“Benarkah anda membuangku, apa aku begitu tak berarti untuk anda?” tanya Dina lemah, tapi mampu membuat hati yang mendengarnya teriris.
Laki-laki itu hanya diam kepalanya makin menunduk dalam, wajahnya juga pias saat mendengar ucapan wanita yang dia yakini sebagai anak yang dulu dia telantarkan. Penyesalan menyergap dirinya membuatnya tak mampu bahkan untuk memandang wajah Dina.“Begitu, ternyata benar anda tak menginginkanku,” kata Dina pahit.“Bukan begitu, bagaimanapun kamu tetap putriku dan tentu saja aku menyayangimu, dulu ... aku memang khilaf dan sekarang aku menyesali semuanya,” laki-laki itu berkata dengan parau. Tenggorokannya seolah dicekik oleh tangan tak kasat mata yang membuatnya kesulitan untuk bernapas.“Terima kasih.”Semua orang hanya bisa memandnag Dina heran, kenapa wanita itu malah mengucapkan terima kasih dan untuk apa? apa itu hanya bentuk sindiran untuk laki-laki yang mengaku ayahnya.Semua orang memilih diam membisu menanti kata-Mahendra kembali menatap Dina. “Dan sampai sekarang istrinya itu tak mampu memberinya seorang anak, mungkin ini karma karena dia menelantarkan anak kandungnya,” kata Mahendra dengan sinis. “Pah!” tegur sang istri pelan, menghentikan suaminya untuk mengumpati mantan kakak iparnya itu. “Maaf sampai sekarang aku belum bisa memaafkan ayahmu, Din, aku belum bisa sembuh dari kehilangan ibumu,” katanya muram. Dina hanya tersenyum lembut, dia mengerti kalau sang paman hanya terlalu mencintai ibunya dan sangat marah saat ada orang yang menyakitinya. Betapa indahnya persaudaraan mereka. Andai ayahnya tidak memiliki wanita lain apa sekarang dia akan punya beberapa saudara? Dina segera menepis pemikiran itu, sebanyak apapun dia mengumpulkan kata andai, tak akan dapat mengembalikan semua seperti semula, hal yang sekarang terpampang di depan matanya adalah kenyataan yang mau tak mau harus dia hadapi. “Jadi apa yang akan kita lakukan untuk merayakan hari ulang tahun
Entah mimpi apa Dina semalam, siang ini seorang wanita paruh baya menemuinya di kantor, tepatnya memaksa untuk bertemu Dina saat dia berencana akan makan siang dengan suaminya. “Siapa?” tanya Angga penasaran. Dina hanya mengangangkat bahu, jangankan kenal, bertemu saja masih satu kali ini saja. “Entahlah.” Dina melangkah menghampiri wanita itu. “Anda ingin bertemu saya?” tanya Dina sopan. Wanita itu terlihat salah tingkah menghadapi wajah tenang Dina, tapi hanya sesat, setelah itu Dina bisa melihat tekad yang kuat di mata wanita itu. “Aku Riyanti istri ayahmu,” Dina menyambut uluran tangan wanita itu dengan tenang, tak ada keterkejutan di wajahnya, dia sudah bisa menebak, kehadiran di rumah keluarga Wijaya tanpa kehadiran istrinya tentu akan membuat masalah. Tapi Dina tak menduga kalau wanita ini bernyali besar dengan mendatanginya langsung. “Oh.”Jika Wanita itu mengira Dina akan terkejut dan marah padanya, dia salah besar, Dina bersikap seolah tak peduli dengan keberadaan wani
Dina terkejut saat bibi memberitahukan kalau ada seorang laki-laki yang mencarinya. “Siapa, Bi?” tanya Dina yang keheranan. Bibi hampir mengenal semua teman laki-lakinya di kantor.“Bibi tidak tahu, Nya, dia hanya mengatakan ingin bertemua nyonya.”“Dimana dia?” “Masih di depan pintu gerbang, satpam belum mengijinkannya masuk. Dina yang saat itu sedang menyiapkan makan siang segera melepas apronnya dan mencuci tangan, entah siapa yang datang mencarinya. Dina memandang monitor cangngih yang terhubung dengan kamera pengawas di depan pagar dan terpaku di sana saat tahu siapa laki-laki yang mencarinya. “Ayah,” gumam Dina lirih. Dia tak tahu perasaan apa saat ini yang menyelimutinya, di kunjungi oleh ayah yang telah sekian lama ingin dia temui, tapi juga saat dia tahu ayahnya menyakiti ibunya sehebat itu. “Siapa, Din kata bibi ada tamu?” tegur Angga halus saat Dina hanya berdiri diam di depan monitor. “Ayah.” Satu kata itu s
Kedatngan Bara di jam makan bukan lagi hal yang aneh untuk Dina dan Angga, laki-laki itu sering membuat alasan rumahnya yang sepi membuatnya malas makan, lagi pula masakan assisten rumah tangganya tak seenak buatan Dina. Tapi kali ini Dina sangat bersyukur dengan kedatangan Bara, paling tidak laki-laki itu berhasil memecahkan kecanggungan yang tercipta. “Kupikir kamu tidak akan datang, Hera sedang cuti ayahnya sakit.” Meski hubungan Bara dan Hera terlihat jalan di tempat, tapi Dina tahu kalau Bara juga sangat perhatian pada Hera, meski dibungkus dengan sikap dingin yang kadang membuat Dina geram. Entah apa alasan Bara untuk tetap berdiri di tempat yang sama tanpa keinginan untuk melangkah bersama Hera, Dina belum bisa mengorek hal itu. Bara langsung bungkam saat Dina bertanya, dan itu membuat Dina tahu kalau dia sudah melanggar batas teritorinya. “Aku tidak kesini untuk bertemu Hera. Oh ada tamu maaf saya asisten pribadi Mas Angga.” Seolah baru sadar ada ora
“Pulang kerja nanti aku akan menjemputmu.” Angga menatap Dina yang sedang memberi sentuhan akhir di wajahnya, pagi ini sang istri terlihat segar, morning sickness yang dia rasakan akhir-akhir ini sudah jarang terjadi. “Kenapa?” tanya Dina heran, biasanya Angga akan menjemputnya sepulang kerja, karena ada kepentingan. “Hari ini jadwalmu kontrol ke dokter kandungan apa kamu lupa?” Ah! Benar Dina memang lupa. “Baiklah aku akan minta Pak Amin untuk tidak menungguku.” Sejak mereka ‘baikan’ Angga memang sangat perhatian padanya, Dina yang dulu saat hamil Ara hanya bisa memandang iri pada pasangan bahagia yang datang bersama penuh cinta, datang bersama memastikan buah hati mereka dalam keadaan baik-baik saja. Tapi kini dia bisa tersenyum lega, dia juga punya suami yang mendampinginya untuk periksa kehamilan, dipandangnya sang suami yang dengan telaten menuntunnya ke ruang praktek dokter bersalin, menjaganya agar tidak jatuh terpeleset, karena usia kandungan yang ki
Dina memang pernah mendengar kalau anak tiri ayahnya sakit jiwa dan harus dirawat di sebuah rumah sakit, tapi Dina juga tak pernah tahu dan juga tak mau tahu rumah sakit mana yang dimaksud. Angga melepaskan pelukananya pada Dina saat dirasa sudah aman dari orang-orang itu. “Apa kamu ingin melihat kesana?” Dina sedikit ragu tapi rasa penasarannyalah yang akhirnya menang, “Aku hanya ingin tahu saja.” Angga mengangguk mengerti, meski ditutupi Dina mulai penasaran dengan kehidupan ayahnya. Sebagai anak Dina juga pasti tak tega membiarkan sang ayah kesusahan, Dina yang Angga kenal memang wanita yang baik dan penuh kasih sayang. Wanita itu memberontak dengan keras, kadang dia tertawa sendiri tapi kadang dia juga menangis begitu memilukan. Dina menatap istri ayahnya yang menangis berusaha memeluk wanita gila itu, sedangkan ayahnya dan beberapa orang perawat berusaha memegangi tangannya. Dina menatap Angga seolah bertanya apa yang terjadi tapi Angga hanya diam saja,
Dina tak tahu kalau akhir-akhir ini rumah sederhana yang dia tempati bersama Angga menjadi tempat favorit orang-orang kaya itu untuk berkunjung. Padahal tak ada yang istimewa dengan rumah itu, angga hanya menambahkan beberapa kamar supaya semua orang bisa lebih nyaman, selebihnya rumah itu hanya rumah dengan halaman yang luas. Dan Dina tahu siapa pemilik mobil yang terparkir di halaman rumahnya itu, apalagi saat dia melihat laki-laki yang duduk di teras depan rumahnya itu. dan perasaan tak enak langsung menghinggapi hati Dina. "Ada perlu apa Om Darma kemari? aku kok tidak percaya kalau hanya sekedar kunjungan keluarga." "Dia bahkan tidak pernah menganggap aku keluarga setelah keinginannya aku tentang." "Mungkin dia sadar dan ingin minta maaf," jawab Dina tak yakin. "Kamu benar-benar berpendapat begitu?" Angga menatap Dina dengan tak percaya. "Nggak juga tapi siapa tahu, apa tidak sebaiknya kita turun." "Tentu, kita lihat apa yang dia inginkan."
Angga segera menghubungi Bara, pamannya bukan orang yang akan diam saja saat keinginannya tak terpenuhi, dan yang lebih membuat Angga penasaran adalah kenapa sang paman begitu ngotot untuk memintanya bekerja sama dengan perusahaan itu. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan hutang piutang lagi, mengingat hobi sang paman untuk berjudi sampai sekarang tak juga sembuh, mungkin ini alasan kakek dan ayahnya membuat surat perjanjian aneh supaya sang paman tak bisa mencairkan saham yang dia miliki hanya bisa mendapatkan pembagian keuntungan tiap bulan saja, meski itu jumlahnya juga sangat besar dan masih sangat cukup memenuhi kehidupan mewah pamannya. “Halo, Bar, apa kamu masih di kantor?” tanya Angga begitu Bara mengangkat panggilannya di ujung sana. “Iya, Mas, aku masih di kantor.” “Tolong bantu aku mencari informasi.” Angga menceritakan secara singkat tentang pamannya yang datang memintanya untuk menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan, Angga juga menceritakan ke