Andin, Karla dan Nia menghabiskan dua jam waktunya di restoran diisi dengan makan dan bergossip. Andin memang kaya raya, tapi dia tidak pintar berbisnis tidak seperti kedua temannya jadi, tidak ada topik pembicaraan bisnis sedikit pun.Handphonenya berdering lagi. "Halo, mas?""Kamu di mana, sayang? Katanya mau beli mobil ...," ucapan Bagas super mesra."Ah, iya mas. Hampir aja aku lupa," dusta Andin padahal mobil seakan terpatri dalam otak dan hatinya. Ucapannya hanya agar tidak terlihat matre."Loh ... kamu yang minta, kamu yang lupa." Bagas terkekeh, "jadi gimana, mau beli?" Suaranya tetap mesra."Jadi dong, mas ... aku lagi di restoran nih, mas kesini ya ... jemput aku." Suara Andin juga dibuat mesra dan manja."Oke, sayang. Tunggu ya, aku kesana sekarang.""Oke, mas." Panggilan terputus."Mau kemana, seneng banget kayanya?" tanya Karla."Beli mobil, nggak mungkin kan kemana-mana gue naik taxi online terus."Nia dan Karla hanya tertawa kecil kala menanggapi jawaban Andin. Aduh, An
Eriska dan Bagas sudah tiba di ruang makan, Bagas melonggarkan dasinya yang seharian melilit lehernya, sedangkan Eriska menyeduhkan kopi. "Kamu jangan iri, Andin aku belikan mobil. Kamu juga dulu dapet," ucap Bagas.Eriska tersenyum kecil kala memandang kopi yang sedang berputar di dalam gelas berisi air mendidih, lalu menoleh ke arah suaminya membawa senyuman manis. "Iya mas."Memang Eriska juga mendapatkan mobil. Namun, tentu jenisnya berbeda dengan milik Andin yang memilih mobil mewah keluaran terbaru.Segelas kopi sudah tersaji. Bagas menghirup aroma kopi favoritenya, lalu menyesap perlahan. Rasanya tidak berubah karena Eriska sudah sangat hatam takaran kopi, gula, susu serta air panasnya sekali pun. Tidak ada lagi topik pembicaraan lain di antara mereka sampai Andin datang, tapi tidak menghampiri. Dia langsung berpamitan ke kamar dan Bagas mengiyakan saja.Rasa iri Eriska semakin menjulang. Bagas selalu tidak adil, padahal seharusnya dia bersikap adil pada Eriska atau pun Andin d
Alex mengurungkan niatnya setelah mendengar penuturan adiknya. "Ya udah dik, tapi kamu bener baik-baik aja? Biar kakak bilang ke mama sama papa.""Aku baik-baik aja, kak ... tenang aja." Eriska susah payah mengulas senyuman walau tidak terlihat oleh Alex."Ya deh, kakak lanjut jalan. Lagi nyetir.""Iya kak, hati-hati di jalan." Panggilan terputus. Eriska membuang napas lirih. "Andai mereka tau aku nggak baik-baik aja, pasti mereka akan bawa aku pulang." Kemudian wanita itu mengingat kehamilannya, "aku harus kabarin mama, papa sama kak Alex, mungkin besok aku harus ke rumah."Kala sedang bergumam, handle pintu diputar dari luar. "Sayang," sapa Bagas. Pria itu menenteng bubur dan segelas susu. Keduanya masih panas karena baru saja diangkat dari kompor.Eriska menunjukan senyuman manisnya. "Iya, mas."Bubur dan susu disimpan di atas meja, lalu Bagas duduk di tepian ranjang, di samping Eriska yang sedang duduk bersandar. "Tadi kamu pingsan." Tanganya mengulur, merapihkan anak rambut di se
Eriska memalingkan wajah kala mendapat senyum menyeramkan."Nanti kalo si Nina jail lagi, kamu bilang ke aku. Biar aku bilang ke suaminya." Bagas membelai puncak kepala Andin penuh perhatian, tanpa peduli pada Eriska yang terpaksa harus menyaksikan adegan itu di depan mata. Padahal dulu kalimat Bagas itu selalu untuknya."Sayang, kalo pulang kerja ada yang ngikutin atau apalah, kamu bilang aku. Telepon jangan ragu, aku pasti dateng," pesan Bagas untuk Eriska sebelum pergi ke kantor."Iya, mas ... tapi sejauh ini aman kok. Lagian jaraknya cuma seratus meter dari rumah. Lewatin rumah-rumah warga juga jadi selalu rame," tutur Eriska dengan detail agar tidak membuat suaminya khawatir."Betah, nggak kerja di sana? Cape nggak? Kalo ada keluhan mendingan keluar aja." Bagas membelai puncak kepala Eriska kala dalam dekapan layaknya pada Andin sekarang.Ingatan-ingatan manis di antara mereka hanya hadir di pikiran Eriska tidak dengan Bagas. Secepatnya dia meninggalkan istri pertamanya mengikuti
Adam sedang menyetir, berpikir untuk ke rumah Eriska. Namun, niatnya gugur kala mengingat fitnah Bagas. "Kenapa si Bagas bisa mikir gue hamilin Eriska?"Mobilnya sudah berhenti di tepi jalanan kota. Ingatannya berkelana. "Kayanya pas liat gue tolong Eriska, makannya dia pikir kita ada sesuatu. Ck, kalo lo nggak butuh istri cantik dan baik, ya udah buat gue aja!" Adam meninju stir.Tanpa sengaja Adam melihat mobil Eriska yang baru saja melewatinya. Dia mengejar, hendak bertanya. Setelah cukup jauh dari rumah klakson dibunyikan sebagai tanda panggilan."Mas Adam." Lewat kaca spion Eriska mengintip. Kini kedua mobil menepi berjajar. Kedua empunya juga keluar. "Mas Adam, ada apa?"Adam segera berbicara tanpa ragu, "Aku mau ngomong sebentar, kamu ada waktu?"Eriska bergeming kala mendapat pertanyaan dari Adam karena perhatiannya tercuri oleh bercak darah di sudut bibir pria itu.Adam memetik jari untuk menyadarkan Eriska yang dipikirnya sedang melamun. "Kok bengong?"Eriska mengerjap. Dia
Bagas mencoba mencerna usulan Andin dan dia juga harus mengambil keputusan sebagai mana pemimpin dalam rumah tangga."Mas, ayo dong jawab. Aku jadi kaya ngomong sendiri." Andin menekan Bagas yang sedang mencari keputusan terbaik menurutnya."Eriska harus tinggal di sini," tegas Bagas."Ternyata aku emang nggak didengerin!" Andin mengerucutkan bibirnya selagi memalingkan wajah."Jangan ngambek dong, sayang ...," goda Bagas mengelus dagu lancip Andin.Andin tidak mau menjawab untuk mendapat perhatian Bagas."Sayang ... kamu nggak akan lama kok tinggal sama Eriska, nanti aku belikan rumah mewah buat kamu," bujuk Bagas terperangkap dalam permainan Andin.Setelah korbannya luluh, barulah Andin kembali membuka suara selagi bermanja-manja. "Bener ya, mas ... jangan ingkar janji ....""Iya, sayang ...." Andin tenggelam dalam dekapan.Aku nggak boleh biarin Eriska tinggal di rumah orangtuanya, enak saja dia bebas bertemu Adam. Kalo gitu, aku susah cari bukti perselingkuhan mereka! Geram Bagas
Eriska belum menjawab, dia bingung antara harus menuruti perintah suaminya atau menenangkan diri sesaat?"Eriska, pulang," ucap Bagas lagi masih lembut.Ibunya Eriska yang menjawab, "Nak Bagas, mungking Eriska masih lelah. Belum lama Eriska di sini, masuk dulu saja ya ...." Kelembutan Ibu mertua tidak sanggup melunakan hati Bagas."Bagas nggak punya banyak waktu."Sekarang Alex ambil giliran lagi. "Heh, nggak usah sok sibuk lo. Ck, kenapa itu muka pake babak belur segala!" cibir Alex.Mendengar Alex membahas wajah Bagas, Eriska baru tersadar. "Loh mas, wajah kamu kenapa?" Terdapat tiga luka lebam yang letaknya tidak beraturan."Udah nggak usah dipikirin, ayo pulang sekarang," paksanya.Ibunya Eriska membuang napas lelah. "Ya sudah nak, pulang saja. Sepertinya suamimu sedang kurang baik. Rawat dia dengan baik.""Nggak, jangan pulang!" Alex menahan Eriska. Kedua orang di sisi kanan dan kirinya memberi pendapat berbeda, "dik, diem di sini kalo perlu tinggal sampe kamu melahirkan, terus u
"Mbak ...." Nina mengelus punggung Eriska berulang kali, "mbak, kalo nggak kuat mendingan nyerah dari pada mbak terus tersakiti."Eriska menoleh ke arah Nina. "Aku nggak kuat, tapi aku bertahan demi bayi aku."Kehadiran bayi dalam kandungan Eriska tidak bisa disalahkan. Namun, dia datang di waktu yang salah. Pikir Nina.Berlainan dengan Eriska, dia berpikir kehadiran bayi kala rumah tangga sedang kacau adalah suatu pertanda baik yang akan memberi kebaikan pada kehidupan mereka kelak. Bisa saja bayinya menjadi penghubung antara dia dan Bagas.Nina salut kepada keteguhan, ketegaran juga sabar Eriska. Padahal sudah jelas jika keadaan ini sangat merugikannya terlebih lagi mengoyak perasaan. Namun, dia juga banyak mengasihani. Kenapa wanita sebaik Eriska harus mendapatkan cobaan sekejam ini?Sebisa mungkin Nina mencoba menghibur Eriska, bahkan dia membiarkan bayinya bersama baby sister. "Mbak, makan-makan yuk di rumah aku, mbak pilih-pilih makanan nggak sih?""Hm ... nggak deh kayanya, sej