Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.
“Rum, tunggu dulu!”
“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.
“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”
Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.
“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”
Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah terjadi jauh sebelun Arum mengenal Diaz. Bahkan, Diaz tidak cukup tahu tentang luka batinnya. Lalu sekarang, saat Arum tahu bahwa mama Diaz termasuk salah seorang yang pernah menciptakan luka masa lalunya, bagaimana mungkin Diaz yang akan jadi penawarnya?
Satu-dua tunas kenangan bermunculan di kepala Arum, kemudian seakan-akan cepat berdaun, berkembang, dan berkembang biak saat Arum menatap Diaz. Pria itu adalah putra Bu Andini—wali kelas Arum semasa sekolah menengah pertama di Jepara dulu, sebelum dia lari ke Jakarta.
Bu Andini bukan sosok guru yang ramah. Dia sedikit cerewet dan galak, sikapnya pun dingin terhadap para murid. Sementara kesulitan Arum membaca dan memahami pelajaran akademik, menjadi sasaran empuk kemarahannya setiap hari.
“Meski sekolah ini bukan sekolah negeri favorit, saya heran kenapa siswi seperti kamu bisa diterima di sekolah ini!” ketus Bu Andini kala Arum tidak paham-paham materi pelajaran Sejarah, sedangkan teman-temannya yang lain sudah siap menerima pelajaran selanjutnya.
“Kamu kerjaannya apa sampai nilaimu begini terus? Belajar, Arum, belajar!”
“Sa—saya belajar, Bu.” Arum berusaha membela diri, karena memang dia merasa sudah berusaha keras.
“Kalau belajar, minimal kamu dapat angka tujuh. Ini apa? Ini apa?” Bu Andini mengangkat lembar ujian bernamakan Arum Murtiningsih ke udara. Kertas-kertas itu didominasi nilai 3 tepat. Tidak lebih.
Seketika teman-teman sekelas menyoraki dengan gembira, seolah-olah Arum adalah mainan lucu yang patut ditertawakan. Bu Andini membiarkan kegaduhan itu, barangkali ingin Arum mendapatkan pelajaran dari sebuah rasa malu.
Arum memang benar-benar tidak bisa segampang anak lain dalam menerima pelajaran. Dia bukan malas belajar, bukan pula mudah menyerah. Namun, saat tawa-tawa sumbang itu menyambangi daun kupingnya, dia seakan-akan terlempar lebih dalam ke lubang gelap tanpa cahaya. Kesulitannya semakin menjadi, semakin membuatnya tertinggal.
“Kamu dua kali tidak naik kelas saat SD, mau tambah lagi di kelas sembilan ini?”
Lagi, teriakan berisik itu terdengar. Gambaran wajah-wajah teman-teman Arum tercetak jelas di kepala. Bagaimana mereka tertawa, saling tos, bahkan terkadang melempari Arum dengan bola remasan kertas manakala Bu Andini selesai berkhotbah dan keluar kelas.
Arum tersiksa. Sekuat hati dia bertahan dalam tahun-tahun paling berat dalam hidupnya. Sampai saat dia melihat kegagalannya dalam ujian nasional di lembar pengumuman, dia tidak punya lagi kekuatan untuk menahan rasa malu. Dalam langkah panjangnya pulang ke rumah, dia tak henti menangis. Sebelum mbah utinya sempat bertanya ada apa, Arum sudah mengunci diri di kamar.
“Kenapa menangis? Setiap hari kamu pulang sekolah sambil menangis. Kapan kamu akan membuat Mbah Uti ini tenang? Kalau tidak mau dihina, ya berusaha dengan baik. Jangan biarkan mereka semaunya merendahkan kamu. Mbah Uti ini juga heran sama kamu, kapan kamu belajar lebih baik? Bukannya tambah baik, malah tambah parah. Kamu ini kenapa, tho, Rum?” ucap Mbah Uti dari luar pintu kamar Arum tanpa henti.
Arum semakin memekik di balik pintu. Dia tergugu sampai-sampai bahunya berguncang. Dia benci suara Bu Andini, benci suara teman-temannya, juga suara Mbah Uti.
Malam itu, setelah memecahkan celengan tanah liatnya, Arum berjalan mengendap-endap keluar dari rumah. Dia berlari cepat meninggalkan desa hingga langkahnya terhenti di stasiun. Dia tidak punya tujuan pasti. Hanya didorong keinginan untuk meninggalkan tapak-tapak yang membuat luka, dia menaiki kereta api.
“Aku yakin Mama tidak sengaja mengucapkan itu tadi.”
Suara Diaz membawa kabur ingatan yang melintas. Baru Arum sadari, kini hidupnya kembali dihadapkan dengan guratan masa lalu. Tentu saja Arum tidak mau kembali membuka pintunya. Takdir yang telah kejam membawa Bu Andini masuk ke kehidupan barunya, bahkan sebagai calon mertuanya. Tidak, tidak. Sepertinya ungkapan calon mertua itu pun tidak akan pernah terjadi.
Di rumah Diaz tadi, suasana masih terbilang aman, sampai wanita itu muncul ke ruang tamu. Matanya membeliak begitu tahu perempuan yang akan dikenalkan sebagai calon istri putranya adalah Arum. Arum Murtiningsih si bodoh yang menjadi ikon kegaduhan kelas.
Tanpa acara perkenalan dan basa-basi, wanita yang beberapa tahun yang lalu dipindahtugaskan ke Jakarta karena mengikuti perkembangan bisnis suaminya itu, sontak menudingkan telunjuk kepada Arum. “Kamu ... tidak pantas jadi mantu saya. Mimpi apa kamu mau menikah dengan Diaz?”
Seketika itu juga kegugupan yang semula hanya merayap di badan Arum, beralih menjadi sengatan tajam dan beracun. Hatinya menggelepar jatuh dalam lubang kelam, sedalam-dalamnya. Yang bisa dilakukannya hanya berlari, sama seperti kejadian setelah pengumuman kelulusan.
“Bu Andini tidak pernah salah, Iaz. Tidak ....” Air mata Arum terjatuh lagi. “Beliau begitu mengenalku, beliau sengaja mengatakan itu karena tidak suka padaku,” ucap Arum pada akhirnya, setelah Diaz berkali-kali menggosok lembut bahunya.
“Beri aku waktu untuk bicara dengan Mama. Ya?”
“Beri aku waktu untuk sendiri saja.”
“Rum ....”
Arum sudah bisa melepas cekalan Diaz yang mengendur. Entah kenapa, tiba-tiba pria itu pun putus asa melihat Arum tak bersemangat. Arum membuka pagar rumahnya, sedangkan Diaz berlalu pergi dengan mobilnya.
Sendiri-sendiri. Mungkinkah keadaan akan menjadi lebih baik dengan berpikir sendiri-sendiri?
“Sudah pulang?” sapa Boy yang entah sejak kapan duduk di undakan teras rumah Arum.
Arum tersentak. Cepat dihapusnya sisa air mata yang masih basah di pipi. Dia sembunyikan pula jejak kemerahan matanya dengan pengalihan pandangan. Toleh ke sana-kemari, menyembunyikan hela napas berat di balik senyum yang terpaksa.
“Masih saja bisa berbohong!”
Boy melangkah mendekat, Arum semakin tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Lalu, dalam sekali rengkuhan, Arum membenamkan kepala di dada Boy.
“Boy, aku–” Kata-katanya tidak selesai. Bahu Arum berguncang hebat. Tangisnya luber membasahi kaus pria bertatoo itu.
“Aku rindu menjadi bantal tangisanmu,” kata Boy.
Tangis Arum semakin pecah. Sesungguhnya dia tidak ingin kembali berair mata. Namun, malam ini dia ingin menangis sepuasnya.
“Sayangnya aku lupa beli tissu.”
“Boy ....” Arum masih menangis, hanya saja kepalan tangannya mulai memukul dada pria itu.
Kalau ada pria yang berisik mengacaukan dapur bahkan saat Arum tengah bersedih, tentu itu adalah Boy. Arum sempat mengerucutkan bibir saat pria itu tidak bisa diajak serius untuk berbagi duka. Saat Arum berusaha menata hati untuk bercerita tentang kejadian di rumah Diaz, Boy justru bertanya apa dia sudah makan malam atau belum. Saat Arum ingin menangis lagi, Boy justru berlari ke dapur dan mengguncangkan peralatan memasak dengan senandung lagu ceria. Gila!“Aku langsung jatuh cin ... taaa ... kepa ... damuuu .... Cinta pada pandangan per ... tamaaa ....”Boy meramaikan sunyinya dapur Arum dengan nada suara “maksa” menyanyikan lagu Dewa 19 itu.“Boy, berisik!” teriak Arum yang tak bisa konsentrasi dengan patah hatinya. Dia mengelap ingus alih-alih air mata di pipi. Saat hatinya kacau dan malah mendapat suara bass Boy yang dibuat falset, kepalanya jadi pusing.Boy mendengar keluhan itu, tetapi dia tak mau menjawab. Hanya
“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”“Maafkan Arum.”“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rum
D untuk Diaz.Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah, kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.Ayolah! D untuk Diaz!Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumay
Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.“Kamu minum teh? Sejak kapan?” jawab Arum.“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.“Semalam aku bilang, ‘kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum beru
Aku membuka mata dan refleks bangun untuk duduk. Di sekelilingku bukan rumah joglo berkayu jati seperti malam kemarin. Yang tampak adalah sebuah kamar luas dengan beberapa perabotan dan fasilitas. Ranjang tempatku tidur adalah ranjang besar lengkap dengan selimut yang besar.Ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di tempat yang nyata. Bahkan semalam ada seorang wanita yang memelukku dengan penuh kasih sayang seakan-akan aku adalah putri kandungnya. Akan tetapi, kenapa sekarang aku sendirian?“Sudah bangun, Nak?” Wanita berparas ayu itu masuk ke dalam kamar. Senyumnya yang lembut membuatku membalas dengan senyuman pula.“Maaf, harusnya aku tidak tidur di sini,” ucapku malu-malu. Segera aku beringsut turun dari kasur empuk itu dan melipat selimut. Kutata sampai tidak terlihat berantakan.“Sudah, biarkan! Nanti ada yang beresin. Segera mandi, Ibu tunggu di meja makan. Ya?” Wanita itu menepuk pipiku pelan, lalu melangkah k
Aku hanya mengalami kesulitan membaca, bukan bodoh. Hanya karena ada tekanan di dalam diri sedari kecil yang menyebabkan aku murung dan menyendiri, maka secara tak sadar berimbas terhadap kemampuan belajar yang lainnya. Ini bukan kesimpulanku, melainkan kesimpulan seorang wanita yang membuat janji temu denganku dan Bu Asiyah. Dia mengatakan itu lepas aku bercerita poin-poin penting saja dalam perjalanan masa kecilku. Tidak semuanya.Namanya Bu Wanti. Seorang guru les privat calistung, juga sahabat Bu Asiyah. Seorang wanita yang pertama kali mengucapkan bahwa aku sebenarnya punya daya inteligensi yang bagus walau aku sulit membaca. Ini aneh. Sementara kenyataannya aku pernah tidak naik kelas, dan selalu mendapat peringkat terbawah. Beberapa guru pun menaikkan aku ke tingkat selanjutnya karena terang-terangan bosan melihatku.Selama tinggal di rumah Bu Asiyah, beliau menawarkan untuk melanjutkan sekolah. Bisa saja langsung masuk kelas sepuluh, jika memang aku sejatinya t
Suasana riuh. Suara-suara sumbang kembali berdenging. Aku merasa kembali duduk di bangku SD maupun SMP. Teman-teman melempariku dengan bulatan kertas dan spidol. Benda-benda itu serentak menutul kepala, hingga aku takut dan menyembunyikan wajah di balik lengan.Namun, sekarang aku bukan lagi di sekolah itu. Aku duduk manis di sebuah kelas di sekolah kejuruan swasta. Bukan sekolah terbaik, kata Bu Asiyah, tetapi akan tepat untukku menuntut ilmu. Meski agak kesiangan dan terpaksa duduk di bangku paling belakang, setidaknya suara berisik siswa-siswa di sini tidak seperti di Jepara. Mereka lebih cuek dari yang kukira, tidak menyapa jika tidak disapa lebih dulu, pun tidak ambil pusing dengan orang lain di sekitar mereka.Beberapa hari yang lalu, aku telah belajar lebih giat kepada Bu Wanti. Bagaimana tidak? Tersisa hanya enam hari sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Sementara ibuku telah mengeluarkan uang yang tak sedikit demi terapiku. Aku tidak mau mengecewakannya. Samp
Boy adalah lelaki yang paling menyebalkan dalam hidupku. Memang, dia tidak jahat seperti teman-teman dari nasa laluku. Akan tetapi, sejak pertemuan pertama, dia tidak henti membuat hidupku semakin kacau. Dia tidak henti mengganggu konsentrasi saat membaca, merebut buku tulis kemudian menyalinkan pelajaran pada saat aku ingin mencobanya sendiri, bahkan membantu menghabiskan bekal makan tanpa kuminta. Dia selalu ada ke mana pun aku pergi. Sudah seperti bayang-bayang saja!Akan tetapi dia tak mengganggu siswi lainnya. Kenapa hanya aku? Bahkan, saat beberapa teman menyatakan perasaannya kepada Boy, anak menyebalkan itu tak acuh sekali. Belum lagi serangan penggemarnya dari kelas lain. Hampir setiap hari kelasku ramai anak perempuan yang mengejar Boy. Kenapa tidak dia terima saja salah satu dari mereka untuk dijadikan pacar? Jadi, aku tidak sampai tergencet seperti sekarang ini.“Lo anak cupu itu, ‘kan? Kenapa, sih, mepet Boy terus? Nggak ada kerjaan?”