Lima belas menit berlalu, Eriska sudah sampai di sebuah pusat perbelanjaan. Dia berjalan sendiri mengitari beberapa lorong demi mencari makanan yang pas untuk ibu hamil. Kala tangannya menggapai susu hamil, rasa malas pulang ke rumah Bagas hadir seketika.Sebuah hembusan napas lelah dibuangnya. "Aku lagi hamil, aku sediain semua makanan ibu hamil, tapi di rumah suamiku lebih perhatian sama madu aku." Eriska menyunggingkan bibirnya, mengejek kisah hidupnya sendiri.Lesu akibat membatin membuat Eriska kembali lemah. "Emang Mas Bagas nggak punya hati."Sebuah biskuit jatuh kala akan dimasukan ke dalam troli, tangan kekar menangkapnya."Mas Adam." Eriska mengerjap."Kamu lagi apa?" sapa Adam."Oh, ini mas, lagi belanja keperluan aku." Ragu Eriska berkata karena seharusnya Bagas menemani.Adam melirik pada isi troli Eriska. "Bagas nggak temenin kamu?"Baru saja Eriska berpikir kesana kini Adam berpikiran yang sama. Eriska menjawab dengan menggeleng selagi tersenyum singkat."Hm ... aku tem
Bagas dan Eriska saling menatap, dienyahkannya Andin dari perhatian Bagas karena langsung terputuk oleh pinta Eriska, sejurus kemudian suara pria itu melunak. "Ayo ngobrol berdua.""Di sini aja, mas. Biar Andin juga denger." Suara tegar Eriska di balik hati yang perih.Gue cuma mau denger Mas Bagas talak lo! Andin suka menyaksikan pertikaian mereka.Bagas masih mengabaikan Andin, dia mendekat beberapa langkah lalu menggenggam hangat tangan Ersika sehingga bertautan. "Ikut aku sebentar." Suara Bagas masih lembut karena sedang membujuk.Ditariknya perlahan hingga Eriska melangkah kecil-kecil. Bagas tidak memerdulikan Andin untuk saat ini, bahkan seakan Andin tidak ada di ruangan.Apa yang mau Mas Bagas omongin? Kenapa harus berdua? Andin mencurigai.Mata Andin mengikuti langkah keduanya yang menuju ke lantai atas. Bagas dan Eriska sudah sampai di kamar Eriska. Mereka berdiri berhadapan. "Sayang," panggil pria dengan tatapan memelas, "jangan bilang talak." Sekarang suaranya seakan memoho
"Ck! Ternyata lo keras kepala. Gue baru tau sifat lo!" Bagas seolah masih memancing Adam. Namun, mantan sahabatnya tidak terpancing."Jelas gue keras kepala kalo lo masih tuduh gue hamilin Eriska."Bagas berdiri, dia mengusap bagian berdarah dan memar di rahangnya. "Ngaku aja, mudah kan? Gue kasih dia ke lo!" tantang Bagas, tapi hanya iming-iming. Dia tidak akan memberikan Eriska semudah itu perlu syarat untuk merebutnya."Cih! Gue harus bilang berapa kali ke lo?" Adam masih bersikap santai.Bagas mendengus, tapi tidak ingin menyerang. "Tinggal jawab iya, men. Jangan jadi pengecut!" hinanya.Adam berdecak tidak peduli pada hinaan Bagas. "Lo anggap gue pengecut, terus lo sendiri apa? Penghianat!" Kini mata yang sejak tadi dibuat teduh akhirnya memancarkan api."Brengsek!" Menyerang adalah jalan terakhir Bagas, tapi Adam menghindar dia tidak ingin berkelahi lagi."Mau sampai kapan lo kaya gini? Lo sakiti Eriska? Ga cukup penghianatan lo buat siksa dia?""Lo nggak usah ikut campur urusan
Bagas menghentikan langkah kaki bimbangnya sebelum melewati garis pintu, dia berbalik ke arah Eriska. "Mendingan nggak usah pergi sekarang."Tatapan Eriska dan Bagas bertumbuk, ada cinta tersirat dalam iris mata pria itu. Namun, masih berkabut akibat hadirnya Andin dan kecurigaan terhadap Adam."Kenapa, mas?" Eriska ingin menguji jawaban Bagas."Eu ...." Bagas menggaruk kepala tidak gatal, "jam segini lagi macet, pasti lama nyampenya dan terlalu malem. Mungkin akan ganggu orangtua kamu lagi tidur," tuturnya sebagai alasan. Bagas tidak bisa jujur pada Eriska bahwa ingin istrinya tinggal lebih lama."Oh, iya udah," setuju Eriska begitu saja. Dia mulai menarik kembali kopernya."Sini, biar aku aja." Bagas menawarkan dirinya dengan senang hati selagi mengambil alih tas beroda itu.Eriska juga tidak membantah untuk yang satu ini, hingga mereka kembali ke kamar. Canggung yang dirasakan Bagas. "Eu ...."Eriska menatap dengan mata indahnya, menunggu kelanjutan kalimat suaminya. Bagas seakan m
Kicau burung terdengar lebih ceria di sini. Eriska terbangun dan langsung tersentak. "Mama!"Ibunya sudah duduk di tepian tempat tidur, menunggu putrinya bangun. Tidak ada senyuman dari ibunya, hanya tatapan iba.Eriska segera duduk untuk mendekap ibunya. "Mama, kok ngagetin ...." Ditatapnya sang ibu."Sayang ... kamu disuruh Bagas kesini atau kamu yang memutuskan?"Eriska menatap beberapa saat. "Aku yang mau kesini, ma.""Kenapa?""Karena ...." Awalnya memang ide Bagas, walau dia sempat menahan, tapi Eriska tidak mau mengatakannya.Alex memasuki pintu yang terbuka lebar. "Dik, kakak udah ngobrol sama laki-laki yang antar kamu."Eriska segera menyahut. "Adam?""Iya."Semalam Alex mengejar mobil Adam setelah Eriska masuk ke kamarnya. Tanpa basa-basi dia bertanya, "Kenapa lo nganterin adik gue?""Eriska sendiri di restoran, abis ditinggalin Bagas sama istri barunya." Wajah marah masih terlihat walau samar."Brengsek si Bagas!" Alex sudah tidak bisa menahan diri."Gue nggak tahu apa-apa
Siang ini Bagas mendapat panggilan dari ayahnya. Dia menghadap dengan gagah. "Ada apa, pa?""Ingin membahas tentang rumah tanggamu dengan Eriska," tegas ayahnya tanpa basa-basi.Bagas tersentak mendengarnya rasanya pembahasan ini tidak menyenangkan, pikirnya. Dia berusaha duduk santai dengan ekspresi tidak terbaca. "Memang kenapa papa ingin membahasnya?"Ayahnya segera membongkar pertemuannya tadi, "Papanya Eriska datang menyuruh ayah untuk menyuruhmu meninggalkan Eriska."Petir menyambar di benak Bagas rasanya ucapan itu sama saja dengan kalimat talak yang diminta Eriska. "Tapi Bagas nggak bisa!""Kenapa?" Butuh alasan untuk jawaban itu karena apapun alasan Bagas akan menjadi pertimbangan untuk kedua belah orangtua."Bagas ... masih mencintai Eriska walau banyak kecurigaan di hati, aku nggak mau lepasin dia dengan mudah. Aku butuh pembuktian dari Eriska." Jika ternyata anak yang dikandung Eriska memang bayi milik Bagas maka, dia akan sangat menyesal melepaskannya. Bersabar di dalam k
Matahari sudah hilang, Bagas sudah sampai di rumah pukul tujuh malam. Disimpannya tas kantor dengan sembarang. "Sayang ...."Rasa penat dan jauh dari kata beruntung seolah menyukainya hari ini. Setelah obrolan dengan ayahnya, dunia seakan mengutuknya hinga kesialan menyapa silih berganti. Bagas menjatuhkan dirinya secara kasar di sofa, diraihnya dasi yang mencekik seharian. "Sayang ...," panggilnya lagi, tapi masih tidak ada yang menyahut.Bagas mendesah pelan selagi menyandarkan kepala di kepala sofa, menunggu jawaban atas panggilannya kemudian dia berdecak. "Andin!" Kini panggilan kesal terlontar dari bibirnya. Namun, suaranya masih sia-sia, "kemana dia!"Bagas bangun dari duduk penatnya, melangkah lebar menuju ke ruang makan. Namun, tidak ada siapapun di sana bahkan seolah tidak pernah ada kehidupan, peralatan dapur masih di tempat yang sama. Wajahnya mendongak ke lantai atas. Dinaikinya dua sampai tiga tangga dalam satu langkah hingga kakinya menapaki lantai dua.Klik!Pintu kamar
Di tempatnya Eriska merasa bangga karena berhasil menolak Bagas, kini giliran dirinya memberikan racun. "Maaf mas, kamu harus tau rasanya kecewe." Diusapnya perut berisi bayi, "bayi ini butuh kamu, mas. Aku harus memberi perih agar kamu mengerti perasaan kita."Sebelumnya Alex dan ayahnya sudah memperingatkan. "Jika Bagas kesini berniat membawamu jangan hiraukan dia!""Biarin si Bagas ngerasain liciknya Andin," sambung Alex, "Andin adalah musuh dalam selimut, dia ular berbisa. Cocok berpasangan dengan Bagas."Eriska menggangguk, menerima saran kedua pria berarti dalam hidupnya."Ingat nak, kamu harus bangkit jangan mau diinjak-injak!" Ayahnya selalu tegas dalam berkata hingga rasanya tidak bisa ditolak, sikapnya itu memang menguntungkan kala berselisih pendapat apalagi hari ini. Eriska kembali mengangguk spontan.Sekarang dia tersenyum cukup bahagia karena mampu membangkang perintah Bagas-suami yang telah hilang kebaikannya.Tok tok tokKetukan pintu yang sudah terbuka mengalihkan per