Adam dan Eriska hanya duduk senyap. Pria itu bingung harus berkata apa, sedangkan wanita dengan status istri pertama tentu sedang memikirkan keselamatan Bagas. Semoga Mas Bagas baik-baik aja, semoga Andin bukan wanita yang cuma mau uang kamu, mas, lirih Eriska dalam hatinya. Lima bulan berpacaran dan tiga tahun menikah tentu membuat rasa sayang Eriska terhadap Bagas sangat besar. Sebenarnya dia tidak pernah menyangka sama sekali jika Bagas tega berselingkuh. Dua tahun lalu Eriska dinyatakan mandul. Namun, Bagas tetap menunjukan cinta dan sayangnya. "Nggak apa-apa, sayang. Siapa tau nanti takdir berkata lain." Tangan hangat Bagas mendekap Eriska begitu sayang, bahkan tidak mempunyai rasa malu sedikit pun walau di depan dokter. Kala itu Eriska sedang terisak di dada bidang Bagas. "Aku nggak sempurna, mas." "Nggak ada manusia sempurna di dunia ini, sayang. Aku juga cuma laki-laki banyak kekurangan. Jangan sedih, jangan kecil hati. Kita banyak berdoa saja pada yang maha kuasa." Sungg
Malam ini Eriska berbenah, dia pindah ke kamar di sebelah kamarnya bersama Bagas dulu. Wanita itu merasa diusir secara tidak langsung dari kamarnya sendiri. Tanpa izinnya Bagas menyulap kamar mereka menjadi kamar pengantin dengan dekorasi mewah dan di sana juga terdapat rangkaian bunga bertuliskan 'Welcome to Andin.'Jelas Eriska harus keluar dari kamar penuh kenangan bersama Bagas sejak malam pertama sampai malam terakhir sebelum suaminya selingkuh. Tangan Eriska sempat menyapu ranjang pengantin yang kini milik Andin. "Dulu kamu seneng tidur sama aku, mas," lirihnya, tapi dia tidak mau tenggelam dalam kesedihan yang sudah tertulis dalam takdir hidupnya. Setelah melihat-lihat seisi kamar yang telah hilang kenangannya, Eriska mulai mengambil bajunya satu persatu dari dalam lemari yang cukup besar hingga tidak satu pun tersisa. Dia menarik baju dari dalam koper besar menuju ke kamar barunya yang terletak di samping kamar lamanya. Dulu kamar itu selalu digunakan oleh orangtua Bagas atau
Nina sudah pulang, Eriska kembali menutup pintu rapat-rapat. "Nina peduli banget sama aku, tapi maaf aku nggak mungkin cerita keluh kesah aku ke kamu." Wanita itu kembali membersihkan rumah seperti biasanya, tapi kali ini tanpa sarapan karena ketidakhadiran sang suami membuat lidahnya sangat hambar seolah mati rasa. Setelah selasai pekerjaan rumah, barulah Eriska bersantai sejenak. Baru saja bokongnya menyapa sofa yang empuk, bel kembali berbunyi. "Ya ampun, Nina." Dia terkekeh melihat kelakuan tetangga over protektifnya. Kala membuka pintu, rupanya dugaan Eriska salah. "Maaf, apa benar ini rumah Tuan Bagas dan Nyonya Andin?" tanya seorang kurir. "Eu ... iya, mas," jawab Eriska membatin. "Tolong tanda tangan di sini." Kurir menyodorkan selembar kertas dan sebuah bolpoin. Eriska melakukannya. "Ini barangnya, kiriman dari Jakarta." Eriska menerima kiriman barang yang sepertinya tertuju untuk Andin. Beberapa kardus berlapis kertas cokelat itu dikemas rapih dan benar saja di s
Setibanya di rumah, kado dari Eriska tidak langsung disimpan di kamar pengantin, tapi dia akan memberikannya secara langsung pada Andin kala dia dan suaminya pulang.Sekarang waktu menunjukan tengah hari. "Halo, Mas Adam. Maaf hari ini aku nggak bisa masuk," ucap Eriska dalam saluran telepon."Iya, nggak apa-apa. Kamu istirahat aja selama beberapa hari." Suara keramaian restoran terdengar jelas di indera pendengaran Eriska yang dibawa oleh sambungan di udara.Setelah menelepon, Eriska menata rumah, mengubah letak furniture di beberapa ruangan. "Biar Mas Bagas nggak bosen di rumah." Senyuman tulus terpatri dibingkai oleh wajah cantik nan memesona.Ting tongLagi-lagi bel rumahnya berbunyi. "Siapa lagi?" Eriska menoleh ke arah pintu, kebetulan dia sedang berada di ruang tamu. Pintu terbuka perlahan, lalu didorong oleh seseorang diluar sana. "Nak!" Ibunya berhamburan memeluk pilu."Mama!" Eriska terperanjat menatap tamunya sekarang, "mama sama papa kok nggak bilang mau kesini?" tanyanya
Itu Alex-kakak laki-laki Eriska yang sebaya dengan Bagas. "Aku baru aja pulang dari luar negeri terus dapat kabar ini. Harusnya kamu bilang kakak!" Amarah Alex sama halnya dengan sang ayah. Dia melangkah lebar dengan kaki panjangnya menuju ke arah adik perempuannya, lalu menarik satu tangan Eriska hingga tubuhnya terangkat. "Bilang kakak, di mana Bagas sekarang?" "Kak ... duduk dulu, minum dulu ...." "Nggak bisalah! kakak mau kasih pelajaran buat laki-laki brengsek itu!" Mata Alex terbebalak lebar dengan rahang mengeras dibarengi suara lantang. "Kak ... Mas Bagas bukan laki-laki brengsek." "Kamu ngapain sih bela dia, dik!" Alex menarik lengan Eriska menuju ke luar rumah, tapi ketika hampir di dekat pintu Eriska memberontak hingga salah satu tangan yang digenggam Alex terlepas. Sontak Alex menoleh pada adiknya yang sedang mengusap pergelangan tangan. "Dik!" tegas Alex layaknya pria matang yang dirundung amarah. "Aku yang kasih izin Mas Bagas poligami," bongkar Eriska. "ER
Dua minggu berlalu, udara Turki hampir saja mendarah daging di tubuh Eriska. Dia dan keluarganya masih berada di rumah sewa. "Ma, kapan pulang?" "Ngapain cepet-cepet sih, dik? Di sini lebih enak, kan!" sambar Alex merebut jawaban ibunya. "Tapi kak, aku mau ....""Mau pulang?" tatapan Alex bermakna tidak suka, "boleh, tapi tinggal sama kita!" tegasnya. Sebagai kakak laki-laki juga sebagai pengganti ayahnya kelak tentu Alex harus punya sikap layaknya pemimpin bijak dan cerdas jika bisa kesampingkan juga ke-egoisan."Ma ...." Kali ini Eriska terdengar merengek pada ibunya."Dengarkan ucapan kakakmu ... kami melakukan ini untuk kebaikan kamu, nak." Ibunya tidak mendukung ingin Eriska.Eriska membuang napas panjang secara perlahan. "Eriska bukan anak kecil yang harus diatur jalan hidupnya. Eriska tau mama, papa sama kakak peduli sama aku, tapi tolong biarin aku menyelesaikan masalah sendiri," mohonnya."Kamu keras kepala, dik. Untung kakak belum menikah jadi bisa awasi kamu!" "Hus, kaka
Kini Alex dan Eriska sudah tiba di rumah, kedatangan mereka langsung disambut oleh ibunya, "Gimana hasilnya, nak?" "Eu ...." Eriska melirik ke arah Alex. Seperti ucapannya kemarin, Eriska ingin menyelesaikan masalahnya sendiri jadi, Alex melengos meninggalkan adiknya.Eriska menatap punggung Alex, lalu pria itu duduk di sofa selagi menatap ke arah adiknya dengan satu alis naik. "Kakak ...," gumam Eriska. "Sayang, bagaimana kata dokter?" tanya ibunya tidak sabar.Eriska memberikan senyuman singkat. "Duduk dulu yuk, ma." Dia menggiring ibunya sampai ke sofa, mereka duduk berdampingan. Eriska menatap mata lelah ibunya yang sudah berkantung, "gini ma, tadi ... Eriska nggak sempet periksa," tuturnya ragu, dia tahu ibunya akan kecewa. Jelas ibunya mengerutkan dahi. "Kenapa?" Alex melirik ke arah Eriska kala adik perempuannya itu tidak mengalihkan tatapannya dari sang ibu. "Ba ...." "Mas Bagas telepon, dia suruh aku pulang ...," tutur pelan Eriska merebut kalimat Alex."Siapa yang tele
Eriska mengerjap tidak percaya dengan ucapan ayahnya, sedangkan Alex menyeringai dan Bagas berdiri dengan lutut bergetar seakan eksel-eksel di lututnya terlepas. Habis, gue! Hatinya."Minggir, dik!" titah Alex lagi. "Nggak, kak.""Eriska, kemari!" titah ayahnya yang jelas tidak bisa ditolak maka, Eriska mulai mengambil langkah. "Tunggu!" tahan Bagas dengan suara bergetar. Dia juga memegangi pergelangan tangan Eriska, sontak wanita itu berhenti lalu menoleh ke arah suaminya yang penuh luka lebam.Bagas menatap Eriska, mencoba memanfaatkan cinta istri pertamanya sebagai pelindung. "Banyak drama!" Gerakan secepat kilat Alex memisahkan tangan mereka lalu kembali menyerang Bagas tanpa ampun.Eriska menjerit-jerit. "Mas Bagas ...!" Bahkan dia meneteskan air mata untuk pria brengsek itu, sontak Bagas semakin besar kepala saja. Kala jeritan Eriska memekak, pintu kamar pengantin terbuka cepat. Tatapan Andin berkelana pada persekitaran sekaligus mencari keberadaan Bagas. Mata Andin langsun