Matahari sudah hilang, Bagas sudah sampai di rumah pukul tujuh malam. Disimpannya tas kantor dengan sembarang. "Sayang ...."Rasa penat dan jauh dari kata beruntung seolah menyukainya hari ini. Setelah obrolan dengan ayahnya, dunia seakan mengutuknya hinga kesialan menyapa silih berganti. Bagas menjatuhkan dirinya secara kasar di sofa, diraihnya dasi yang mencekik seharian. "Sayang ...," panggilnya lagi, tapi masih tidak ada yang menyahut.Bagas mendesah pelan selagi menyandarkan kepala di kepala sofa, menunggu jawaban atas panggilannya kemudian dia berdecak. "Andin!" Kini panggilan kesal terlontar dari bibirnya. Namun, suaranya masih sia-sia, "kemana dia!"Bagas bangun dari duduk penatnya, melangkah lebar menuju ke ruang makan. Namun, tidak ada siapapun di sana bahkan seolah tidak pernah ada kehidupan, peralatan dapur masih di tempat yang sama. Wajahnya mendongak ke lantai atas. Dinaikinya dua sampai tiga tangga dalam satu langkah hingga kakinya menapaki lantai dua.Klik!Pintu kamar
Di tempatnya Eriska merasa bangga karena berhasil menolak Bagas, kini giliran dirinya memberikan racun. "Maaf mas, kamu harus tau rasanya kecewe." Diusapnya perut berisi bayi, "bayi ini butuh kamu, mas. Aku harus memberi perih agar kamu mengerti perasaan kita."Sebelumnya Alex dan ayahnya sudah memperingatkan. "Jika Bagas kesini berniat membawamu jangan hiraukan dia!""Biarin si Bagas ngerasain liciknya Andin," sambung Alex, "Andin adalah musuh dalam selimut, dia ular berbisa. Cocok berpasangan dengan Bagas."Eriska menggangguk, menerima saran kedua pria berarti dalam hidupnya."Ingat nak, kamu harus bangkit jangan mau diinjak-injak!" Ayahnya selalu tegas dalam berkata hingga rasanya tidak bisa ditolak, sikapnya itu memang menguntungkan kala berselisih pendapat apalagi hari ini. Eriska kembali mengangguk spontan.Sekarang dia tersenyum cukup bahagia karena mampu membangkang perintah Bagas-suami yang telah hilang kebaikannya.Tok tok tokKetukan pintu yang sudah terbuka mengalihkan per
Setelah pemeriksaan Eriska mengajak ibunya berbelanja. "Aku mau beli keperluan hamil.""Iya, sayang. Biar mama temani." Untuk kedua kalinya Eriska berbelanja. Semoga untuk saat ini, susu hamil atau apapun makanan untuk kamu, sampai ke kamu nak.Ingatan kala Bagas membuangnya tentu masih sangat membekas. Ya, mau dikata apa? Bagas sedang buta mata dan hatinya.Sepanjang belanja, Eriska maupun ibunya tidak pernah menyinggung tentang Bagas walau barang belajaannya berhubungan dengannya karena ini untuk bayi milik Bagas."Beli yang bagus nak, sepertinya yang ini lebih lengkap gizinya." Ibunya merekomendasikan susu hamil yang bagus menurutnya."Iya, ma." Eriska selalu setuju pada pilihan ibunya.Setelah belanja tidak ada tempat lain yang jadi tujuan selain rumah. Namun, kala tiba di sana orang yang tidak diharapkan hadir."Sayang." Bagas datang tidak tahu malu. Dia menyambut Eriska dengan senyuman palsu hanya untuk menjebak agar istrinya mau pulang."Mas ...." Kedatangan suami yang seharusn
Bagas sempat melirik kaca spionnya, menatap Eriska lewat pantulan sebelum dirinya dibawa laju mobil. Dihembusnya napas penyesalan dan sedih. "Aku masih mencintai kamu, tapi kemahilan kamu membuat aku ragu." Sudah tidak ada Andin di pikirannya.Andin hanya benalu, sikapnya yang tidak bakti membuat Bagas menyesal ribuan kali. Dilajukannya mobil menuju ke tempat wisata di puncak untuk sedikit menenangkan hatinya.Bagas duduk di dekat air curug, di atas batu besar. Setelan kantor masih membalut tubuh berorot kekarnya, dia tidak peduli pada percikan air yang menghujani. Tidak ada yang dilakukannya selain melamun."Kenapa mas itu?""Jangan-jangan mau bunuh diri.""Nggak mungkin, ada banyak orang di sini. Lagian dia duduk di batu."Baju yang dikenakan Bagas tidak lazim di sana, di sekitar air tentu pengunjung menggunakan baju disesuaikan wajar saja orang-orang berpikir hal negatif pada Bagas hingga penjaga tempat wisata tidak melepaskan tatapan darinya.Sudah dua jam Bagas di sana, tidak ada
Pagi harinya di kediaman Bagas, Andin tidak mau menyiapkan apapun untuknya walau hanya segelas kopi. "Andin," panggilan Bagas sedikit berintonasi."Apa, mas ....""Buatin aku sarapan." Intonasinya sudah normal. Namun, kedua alis Bagas masih turun.Dibuangnya napas kesal, Andin tidak ingin menunjukan baktinya sebagai bukti pemberontakkan sebelum keinginannya terkabul. "Mas, tangan aku sakit. Kamu bisa kan, siapin sendiri." Santainya dia bersuara."Semalam tangan kamu nggak apa-apa kan?" Tidak menyelidik karena Bagas tahu Andin berbohong. Dia masih ingat kala Andin meraba dadanya."Iya ... semalem emang nggak apa-apa, cuma tadi pagi ...."Bagas menyela kalimat Andin, tidak ingin mendengar dusta, "Iya udah, aku langsung pergi. Aku mau sarapan di luar," ketus Bagas berbicara. Diambilnya langkah lebar hingga sampai di halaman.Rupanya Andin tidak mengekor, dia memang tidak memerdulikan Bagas. Hanya pasrah yang kini harus dilakukan Bagas.Di jalan, tidak sengaja mobilnya beriringan dengan m
Keesokan harinya Andin dan Bagas bergegas menuju perumahan yang dipilih Andin. Tanpa basa-basi dan syarat, Bagas membelikan rumah sebagai kado atas kehamilan istri keduanya."Kamu mau minta apa lagi, sayang?" Mesranya ucapan Bagas jika, Andin mencintainya maka wanita ini akan melayang."Mau aku banyak, mas. Kamu yakin bisa kabulkan semua?" Andin bergelayutan di lengan Bagas selagi bermanja-manja di bahunya.Bagas tersenyum tipis. "Apa sih yang suami kamu nggak bisa? Kamu minta bulan sekalipun akan aku usahakan." Gombalnya dia merayu.Andin semakin menjadi prangko saja walau tidak mungkin Bagas membawakan bulan dan hanya anak di taman kanak-kanak yang meminta bulan.Setelah rumah dalam genggaman tangan licik Andin, tentu harus ada isinya. "Mas ...." Andin merengek dengan mata indahnya.Bagas mengerti maksud istrinya. "Iya ... sayang ... yuk, belanja."Suami dan istri meluncur ke tempat furniture. Tentu Andin-si wanita matre tidak cocok dengan barang murahan, barang sultan dipilihnya. B
Semua orang yang ada di sana tercengang kecuali Eriska. Dia hanya mendesah pelan. Sudah dia duga ini akan terjadi. "Iya, mas." Tanpa protes sedikit pun dia setuju, "terimakasih atas tiga tahun ini, terimakasih udah pernah bahagiakan aku, terimakasih udah jadi suami yang baik, semua kenangan kita nggak akan aku lupakan dari awal pertemuan sampai sekarang. Biar aku ceritakan pada bayi kita nanti setelah dia besar. Dia akan tetap mengenal kamu sebagai ayahnya. Aku tidak akan menghilangkan kamu dari ingatan bayi kita."Banyak Eriska berbicara, mengungkapkan setitik rasa di hatinya. Semua orang mendengarkan. Setelah Eriska, tidak ada lagi yang mampu berbicara. Topik pembicaraan ini rasanya tidak pantas dibahas.Sunyi dalam ruangan menumpuk lebih banyak kesedihan di hati semua orang kecuali Bagas dan Eriska. Bagas menginginkan ini dan dia yang mengambil keputusan, sedangkan Eriska seperti keputusannya semalam. Ini lebih baik.Pasangan suami istri yang sekarang berubah menjadi mantan, saling
Dua bulan berlalu sejak perceraian, Bagas tetap mengurus surat cerai secara sah di pengadilan tanpa peduli pada perut Eriska. Semenjak ketuk palu, Eriska tinggal bersama orangtuanya walau rumah dan semua isinya diberikan padanya. Dia juga tidak pernah keluar rumah ibunya untuk menghindari fitnah tetangga. Menjadi janda bukanlah hal menyenangkan walau dia sudah terbebas dari penderitaan yang diciptakan Bagas.Namun karena sekarang perutnya sedang terisi maka, apa jadinya jika Eriska keluar rumah lalu tiba-tiba beberapa bulan kemudian melahirkan? Pastinya gossip miring akan menyebar dan membuat nama keluarga tercemar.Sekarang Eriska tanpa suami, tapi dia akan tetap merawat calon bayinya sampai akhirnya melihat dunia yang kejam ini. Bayinya akan terlahir tanpa melihat ayahnya. Sudah jelas Bagas tidak akan mau menyapa bayi yang tidak pernah mendapat pengakuannya.Selama dua bulan ini bayinya masih tumbuh dan berkembang normal meski hidup dalam tekanan. "Apa ada keluhan?" tanya dokter kan
"Maaf, Kak ...." Eriska segera merasakan amarah Alex."Dik, berhenti memikirkan Bagas dan jangan samakan Bagas dengan Adam, mereka sangat berbeda!" tegas Alex yang selaras dengan tatapannya. "Aku cuma ingat aja kok, Kak. Karena tidak semudah itu membuang semuanya, apalagia ada Aulya yang mirip banget sama mas Bagas." "Kemiripan Aulya bukan berarti membuat kamu harus dibayang-bayangi Bagas. Ingat Dik, Adam sangat peduli sama kamu, bukan Bagas!" Lagi, ketegasan ditunjukan Alex hingga Eriska mengangguk sendu dan seakan tertekan, tetapi pria ini memang sengaja melakukannya supaya adiknya membuka lebaran baru yang jauh lebih baik.Satu bulan berlalu, hari ini tepat pernikahan Adam dan Eriska yang diadakan secara kecil-kecilan, hanya dihadiri kedua belah pihak keluarga saja, tetapi tanpa diduga jika keluarga Bagas hadir membawa Bagas. "Eriska, kamu akan meninggalkan aku dan semua kenangan kita?" Keadaan mental pria ini sudah stabil dan sangat sehat. Maka, semua hal yang pernah terjadi dal
Dua bulan kembali berlalu, keadaan Bagas mendekati pulih. Dokter memberikan rincian laporan tentang perkembangannya, ditunjukan pada pihak keluarga. Sebenarnya pria itu sudah bisa dibawa pulang, hanya saja kedua orangtuanya inginkan putranya tetap mendapatkan pengawasan sampai benar-benar pulih. Kabar ini segera sampai pada Eriska dan keluarganya. "Alhamdulillah ...," syukur wanita ini begitupun kedua orangtuanya hanya Alex yang tidak mengucapkannya. Saat kakak dan adik berdua di atas balkon, Alex mengutarakan pemikirannya, "Dik, cepat tanyakan pada Adam kapan dia akan menikahi kamu.""Kak ..., masa aku yang tanyakan!" protes kecil Eriska."Kakak udah coba tanya beberapa kali, tapi Adam selalu bilang belum dapat tanggal baik. Kapan dong, dia dapat tanggal baiknya!" Tatapan serius Alex yang sebenarnya masih memercayai Adam hanya saja kini dirinya sudah sangat panik akibat mendengar kondisi Bagas, "coba sesekali kamu yang nanya.""Malu, Kak. Aku ini janda anak satu, nggak mungkin aku t
Eriska terpaku sendu seiring menatap buah hatinya bersama Bagas. "Gimana keadaan mas Bagas?" Dirinya segera mengalihkan topik karena keadaan Bagas hari ini seolah menjawab alasan ketidak mampuan mantan suaminya memberikan nama pada malaikat kecil. "Masih sangat parah!" Alex melanjutkan kebohongannya.Eriska mendesah pelan, "Kalau gitu ..., aku namakan Aulya saja. Gimana Kak, apa bagus?" Senyuman ceria disisipkan. Namun, wajah Alex tidak menunjukan keceriaan yang sama sedikit pun. "Kenapa harus Aulya, Dik?" Bukan perkara nama yang membuatnya heran, melainkan pemikiran Bagas dan Eriska begitu kompak padahal mereka tidak pernah berkomunikasi sama sekali. "Mau saja, aku pikir nama Aulya itu bagus. Cuma ..., aku nggak tahu nama panjangnya apa. Coba Kakak pikirkan." Alex hanya tersenyum getir. "Akan Kakak pikirkan nanti. Kakak harus mencari nama paling baik," tulusnya, "tapi Dik, yakin mau Aulya, tidak mau ganti yang lain?" "Aulya saja Kak, buat nama depannya. Selebihnya biar Kakak ata
Adam merenungkan pesan dari orangtuanya, pria ini hanya duduk di tepian ranjang di dalam kamarnya. "Eriska memang memiliki sesuatu yang nggak akan membiarkannya lost contak dengan Bagas, ada anak di antara mereka. Jadi mungkin aku yang terlalu berharap banyak untuk bisa mendapatkan Eriska." Embusan udara dibuang Adam, kemudian meluruskan punggungnya seiring memandangi langit-langit saat kedua tangannya dilipat, menyangga kepala. "Aku masih mencintai Eriska bagaimanapun dunia menilai hubungan kami. Tapi kalau bisa, nggak perlu sama anaknya juga. Aku sangat membenci wajah anaknya yang seperti Bagas." Semakin lama, keduanya kelopak mata Adam semakin turun hingga membawanya ke alam bawah sadar. Dari sejak hari ini hingga tiga hari kemudian Adam tidak menampakan batang hidungnya pada keluarga Eriska, dirinya beralasan jika restoran sangat sesak oleh pengunjung maka tidak membiarkannya absen. Jadi, dirinya hanya menjenguk si bayi setelah tiba di rumah. Eriska menyusui bayinya sangat tela
Bagas berjalan linglung mencari keberadaan orang-orang terdekatnya karena jangankan di luar, di dalam rumah saja dirinya sering tersesat. Derap langkahnya membuat Adhinatha dan Fatimah menoleh. "Mau kemana?" tanya pria ini tanpa meninggalkan tempat duduknya karena arah Bagas tepat pada mereka. "Bagas mengingat Andin. Di mana dia sekarang?" Tanpa aba-aba pertanyaan ini diutarakan hingga Adhinatha dan Fatimah terhenyak. Fatimah menyahut berpura-pura tidak tahu demi kebaikan Bagas karena kenangan tentang Andin adalah satu-satunya yang tidak diinginkannya diingat Bagas. "Siapa Andin? Kami tidak tahu." "Mana mungkin mama sama papa nggak tahu. Bagas ingat kalau Andin sangat cantik, tapi sangat matre. Sepertinya dia pernah berada di sisi Bagas?" Adhinatha merasa waktunya selalu sia-sia saat menghadapi Bagas yang memerlukan perawatan mental, maka dirinya tidak mengatakan apapun selain kalimat penutup, "Kami tidak mengenal Andin. Kamu juga. Mungkin itu cuma imajinasi kamu. Tidurlah, besok
Hari ini Eriska memutuskan menemui Bagas tanpa memerdulikan apapun, dirinya hanya ingin membuat mantan suaminya bangkit dari keterpurukannya walau mungkin akan sangat sulit. "Bayi kamu udah menyembul di perut aku." Eriska menatap Bagas sebagaimana seorang istri. "Syukurlah, bayi kita sehat." Bagas tampak sumringah hingga tidak terlihat sama sekali jika sebenarnya dirinya adalah manusia linglung. "Iya Mas, bayinya sangat sehat." Senyuman kecil Eriska. Pertemuan ini tanpa sentuhan sama sekali karena keduanya bukan mahram. Maka, Fatimah juga mendampingi Eriska supaya menantunya ini tetap aman dari Bagas-putranya. "Aku mau menyentuh bayi kita, aku mau merasakan pergerakannya!" Telapak tangan Bagas sudah mulai menjulur ke arah perut Eriska yang sudah mulai terlihat walau masih samar. Saat itu, segera wanita ini menatap Fatimah. "Tidak apa nak, toh teralang pakaian." Izin Fatimah-ibunya Bagas selalu mengawal Eriska dari awal kedatangannya. Maka, dengan leluasa Bagas meletakan telapak ta
"Aku sedih liat keadaan Mas Bagas," aku Eriska pada Alex kala keduanya sudah kembali ke rumah."Nggak usah sedih, apa Bagas bersedih saat melihat kamu terpuruk!" Tidak ada sedikit pun belas kasihan Alex untuk mantan iparnya. "Kak, sudah jangan dibahas lagi. Semua itu sudah berlalu. Sekarang kita cuma perlu menutup segala hal yang pernah menyakiti." Alex membuang udara tipis. Kesabaran serta sifat pemaaf Eriska memang patut diacungi jempol, tetapi juga tampak keterlaluan. "Iya sudah, kamu istirahat saja." Alex menemui Adam di restorannya yang selalu ramai bahkan semakin pesat saja. "Pengusaha hebat nih. Ada waktu buat ngobrol?" kelakarnya. "Kapanpun!" Adam menyambut kedatangan Alex dengan hangat. "Gimana kisah cinta lo sama Raisa?" Alex memegangi pelipisnya sesaat seiring tertawa kecil. "Gue kesini bukan mau bahas Raisa." "Gue pengen tahu aja." Tawa singkat Adam seiring menyuguhkan dua gelas kopi, "Eriska lagi apa, kok nggak diajak?" "Mana mau Eriska kesini, lo kaya nggak tahu aj
Bagas membuka kelopak matanya, mengucek kedua matanya, dirinya mendapati diri berada di ruangan serba putih. "Saya sarankan bawa Tuan Bagas ke psikiater." Kalimat dokter pada ayahnya Bagas-Adhinatha. "Apakah kondisi anak saya seburuk itu?" Pria ini tampak sangat panik dan gemetaran. "Intinya, coba bawa saja ke ahlinya." Obrolan dokter dan pria ini berakhir. Adhinatha menghampiri putranya, memandangi pilu. Sudah satu minggu Bagas terlihat linglung, tatapan matanya kosong. "Pa, kenapa Bagas di sini?" Tubuhnya kekar seperti sediakala hanya saja bagian dalamnya seolah hancur, isi otak Bagas seolah diaduk hingga tidak tentu arah. "Kamu tertidur saat hari pernikahan Eriska dan Adam, kamu tidak datang ke pernikahan mereka karena kamu tidak bangun selama dua malam dari sebelum hari pernikahan hingga kami membawamu ke rumah sakit. Kamu sadar, hanya saja kamu tidak ingat apapun," sendu begitu kental di wajah Adhinatha. "Apa maksud papa, bukankah Eriska istrinya Bagas, bagaimana bisa Erisk
Di kamar rias, Bagas melihat Eriska yang sudah duduk dengan cantik. Kebaya khas pengantin sudah memeluk tubuhnya, usia kandungannya belum terlihat jadi, bentuk tubuhnya masih sangat bagus. Namun, anehnya Adam masih memakai kemeja dan celana jeans, bahkan jika dibandingkan dengan Bagas penampilan Adam kalah telak. "Kalian pasangan pengantin, tapi kenapa lo belum siap-siap?" tanya Bagas pada Adam. Adam tersenyum tipis, dia berjalan menghampiri Bagas. "Kenapa harus siap-siap? Emangnya gue mau nikah?" Bagas mengerutkan kedua alisnya. "Maksud lo? Hari ini kan ...." Adam menyela, "Hari ini pernikahan kalian." Senyum tulus berhasil diukir Adam setelah berlatih semalaman. Dia sudah merelakan Eriska kembali pada Bagas karena dia pikir bayi dalam perut Eriska lebih menginginkan ayah bioogisnya dari pada ayah asuh. "Hei, lo nggak usah ngerjain gue, gue ... gue berusaha ikhlas-nggak, ralat. Gue ikhlas," kata Bagas dibuat kuat."Hahahaha!" Adam tertawa lepas, "nggak ada waktu lagi, cepet siap