Mungkin Salwa sudah menyadari perilaku Sean yang bengis itu. Sejak awal bertemu, lelaki itu sudah menyeramkan, menghajar seseorang tanpa ampun meskipun lawannya tidak bisa berkutik lagi. Namun, ia tidak menyangka jika salah satu korban Sean adalah seseorang yang telah menolong kehidupannya."Kau tidak percaya, bukan?" Yang Pohan tersenyum miris, mengira Salwa ragu akan perkataannya. "Semua orang yang melihat pasti tidak akan menyangka jika seorang Sean Arthur adalah manusia kejam yang tidak berperikemanusiaan. Dia bisa dengan mudah melenyapkan nyawa orang lain yang menurutnya mengganggu tujuannya.""Tuan!" Salwa menyela dengan nada lirih, menghentikan perkataan Yang Pohan yang menjelek-jelekkan nama suaminya. Meski mungkin apa yang lelaki itu katakan benar adanya, tetapi Salwa tidak suka jika ada orang lain menghina Sean seperti itu. "Saya turut berduka cita atas kematian ayah Tuan. Maafkan saya.""Bukan salahmu. Dunia ini kejam, Salwa. Kau akan disegani jika kau adalah orang yang kuat
Salwa cukup panik menyadari ketiga orang itu membuntutinya. Ada rasa takut yang menyelimuti diri, apabila dirinya tertangkap dan disekap lagi. Mungkin kejadian sebelumnya dia masih beruntung karena selamat, tetapi ia tidak bisa membayangkan jika kejadian yang sama terulang lagi. Apakah dia masih bisa bernapas dan tidak akan bertemu keluarganya lagi?Sambil berjalan setengah berlari, Salwa merangsek para pejalan kaki, mendahului mereka dengan beberapa kali menoleh ke belakang, berharap ketiga orang itu kehilangan jejaknya. Karena tidak terlalu fokus di area depan, ia tak sengaja menabrak tubuh seseorang."Maaf, Tuan." Salwa membungku dan menunduk, memohon agar seseorang yang ia tabrak tidak memperpanjang masalah."Hai, ada apa? Mengapa kau berlari-larian?" Suara itu terdengar jelas di telinga Salwa. Suara yang sangat ia kenal tiba-tiba menegurnya.Di tengah hiruk pikuk kota, berseliweran orang-orang yang sedang berjalan kaki di pedestrian untuk menuju halte atau hanya sekadar menikmati
"Awasi dia!" Sean berbicara melalui sambungan earpiece-nya, memastikan anak buahnya yang berpencar itu untuk tetap fokus menemukan Salwa.Memilih masuk kembali ke mobil, Sean tak ingin kedatangannya diketahui Yang Pohan. Dia sedang tak ingin berkelahi. Tujuanya hanya mendapatkan Salwa kembali.Seperti apa yang dikatakan oleh Tuan Yang, Asisten Lie dengan cepat berada di area pusat perbelanjaan, menjemput Salwa untuk mengantarkan perempuan itu ke kediaman Yang Pohan. Salwa segera masuk ke dalam mobil setelah Asisten Lie membukakan pintu lebar-lebar di bagian kabin penumpang untuknya."Terima kasih," ucap Salwa tulus.Asisten Lie hanya mengangguk, lantas menyuruh sang sopir mulai melajukan mobil setelah dirinya kembali masuk duduk di bagian depan. Matanya menatap kondisi jalanan yang rumpang akan kendaraan berlalu-lalang, menyelip di antara kendaraan-kendaraan lain, seolah sedang dikejar waktu. Informasi yang Asisten Lie dapatkan dari Yang Pohan di saat menghubunginya memberinya inisia
"Aku tahu jika kau tidak bahagia." Yang Pohan mendekat lagi ke arah Salwa, masih mencoba menaklukkan wanita yang menurutnya terlalu jual mahal itu. "Aku bisa membahagiakanmu, memberimu uang sampai kau bingung untuk menghabiskannya. Jadi, tinggalkan dia!"Apa yang dikatakan Yang Pohan benar adanya. Salwa memang tidak bahagia. Setelah menikah, setiap hari adalah penderitaan baginya. Perkataan Sean yang selalu menyebut dirinya hanya sebuah properti yang tak memiliki hak, wanita dari kasta rendah yang tak boleh berharap lebih membuatnya selalu menahan rasa sakit di hati. Apalagi setelah kejadian kecelakaan itu terjadi, mendengar kenyataan bahwa Sean tidak pernah keneratan berbagi wanita kepada laki-laki lain cukup membuat Salwa tak bisa menolerir sikap suaminya itu. Sean benar-benar menganggapnya sebagai sebuah barang. Barang tak berharga yang bisa dipinjamkan kepada orang lain yang menginginkan. Akan tetapi, kenangan saat itu di mana ketika mereka bersama, Sean sempat menyatakan perasaa
Sebuah lapangan tembak menjadi tujuan utama Yang Pohan kali ini. Tempat yang biasa digunakan untuk latihan para pengawalnya telah berada di depan mata. Salwa menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat betapa luas dan indahnya tempat itu. Rumput hijau terbentang luas bak permadani sejauh mata memandang, tumbuh subur dan rapi meski bukan bunga bermekaran yang ditampilkan.Yang Pohan menepuk bahu Salwa, sedikit meremasnya, membuat perempuan itu menoleh kepadanya. "Kita bisa memulainya sekarang."Pria yang mengenakan hoodie abu-abu itu tampak menawan. Kulit putihnya diterpa sinar matahari, membuatnya sedikit kemerahan, tetapi tak bisa melunturkan wajah tampannya itu. Lengannya menuntun Salwa menuju ke lokasi, di mana pelatihan sebagai sniper pemula akan dimulai.Salwa hanya menurut ketika lelaki itu memasangkan perlengkapan latihan. Sebuah earphone, kacamata, dan jaket khusus telah dipasangkan oleh Yang Pohan. Sebuah senapan laras panjang yang lumayan berat diambil dari gudang senjata. Pengaw
Ruangan itu mendadak terang benderang setelah benda bulat kecil itu menggelinding dan berhenti tepat di kaki Sean Arthur. Sean menggertakkan giginya, merasa terperdaya oleh Yang Pohan. Laki-laki itu benar-benar licik."Selamat datang di istanaku, Tuan Sean Arthur. Senang sekali aku bisa menyambutmu. Kau terlalu tiba-tiba datang, sehingga aku belum sempat membuat jamuan untuk menyambut kedatangamu."Sean mengembuskan napas kasar. Pria di depannya itu adalah pria yang pandai bersilat lidah. Dia mampu menjungkirbalikkan fakta yang ada hanya dengan mulutnya. Mulutnya penuh bisa yang mampu menghancurkan orang hanya dengan ucapannya. Parasnya yang rupawan dan seperti pria lemah lembut, justru digunakan untuk menamengi kebusukannya.Seperti sebuah filosofi alam. Semakin indah suatu makhluk maka semakin berbahayalah dia. Apa yang dipandang baik dengan kasat mata ternyata tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka bisa menjadi sesuatu yang paling menakutkan dan paling jahat di luar ekspektas
"Tu-an ...." Tangan Salwa terulur perlahan, menyentuh rahang yang ditumbuhi rambut-rambut kecil, mengusapnya hati-hati.Sean menangkap tangan itu, tak membiarkan tangan itu terjatuh, membawanya pada bibirnya untuk dikecup beberapa kali. Rasa menyesal semakin mendera dirinya setelah menatap memar di pipi Salwa akibat tamparannya. "Kenapa harus seperti ini?"Berniat membawa Salwa pergi dari tempat itu, Sean membenarkan pakaian Salwa terlebih dulu, mengancingkannya piyama yang sempat ia lepaskan secara paksa. Perempuan yang sudah menguasai hatinya tanpa ia sadari sekarang sedang menahan sakit dengan darah yang tak kunjung berhenti. Mencoba tetap tenang meski rasa panik itu kian menjadi-jadi, takut jika Salwa tak bisa bertahan membuat Sean mempercepat langkahnya ketika menggendong tubuh Salwa. Para anak buah sudah bersiap diri, membantu atasannya untuk keluar dari rumah besar Yang Pohan.***"Cepat! Tabrak saja mereka semua!"Sean membentak anak buahnya yang sedang menyetir mobil, mengen
Ruangan itu terlihat porak-poranda, berserakan barang-barang yang sudah tercecer dan terpecah belah. Semua orang hanya bisa menunduk, tak berani sedikit pun melihat apa yang terjadi di depan mata."Bagaimana Sean Arthur bisa lolos? Ke mana kalian saat itu?"Hening. Hanya suara Yang Pohan saja yang terdengar karena semua orang tampak menunduk tak berani menjawab. Salah satu di antara mereka ditemukan tewas terbunuh dengan dada tertusuk pisau. Dari rekaman kamera pengawas, Sean membawa Salwa dalam gendongannya. Perempuan itu tampak sedang terluka jika dilihat dari banyaknya darah yang tercecer di lantai.Apa yang sebenarnya terjadi?Apakah Sean telah tega melukai Salwa?Yang Pohan semakin kesal memikirkan itu semua. Dia tidak terima jika Salwa harus kembali ke tangan Sean. Apalagi perempuan itu sedang dalam kondisi terluka.Ia merasa dipermalukan jika sampai kehilangan Salwa. Salwa berada dalam wilayah kekuasannya, rumahnya sendiri. Akan tetapi, Sean Arthur tetap bisa membawanya paksa.
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan