Happy reading ... semoga suka sama ceritanya ....
Setibanya di rumah, kado dari Eriska tidak langsung disimpan di kamar pengantin, tapi dia akan memberikannya secara langsung pada Andin kala dia dan suaminya pulang.Sekarang waktu menunjukan tengah hari. "Halo, Mas Adam. Maaf hari ini aku nggak bisa masuk," ucap Eriska dalam saluran telepon."Iya, nggak apa-apa. Kamu istirahat aja selama beberapa hari." Suara keramaian restoran terdengar jelas di indera pendengaran Eriska yang dibawa oleh sambungan di udara.Setelah menelepon, Eriska menata rumah, mengubah letak furniture di beberapa ruangan. "Biar Mas Bagas nggak bosen di rumah." Senyuman tulus terpatri dibingkai oleh wajah cantik nan memesona.Ting tongLagi-lagi bel rumahnya berbunyi. "Siapa lagi?" Eriska menoleh ke arah pintu, kebetulan dia sedang berada di ruang tamu. Pintu terbuka perlahan, lalu didorong oleh seseorang diluar sana. "Nak!" Ibunya berhamburan memeluk pilu."Mama!" Eriska terperanjat menatap tamunya sekarang, "mama sama papa kok nggak bilang mau kesini?" tanyanya
Itu Alex-kakak laki-laki Eriska yang sebaya dengan Bagas. "Aku baru aja pulang dari luar negeri terus dapat kabar ini. Harusnya kamu bilang kakak!" Amarah Alex sama halnya dengan sang ayah. Dia melangkah lebar dengan kaki panjangnya menuju ke arah adik perempuannya, lalu menarik satu tangan Eriska hingga tubuhnya terangkat. "Bilang kakak, di mana Bagas sekarang?" "Kak ... duduk dulu, minum dulu ...." "Nggak bisalah! kakak mau kasih pelajaran buat laki-laki brengsek itu!" Mata Alex terbebalak lebar dengan rahang mengeras dibarengi suara lantang. "Kak ... Mas Bagas bukan laki-laki brengsek." "Kamu ngapain sih bela dia, dik!" Alex menarik lengan Eriska menuju ke luar rumah, tapi ketika hampir di dekat pintu Eriska memberontak hingga salah satu tangan yang digenggam Alex terlepas. Sontak Alex menoleh pada adiknya yang sedang mengusap pergelangan tangan. "Dik!" tegas Alex layaknya pria matang yang dirundung amarah. "Aku yang kasih izin Mas Bagas poligami," bongkar Eriska. "ER
Dua minggu berlalu, udara Turki hampir saja mendarah daging di tubuh Eriska. Dia dan keluarganya masih berada di rumah sewa. "Ma, kapan pulang?" "Ngapain cepet-cepet sih, dik? Di sini lebih enak, kan!" sambar Alex merebut jawaban ibunya. "Tapi kak, aku mau ....""Mau pulang?" tatapan Alex bermakna tidak suka, "boleh, tapi tinggal sama kita!" tegasnya. Sebagai kakak laki-laki juga sebagai pengganti ayahnya kelak tentu Alex harus punya sikap layaknya pemimpin bijak dan cerdas jika bisa kesampingkan juga ke-egoisan."Ma ...." Kali ini Eriska terdengar merengek pada ibunya."Dengarkan ucapan kakakmu ... kami melakukan ini untuk kebaikan kamu, nak." Ibunya tidak mendukung ingin Eriska.Eriska membuang napas panjang secara perlahan. "Eriska bukan anak kecil yang harus diatur jalan hidupnya. Eriska tau mama, papa sama kakak peduli sama aku, tapi tolong biarin aku menyelesaikan masalah sendiri," mohonnya."Kamu keras kepala, dik. Untung kakak belum menikah jadi bisa awasi kamu!" "Hus, kaka
Kini Alex dan Eriska sudah tiba di rumah, kedatangan mereka langsung disambut oleh ibunya, "Gimana hasilnya, nak?" "Eu ...." Eriska melirik ke arah Alex. Seperti ucapannya kemarin, Eriska ingin menyelesaikan masalahnya sendiri jadi, Alex melengos meninggalkan adiknya.Eriska menatap punggung Alex, lalu pria itu duduk di sofa selagi menatap ke arah adiknya dengan satu alis naik. "Kakak ...," gumam Eriska. "Sayang, bagaimana kata dokter?" tanya ibunya tidak sabar.Eriska memberikan senyuman singkat. "Duduk dulu yuk, ma." Dia menggiring ibunya sampai ke sofa, mereka duduk berdampingan. Eriska menatap mata lelah ibunya yang sudah berkantung, "gini ma, tadi ... Eriska nggak sempet periksa," tuturnya ragu, dia tahu ibunya akan kecewa. Jelas ibunya mengerutkan dahi. "Kenapa?" Alex melirik ke arah Eriska kala adik perempuannya itu tidak mengalihkan tatapannya dari sang ibu. "Ba ...." "Mas Bagas telepon, dia suruh aku pulang ...," tutur pelan Eriska merebut kalimat Alex."Siapa yang tele
Eriska mengerjap tidak percaya dengan ucapan ayahnya, sedangkan Alex menyeringai dan Bagas berdiri dengan lutut bergetar seakan eksel-eksel di lututnya terlepas. Habis, gue! Hatinya."Minggir, dik!" titah Alex lagi. "Nggak, kak.""Eriska, kemari!" titah ayahnya yang jelas tidak bisa ditolak maka, Eriska mulai mengambil langkah. "Tunggu!" tahan Bagas dengan suara bergetar. Dia juga memegangi pergelangan tangan Eriska, sontak wanita itu berhenti lalu menoleh ke arah suaminya yang penuh luka lebam.Bagas menatap Eriska, mencoba memanfaatkan cinta istri pertamanya sebagai pelindung. "Banyak drama!" Gerakan secepat kilat Alex memisahkan tangan mereka lalu kembali menyerang Bagas tanpa ampun.Eriska menjerit-jerit. "Mas Bagas ...!" Bahkan dia meneteskan air mata untuk pria brengsek itu, sontak Bagas semakin besar kepala saja. Kala jeritan Eriska memekak, pintu kamar pengantin terbuka cepat. Tatapan Andin berkelana pada persekitaran sekaligus mencari keberadaan Bagas. Mata Andin langsun
"Kalian sama saja, tidak tahu diri!" berang ayahnya Eriska pada Bagas dan Andin. "Eriska, cepat pulang! untuk apa kamu mempertahankan suami seperti itu!" titah tegasnya pada Eriska."Tapi pa ...." Bagas memotong kalimat Eriska, "Pa, Eriska istri pertama Bagas, dia tanggung jawab Bagas. Papa sebagai orangtuanya nggak perlu ikut campur. Lagian Eriska nyaman kok di sini. Iya kan, sayang?" Tatapan Bagas yang sejak tadi tertuju pada ayah mertuanya segera beralih pada Eriska. Eriska hanya menunduk. Mana ada seorang istri nyaman tinggal dengan madunya dan harus menyaksikan kemesraan mereka, rutuknya dalam hati. Wanita itu kembali mengangkat kepalanya menatap Bagas. "Mas, kita obrolin baik-baik tentang rumah tangga kita," jawaban lembutnya. Tentu Bagas merasa menang, dia menyeringai ke arah mertuanya apalagi pada Alex. Sontak tangan kekar pria yang masih diselubungi amarah siap kembali menerkam. Namun, dihentikan oleh Eriska. "Udah kak, ini rumah tangga aku. Biar aku yang atasi," ucapnya l
Bagas makan dengan lahapnya. Eriska memerhatikan selagi mengulas senyum. "Habisin ya, mas.""Iya sayang, ini enak banget."Dengan cepat Andin menyambar sendok berisi makanan yang hendak disuap kembali oleh Bagas. "Ish, mas apa-an sih makanan kaya gini aja dibangga-banggain!" Dengan cepat juga wanita itu membuang sendok sembarangan hingga isinya berceceran diatas meja. Eriska terkesiap melihat kelakuan Andin seberani ini pada Bagas, dia terlihat seperti tidak pernah belajar sopan santun. Bagas seakan mengumpat dalam hati terlihat jelas dalam tatapan kesalnya pada Andin. Namun, amarah itu tidak disampaikan. Dia berdiri menghadap istri keduanya yang masih berdiri bersebrangan dengan Eriska. "Sayang ... makanan jangan dibuang-buang. Lagian aku belum makan, aku laper." Amarah Bagas masih ditekan dibalik suara lembut. "Kita kan udah biasa makan di luar, mas. Ngapain coba makan masakan rumahan, enakan masakan restoran," tutur Andin seolah tidak ingin tersaingi. Tiba-tiba tatapan matanya me
Andin membuka lebar matanya selagi berkacak pinggang di ujung tangga yang baru saja dia turuni dengan anggun berharap Bagas akan terpesona. Namun, ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Bagas yang baru saja memberikan kecupan sayang di dahi Eriska segera menoleh ke arah istri keduanya yang terlihat garang. "Pelankan suara kamu!" tegas Bagas. Eriska tertawa dalam hatinya menyaksikan api cemburu madunya yang sangat membara tidak terkontrol. Andin berjalan dengan langkah penuh api. "Mas, kenapa mas cium dia? Aku ga suka!" Volume suaranya memang sudah melemah, tapi kadar amarahnya tidak menemui titik turun. "Loh, emang kenapa? Dia juga istri aku." Dengan polos dan santainya Bagas berkata sehingga menjadikan api baru di hati Andin."Mas, aku ga suka ya!" Tekan Andin saat memerotes keras pada Bagas. Kedua telapak tangan Bagas segera menangkup lembut kedua pipi Andin. "Sayang ... kamu cemburu, ya. Sayang dan cinta aku lebih besar ke kamu kok." Dia juga mendaratkan kecupannya di dahi An