Andin membuka lebar matanya selagi berkacak pinggang di ujung tangga yang baru saja dia turuni dengan anggun berharap Bagas akan terpesona. Namun, ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Bagas yang baru saja memberikan kecupan sayang di dahi Eriska segera menoleh ke arah istri keduanya yang terlihat garang. "Pelankan suara kamu!" tegas Bagas. Eriska tertawa dalam hatinya menyaksikan api cemburu madunya yang sangat membara tidak terkontrol. Andin berjalan dengan langkah penuh api. "Mas, kenapa mas cium dia? Aku ga suka!" Volume suaranya memang sudah melemah, tapi kadar amarahnya tidak menemui titik turun. "Loh, emang kenapa? Dia juga istri aku." Dengan polos dan santainya Bagas berkata sehingga menjadikan api baru di hati Andin."Mas, aku ga suka ya!" Tekan Andin saat memerotes keras pada Bagas. Kedua telapak tangan Bagas segera menangkup lembut kedua pipi Andin. "Sayang ... kamu cemburu, ya. Sayang dan cinta aku lebih besar ke kamu kok." Dia juga mendaratkan kecupannya di dahi An
"Ya ampun, mbak. Abis makan cabe berapa kilo? Pedes beud!" jawab Nina."Gue nggak ngomong ke lo!" Murka Andin."Tapi aku denger!" balas Nina tidak kalah berani."Nggak usah jawab!" Andin berkacak pinggang sejak kemunculannya."Udah-udah ... kasihan bayi kamu, pasti kaget denger ibunya marah-marah." Eriska segera menjadi air di dalam kobaran api selagi tetap menimang. Andin memutar bola mata malas meladeni mereka, padahal dia duluan yang memancing. "Heh, Eriska. Lo itu mandul nggak usah sok-sokan gendong bayi. Nggak pantes!" Lagi, Andin menghina."Emang ada ya, pelaturan yang larang?" jawab santai Eriska."Gue!""Punya hak apa, kamu?" tatapan tidak suka jelas hadir pada Eriska. Nina berdecak bangga melihat perlawanan Eriska. "Eu ... iya ... gue ...." "Nah, mikir kan nggak bisa jawab. Makannya mbak, jadi orang nggak usah sok-sokan jadi ratu. Mana ada rakyat yang mau punya ratu kek gini bikin gatel pengen nampol!" celetuk Nina se-enaknya."Ish, siapa sih lo? Nggak usah ikut campur deh
Eriska mencoba mengontrol sakit hatinya sisa kemarin malam. Dia menatap netra Bagas yang lain dari biasanya. Tidak mampu menyembunyikan perasaan, tatapan sendu dipasang Eriska. "Bukan males, mas. Aku mual." "Masih aja alesan pura-pura sakit. Bener kata Andin, kamu jago akting. Bilang aja udah nggak mau siapin sarapan!" kesal Bagas. Pria itu sukses dimakan oleh ucapan busuk Andin.Eriska mengusap matanya yang mulai basah, diikuti sedikit isakan. Dia kembali ke kamar mandi untuk menyeka wajahnya. Setelah itu, barulah ke ruang makan. Bagas sudah di sana, mencoba menyiapkan roti isi selai. "Sini mas, biar aku yang buat," tawar Eriska. "Dari tadi, kek." Bagas segera duduk selagi mengerjakan sesuatu di laptopnya. "Andin mana, mas?" Eriska menyodorkan dua tangkup roti isi selai kacang dan selai cokelat juga satu gelas kopi susu."Dia masih tidur," jawab santai Bagas tanpa membuang fokusnya dari laptop, bahkan hanya untuk melirik satu detik saja ke arah Eriska sepertinya pria itu enggan.
Tok tok tokTampaknya sekretaris Bagas sudah penat menunggu. "Sayang, aku harus rapat dulu. Nanti setelah rapat kita beli mobil buat kamu." "Iya deh, sayang. Kamu jangan nakal ya, sama sekretaris sexy itu." "Nggak akanlah sayang, kamu yang tersexy." Bagas mencium bibir istrinya sebelum pergi kala Andin sedang duduk di atas meja. Dia memakai mini dress, sontak pahanya terekspos.Semenjak kehadiran Andin dalam kehidupan si bos, tentu orang sekantor memiliki topik gossip baru. Kabar istri kedua Bagas itu langsung viral di sana. "Kasian Bu Eriska, tega banget ya Pak Bagas," bisik-bisik karyawan."Eh, ssttt. Istri keduanya dateng." Andin berjalan angkuh melewati kursi-kursi karyawan, berlaga bagaikan bos di sana. Sontak setiap langlah kaki nyaring yang ditimbulkan heels beradu dengan lantai selalu menjadi pusat perhatian. Namun, bukan kagum justru sebaliknya. Gede juga perusahaan Mas Bagas. Mata Andin menyapu setiap sudut ruangan yang dilewatinya. Pasti uang Mas Bagas banyak banget. C
Andin, Karla dan Nia menghabiskan dua jam waktunya di restoran diisi dengan makan dan bergossip. Andin memang kaya raya, tapi dia tidak pintar berbisnis tidak seperti kedua temannya jadi, tidak ada topik pembicaraan bisnis sedikit pun.Handphonenya berdering lagi. "Halo, mas?""Kamu di mana, sayang? Katanya mau beli mobil ...," ucapan Bagas super mesra."Ah, iya mas. Hampir aja aku lupa," dusta Andin padahal mobil seakan terpatri dalam otak dan hatinya. Ucapannya hanya agar tidak terlihat matre."Loh ... kamu yang minta, kamu yang lupa." Bagas terkekeh, "jadi gimana, mau beli?" Suaranya tetap mesra."Jadi dong, mas ... aku lagi di restoran nih, mas kesini ya ... jemput aku." Suara Andin juga dibuat mesra dan manja."Oke, sayang. Tunggu ya, aku kesana sekarang.""Oke, mas." Panggilan terputus."Mau kemana, seneng banget kayanya?" tanya Karla."Beli mobil, nggak mungkin kan kemana-mana gue naik taxi online terus."Nia dan Karla hanya tertawa kecil kala menanggapi jawaban Andin. Aduh, An
Eriska dan Bagas sudah tiba di ruang makan, Bagas melonggarkan dasinya yang seharian melilit lehernya, sedangkan Eriska menyeduhkan kopi. "Kamu jangan iri, Andin aku belikan mobil. Kamu juga dulu dapet," ucap Bagas.Eriska tersenyum kecil kala memandang kopi yang sedang berputar di dalam gelas berisi air mendidih, lalu menoleh ke arah suaminya membawa senyuman manis. "Iya mas."Memang Eriska juga mendapatkan mobil. Namun, tentu jenisnya berbeda dengan milik Andin yang memilih mobil mewah keluaran terbaru.Segelas kopi sudah tersaji. Bagas menghirup aroma kopi favoritenya, lalu menyesap perlahan. Rasanya tidak berubah karena Eriska sudah sangat hatam takaran kopi, gula, susu serta air panasnya sekali pun. Tidak ada lagi topik pembicaraan lain di antara mereka sampai Andin datang, tapi tidak menghampiri. Dia langsung berpamitan ke kamar dan Bagas mengiyakan saja.Rasa iri Eriska semakin menjulang. Bagas selalu tidak adil, padahal seharusnya dia bersikap adil pada Eriska atau pun Andin d
Alex mengurungkan niatnya setelah mendengar penuturan adiknya. "Ya udah dik, tapi kamu bener baik-baik aja? Biar kakak bilang ke mama sama papa.""Aku baik-baik aja, kak ... tenang aja." Eriska susah payah mengulas senyuman walau tidak terlihat oleh Alex."Ya deh, kakak lanjut jalan. Lagi nyetir.""Iya kak, hati-hati di jalan." Panggilan terputus. Eriska membuang napas lirih. "Andai mereka tau aku nggak baik-baik aja, pasti mereka akan bawa aku pulang." Kemudian wanita itu mengingat kehamilannya, "aku harus kabarin mama, papa sama kak Alex, mungkin besok aku harus ke rumah."Kala sedang bergumam, handle pintu diputar dari luar. "Sayang," sapa Bagas. Pria itu menenteng bubur dan segelas susu. Keduanya masih panas karena baru saja diangkat dari kompor.Eriska menunjukan senyuman manisnya. "Iya, mas."Bubur dan susu disimpan di atas meja, lalu Bagas duduk di tepian ranjang, di samping Eriska yang sedang duduk bersandar. "Tadi kamu pingsan." Tanganya mengulur, merapihkan anak rambut di se
Eriska memalingkan wajah kala mendapat senyum menyeramkan."Nanti kalo si Nina jail lagi, kamu bilang ke aku. Biar aku bilang ke suaminya." Bagas membelai puncak kepala Andin penuh perhatian, tanpa peduli pada Eriska yang terpaksa harus menyaksikan adegan itu di depan mata. Padahal dulu kalimat Bagas itu selalu untuknya."Sayang, kalo pulang kerja ada yang ngikutin atau apalah, kamu bilang aku. Telepon jangan ragu, aku pasti dateng," pesan Bagas untuk Eriska sebelum pergi ke kantor."Iya, mas ... tapi sejauh ini aman kok. Lagian jaraknya cuma seratus meter dari rumah. Lewatin rumah-rumah warga juga jadi selalu rame," tutur Eriska dengan detail agar tidak membuat suaminya khawatir."Betah, nggak kerja di sana? Cape nggak? Kalo ada keluhan mendingan keluar aja." Bagas membelai puncak kepala Eriska kala dalam dekapan layaknya pada Andin sekarang.Ingatan-ingatan manis di antara mereka hanya hadir di pikiran Eriska tidak dengan Bagas. Secepatnya dia meninggalkan istri pertamanya mengikuti
"Maaf, Kak ...." Eriska segera merasakan amarah Alex."Dik, berhenti memikirkan Bagas dan jangan samakan Bagas dengan Adam, mereka sangat berbeda!" tegas Alex yang selaras dengan tatapannya. "Aku cuma ingat aja kok, Kak. Karena tidak semudah itu membuang semuanya, apalagia ada Aulya yang mirip banget sama mas Bagas." "Kemiripan Aulya bukan berarti membuat kamu harus dibayang-bayangi Bagas. Ingat Dik, Adam sangat peduli sama kamu, bukan Bagas!" Lagi, ketegasan ditunjukan Alex hingga Eriska mengangguk sendu dan seakan tertekan, tetapi pria ini memang sengaja melakukannya supaya adiknya membuka lebaran baru yang jauh lebih baik.Satu bulan berlalu, hari ini tepat pernikahan Adam dan Eriska yang diadakan secara kecil-kecilan, hanya dihadiri kedua belah pihak keluarga saja, tetapi tanpa diduga jika keluarga Bagas hadir membawa Bagas. "Eriska, kamu akan meninggalkan aku dan semua kenangan kita?" Keadaan mental pria ini sudah stabil dan sangat sehat. Maka, semua hal yang pernah terjadi dal
Dua bulan kembali berlalu, keadaan Bagas mendekati pulih. Dokter memberikan rincian laporan tentang perkembangannya, ditunjukan pada pihak keluarga. Sebenarnya pria itu sudah bisa dibawa pulang, hanya saja kedua orangtuanya inginkan putranya tetap mendapatkan pengawasan sampai benar-benar pulih. Kabar ini segera sampai pada Eriska dan keluarganya. "Alhamdulillah ...," syukur wanita ini begitupun kedua orangtuanya hanya Alex yang tidak mengucapkannya. Saat kakak dan adik berdua di atas balkon, Alex mengutarakan pemikirannya, "Dik, cepat tanyakan pada Adam kapan dia akan menikahi kamu.""Kak ..., masa aku yang tanyakan!" protes kecil Eriska."Kakak udah coba tanya beberapa kali, tapi Adam selalu bilang belum dapat tanggal baik. Kapan dong, dia dapat tanggal baiknya!" Tatapan serius Alex yang sebenarnya masih memercayai Adam hanya saja kini dirinya sudah sangat panik akibat mendengar kondisi Bagas, "coba sesekali kamu yang nanya.""Malu, Kak. Aku ini janda anak satu, nggak mungkin aku t
Eriska terpaku sendu seiring menatap buah hatinya bersama Bagas. "Gimana keadaan mas Bagas?" Dirinya segera mengalihkan topik karena keadaan Bagas hari ini seolah menjawab alasan ketidak mampuan mantan suaminya memberikan nama pada malaikat kecil. "Masih sangat parah!" Alex melanjutkan kebohongannya.Eriska mendesah pelan, "Kalau gitu ..., aku namakan Aulya saja. Gimana Kak, apa bagus?" Senyuman ceria disisipkan. Namun, wajah Alex tidak menunjukan keceriaan yang sama sedikit pun. "Kenapa harus Aulya, Dik?" Bukan perkara nama yang membuatnya heran, melainkan pemikiran Bagas dan Eriska begitu kompak padahal mereka tidak pernah berkomunikasi sama sekali. "Mau saja, aku pikir nama Aulya itu bagus. Cuma ..., aku nggak tahu nama panjangnya apa. Coba Kakak pikirkan." Alex hanya tersenyum getir. "Akan Kakak pikirkan nanti. Kakak harus mencari nama paling baik," tulusnya, "tapi Dik, yakin mau Aulya, tidak mau ganti yang lain?" "Aulya saja Kak, buat nama depannya. Selebihnya biar Kakak ata
Adam merenungkan pesan dari orangtuanya, pria ini hanya duduk di tepian ranjang di dalam kamarnya. "Eriska memang memiliki sesuatu yang nggak akan membiarkannya lost contak dengan Bagas, ada anak di antara mereka. Jadi mungkin aku yang terlalu berharap banyak untuk bisa mendapatkan Eriska." Embusan udara dibuang Adam, kemudian meluruskan punggungnya seiring memandangi langit-langit saat kedua tangannya dilipat, menyangga kepala. "Aku masih mencintai Eriska bagaimanapun dunia menilai hubungan kami. Tapi kalau bisa, nggak perlu sama anaknya juga. Aku sangat membenci wajah anaknya yang seperti Bagas." Semakin lama, keduanya kelopak mata Adam semakin turun hingga membawanya ke alam bawah sadar. Dari sejak hari ini hingga tiga hari kemudian Adam tidak menampakan batang hidungnya pada keluarga Eriska, dirinya beralasan jika restoran sangat sesak oleh pengunjung maka tidak membiarkannya absen. Jadi, dirinya hanya menjenguk si bayi setelah tiba di rumah. Eriska menyusui bayinya sangat tela
Bagas berjalan linglung mencari keberadaan orang-orang terdekatnya karena jangankan di luar, di dalam rumah saja dirinya sering tersesat. Derap langkahnya membuat Adhinatha dan Fatimah menoleh. "Mau kemana?" tanya pria ini tanpa meninggalkan tempat duduknya karena arah Bagas tepat pada mereka. "Bagas mengingat Andin. Di mana dia sekarang?" Tanpa aba-aba pertanyaan ini diutarakan hingga Adhinatha dan Fatimah terhenyak. Fatimah menyahut berpura-pura tidak tahu demi kebaikan Bagas karena kenangan tentang Andin adalah satu-satunya yang tidak diinginkannya diingat Bagas. "Siapa Andin? Kami tidak tahu." "Mana mungkin mama sama papa nggak tahu. Bagas ingat kalau Andin sangat cantik, tapi sangat matre. Sepertinya dia pernah berada di sisi Bagas?" Adhinatha merasa waktunya selalu sia-sia saat menghadapi Bagas yang memerlukan perawatan mental, maka dirinya tidak mengatakan apapun selain kalimat penutup, "Kami tidak mengenal Andin. Kamu juga. Mungkin itu cuma imajinasi kamu. Tidurlah, besok
Hari ini Eriska memutuskan menemui Bagas tanpa memerdulikan apapun, dirinya hanya ingin membuat mantan suaminya bangkit dari keterpurukannya walau mungkin akan sangat sulit. "Bayi kamu udah menyembul di perut aku." Eriska menatap Bagas sebagaimana seorang istri. "Syukurlah, bayi kita sehat." Bagas tampak sumringah hingga tidak terlihat sama sekali jika sebenarnya dirinya adalah manusia linglung. "Iya Mas, bayinya sangat sehat." Senyuman kecil Eriska. Pertemuan ini tanpa sentuhan sama sekali karena keduanya bukan mahram. Maka, Fatimah juga mendampingi Eriska supaya menantunya ini tetap aman dari Bagas-putranya. "Aku mau menyentuh bayi kita, aku mau merasakan pergerakannya!" Telapak tangan Bagas sudah mulai menjulur ke arah perut Eriska yang sudah mulai terlihat walau masih samar. Saat itu, segera wanita ini menatap Fatimah. "Tidak apa nak, toh teralang pakaian." Izin Fatimah-ibunya Bagas selalu mengawal Eriska dari awal kedatangannya. Maka, dengan leluasa Bagas meletakan telapak ta
"Aku sedih liat keadaan Mas Bagas," aku Eriska pada Alex kala keduanya sudah kembali ke rumah."Nggak usah sedih, apa Bagas bersedih saat melihat kamu terpuruk!" Tidak ada sedikit pun belas kasihan Alex untuk mantan iparnya. "Kak, sudah jangan dibahas lagi. Semua itu sudah berlalu. Sekarang kita cuma perlu menutup segala hal yang pernah menyakiti." Alex membuang udara tipis. Kesabaran serta sifat pemaaf Eriska memang patut diacungi jempol, tetapi juga tampak keterlaluan. "Iya sudah, kamu istirahat saja." Alex menemui Adam di restorannya yang selalu ramai bahkan semakin pesat saja. "Pengusaha hebat nih. Ada waktu buat ngobrol?" kelakarnya. "Kapanpun!" Adam menyambut kedatangan Alex dengan hangat. "Gimana kisah cinta lo sama Raisa?" Alex memegangi pelipisnya sesaat seiring tertawa kecil. "Gue kesini bukan mau bahas Raisa." "Gue pengen tahu aja." Tawa singkat Adam seiring menyuguhkan dua gelas kopi, "Eriska lagi apa, kok nggak diajak?" "Mana mau Eriska kesini, lo kaya nggak tahu aj
Bagas membuka kelopak matanya, mengucek kedua matanya, dirinya mendapati diri berada di ruangan serba putih. "Saya sarankan bawa Tuan Bagas ke psikiater." Kalimat dokter pada ayahnya Bagas-Adhinatha. "Apakah kondisi anak saya seburuk itu?" Pria ini tampak sangat panik dan gemetaran. "Intinya, coba bawa saja ke ahlinya." Obrolan dokter dan pria ini berakhir. Adhinatha menghampiri putranya, memandangi pilu. Sudah satu minggu Bagas terlihat linglung, tatapan matanya kosong. "Pa, kenapa Bagas di sini?" Tubuhnya kekar seperti sediakala hanya saja bagian dalamnya seolah hancur, isi otak Bagas seolah diaduk hingga tidak tentu arah. "Kamu tertidur saat hari pernikahan Eriska dan Adam, kamu tidak datang ke pernikahan mereka karena kamu tidak bangun selama dua malam dari sebelum hari pernikahan hingga kami membawamu ke rumah sakit. Kamu sadar, hanya saja kamu tidak ingat apapun," sendu begitu kental di wajah Adhinatha. "Apa maksud papa, bukankah Eriska istrinya Bagas, bagaimana bisa Erisk
Di kamar rias, Bagas melihat Eriska yang sudah duduk dengan cantik. Kebaya khas pengantin sudah memeluk tubuhnya, usia kandungannya belum terlihat jadi, bentuk tubuhnya masih sangat bagus. Namun, anehnya Adam masih memakai kemeja dan celana jeans, bahkan jika dibandingkan dengan Bagas penampilan Adam kalah telak. "Kalian pasangan pengantin, tapi kenapa lo belum siap-siap?" tanya Bagas pada Adam. Adam tersenyum tipis, dia berjalan menghampiri Bagas. "Kenapa harus siap-siap? Emangnya gue mau nikah?" Bagas mengerutkan kedua alisnya. "Maksud lo? Hari ini kan ...." Adam menyela, "Hari ini pernikahan kalian." Senyum tulus berhasil diukir Adam setelah berlatih semalaman. Dia sudah merelakan Eriska kembali pada Bagas karena dia pikir bayi dalam perut Eriska lebih menginginkan ayah bioogisnya dari pada ayah asuh. "Hei, lo nggak usah ngerjain gue, gue ... gue berusaha ikhlas-nggak, ralat. Gue ikhlas," kata Bagas dibuat kuat."Hahahaha!" Adam tertawa lepas, "nggak ada waktu lagi, cepet siap