Angga tidak menyangka pekerjaan membuat rujak lebih sulit dari pada memeriksa laporan keuangan perusahaan. Padahal dia sudah dibantu oleh Bibi yang sudah berpengalaman membuat berbagai makanan sejak dia masih kecil, termasuk rujak yang diinginkan Dina ini.
“Ngupas buahnya jangan terlalu tipis atau tebal, Tuan, harus pas.” Dan Angga tentu saja kesulitan mengartikan kupasan buah yang pas itu bagaimana selama ini dia hanya tahu buah yang sudah dipotong dan tertata rapi di atas piring, dan dengan senang hati akan dia masukkan ke dalam mulutnya.Siapa yang menyangka prosesnya akan seribet ini.“Apa bibi nggak punya pisau khusus, agar ketebalan kupasannya sama di semua tempat.”Bibi hanya bisa memandang Angga dengan bengong, dia tidak pernah tahu ada pisau khusus untuk mengupas mangga muda, setahunya asal pisaunya bersih dan tajam bisa untuk mengupas mangga.“Nggak ada, Tuan, bibi biasanya juga pakai pisau itu, biar bibi kupaskan saja kalau begitu,” tawar Bibi yKepindahan Dina dari rumah yang dia tempati sejak menikah dengan Angga memang hanya diketahui beberapa orang saja. Angga memang sengaja merahasiakannya, untuk mencegah adanya scandal yang akan terjadi. Bukan tak mungkin kalau itu sampai tersebar akan sangat mengganggu Dina dan anak-anaknya. Orang kadang tak peduli dengan perasaan orang lain yang penting apa yang dia inginkan dapat tercapai. “Om...” Dina sedikit terkejut setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya. Dina memandang para pengawal yang berjaga di halaman, mereka mengijinkannya masuk? “Apa om tidak boleh masuk?” tanya sang tamu lagi. Dina tersenyum tak enak hati dan mempersilahkan dua orang itu masuk. “Silahkan duduk, om dan tante?” kata Dina sedikit ragu dengan panggilan yang dia berikan, terutama pada wanita yang datang bersama laki-laki yang dipanggilnya om itu. Sekilas Dina menoleh pada Angga yang terlihat tersenyum ramah pada mereka, apa suaminya itu sudah tahu akan a
Dalam perjalanan ke rumah sang mama untuk peringatan keatian Keira, Dina menceritakan semuanya pada Angga, tentang dia yang sudah memberitahukan keputusannya pada sang paman dan juga alasan sang paman untuk mendesaknya. “Kurasa itu hal yang wajar, Om Hendra bisa saja menguasai semuanya, tapi dia malah mau repot-repot mencarimu, bukankah itu artinya dia memang benar-benar menyayangimu.” “Yah, bagaimanapun aku senang ternyata aku masih memiliki keluarga.” “Aku dan anak-anak juga keluargamu kalau kamu lupa,” jawab Angga tak terima. Dina memutar bola matanya malas. “Mkasudku keluarga kandungku, aku yang hamil kenapa kamu yang sensitif.” “Wajarkan yang di dalam perutmu itu anakku.” “Sok tahu.” “Bukan sok tahu memang tahu, aku bisa merasakannya, lagi pula harga dirimu terlalu tinggi kalau harus berselingkuh.” Dina memalingkan muka, memang benar yang Angga katakan tapi dia enggan untuk mengakui. Dina sudah bosan untuk mengemis perhatian dari suaminy
“Menjadi figur orang tua yang lengkap.”Dina dan Angga berpandangan sama-sama tak mengerti dengan maksud laki-laki di depannya ini. dalam hati mereka was-was juga, keluarga Hartono kadang memiliki pemikiran di luar nalar yang berpotensi membuat pusing kepala. “Apa maksudmu bukankah tadi kamu bilang akan mengadopsinya?”Anton terlihat salah tingkah, dia mengetuk-ngetuk permukaan meja di depannya dengan pelan, mungkin itu caranya untuk mendapatkan kembali ketenangannya. “Aku laki-laki lajang yang belum pernah menikah apalagi memiliki anak.” Dia terdiam sejenak mengamati kedua orang di depannya. “Aku tidak mau anak itu dibesarkan oleh pengasuh, aku akan merawatnya sendiri seperti anak kandungku, mungkin itu bisa menebus kesalahanku pada Steven dan anak itu.” “Apa kamu masih mencintai Keira?” tanya Angga tiba-tiba. Dina sempat mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaan Angga. “Kenapa? Apa Om tidak terima?” Anton tersenyum usil pada Angga. Angga be
Waktu sepertinya berlari dengan sangat cepat, dua bulan sudah sejak kematia Keira, usia kandungan Dina juga sudah memasuki trisemester ke dua, tapi wanita itu masih begitu lincah untuk melakukan semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melupakan perannya sebagai seorang istri dan ibu dari ketiga anaknya. Begitu juga hubungannya dengan Angga yang sudah memiliki banyak kemajuan, yah setidaknya mereka bisa tinggal bersama layaknya suami istri pada umumnya. Tepat satu bulan setelah meninggalnya Keira memang Angga sakit, laki-laki itu tiba-tiba pingsan setelah memimpin sebuah meeting, Bara yang saat ini mendampinginya sigap membawanya ke rumah sakit terdekat dan menguhubungi Dina yang langsung datang dengan wajah penuh kekhawatiran. Ternyata Angga hanya kelelahan dan banyak beban pikiran, aplagi usia Angga yang tidak bisa dikatakan muda. Dina yang mendengar itu merasa sangat bersalah, dia merasa Angga terlalu lelah karena harus bolak-balik pagi dan malam dari
Seiring dengan Angga yang tinggal lagi bersama dengan Dina, kebiasaan Bara yang menumpang makan di rumah keluarga itu juga kembali lagi. Meski suka seenaknya, Bara masih punya aturan saat Angga tak tinggal bersama Dina dia tidak pernah menumpang makan lagi, dia tak ingin menimbulkan masalah baru untuk Dina. Sudah cukup pengakuannya mengejutkan Angga dan membuat kakak angkatnya itu marah. Dia bukan orang pengecut yang akan memanfaatkan keadaan. “Selamat malam.” Angga memang akhir-akhir ini lebih memilih membawa pekerjaannya ke rumah dan pulang lebih awal, hal itu juga berimbas pada Bara yang juga bisa pulang di saat matahari masih mengintip malu-malu sebelum digantikan oleh bulan. “Kami tidak buka rumah makan, kenapa kamu selalu saja ke sini saat jam makan malam.” Angga menatap Bara dengan pandangan tak suka yang tak dia tutupi, tapi namanya juga Bara, kalau hanya pelototan mata Angga saja tak mempan untuknya. “Halo, Mas, itu karena aku menyayangimu,” ja
Dina memandang iba pada Hera yang hanya bisa menatap punggung Bara dengan sendu, laki-laki itu bahkan tak ada keinginan untuk menyapa wanita yang pernah merawatnya dengan sepenuh hati. Dina memang menyayangi Bara, tapi dia tak mungkin diam saja melihat ini semua, Hera juga sangat baik padanya tak mungkin Dina membiarkan semuanya begitu saja. Dia khatam dengan rasa sakit saat cinta hanya bertepuk sebelah tangan saja.“Kamu benar-benar menyukainya, ya.” Dina menepuk pelan bahu Hera. “Nyonya, ehm... maaf.” Dina bisa melihat harapan dan keputusasaan dari wajah gadis yang sehari-hari bertugas menjaganya itu. Hera memang bukan wanita yang ceria seperti gadis-gadis lain seumurannya, dia cenderung pendiam dan tertutup, mungkin karena latar belakang pekerjaannya membentuk kepribadiannya menjadi seperti itu. “Kenapa kamu minta maaf? Cinta itu anugerah, kita tak bisa menggendalikan hati kita akan jatuh pada siapa.”“Tetap saja saya merasa tak enak sudah memilik
Dina begitu terkejut saat Angga meneleponnya dan mengatakan kalau Hera dan Bara terjebak dalam lift. Tapi Angga juga meyakinkannya kalau mereka berdua baik-baik saja, dan sedang berada di klinik untuk diperiksa dokter perusahaan sejanak, meski mereka ngotot kalau semuanya baik-baik saja. “Jadi sekarang mereka masih di klinik?” tanya Dina dari seberang sana. “Iya, dokter tadi menghubungiku sepertinya tangan Hera sedikit memar karena benturan, tapi selebihnya mereka baik-baik saja.” Angga bisa mendengar helaan napas lega istrinya di ujung sana. “Sebenarnya ini bagus juga, mereka bisa semakin dekat seperti rencanamu, meski dengan sebuah insiden,” Angga berkata antara geli dan miris. “Kamu sepertinya tidak tulus membantu mereka?” tembak Dina langsung. “Ckk bukannya tidak tulus, tapi aku tak pernah berpikir akan ikut menjadi jembatan hubungan pribadi Bara.” “Apa salahnya?” “Nggak ada, cuma kesannya aku kurang kerjaan saja,” jawab Angga kalem.
"Siapa?" tanya Dina penasaran.Tapi Angga masih diam terpaku di depan pintu.Dina hanya bisa menatap mereka bergantian."Mas, siapa mereka," kata Dina lagi dengan menggoyangkan lengan suaminya.Angga menghela napas dan menatap istrinya dengan pandangan tak terbaca."Dia orang tua Vanya," jawab Angga lirih.Kalau jawaban itu mengejutkan Dina, wanita itu tak menampakkannya, dia menatap sang suami dengan tajam mengharap penjelasan, tapi Angga hanya menggeleng.Membuat Dina kecewa. Rumah yang sekarang mereka tinggali bukan rumah keluarga Wicaksana, atau rumah mewah tempat Angga bisa mengundang rekan-rekannya, memang kadang ada juga rekan yang datang berkunjung, seperti Anton dan Hendra, tapi itu juga Dina tahu apa alasan mereka datang. Tapi kali ini Dina benar-benar buta. Masih terlalu pagi memang untuk menduga yang macam-macam, pengalaman mengajarkan Dina untuk tidak langsung mengambil kesimpulan, Dina hanya menatap dua orang yang berjalan kearahnya itu
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda