Tunggu up selanjutnya ya ... jangan lupa kasih dukungan, komen yang heboh juga ga apa-apa. Biar aku makin semangat nulisnya. ♡ >^_^
Dua minggu berlalu, udara Turki hampir saja mendarah daging di tubuh Eriska. Dia dan keluarganya masih berada di rumah sewa. "Ma, kapan pulang?" "Ngapain cepet-cepet sih, dik? Di sini lebih enak, kan!" sambar Alex merebut jawaban ibunya. "Tapi kak, aku mau ....""Mau pulang?" tatapan Alex bermakna tidak suka, "boleh, tapi tinggal sama kita!" tegasnya. Sebagai kakak laki-laki juga sebagai pengganti ayahnya kelak tentu Alex harus punya sikap layaknya pemimpin bijak dan cerdas jika bisa kesampingkan juga ke-egoisan."Ma ...." Kali ini Eriska terdengar merengek pada ibunya."Dengarkan ucapan kakakmu ... kami melakukan ini untuk kebaikan kamu, nak." Ibunya tidak mendukung ingin Eriska.Eriska membuang napas panjang secara perlahan. "Eriska bukan anak kecil yang harus diatur jalan hidupnya. Eriska tau mama, papa sama kakak peduli sama aku, tapi tolong biarin aku menyelesaikan masalah sendiri," mohonnya."Kamu keras kepala, dik. Untung kakak belum menikah jadi bisa awasi kamu!" "Hus, kaka
Kini Alex dan Eriska sudah tiba di rumah, kedatangan mereka langsung disambut oleh ibunya, "Gimana hasilnya, nak?" "Eu ...." Eriska melirik ke arah Alex. Seperti ucapannya kemarin, Eriska ingin menyelesaikan masalahnya sendiri jadi, Alex melengos meninggalkan adiknya.Eriska menatap punggung Alex, lalu pria itu duduk di sofa selagi menatap ke arah adiknya dengan satu alis naik. "Kakak ...," gumam Eriska. "Sayang, bagaimana kata dokter?" tanya ibunya tidak sabar.Eriska memberikan senyuman singkat. "Duduk dulu yuk, ma." Dia menggiring ibunya sampai ke sofa, mereka duduk berdampingan. Eriska menatap mata lelah ibunya yang sudah berkantung, "gini ma, tadi ... Eriska nggak sempet periksa," tuturnya ragu, dia tahu ibunya akan kecewa. Jelas ibunya mengerutkan dahi. "Kenapa?" Alex melirik ke arah Eriska kala adik perempuannya itu tidak mengalihkan tatapannya dari sang ibu. "Ba ...." "Mas Bagas telepon, dia suruh aku pulang ...," tutur pelan Eriska merebut kalimat Alex."Siapa yang tele
Eriska mengerjap tidak percaya dengan ucapan ayahnya, sedangkan Alex menyeringai dan Bagas berdiri dengan lutut bergetar seakan eksel-eksel di lututnya terlepas. Habis, gue! Hatinya."Minggir, dik!" titah Alex lagi. "Nggak, kak.""Eriska, kemari!" titah ayahnya yang jelas tidak bisa ditolak maka, Eriska mulai mengambil langkah. "Tunggu!" tahan Bagas dengan suara bergetar. Dia juga memegangi pergelangan tangan Eriska, sontak wanita itu berhenti lalu menoleh ke arah suaminya yang penuh luka lebam.Bagas menatap Eriska, mencoba memanfaatkan cinta istri pertamanya sebagai pelindung. "Banyak drama!" Gerakan secepat kilat Alex memisahkan tangan mereka lalu kembali menyerang Bagas tanpa ampun.Eriska menjerit-jerit. "Mas Bagas ...!" Bahkan dia meneteskan air mata untuk pria brengsek itu, sontak Bagas semakin besar kepala saja. Kala jeritan Eriska memekak, pintu kamar pengantin terbuka cepat. Tatapan Andin berkelana pada persekitaran sekaligus mencari keberadaan Bagas. Mata Andin langsun
"Kalian sama saja, tidak tahu diri!" berang ayahnya Eriska pada Bagas dan Andin. "Eriska, cepat pulang! untuk apa kamu mempertahankan suami seperti itu!" titah tegasnya pada Eriska."Tapi pa ...." Bagas memotong kalimat Eriska, "Pa, Eriska istri pertama Bagas, dia tanggung jawab Bagas. Papa sebagai orangtuanya nggak perlu ikut campur. Lagian Eriska nyaman kok di sini. Iya kan, sayang?" Tatapan Bagas yang sejak tadi tertuju pada ayah mertuanya segera beralih pada Eriska. Eriska hanya menunduk. Mana ada seorang istri nyaman tinggal dengan madunya dan harus menyaksikan kemesraan mereka, rutuknya dalam hati. Wanita itu kembali mengangkat kepalanya menatap Bagas. "Mas, kita obrolin baik-baik tentang rumah tangga kita," jawaban lembutnya. Tentu Bagas merasa menang, dia menyeringai ke arah mertuanya apalagi pada Alex. Sontak tangan kekar pria yang masih diselubungi amarah siap kembali menerkam. Namun, dihentikan oleh Eriska. "Udah kak, ini rumah tangga aku. Biar aku yang atasi," ucapnya l
Bagas makan dengan lahapnya. Eriska memerhatikan selagi mengulas senyum. "Habisin ya, mas.""Iya sayang, ini enak banget."Dengan cepat Andin menyambar sendok berisi makanan yang hendak disuap kembali oleh Bagas. "Ish, mas apa-an sih makanan kaya gini aja dibangga-banggain!" Dengan cepat juga wanita itu membuang sendok sembarangan hingga isinya berceceran diatas meja. Eriska terkesiap melihat kelakuan Andin seberani ini pada Bagas, dia terlihat seperti tidak pernah belajar sopan santun. Bagas seakan mengumpat dalam hati terlihat jelas dalam tatapan kesalnya pada Andin. Namun, amarah itu tidak disampaikan. Dia berdiri menghadap istri keduanya yang masih berdiri bersebrangan dengan Eriska. "Sayang ... makanan jangan dibuang-buang. Lagian aku belum makan, aku laper." Amarah Bagas masih ditekan dibalik suara lembut. "Kita kan udah biasa makan di luar, mas. Ngapain coba makan masakan rumahan, enakan masakan restoran," tutur Andin seolah tidak ingin tersaingi. Tiba-tiba tatapan matanya me
Andin membuka lebar matanya selagi berkacak pinggang di ujung tangga yang baru saja dia turuni dengan anggun berharap Bagas akan terpesona. Namun, ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Bagas yang baru saja memberikan kecupan sayang di dahi Eriska segera menoleh ke arah istri keduanya yang terlihat garang. "Pelankan suara kamu!" tegas Bagas. Eriska tertawa dalam hatinya menyaksikan api cemburu madunya yang sangat membara tidak terkontrol. Andin berjalan dengan langkah penuh api. "Mas, kenapa mas cium dia? Aku ga suka!" Volume suaranya memang sudah melemah, tapi kadar amarahnya tidak menemui titik turun. "Loh, emang kenapa? Dia juga istri aku." Dengan polos dan santainya Bagas berkata sehingga menjadikan api baru di hati Andin."Mas, aku ga suka ya!" Tekan Andin saat memerotes keras pada Bagas. Kedua telapak tangan Bagas segera menangkup lembut kedua pipi Andin. "Sayang ... kamu cemburu, ya. Sayang dan cinta aku lebih besar ke kamu kok." Dia juga mendaratkan kecupannya di dahi An
"Ya ampun, mbak. Abis makan cabe berapa kilo? Pedes beud!" jawab Nina."Gue nggak ngomong ke lo!" Murka Andin."Tapi aku denger!" balas Nina tidak kalah berani."Nggak usah jawab!" Andin berkacak pinggang sejak kemunculannya."Udah-udah ... kasihan bayi kamu, pasti kaget denger ibunya marah-marah." Eriska segera menjadi air di dalam kobaran api selagi tetap menimang. Andin memutar bola mata malas meladeni mereka, padahal dia duluan yang memancing. "Heh, Eriska. Lo itu mandul nggak usah sok-sokan gendong bayi. Nggak pantes!" Lagi, Andin menghina."Emang ada ya, pelaturan yang larang?" jawab santai Eriska."Gue!""Punya hak apa, kamu?" tatapan tidak suka jelas hadir pada Eriska. Nina berdecak bangga melihat perlawanan Eriska. "Eu ... iya ... gue ...." "Nah, mikir kan nggak bisa jawab. Makannya mbak, jadi orang nggak usah sok-sokan jadi ratu. Mana ada rakyat yang mau punya ratu kek gini bikin gatel pengen nampol!" celetuk Nina se-enaknya."Ish, siapa sih lo? Nggak usah ikut campur deh
Eriska mencoba mengontrol sakit hatinya sisa kemarin malam. Dia menatap netra Bagas yang lain dari biasanya. Tidak mampu menyembunyikan perasaan, tatapan sendu dipasang Eriska. "Bukan males, mas. Aku mual." "Masih aja alesan pura-pura sakit. Bener kata Andin, kamu jago akting. Bilang aja udah nggak mau siapin sarapan!" kesal Bagas. Pria itu sukses dimakan oleh ucapan busuk Andin.Eriska mengusap matanya yang mulai basah, diikuti sedikit isakan. Dia kembali ke kamar mandi untuk menyeka wajahnya. Setelah itu, barulah ke ruang makan. Bagas sudah di sana, mencoba menyiapkan roti isi selai. "Sini mas, biar aku yang buat," tawar Eriska. "Dari tadi, kek." Bagas segera duduk selagi mengerjakan sesuatu di laptopnya. "Andin mana, mas?" Eriska menyodorkan dua tangkup roti isi selai kacang dan selai cokelat juga satu gelas kopi susu."Dia masih tidur," jawab santai Bagas tanpa membuang fokusnya dari laptop, bahkan hanya untuk melirik satu detik saja ke arah Eriska sepertinya pria itu enggan.