Bagas berjalan linglung mencari keberadaan orang-orang terdekatnya karena jangankan di luar, di dalam rumah saja dirinya sering tersesat. Derap langkahnya membuat Adhinatha dan Fatimah menoleh. "Mau kemana?" tanya pria ini tanpa meninggalkan tempat duduknya karena arah Bagas tepat pada mereka. "Bagas mengingat Andin. Di mana dia sekarang?" Tanpa aba-aba pertanyaan ini diutarakan hingga Adhinatha dan Fatimah terhenyak. Fatimah menyahut berpura-pura tidak tahu demi kebaikan Bagas karena kenangan tentang Andin adalah satu-satunya yang tidak diinginkannya diingat Bagas. "Siapa Andin? Kami tidak tahu." "Mana mungkin mama sama papa nggak tahu. Bagas ingat kalau Andin sangat cantik, tapi sangat matre. Sepertinya dia pernah berada di sisi Bagas?" Adhinatha merasa waktunya selalu sia-sia saat menghadapi Bagas yang memerlukan perawatan mental, maka dirinya tidak mengatakan apapun selain kalimat penutup, "Kami tidak mengenal Andin. Kamu juga. Mungkin itu cuma imajinasi kamu. Tidurlah, besok
Adam merenungkan pesan dari orangtuanya, pria ini hanya duduk di tepian ranjang di dalam kamarnya. "Eriska memang memiliki sesuatu yang nggak akan membiarkannya lost contak dengan Bagas, ada anak di antara mereka. Jadi mungkin aku yang terlalu berharap banyak untuk bisa mendapatkan Eriska." Embusan udara dibuang Adam, kemudian meluruskan punggungnya seiring memandangi langit-langit saat kedua tangannya dilipat, menyangga kepala. "Aku masih mencintai Eriska bagaimanapun dunia menilai hubungan kami. Tapi kalau bisa, nggak perlu sama anaknya juga. Aku sangat membenci wajah anaknya yang seperti Bagas." Semakin lama, keduanya kelopak mata Adam semakin turun hingga membawanya ke alam bawah sadar. Dari sejak hari ini hingga tiga hari kemudian Adam tidak menampakan batang hidungnya pada keluarga Eriska, dirinya beralasan jika restoran sangat sesak oleh pengunjung maka tidak membiarkannya absen. Jadi, dirinya hanya menjenguk si bayi setelah tiba di rumah. Eriska menyusui bayinya sangat tela
Eriska terpaku sendu seiring menatap buah hatinya bersama Bagas. "Gimana keadaan mas Bagas?" Dirinya segera mengalihkan topik karena keadaan Bagas hari ini seolah menjawab alasan ketidak mampuan mantan suaminya memberikan nama pada malaikat kecil. "Masih sangat parah!" Alex melanjutkan kebohongannya.Eriska mendesah pelan, "Kalau gitu ..., aku namakan Aulya saja. Gimana Kak, apa bagus?" Senyuman ceria disisipkan. Namun, wajah Alex tidak menunjukan keceriaan yang sama sedikit pun. "Kenapa harus Aulya, Dik?" Bukan perkara nama yang membuatnya heran, melainkan pemikiran Bagas dan Eriska begitu kompak padahal mereka tidak pernah berkomunikasi sama sekali. "Mau saja, aku pikir nama Aulya itu bagus. Cuma ..., aku nggak tahu nama panjangnya apa. Coba Kakak pikirkan." Alex hanya tersenyum getir. "Akan Kakak pikirkan nanti. Kakak harus mencari nama paling baik," tulusnya, "tapi Dik, yakin mau Aulya, tidak mau ganti yang lain?" "Aulya saja Kak, buat nama depannya. Selebihnya biar Kakak ata
Dua bulan kembali berlalu, keadaan Bagas mendekati pulih. Dokter memberikan rincian laporan tentang perkembangannya, ditunjukan pada pihak keluarga. Sebenarnya pria itu sudah bisa dibawa pulang, hanya saja kedua orangtuanya inginkan putranya tetap mendapatkan pengawasan sampai benar-benar pulih. Kabar ini segera sampai pada Eriska dan keluarganya. "Alhamdulillah ...," syukur wanita ini begitupun kedua orangtuanya hanya Alex yang tidak mengucapkannya. Saat kakak dan adik berdua di atas balkon, Alex mengutarakan pemikirannya, "Dik, cepat tanyakan pada Adam kapan dia akan menikahi kamu.""Kak ..., masa aku yang tanyakan!" protes kecil Eriska."Kakak udah coba tanya beberapa kali, tapi Adam selalu bilang belum dapat tanggal baik. Kapan dong, dia dapat tanggal baiknya!" Tatapan serius Alex yang sebenarnya masih memercayai Adam hanya saja kini dirinya sudah sangat panik akibat mendengar kondisi Bagas, "coba sesekali kamu yang nanya.""Malu, Kak. Aku ini janda anak satu, nggak mungkin aku t
"Maaf, Kak ...." Eriska segera merasakan amarah Alex."Dik, berhenti memikirkan Bagas dan jangan samakan Bagas dengan Adam, mereka sangat berbeda!" tegas Alex yang selaras dengan tatapannya. "Aku cuma ingat aja kok, Kak. Karena tidak semudah itu membuang semuanya, apalagia ada Aulya yang mirip banget sama mas Bagas." "Kemiripan Aulya bukan berarti membuat kamu harus dibayang-bayangi Bagas. Ingat Dik, Adam sangat peduli sama kamu, bukan Bagas!" Lagi, ketegasan ditunjukan Alex hingga Eriska mengangguk sendu dan seakan tertekan, tetapi pria ini memang sengaja melakukannya supaya adiknya membuka lebaran baru yang jauh lebih baik.Satu bulan berlalu, hari ini tepat pernikahan Adam dan Eriska yang diadakan secara kecil-kecilan, hanya dihadiri kedua belah pihak keluarga saja, tetapi tanpa diduga jika keluarga Bagas hadir membawa Bagas. "Eriska, kamu akan meninggalkan aku dan semua kenangan kita?" Keadaan mental pria ini sudah stabil dan sangat sehat. Maka, semua hal yang pernah terjadi dal
Tap tap tap! Langkah pelan dan pendek Eriska memecah kesunyian di dalam ruang tamu. Eriska baru saja pulang dari bekerja paruh waktu. Selama tiga tahun menikah, kehidupan Eriska dan sang suami bernama Bagas belum sempurna karena belum mendapatkan buah hati jadi. Lantas, untuk mengisi waktunya, Bagas mengusulkan agar sang istri bekerja di sebuah restoran milik salah satu temannya dari siang sampai pukul sembilan malam. Sebagai sosok wanita mandiri, Eriska menyetujui usulan sang suami karena rasa jenuh selalu hinggap kala dia sendirian di rumah. Dia juga ingin memperingan beban suami. Cepat, Eriska membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya. Namun, pemandangan tidak lazim ditemuinya "Siapa kamu?" tanya Eriska segera kala melihat sosok wanina dengan penampilan sama dengannya, wanita asing itu hanya memakai handuk yang melingkar di atas dada. "Aku? Justru, kamu yang siapa?" Wanita itu balik bertanya. Eriska berjalan perlahan ke arahnya tak
Petir yang sedang menyambar di luar rumah dengan energi luar biasa, kini sampai pada hati Eriska. Wajahnya langsung memucat, suaranya berubah parau. "Apa, mas ...?" Bagas membuat garis bibirnya melengkung sesaat. "Iya, sayang. Bukankah kamu liat sendiri, ada bercak darah di atas ranjang kita. Itu milik Andin." Pria itu menyeringai.Kini Eriska tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya yang sudah melebur hingga sebuah tetesan bening jatuh begitu saja. Namun, dia segera mengusapnya. "Apa alasan kamu melakukan ini padaku, mas?" Bibirnya bergetar hebat.Bagas tertawa singkat. "Aku menginginkan seorang putra, tapi kamu tidak bisa mengabulkan keinginanku. Kamu harusnya bersyukur selama ini aku masih bertahan dan menutupi kekurangan kamu itu di depan orangtuaku." Angkuh Bagas. "Terus, kamu pikir wanita itu bisa?" tantang Eriska, dia meninggikan wajahnya dengan suara menekan.Keangkuhan Bagas menipis. "Sudahlah, Andin adalah wanita sempurna berbeda dengan kamu!" pungkasnya. Bagas segera b
Setelah pernikahan usai, Bagas dan Andin langsung pergi bulan madu. Sementara, Eriska kembali menatap kepergian mereka. "Mbak ... kok bisa sih, mbak?" heran tetangga yang tempo hari bertanya. "Takdir," jawab santai Eriska. Dia memang sudah ikhlas, lagipula apa yang bisa dilakukannya selain berlapang dada?"Mbak harusnya nolak, jangan mau dimadu. Kenapa nggak minta cerai?" Sederet pertanyaan yang mewakili rasa bingung juga heran Nina-tetangga dekat Eriska yang sekarang menjadi ibu satu anak. Eriska membuat garis senyuman yang begitu tulus. "Nggak apa-apa, anggap aja ladang amal buat aku." "Ya ampun mbak ...." Nina geleng-geleng kepala mendengar jawaban Eriska yang jauh dari dugaannya. Eriska dan Nina adalah teman sebaya. Mereka sama-sama berusia dua puluh lima tahun. Namun, tentu nasib rumah tangga mereka berbeda. Nina berhasil melahirkan anak dari suaminya, berbeda dengan Eriska. Usianya dan Bagas terpaut lima tahun, suaminya memang cukup berumur wajar saja jika pria itu tidak sa