Alex mengurungkan niatnya setelah mendengar penuturan adiknya. "Ya udah dik, tapi kamu bener baik-baik aja? Biar kakak bilang ke mama sama papa.""Aku baik-baik aja, kak ... tenang aja." Eriska susah payah mengulas senyuman walau tidak terlihat oleh Alex."Ya deh, kakak lanjut jalan. Lagi nyetir.""Iya kak, hati-hati di jalan." Panggilan terputus. Eriska membuang napas lirih. "Andai mereka tau aku nggak baik-baik aja, pasti mereka akan bawa aku pulang." Kemudian wanita itu mengingat kehamilannya, "aku harus kabarin mama, papa sama kak Alex, mungkin besok aku harus ke rumah."Kala sedang bergumam, handle pintu diputar dari luar. "Sayang," sapa Bagas. Pria itu menenteng bubur dan segelas susu. Keduanya masih panas karena baru saja diangkat dari kompor.Eriska menunjukan senyuman manisnya. "Iya, mas."Bubur dan susu disimpan di atas meja, lalu Bagas duduk di tepian ranjang, di samping Eriska yang sedang duduk bersandar. "Tadi kamu pingsan." Tanganya mengulur, merapihkan anak rambut di se
Eriska memalingkan wajah kala mendapat senyum menyeramkan."Nanti kalo si Nina jail lagi, kamu bilang ke aku. Biar aku bilang ke suaminya." Bagas membelai puncak kepala Andin penuh perhatian, tanpa peduli pada Eriska yang terpaksa harus menyaksikan adegan itu di depan mata. Padahal dulu kalimat Bagas itu selalu untuknya."Sayang, kalo pulang kerja ada yang ngikutin atau apalah, kamu bilang aku. Telepon jangan ragu, aku pasti dateng," pesan Bagas untuk Eriska sebelum pergi ke kantor."Iya, mas ... tapi sejauh ini aman kok. Lagian jaraknya cuma seratus meter dari rumah. Lewatin rumah-rumah warga juga jadi selalu rame," tutur Eriska dengan detail agar tidak membuat suaminya khawatir."Betah, nggak kerja di sana? Cape nggak? Kalo ada keluhan mendingan keluar aja." Bagas membelai puncak kepala Eriska kala dalam dekapan layaknya pada Andin sekarang.Ingatan-ingatan manis di antara mereka hanya hadir di pikiran Eriska tidak dengan Bagas. Secepatnya dia meninggalkan istri pertamanya mengikuti
Adam sedang menyetir, berpikir untuk ke rumah Eriska. Namun, niatnya gugur kala mengingat fitnah Bagas. "Kenapa si Bagas bisa mikir gue hamilin Eriska?"Mobilnya sudah berhenti di tepi jalanan kota. Ingatannya berkelana. "Kayanya pas liat gue tolong Eriska, makannya dia pikir kita ada sesuatu. Ck, kalo lo nggak butuh istri cantik dan baik, ya udah buat gue aja!" Adam meninju stir.Tanpa sengaja Adam melihat mobil Eriska yang baru saja melewatinya. Dia mengejar, hendak bertanya. Setelah cukup jauh dari rumah klakson dibunyikan sebagai tanda panggilan."Mas Adam." Lewat kaca spion Eriska mengintip. Kini kedua mobil menepi berjajar. Kedua empunya juga keluar. "Mas Adam, ada apa?"Adam segera berbicara tanpa ragu, "Aku mau ngomong sebentar, kamu ada waktu?"Eriska bergeming kala mendapat pertanyaan dari Adam karena perhatiannya tercuri oleh bercak darah di sudut bibir pria itu.Adam memetik jari untuk menyadarkan Eriska yang dipikirnya sedang melamun. "Kok bengong?"Eriska mengerjap. Dia
Bagas mencoba mencerna usulan Andin dan dia juga harus mengambil keputusan sebagai mana pemimpin dalam rumah tangga."Mas, ayo dong jawab. Aku jadi kaya ngomong sendiri." Andin menekan Bagas yang sedang mencari keputusan terbaik menurutnya."Eriska harus tinggal di sini," tegas Bagas."Ternyata aku emang nggak didengerin!" Andin mengerucutkan bibirnya selagi memalingkan wajah."Jangan ngambek dong, sayang ...," goda Bagas mengelus dagu lancip Andin.Andin tidak mau menjawab untuk mendapat perhatian Bagas."Sayang ... kamu nggak akan lama kok tinggal sama Eriska, nanti aku belikan rumah mewah buat kamu," bujuk Bagas terperangkap dalam permainan Andin.Setelah korbannya luluh, barulah Andin kembali membuka suara selagi bermanja-manja. "Bener ya, mas ... jangan ingkar janji ....""Iya, sayang ...." Andin tenggelam dalam dekapan.Aku nggak boleh biarin Eriska tinggal di rumah orangtuanya, enak saja dia bebas bertemu Adam. Kalo gitu, aku susah cari bukti perselingkuhan mereka! Geram Bagas
Eriska belum menjawab, dia bingung antara harus menuruti perintah suaminya atau menenangkan diri sesaat?"Eriska, pulang," ucap Bagas lagi masih lembut.Ibunya Eriska yang menjawab, "Nak Bagas, mungking Eriska masih lelah. Belum lama Eriska di sini, masuk dulu saja ya ...." Kelembutan Ibu mertua tidak sanggup melunakan hati Bagas."Bagas nggak punya banyak waktu."Sekarang Alex ambil giliran lagi. "Heh, nggak usah sok sibuk lo. Ck, kenapa itu muka pake babak belur segala!" cibir Alex.Mendengar Alex membahas wajah Bagas, Eriska baru tersadar. "Loh mas, wajah kamu kenapa?" Terdapat tiga luka lebam yang letaknya tidak beraturan."Udah nggak usah dipikirin, ayo pulang sekarang," paksanya.Ibunya Eriska membuang napas lelah. "Ya sudah nak, pulang saja. Sepertinya suamimu sedang kurang baik. Rawat dia dengan baik.""Nggak, jangan pulang!" Alex menahan Eriska. Kedua orang di sisi kanan dan kirinya memberi pendapat berbeda, "dik, diem di sini kalo perlu tinggal sampe kamu melahirkan, terus u
"Mbak ...." Nina mengelus punggung Eriska berulang kali, "mbak, kalo nggak kuat mendingan nyerah dari pada mbak terus tersakiti."Eriska menoleh ke arah Nina. "Aku nggak kuat, tapi aku bertahan demi bayi aku."Kehadiran bayi dalam kandungan Eriska tidak bisa disalahkan. Namun, dia datang di waktu yang salah. Pikir Nina.Berlainan dengan Eriska, dia berpikir kehadiran bayi kala rumah tangga sedang kacau adalah suatu pertanda baik yang akan memberi kebaikan pada kehidupan mereka kelak. Bisa saja bayinya menjadi penghubung antara dia dan Bagas.Nina salut kepada keteguhan, ketegaran juga sabar Eriska. Padahal sudah jelas jika keadaan ini sangat merugikannya terlebih lagi mengoyak perasaan. Namun, dia juga banyak mengasihani. Kenapa wanita sebaik Eriska harus mendapatkan cobaan sekejam ini?Sebisa mungkin Nina mencoba menghibur Eriska, bahkan dia membiarkan bayinya bersama baby sister. "Mbak, makan-makan yuk di rumah aku, mbak pilih-pilih makanan nggak sih?""Hm ... nggak deh kayanya, sej
Percakapan Adam dan Eriska masih belum selesai, mereka masih membicarakan banyak hal santai. "Ya ampun mas, maaf aku banyak ngomong. Pasti Mas Adam lagi sibuk," sesal Eriska setelahnya.Namun, justru Adam menyukainya. Belum pernah mereka ngobrol seperti ini. "Nggak apa-apa, lagian aku masih di rumah.""Loh, kenapa belum ke restoran mas? Jangan bilang karena Mas Bagas." Selidik Eriska.Adam tertawa renyah. "Kamu ngomong apa? Bukanlah, aku emang lagi mau santei-santei dulu."Eriska membuang napas lega. Pintu kamar sengaja dibuka agar dia tahu kala Bagas dan Andin pulang. Tidak lama terdengar bunyi heels milik Andin beradu dengan anak tangga ditambah untaian kata cinta dari Bagas untuknya.Terkesiap, membuat Eriska berpamitan pada Adam. "Mas Bagas udah pulang, udah dulu ya, mas. Takutnya Mas Bagas makin curiga.""Iya, silahkan. Kamu hati-hati sama mereka berdua." Ada banyak pesan, tapi hanya itu yang bisa Adam katakan.Eriska memutus panggilan selagi mencerna pesan terakhir Adam. Dia gel
Lima belas menit berlalu, Eriska sudah sampai di sebuah pusat perbelanjaan. Dia berjalan sendiri mengitari beberapa lorong demi mencari makanan yang pas untuk ibu hamil. Kala tangannya menggapai susu hamil, rasa malas pulang ke rumah Bagas hadir seketika.Sebuah hembusan napas lelah dibuangnya. "Aku lagi hamil, aku sediain semua makanan ibu hamil, tapi di rumah suamiku lebih perhatian sama madu aku." Eriska menyunggingkan bibirnya, mengejek kisah hidupnya sendiri.Lesu akibat membatin membuat Eriska kembali lemah. "Emang Mas Bagas nggak punya hati."Sebuah biskuit jatuh kala akan dimasukan ke dalam troli, tangan kekar menangkapnya."Mas Adam." Eriska mengerjap."Kamu lagi apa?" sapa Adam."Oh, ini mas, lagi belanja keperluan aku." Ragu Eriska berkata karena seharusnya Bagas menemani.Adam melirik pada isi troli Eriska. "Bagas nggak temenin kamu?"Baru saja Eriska berpikir kesana kini Adam berpikiran yang sama. Eriska menjawab dengan menggeleng selagi tersenyum singkat."Hm ... aku tem