini karena lama nggak ketemu Mama.”

“Malu, Boy. Aku udah dewasa gini. Ish!”

“Nggak pake tapi!” Boy tidak mau mendengarkan alasan lagi. Dia berlalu meninggalkan ruang kerja Arum sambil melambaikan tangan, kembali ke kitchen.

“Boy, aku ada janji ke rumah Diaz!” teriak Arum.

“Bodoh amat!” Boy terus menggandeng tangan gadis itu.

Namun, Arum tak bergeming dari tempatnya. Dia diam dan menggeleng.

“Kamu mau jatuh dan dipermalukan lagi seperti dulu, hah?” 

“Tentu saja nggak mau! Tapi nggak sekarang, Boy. Aku ada perlu. dan ... aku butuh waktu. Please”

Related chapters

  • When I Was Blind   Bab 4

    Terkadang, wajah yang setiap hari dengan begitu mudah menatapmu, justru di hatinya ada rahasia yang tidak pernah kamu ketahui. Setiap orang bebas meluapkan perasaannya, tetapi ada juga yang memilih diam dan menyimpan rasa dalam keheningan.Boy sudah menghabiskan dua cangkir kopinya di teras. Akan tetapi, hingga malam menjelang, orang yang dinantinya tak kunjung datang. Lelaki itu mengulum senyum kecewa. Denyut nyeri di hatinya memang sudah biasa dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, mengobati dengan kesendirian, tetaplah sulit dilakukan.“Makan dulu, Boy!” Bu Wanti—mama Boy—muncul dari dalam rumah, mengingatkan.Patuh. Boy memang patuh kepada orangtua tunggalnya. Hanya sekali dia berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan mamanya, yaitu ketika dia meninggalkan perusahaan travel, tepat saat jenjang kariernya tengah menanjak. Satu-satunya nama yang menjadi alasan lelaki itu, kini justru kembali memberikan aroma kekecewaa

    Last Updated : 2021-09-03
  • When I Was Blind   Bab 5

    Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.“Rum, tunggu dulu!”“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah ter

    Last Updated : 2021-09-15
  • When I Was Blind   Bab 6

    Kalau ada pria yang berisik mengacaukan dapur bahkan saat Arum tengah bersedih, tentu itu adalah Boy. Arum sempat mengerucutkan bibir saat pria itu tidak bisa diajak serius untuk berbagi duka. Saat Arum berusaha menata hati untuk bercerita tentang kejadian di rumah Diaz, Boy justru bertanya apa dia sudah makan malam atau belum. Saat Arum ingin menangis lagi, Boy justru berlari ke dapur dan mengguncangkan peralatan memasak dengan senandung lagu ceria. Gila!“Aku langsung jatuh cin ... taaa ... kepa ... damuuu .... Cinta pada pandangan per ... tamaaa ....”Boy meramaikan sunyinya dapur Arum dengan nada suara “maksa” menyanyikan lagu Dewa 19 itu.“Boy, berisik!” teriak Arum yang tak bisa konsentrasi dengan patah hatinya. Dia mengelap ingus alih-alih air mata di pipi. Saat hatinya kacau dan malah mendapat suara bass Boy yang dibuat falset, kepalanya jadi pusing.Boy mendengar keluhan itu, tetapi dia tak mau menjawab. Hanya

    Last Updated : 2021-09-16
  • When I Was Blind   Bab 7

    “Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”“Maafkan Arum.”“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rum

    Last Updated : 2021-09-20
  • When I Was Blind   Bab 8

    D untuk Diaz.Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.Ayolah! D untuk Diaz!Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay

    Last Updated : 2021-09-23
  • When I Was Blind   Bab 9

    Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.“Kamu minum teh? Sejak kapan?” jawab Arum.“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.“Semalam aku bilang, ‘kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum beru

    Last Updated : 2021-09-24
  • When I Was Blind   Bab 10 (PoV 1)

    Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k

    Last Updated : 2021-09-25
  • When I Was Blind   Bab 11

    Aku hanya mengalami kesulitan membaca, bukan bodoh. Hanya karena ada tekanan di dalam diri sedari kecil yang menyebabkan aku murung dan menyendiri, maka secara tak sadar berimbas terhadap kemampuan belajar yang lainnya. Ini bukan kesimpulanku, melainkan kesimpulan seorang wanita yang membuat janji temu denganku dan Bu Asiyah. Dia mengatakan itu lepas aku bercerita poin-poin penting saja dalam perjalanan masa kecilku. Tidak semuanya.Namanya Bu Wanti. Seorang guru les privat calistung, juga sahabat Bu Asiyah. Seorang wanita yang pertama kali mengucapkan bahwa aku sebenarnya punya daya inteligensi yang bagus walau aku sulit membaca. Ini aneh. Sementara kenyataannya aku pernah tidak naik kelas, dan selalu mendapat peringkat terbawah. Beberapa guru pun menaikkan aku ke tingkat selanjutnya karena terang-terangan bosan melihatku.Selama tinggal di rumah Bu Asiyah, beliau menawarkan untuk melanjutkan sekolah. Bisa saja langsung masuk kelas sepuluh, jika memang aku sejatinya t

    Last Updated : 2021-09-26

Latest chapter

  • When I Was Blind   Bab 25

    Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.“Bukan itu rahasia terbesarnya!”“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.“Aku ... oh, aku ....”Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo

  • When I Was Blind   Bab 24

    “Mau jalan-jalan denganku hari ini?”“Bukankah kita sudah jalan-jalan sepanjang trotoar ini?” sergah Arum.Boy berdesis. “Maksudku, kita jalan ke suatu tempat untuk memulihkan perasaanmu, Arumanis Karamel!”Seterbit senyum menghias wajah Arum. Sejak pertemuan dengan Diaz di kafe tadi, rasa-rasnaya baru detik itu dia bisa tersenyum. Baiklah. Habis sudah acara bersedih hati. Semakin berdamai dengan hati sendiri, maka akan semakin mudah untuk melupakan segala luka.“Berapa lama kamu tidak memanggilku seperti itu?” tanya Arum.Boy tampak berpikir keras. Tak disangka, dia benar-benar menghitung angka di kalender sejak pancake Arum gosong saat itu.“Sebulan, delapan hari, lebih sejam.”“Wah, hebat! Sepenting itu kamu mengingat kapan terakhir kali memanggilku Arumanis!” Arum tergelak sembari bertepuk tangan.“Jadi, mau ikut jalan-jalan, nggak?”

  • When I Was Blind   Bab 23

    Diaz percaya satu hal, bahwa sebuah pengorbanan dalam urusan cinta itu datang dari hati. Seperti sebuah perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, maka pengorbanan itu pun tidak bisa dilakukannya sendiri. Hatinya dan hati Arum akan berusaha keras untuk itu.Dia berdiri di balkon kamar dan memandang sendu ke halaman rumahnya. Di gazebo itu mama dan papanya bercanda dengan mesra. Entah itu perasaan Diaz saja atau bagaimana, semenjak Bu Andini dirawat di rumah sakit, Pak Jaya sedikit banyak berubah. Pria yang dulu tidak terlalu peduli urusan keluarga dan membiarkan istrinya mengatur anak-anak sesuai kedisiplinannya, kini tampak perhatian. Mereka berdua bahkan saling mencium pipi di antara gelak tawa.Setelah Arum melepaskannya malam itu, Diaz yang bergejolak ingin segera memaki Bu Andini di ruang rawatnya. Dia ingin meminta keadilan dan pengertian, bahwa cintanya layak untuk diperjuangkan. Namun begitu dia membuka pintu ruangan itu, Mea menghalaunya.“Jang

  • When I Was Blind   Bab 22

    “Dalam dua hari ini aku belajar memaafkan banyak hal. Bu Andini, Mbah Uti, terlebih diriku sendiri. Bagaimana denganmu, Boy?”Boy menikmati deru kereta api yang membawanya kembali ke Jakarta. Namun, pikirannya masih tertinggal di surat Mbah Uti yang belum selesai terbacakan untuk Arum. Arum memang membawa surat itu dalam tasnya, tetapi sepertinya dia mulai lupa telah berjanji untuk mengejanya sendiri.“Boy! Kamu nggak dengar aku bicara apa? Astaga, sejak kapan seorang Boy melamun? Oh, ya, ampun, Boy!”“Apa?”“Apa aku sudah keterlaluan mengambil jatah malam minggumu dengan pacarmu?”Dasar tidak peka, batin Boy.“Hanya anak muda yang pergi malam mingguan. Kekanakan!” ejek Boy.“Baiklah, Boy. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia. Katakan, apa sampai sekarang kamu masih berpacaran dengannya? Apa Mama tahu dia calon istrimu?”Boy tertawa kecil, d

  • When I Was Blind   Bab 21

    Surat itu berisi beberapa lembar kertas dengan tulisan penuh di setiap lembar usangnya. Pena yang digunakan juga memendarkan warna hitam kekuningan. Khas orang tua zaman dahulu, tulisan tegak bersambung dengan ejaan lama.Baru membuka amplop bertuliskan “Untuk Arum” saja, matanya sudah berkunang-kunang. Huruf-huruf itu bertumpuk satu sama lain, kemudian memunculkan siluet-siluet aneh yang membuat kepalanya pusing. Keringat dinginnya bercucuran di tengkuk dan pelipis. Dia lupa kalau kemampuan membacanya menurun setelah meninggalnya Bu Asiyah.“Aku akan membacakannya untukmu. Tapi hanya satu-dua lembar. Sisanya, kamu harus membacanya sendiri.”Arum tampak lega saat Boy tidak jadi pergi dan memegangi badannya yang hampir roboh. Napas Arum yang tersengal berangsur normal. Dia sungguh berterima kasih karena Boy tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti itu sendirian.“Untuk Arum. Cucu Mbah Uti yang tersayang.” Boy mulai me

  • When I Was Blind   Bab 20

    Setelah beralih kereta dari Semarang ke Jakarta, Arum mencari angkudes tujuan Pasar Kalinyamatan. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahirannya, banyak yang telah berubah. Kemajuan terlihat di sana-sini. Pembangunan terlihat pesat. Dia agak dibuat bingung fengan jalanan yang tidak sama lagi seperti ketika dia pergi meninggalkan kota itu.“Setelah ini, aku membayangkan kita akan naik delman! Aku belum pernah mencobanya! Kurasa menjadi tour guidelokal jauh lebih menarik daripada di luar!” kata Boy memecah kesunyian.“Ya, kita akan naik delman. Biar kamu bisa belajar dari seekor kuda, bagaimana cara menutup mata dari hal-hal tidak penting.”“Aku terbiasa mengurusi masalah yang penting saja.”“Oh, ya? Berarti aku termasuk salah satu yang penting itu, Boy?”“Apa?”“Tidak apa. Lupakan. Sudah waktunya kita turun.” Arum tampak menyembunyikan rasa malunya.Arum dan

  • When I Was Blind   Bab 19

    Di dalam ruangan itu Pak Jaya menggenggam tangan istrinya. Dia terkantuk-kantuk tanpa sadar kalau Bu Andini belum memejamkan mata. Jadi tampak lucu karena sekilas terlihat Bu Andini yang sedang menjaga suaminya tidur pada siang hari.Tidak ada Diaz bersama mereka. Akan tetapi, ada Mea yang duduk di sofa dan membaca majalah. Sebelum Arum memberanikan diri mengetuk pintu, dia pastikan dulu situasi di ruangan itu lewat kaca di pintu yang tidak lebih lebar dari kusennya.“Arum, terima kasih karena mau menjenguk Tante,” sapa Mea begitu Arum masuk ke ruangan itu. Seketika Mea berdiri dan menyalami Arum.Pak Jaya membuka matanya, lalu mengedarkan pandangan hingga terpusat kepada Arum. Begitu pula Bu Andini, dia menoleh pelan ke tempat Arum berdiri. Wanita itu tampak sayu, hilang semua gurat rahang kukuh yang biasa menghias wajahnya, apalagi saat bertemu dengan Arum.“Kalian keluarlah! Aku mau bicara dengan Arum,” ucap Bu Andini memelas.

  • When I Was Blind   Bab 18

    “Kamu jauh-jauh ke pantai hanya untuk membelikanku rumah keong murahan seperti ini? Astaga! Aku baru sadar kalau punya bos sepelit dirimu!”“Jangan cerewet, Boy! Sudah aku bilang, kami nggak sempat ke pasar ikan. Lagi pula di supermarket banyak jenis ikan, baik lokal maupun import. Lucu sekali kalau kamu berlibur ke pantai hanya untuk membeli ikan!” protes Arum balik.“Tahu begitu aku ikut!”“Kenapa juga batal ikut?”“Karena kamu mengajaknya!”“Mengajak siapa? Diaz, maksudmu?”“Ya, tentu saja! Dia pacarmu, dia punya mobil untukmu, jadi kamu tidak perlu berpanas-panasan naik motor, ‘kan? Lagi pula aku harus mengurus restoranmu yang sedang ramai!”“Aku nggak membanding-bandingkan, loh! Kamu sendiri yang bilang gitu. Bukankah kamu sudah janji sama Maira mau ikut? Kenapa kamu batalkan?”Boy tidak menjawab lagi. Dia fokus memotong s

  • When I Was Blind   Bab 17

    “Horeee ... Maira mau ke ke pantai!”Suasana riuh dan sibuk pagi ini. Anak-anak itu berkemas pakaian sambil berceloteh riang tentang liburan seru kali ini. Sebagian yang lebih dewasa telah selesai dengan bawaannya, kemudian membantu Mbak Windri dan pengasuh yang lain di dapur untuk menyiapkan bekal.Cuaca sangat mendukung. Awan tipis-tipis berarak ke selatan, sesekali menghilang ditelan matahari yang benderang. Angin tidak terlalu kencang, jadi kemungkinan tidak akan turun hujan. Rekreasi ke pantai ini harus dinikmati banyak anak, makanya sedari malam Arum berdoa agar tidak turun hujan walau sudah masuk bulan Desember. Setidaknya hanya untuk hari ini.“Anak-anak sudah siap, Mbak Arum,” jelas Mbak Windri.Arum duduk di ruang tamu, memandang ke halaman sedari tadi. Apa lagi kata yang tepat kalau bukan sedang menunggu. Meski bukan menunggu tiga mobil sewaannya untuk berlibur, karena mobil itu sudah berjajar rapi di halaman rumah panti

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status