Salwa terpaku di tempat, menyadari seseorang yang sejak semalam ia rawat ternyata pemilik vila itu. Sedikit malu ia menoleh, menerbitkan senyum sungkan."Maaf, saya tidak tahu sebelumnya. Asisten Lie tidak memberi tahu saya. Kalau begitu, saya permisi."Hampir saja Salwa melangkah keluar, menyeret kakinya gugup, tetapi lelaki itu masih menahannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya tak juga pergi dari ruangan itu."Aku dengar dari Asisten Lie jika kau menjalani serangkaian terapi kejiwaan di sini. Sebenarnya apa yang membuatmu mengalami trauma hingga seperti itu?""Sa-sa-ya ... sa-sa-ya ...." Salwa tak sanggup menjawab pertanyaan Yang Pohan. Pertanyaan itu menjebaknya pada kenangan pahit yang menyedihkan.Wajah Salwa mendadak pucat, mengingat kembali peristiwa yang membuatnya membenci dunia, tak lagi berani membayangkan masa depan. Kejadian yang teramat sangat kejam baginya yang sempat memupuskan harapan dia bahwa di dunia masih ada harapan untuk hidup bahagia. Dia tak in
"Jadi, kau adalah pekerja dari Indonesia?" Yang Pohan berdiri di belakang Salwa yang sedang menyirami tanaman-tanaman itu.Salwa mengangguk, "Iya, Tuan." Hanya itu yang sejak tadi Salwa katakan, "iya, iya, dan iya". Perempuan itu seolah membatasi diri meski Yang Pohan tidak bersikap layaknya seorang majikan kepadanya."Kau kabur dari majikanmu? Dia menyiksamu?" Yang Pohan menerka lagi, membuat perempuan yang menggulung lengannya sebatas siku itu menoleh.Salwa menatap wajah yang sedang diterpa sinar jingga mentari sore, menyemburkan warna keemasan di wajah oriental lelaki itu. Dia menampilkan raut menyesal, tetapi tidak tahu harus berbuat apa."Saya tidak bisa pulang karena semua surat-surat berharga saya terkait perizinan masih tertinggal di sana. Maafkan saya.""Apakah kau ingin kembali, atau bekerja bersamaku?"Kucuran air di selang itu berhenti menyirami dedaunan, ranting, dan kelopak bunga yang sedang bermekaran. Perkataan Yang Pohan cukup membuatnya bingung sehingga tubuh Salwa y
Ruangan yang sunyi hampir tanpa pencahayaan itu kini terlibat sebuah perbincangan serius. Yang Pohan memindai daftar nama yang tertera di kertas yang ia pegang, memeriksanya dengan mengandalkan lampu baca yang terletak di atas meja ruang kerjanya.Asisten Lie menunduk, berdiri dengan tegap tepat di depan meja Yang Pohan, tak menyela ataupun sekadar bertanya sebelum sang atasan memintanya."Aku ingin Salwa dipindahkan ke kediamanku. Aku ingin dia bekerja di sana."Asisten Lie mengangguk mengiakan. Namun, ada hal yang membuat lelaki itu sedikit bingung dengan keputusan Yang Pohan. "Apakah Tuan yakin jika Nona Salwa tidak histeris lagi. Dia belum menjalani perawatan lengkap untuk kondisi kejiwaannya."Yang Pohan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi putar yang sedang ia duduki, menekuk kedua tangan ke depan, lantas menyatukan jemarinya menyentuh bawah dagu. "Aku akan mengurusnya. Kau tidak perlu khawatir.""Perkembangan terbaru, Sean Arthur selamat dari kecelakaan itu. Artinya dua or
Mungkin Salwa sudah menyadari perilaku Sean yang bengis itu. Sejak awal bertemu, lelaki itu sudah menyeramkan, menghajar seseorang tanpa ampun meskipun lawannya tidak bisa berkutik lagi. Namun, ia tidak menyangka jika salah satu korban Sean adalah seseorang yang telah menolong kehidupannya."Kau tidak percaya, bukan?" Yang Pohan tersenyum miris, mengira Salwa ragu akan perkataannya. "Semua orang yang melihat pasti tidak akan menyangka jika seorang Sean Arthur adalah manusia kejam yang tidak berperikemanusiaan. Dia bisa dengan mudah melenyapkan nyawa orang lain yang menurutnya mengganggu tujuannya.""Tuan!" Salwa menyela dengan nada lirih, menghentikan perkataan Yang Pohan yang menjelek-jelekkan nama suaminya. Meski mungkin apa yang lelaki itu katakan benar adanya, tetapi Salwa tidak suka jika ada orang lain menghina Sean seperti itu. "Saya turut berduka cita atas kematian ayah Tuan. Maafkan saya.""Bukan salahmu. Dunia ini kejam, Salwa. Kau akan disegani jika kau adalah orang yang kuat
Salwa cukup panik menyadari ketiga orang itu membuntutinya. Ada rasa takut yang menyelimuti diri, apabila dirinya tertangkap dan disekap lagi. Mungkin kejadian sebelumnya dia masih beruntung karena selamat, tetapi ia tidak bisa membayangkan jika kejadian yang sama terulang lagi. Apakah dia masih bisa bernapas dan tidak akan bertemu keluarganya lagi?Sambil berjalan setengah berlari, Salwa merangsek para pejalan kaki, mendahului mereka dengan beberapa kali menoleh ke belakang, berharap ketiga orang itu kehilangan jejaknya. Karena tidak terlalu fokus di area depan, ia tak sengaja menabrak tubuh seseorang."Maaf, Tuan." Salwa membungku dan menunduk, memohon agar seseorang yang ia tabrak tidak memperpanjang masalah."Hai, ada apa? Mengapa kau berlari-larian?" Suara itu terdengar jelas di telinga Salwa. Suara yang sangat ia kenal tiba-tiba menegurnya.Di tengah hiruk pikuk kota, berseliweran orang-orang yang sedang berjalan kaki di pedestrian untuk menuju halte atau hanya sekadar menikmati
"Awasi dia!" Sean berbicara melalui sambungan earpiece-nya, memastikan anak buahnya yang berpencar itu untuk tetap fokus menemukan Salwa.Memilih masuk kembali ke mobil, Sean tak ingin kedatangannya diketahui Yang Pohan. Dia sedang tak ingin berkelahi. Tujuanya hanya mendapatkan Salwa kembali.Seperti apa yang dikatakan oleh Tuan Yang, Asisten Lie dengan cepat berada di area pusat perbelanjaan, menjemput Salwa untuk mengantarkan perempuan itu ke kediaman Yang Pohan. Salwa segera masuk ke dalam mobil setelah Asisten Lie membukakan pintu lebar-lebar di bagian kabin penumpang untuknya."Terima kasih," ucap Salwa tulus.Asisten Lie hanya mengangguk, lantas menyuruh sang sopir mulai melajukan mobil setelah dirinya kembali masuk duduk di bagian depan. Matanya menatap kondisi jalanan yang rumpang akan kendaraan berlalu-lalang, menyelip di antara kendaraan-kendaraan lain, seolah sedang dikejar waktu. Informasi yang Asisten Lie dapatkan dari Yang Pohan di saat menghubunginya memberinya inisia
"Aku tahu jika kau tidak bahagia." Yang Pohan mendekat lagi ke arah Salwa, masih mencoba menaklukkan wanita yang menurutnya terlalu jual mahal itu. "Aku bisa membahagiakanmu, memberimu uang sampai kau bingung untuk menghabiskannya. Jadi, tinggalkan dia!"Apa yang dikatakan Yang Pohan benar adanya. Salwa memang tidak bahagia. Setelah menikah, setiap hari adalah penderitaan baginya. Perkataan Sean yang selalu menyebut dirinya hanya sebuah properti yang tak memiliki hak, wanita dari kasta rendah yang tak boleh berharap lebih membuatnya selalu menahan rasa sakit di hati. Apalagi setelah kejadian kecelakaan itu terjadi, mendengar kenyataan bahwa Sean tidak pernah keneratan berbagi wanita kepada laki-laki lain cukup membuat Salwa tak bisa menolerir sikap suaminya itu. Sean benar-benar menganggapnya sebagai sebuah barang. Barang tak berharga yang bisa dipinjamkan kepada orang lain yang menginginkan. Akan tetapi, kenangan saat itu di mana ketika mereka bersama, Sean sempat menyatakan perasaa
Sebuah lapangan tembak menjadi tujuan utama Yang Pohan kali ini. Tempat yang biasa digunakan untuk latihan para pengawalnya telah berada di depan mata. Salwa menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat betapa luas dan indahnya tempat itu. Rumput hijau terbentang luas bak permadani sejauh mata memandang, tumbuh subur dan rapi meski bukan bunga bermekaran yang ditampilkan.Yang Pohan menepuk bahu Salwa, sedikit meremasnya, membuat perempuan itu menoleh kepadanya. "Kita bisa memulainya sekarang."Pria yang mengenakan hoodie abu-abu itu tampak menawan. Kulit putihnya diterpa sinar matahari, membuatnya sedikit kemerahan, tetapi tak bisa melunturkan wajah tampannya itu. Lengannya menuntun Salwa menuju ke lokasi, di mana pelatihan sebagai sniper pemula akan dimulai.Salwa hanya menurut ketika lelaki itu memasangkan perlengkapan latihan. Sebuah earphone, kacamata, dan jaket khusus telah dipasangkan oleh Yang Pohan. Sebuah senapan laras panjang yang lumayan berat diambil dari gudang senjata. Pengaw