Seiring dengan Angga yang tinggal lagi bersama dengan Dina, kebiasaan Bara yang menumpang makan di rumah keluarga itu juga kembali lagi.
Meski suka seenaknya, Bara masih punya aturan saat Angga tak tinggal bersama Dina dia tidak pernah menumpang makan lagi, dia tak ingin menimbulkan masalah baru untuk Dina. Sudah cukup pengakuannya mengejutkan Angga dan membuat kakak angkatnya itu marah.Dia bukan orang pengecut yang akan memanfaatkan keadaan.“Selamat malam.”Angga memang akhir-akhir ini lebih memilih membawa pekerjaannya ke rumah dan pulang lebih awal, hal itu juga berimbas pada Bara yang juga bisa pulang di saat matahari masih mengintip malu-malu sebelum digantikan oleh bulan.“Kami tidak buka rumah makan, kenapa kamu selalu saja ke sini saat jam makan malam.” Angga menatap Bara dengan pandangan tak suka yang tak dia tutupi, tapi namanya juga Bara, kalau hanya pelototan mata Angga saja tak mempan untuknya.“Halo, Mas, itu karena aku menyayangimu,” jaDina memandang iba pada Hera yang hanya bisa menatap punggung Bara dengan sendu, laki-laki itu bahkan tak ada keinginan untuk menyapa wanita yang pernah merawatnya dengan sepenuh hati. Dina memang menyayangi Bara, tapi dia tak mungkin diam saja melihat ini semua, Hera juga sangat baik padanya tak mungkin Dina membiarkan semuanya begitu saja. Dia khatam dengan rasa sakit saat cinta hanya bertepuk sebelah tangan saja.“Kamu benar-benar menyukainya, ya.” Dina menepuk pelan bahu Hera. “Nyonya, ehm... maaf.” Dina bisa melihat harapan dan keputusasaan dari wajah gadis yang sehari-hari bertugas menjaganya itu. Hera memang bukan wanita yang ceria seperti gadis-gadis lain seumurannya, dia cenderung pendiam dan tertutup, mungkin karena latar belakang pekerjaannya membentuk kepribadiannya menjadi seperti itu. “Kenapa kamu minta maaf? Cinta itu anugerah, kita tak bisa menggendalikan hati kita akan jatuh pada siapa.”“Tetap saja saya merasa tak enak sudah memilik
Dina begitu terkejut saat Angga meneleponnya dan mengatakan kalau Hera dan Bara terjebak dalam lift. Tapi Angga juga meyakinkannya kalau mereka berdua baik-baik saja, dan sedang berada di klinik untuk diperiksa dokter perusahaan sejanak, meski mereka ngotot kalau semuanya baik-baik saja. “Jadi sekarang mereka masih di klinik?” tanya Dina dari seberang sana. “Iya, dokter tadi menghubungiku sepertinya tangan Hera sedikit memar karena benturan, tapi selebihnya mereka baik-baik saja.” Angga bisa mendengar helaan napas lega istrinya di ujung sana. “Sebenarnya ini bagus juga, mereka bisa semakin dekat seperti rencanamu, meski dengan sebuah insiden,” Angga berkata antara geli dan miris. “Kamu sepertinya tidak tulus membantu mereka?” tembak Dina langsung. “Ckk bukannya tidak tulus, tapi aku tak pernah berpikir akan ikut menjadi jembatan hubungan pribadi Bara.” “Apa salahnya?” “Nggak ada, cuma kesannya aku kurang kerjaan saja,” jawab Angga kalem.
"Siapa?" tanya Dina penasaran.Tapi Angga masih diam terpaku di depan pintu.Dina hanya bisa menatap mereka bergantian."Mas, siapa mereka," kata Dina lagi dengan menggoyangkan lengan suaminya.Angga menghela napas dan menatap istrinya dengan pandangan tak terbaca."Dia orang tua Vanya," jawab Angga lirih.Kalau jawaban itu mengejutkan Dina, wanita itu tak menampakkannya, dia menatap sang suami dengan tajam mengharap penjelasan, tapi Angga hanya menggeleng.Membuat Dina kecewa. Rumah yang sekarang mereka tinggali bukan rumah keluarga Wicaksana, atau rumah mewah tempat Angga bisa mengundang rekan-rekannya, memang kadang ada juga rekan yang datang berkunjung, seperti Anton dan Hendra, tapi itu juga Dina tahu apa alasan mereka datang. Tapi kali ini Dina benar-benar buta. Masih terlalu pagi memang untuk menduga yang macam-macam, pengalaman mengajarkan Dina untuk tidak langsung mengambil kesimpulan, Dina hanya menatap dua orang yang berjalan kearahnya itu
Dina mengira dengan keadaan Vanya yang masuk penjara semua masalah telah selesai, paling tidak dia tak lagi berurusan dengan wanita yang telah menjadi duri dalam daging di pernikahannya. Tapi ternyata Dina salah sangat salah, Vanya dan kemauan egoisnya, apalagi kedua orang tuanya yang mendukung semua keinginan anaknya. Jika menuruti kata hati ingin sekali Dina memaki kedua orang itu, mereka memang orang tua Vanya. Dan Dina sangat paham semua orang tua tidak akan tega melihat anaknya menderita, tapi bukan berarti dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain, tapi Dina masih cukup waras untuk tidak memaki mereka, bagaimanapun mereka keluarga yang berpengaruh dan sahabat lama keluarga suaminya. Bukan tidak mungkin keluarga Angga akan makin membencinya saat berita ini tersiar, bukannya Dina peduli dengan hal itu juga, tapi Dina tak ingin hal ini akan berimbas pada anak-anaknya nanti. “Jadi apa aku harus datang?” tanya Angga memecah lamunan Dina. “Itu terserah pa
Mengunjungi sosok teman yang sedang kesusahan, mungkin akan terasa wajar bagi Angga, baik itu teman laki-laki maupun wanita, tapi apakah masih bisa dikatakan wajar andai teman yang dia sayang dan dianggap mengerti dirinya, berusaha merenggut kebahagiaannya. Jawaban orang normal tentu saja tidak, kebanyakan orang lebih memilih menghindar, supaya tidak mengakibatkan masalah yang lain lagi. Tapi Angga berpikiran berbeda, bukan karena dia masih sangat peduli pada Vanya seperti dulu, yang bahkan mengesampingkan urusan keluarganya, Angga hanya ingin menegaskan sekali lagi pada wanita itu, bahwa hubungan mereka tidak lagi seperti dulu. Dari pintu masuk Angga bisa melihat Vanya terbaring di sebuah ranjang kecil di tengah ruangan, sebuah jarum infus menancap di tangannya. Setahu Angga Vanya jarang sakit dan dia juga takut dengan jarum suntik. Jadi bisa dimengerti kalau orang tua Vanya melakukan berbagai cara untuk menuruti semua kemauan Vanya. Tapi Angga juga punya cara
Dina sudah menduga dari awal kalau rumah yang ditempati pamannya pasti bukan rumah sederhana seperti yang saat ini dia tempati bersama Angga. Tapi tetap saja Dina hanya bisa berdecak kagum menyaksikan rumah mewah yang hampir sama besarnya dengan rumah mertuanya itu. apalagi bagian depan rumah terdapat taman yang indah dengan beraneka macam bunga yang bermekaran, rasanya Dina seperti sedang berwisata ke taman bunga. “Kalau kamu mau kita juga bisa membuat taman seperti itu,” Angga berkata lirih sambil memandang istrinya yang masih begitu terpesona dengan taman di rumah ini. “Aku sama sekali tidak ahli dalam hal tanam menanam,” protes Dina. Dina dan tanaman memang belum pernah berkawan baik, dia berkali-kali pernah mencoba menanam berbagai macam bunga dan sayuran di rumah yang dulu dia tempati dengan Angga, tapi meski Dina sudah merawatnya dengan baik, menyiramnya sesuai dengan anjuran ahli tanaman yang dia temui dan juga memberikan pupuk yang sesuai, nyatanya mere
“Benarkah anda membuangku, apa aku begitu tak berarti untuk anda?” tanya Dina lemah, tapi mampu membuat hati yang mendengarnya teriris. Laki-laki itu hanya diam kepalanya makin menunduk dalam, wajahnya juga pias saat mendengar ucapan wanita yang dia yakini sebagai anak yang dulu dia telantarkan. Penyesalan menyergap dirinya membuatnya tak mampu bahkan untuk memandang wajah Dina. “Begitu, ternyata benar anda tak menginginkanku,” kata Dina pahit.“Bukan begitu, bagaimanapun kamu tetap putriku dan tentu saja aku menyayangimu, dulu ... aku memang khilaf dan sekarang aku menyesali semuanya,” laki-laki itu berkata dengan parau. Tenggorokannya seolah dicekik oleh tangan tak kasat mata yang membuatnya kesulitan untuk bernapas. “Terima kasih.” Semua orang hanya bisa memandnag Dina heran, kenapa wanita itu malah mengucapkan terima kasih dan untuk apa? apa itu hanya bentuk sindiran untuk laki-laki yang mengaku ayahnya. Semua orang memilih diam membisu menanti kata-
Mahendra kembali menatap Dina. “Dan sampai sekarang istrinya itu tak mampu memberinya seorang anak, mungkin ini karma karena dia menelantarkan anak kandungnya,” kata Mahendra dengan sinis. “Pah!” tegur sang istri pelan, menghentikan suaminya untuk mengumpati mantan kakak iparnya itu. “Maaf sampai sekarang aku belum bisa memaafkan ayahmu, Din, aku belum bisa sembuh dari kehilangan ibumu,” katanya muram. Dina hanya tersenyum lembut, dia mengerti kalau sang paman hanya terlalu mencintai ibunya dan sangat marah saat ada orang yang menyakitinya. Betapa indahnya persaudaraan mereka. Andai ayahnya tidak memiliki wanita lain apa sekarang dia akan punya beberapa saudara? Dina segera menepis pemikiran itu, sebanyak apapun dia mengumpulkan kata andai, tak akan dapat mengembalikan semua seperti semula, hal yang sekarang terpampang di depan matanya adalah kenyataan yang mau tak mau harus dia hadapi. “Jadi apa yang akan kita lakukan untuk merayakan hari ulang tahun