“Rum! Arumanis! Pancakemu gosong!”
Teriakan Boy sontak membuat Arum berdesis. Mengganggu konsentrasi mengintip saja, pikir Arum. Perempuan itu melesat menuju pan di mana pancake yang didadarnya beberapa menit yang lalu, kini telah berwarna cokelat seperti kulit eksotisnya. Dia sibuk mengomel dan menyalahkan Boy karena tidak mau mematikan kompor atau apalah—yang bisa membantunya barang sedikit.
“Jangan jadi pengintip, nanti matamu bintitan! Ya, kali ... kamu putri raja pakai mahkota, meskipun bintitan masih mengagumkan. Dasar, Arumanis Karamel!” Koki Benua Resto yang sekaligus sahabat Arum sejak SMA itu tertawa keras hingga memegangi perutnya.
Selalu, pria jail yang memanggil Arum dengan sebutan Arumanis Karamel itu menggodanya akhir-akhir ini. Tepatnya sejak Arum mulai dekat dengan Diaz. Siang ini pun, saat Arum sedang asyik membuat pengisi perut di sela kegiatan menghitung administrasi restoran, Boy menarik lengannya dalam satu cekalan hingga Arum berdiri di pintu pembatas kitchen dengan area meja pengunjung. Sengaja juga ditunjuknya satu meja dengan dua orang beda kelamin yang tengah mengobrol seru. Itu ... Diaz dan seorang perempuan.
Arum tidak tahu itu siapa, tetapi Diaz sudah bilang sebelumnya kalau dia akan mampir ke restorannya untuk makan siang dan membahas bisnis dengan temannya. Saat tahu teman Diaz adalah perempuan cantik, tinggi, berkulit putih, dan berpenampilan berkelas, seketika Arum lupa telah mendadar adonan pancake di pan. Tak berani menghampiri, malahan Arum menyoroti mereka dari jauh.
“Ini gara-gara kamu, Boy!” ketus Arum sembari mencubit-cubit pinggiran pancake yang sudah gosong. Karena diburu rasa lapar, dia terpaksa makan bagian yang “masih baik-baik saja” itu dengan menahan rasa kesal. Entah itu kesal kepada Boy atau kesal karena tak bisa lagi mengintip Diaz.
“Pacarmu asyik sekali membawa buku sampai ke resto pada jam makan siang. Temannya juga kelihatannya punya hobi yang sama. Kamu nggak mau gab—”
Arum melotot. Satu potong pancake hangat yang aromanya mengandung kegosongan itu dia daratkan tepat di mulut Boy yang bawel itu. “Boy, kalau kamu lapar, ngunyah, ya! Enggak usah nyerocos. Itu kompor kalah panas dibanding mulutmu! Noh, makan, makan!”
Sifat asli Arum tak bisa disembunyikan jika berhadapan dengan Boy. Beberapa menit kemudian dua sahabat itu sudah saling comot kue dan saling suap paksa. Tawa kecil mereka mengundang mata-mata cookhelper dan waitress yang wara-wiri di kitchen, walau sebenarnya pemandangan seperti demikian tak asing bagi mereka.
Boy memang baru bergabung sekitar setahun yang lalu. Sebelumnya, dia bekerja di salah satu perusahaan jasa travel. Tak sengaja bertemu Arum di restoran itu, tiba-tiba saja dia mengajukan diri menjadi salah satu pegawai dan meninggalkan kantornya.
Bukan rahasia lagi kalau Boy itu pandai memasak. Dulu sewaktu masih berseragam putih abu-abu, Arum sering ke rumah Boy, dan pria itu selalu mencoba eksprerimen di dapur mamanya, kemudian Arumlah yang menjadi juri memasak ala-ala.
“Rum, kamu yakin bisa cocok sama dia?” Boy berhenti bergurau. Menggantikan Arum, dia mengintip dari kaca jendela pembatas kitchen. “Dia itu pengusaha yang serius, loh. Sementara kamu, kan—”
“Apa? Aku kenapa?”
Boy menelan ludah, sadar hampir saja dia keceplosan. Kalau sampai dia bilang kalau Arum itu main perempuan yang tidak suka membaca buku, pekerja keras tetapi disokong keberuntungan, serta seorang labil yang mengandalkan imajinasi daripada mempraktikkan sebuah teori, pasti cakarannya akan tercetak jelas di lengan bertatoo Boy dengan segera. Terkadang, Boy heran dengan tingkah sahabatnya itu, bisa-bisanya Arum mengelak akan pendapatnya yang hakiki, sedangkan kenyataannya Arum memang ... begitu.
“Aku bukan perempuan gampangan, Boy! Aku pastikan jatuh cinta sekali dan hanya akan menikah dengan Diaz. Bukan seperti kamu yang bisa menerka segala kriteria wanita karena pengalaman. Pengalaman mainin hati perempuan!” Arum mengakhiri ceramahnya dengan juluran lidah.
“Serius, kamu mau nerima lamaran Diaz? Yakin, dia sudah kenal kamu sampai ke akar-akarnya?”
“Helo, kamu pikir aku pohon beringin!”
“Bukan! Kamu penunggu pohon beringin!”
🍁🍁🍁
“Sudah makan?”
Arum mengangguk.
“Sudah mengerjakan apa saja?” Diaz bertanya lagi.
“Hanya menghitung anggaran resto sebulan kemarin.”
“Ada kesulitan?”
Kini mereka berdua saling menekan siku di meja, lalu bertopang dagu dan berpandangan. Setelah makan siang di restoran tadi, Diaz tak sempat menyapa Arum di ruangannya karena buru-buru kembali ke kantor. Sebagai gantinya, malam ini dia mengajak makan malam di luar.
Namun, entah kenapa perasaan Arum agak tak nyaman. Dia menolak memesan makanan. Gambaran perempuan yang makan siang bersama Diaz tadi berkelebat di kepalanya. Arum tak mau mengaku cemburu, hanya saja dia merasa wajar jika terganggu dengan keseriusan dan kenyamanan Diaz bersama perempuan itu. Selama empat bulan dekat denganya, Diaz belum pernah setergelak tadi siang.
“Rum, kamu melamun lagi.”
Arum tersentak. “Ouh, eh ....”
“Yang tadi siang itu namanya Mea. Teman semasa kuliah. Kebetulan perusahaan kami marger, jadi serasa reuni sama dia. Kamu nggak keberatan, ‘kan?”
Arum tercenung. Kemudian dia memejam dan bersenandung, kebiasaan saat dia bingung—harus menjawab apa untuk sebuah pertanyaan yang tak ingin dijawabnya.
“Arum cemburu.”
Selengkung senyum Diaz menyambut saat Arum membuka kembali matanya. Mau bilang “iya, aku cemburu”, tetapi yang keluar dari bibirnya adalah penyangkalan. “Kenapa aku harus cemburu?”
“Matamu yang mengatakan itu.”
“Mata tak bisa bicara, Iaz.” Arum mengalihkan pandangan. Tanpa sadar, dia telah membuktikan bahwa ucapan Diaz adalah benar. “Tidak, aku ....”
Ucapan Arum terhenti. Dia sibuk meredam perasaan manakala Diaz telah duduk di sampingnya, memberi rangkulan dan acakan di rambut Arum seperti biasanya. “Aku hanya milikmu, Rum. Jangan pernah cemburu kepada apa pun di dunia ini. Biar mereka saja yang cemburu padamu.”
Aih, ini rayuan macam apa? Darah Arum berdesir dan lagi-lagi berdesir setiap kali Diaz memujanya. Arum merasa serupa hujan yang dinantikan bumi gersang setelah satu dasawarsa kemarau melanda. Ibarat dewi angin yang datang dan berdesau ketika terik matahari menyengat ubun-ubun. Kenapa tidak serupa es buah saja? Tidak, karena Arum tidak sedingin itu.
“Ya, kamu hanya milikku, Iaz. Karena itu, jangan terlalu dekat dengannya. Beri jarak agar dia dia tak memandangmu seperti tadi. Ya, ya, aku cemburu!” celetuk Arum, membuat Diaz tertawa kecil.
“Ya.”
Hanya itu tanggapan Diaz? Wah, keterlaluan! Tak tahukah pria itu kalau Arum tidak suka dengan jawaban yang simpel? Semua hal harus terlihat dan terdengar meyakinkan. Itu dia pelajari buka dari buku mana pun, melainkan dari prinsipnya sendiri.
Akan tetapi, belum sampai mulut Arum terbuka untuk mengeluarkan kicauan panjang dan nyaring, Diaz sudah membungkamnya dengan kecupan manis di keningnya.
“Besok, aku akan mengenalkanmu pada orangtuaku. Bersikaplah yang manis.”
Jantung Arum terpompa sangat cepat. Tak hanya kecupan yang meninggalkan sensasi hangat dan lembut, kabar yang dia dengar pun dengan hebatnya membuat keringat di kening timbul satu demi satu, hingga sesaat dia merasa pendingin ruangan restoran itu mati sebelum jam tutupnya.
Sementara itu, Diaz menarik piring makannya, menikmati dengan tenang sirloin steaknya tanpa peduli bagaimana tak keruannya perasaan Arum.
“Iaz,” panggil Arum.
Diaz hanya berdeham. Acara makannya tak teralihkan.
“Iaz.” Panggilan kedua.
“Ya, Sayang.”
“Orangtuamu tidak menyeramkan, ‘kan?”
Diaz tersedak. Matanya melotot, menahan sensasi panas yang menjalar di tenggorokan karena makanan yang belum terlumat itu tertelan paksa. Buru-buru dia mengambil air minum yang disodorkan Arum.
“Maksudku, orangtuamu tidak seperti mama papa dalam sinetron, ‘kan? Atau mungkin seperti penunggu pohon beringin ....” Arum dengan polosnya mengungkapkan itu. Mimiknya tampak cemas ditambah gugup, takut kalau Diaz akan tersedak lagi mendengar penuturannya.
Namun, kenyataannya ... Diaz tersedak lagi.
Kamar almarhum Bu Asiyah adalah kamar Arum. Bukan karena dia kehabisan kamar di rumah yang sekarang beralih fungsi menjadi panti asuhan, melainkan karena sejak awal dia tidak mau tidur di kamarnya sendiri. Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang dulu masih dua tingkat itu, Arum mengetuk pintu kamar Bu Asiyah, meminta beliau agar membolehkannya tidur bersamanya. Ada ketakutan saat dia harus berada di kamar sendiri. Arum takut kembali menangis, takut sendirian.Dibukanya lemari baju di sudut dekat jendela. Aroma Bu Asiyah seketika menyeruak hidungnya. Meski telah bertahun-tahun lamanya ditinggal pergi, kenangan bersama ibu angkatnya tak lekang dari pikiran. Semangat, kasih sayang, juga pelukan ... terlalu membekas di sanubari Arum. Terkadang, ingatan yang manis justru membuatnya lemah untuk beberapa saat.“Arum kangen Ibu ....” Air mata Arum membasahi sepotong baju Bu Asiyah yang diambilnya.Besok, Diaz akan mengenalkannya kepada orangtuanya.
Terkadang, wajah yang setiap hari dengan begitu mudah menatapmu, justru di hatinya ada rahasia yang tidak pernah kamu ketahui. Setiap orang bebas meluapkan perasaannya, tetapi ada juga yang memilih diam dan menyimpan rasa dalam keheningan.Boy sudah menghabiskan dua cangkir kopinya di teras. Akan tetapi, hingga malam menjelang, orang yang dinantinya tak kunjung datang. Lelaki itu mengulum senyum kecewa. Denyut nyeri di hatinya memang sudah biasa dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, mengobati dengan kesendirian, tetaplah sulit dilakukan.“Makan dulu, Boy!” Bu Wanti—mama Boy—muncul dari dalam rumah, mengingatkan.Patuh. Boy memang patuh kepada orangtua tunggalnya. Hanya sekali dia berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan mamanya, yaitu ketika dia meninggalkan perusahaan travel, tepat saat jenjang kariernya tengah menanjak. Satu-satunya nama yang menjadi alasan lelaki itu, kini justru kembali memberikan aroma kekecewaa
Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.“Rum, tunggu dulu!”“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah ter
Kalau ada pria yang berisik mengacaukan dapur bahkan saat Arum tengah bersedih, tentu itu adalah Boy. Arum sempat mengerucutkan bibir saat pria itu tidak bisa diajak serius untuk berbagi duka. Saat Arum berusaha menata hati untuk bercerita tentang kejadian di rumah Diaz, Boy justru bertanya apa dia sudah makan malam atau belum. Saat Arum ingin menangis lagi, Boy justru berlari ke dapur dan mengguncangkan peralatan memasak dengan senandung lagu ceria. Gila!“Aku langsung jatuh cin ... taaa ... kepa ... damuuu .... Cinta pada pandangan per ... tamaaa ....”Boy meramaikan sunyinya dapur Arum dengan nada suara “maksa” menyanyikan lagu Dewa 19 itu.“Boy, berisik!” teriak Arum yang tak bisa konsentrasi dengan patah hatinya. Dia mengelap ingus alih-alih air mata di pipi. Saat hatinya kacau dan malah mendapat suara bass Boy yang dibuat falset, kepalanya jadi pusing.Boy mendengar keluhan itu, tetapi dia tak mau menjawab. Hanya
“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”“Maafkan Arum.”“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rum
D untuk Diaz.Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.Ayolah! D untuk Diaz!Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay
Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.“Kamu minum teh? Sejak kapan?” jawab Arum.“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.“Semalam aku bilang, ‘kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum beru
Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k