Dina memang pernah mendengar kalau anak tiri ayahnya sakit jiwa dan harus dirawat di sebuah rumah sakit, tapi Dina juga tak pernah tahu dan juga tak mau tahu rumah sakit mana yang dimaksud.
Angga melepaskan pelukananya pada Dina saat dirasa sudah aman dari orang-orang itu.“Apa kamu ingin melihat kesana?” Dina sedikit ragu tapi rasa penasarannyalah yang akhirnya menang,“Aku hanya ingin tahu saja.” Angga mengangguk mengerti, meski ditutupi Dina mulai penasaran dengan kehidupan ayahnya. Sebagai anak Dina juga pasti tak tega membiarkan sang ayah kesusahan, Dina yang Angga kenal memang wanita yang baik dan penuh kasih sayang.Wanita itu memberontak dengan keras, kadang dia tertawa sendiri tapi kadang dia juga menangis begitu memilukan. Dina menatap istri ayahnya yang menangis berusaha memeluk wanita gila itu, sedangkan ayahnya dan beberapa orang perawat berusaha memegangi tangannya.Dina menatap Angga seolah bertanya apa yang terjadi tapi Angga hanya diam saja,Dina tak tahu kalau akhir-akhir ini rumah sederhana yang dia tempati bersama Angga menjadi tempat favorit orang-orang kaya itu untuk berkunjung. Padahal tak ada yang istimewa dengan rumah itu, angga hanya menambahkan beberapa kamar supaya semua orang bisa lebih nyaman, selebihnya rumah itu hanya rumah dengan halaman yang luas. Dan Dina tahu siapa pemilik mobil yang terparkir di halaman rumahnya itu, apalagi saat dia melihat laki-laki yang duduk di teras depan rumahnya itu. dan perasaan tak enak langsung menghinggapi hati Dina. "Ada perlu apa Om Darma kemari? aku kok tidak percaya kalau hanya sekedar kunjungan keluarga." "Dia bahkan tidak pernah menganggap aku keluarga setelah keinginannya aku tentang." "Mungkin dia sadar dan ingin minta maaf," jawab Dina tak yakin. "Kamu benar-benar berpendapat begitu?" Angga menatap Dina dengan tak percaya. "Nggak juga tapi siapa tahu, apa tidak sebaiknya kita turun." "Tentu, kita lihat apa yang dia inginkan."
Angga segera menghubungi Bara, pamannya bukan orang yang akan diam saja saat keinginannya tak terpenuhi, dan yang lebih membuat Angga penasaran adalah kenapa sang paman begitu ngotot untuk memintanya bekerja sama dengan perusahaan itu. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan hutang piutang lagi, mengingat hobi sang paman untuk berjudi sampai sekarang tak juga sembuh, mungkin ini alasan kakek dan ayahnya membuat surat perjanjian aneh supaya sang paman tak bisa mencairkan saham yang dia miliki hanya bisa mendapatkan pembagian keuntungan tiap bulan saja, meski itu jumlahnya juga sangat besar dan masih sangat cukup memenuhi kehidupan mewah pamannya. “Halo, Bar, apa kamu masih di kantor?” tanya Angga begitu Bara mengangkat panggilannya di ujung sana. “Iya, Mas, aku masih di kantor.” “Tolong bantu aku mencari informasi.” Angga menceritakan secara singkat tentang pamannya yang datang memintanya untuk menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan, Angga juga menceritakan ke
Angga membaca hasil laporan anak buahnya dengan mata melotot, kalau saja mereka bukan orang-orang yang sangat kompeten di bidangnya tentu Angga akan menolak untuk percaya. Sang paman mengangunkan rumah yang dia tempati sekarang ini beserta rumah kakek Angga, Tuan besar Wicaksana. Dan belum berhenti sampai di situ saja, sang paman juga menjanjikan akan memberikan proyek-proyek kerja sama untuk perusahaan berlabel AH ini. Ya Tuhan mereka selama ini bergerak dibidang properti, ngapain juga nyebrang ke perusahaan teknologi.“Ini Om Darma ingin jadi gembel atau bagaimana, buat apa uang sebanyak itu.”Salah Angga juga yang selama ini tak terlalu memperhatikan aset keluarga besarnya. Kakeknya hanya punya tiga orang anak, ayahnya, Om Darma dan seorang lagi bibinya. Dan meskipun Angga berusia paling muda tapi kedudukannya bukan hanya sebagai direktur utama perusahaan, tapi secara langsung dia juga kepala keluarga Wicaksana, yang artinya dia harus bertanggung jawab mengelol
“Kamu benar-benar keponakan kurang ajar,” umpat Darma. Dengan kemarahan yang menggelegar laki-laki itu menerobos masuk ke ruangan Angga, tangan Hendra yang berusaha menahannya ditepis dengan kasar. Meski usia darma sudah lebih dari enam puluh tahun, tapi tubuhnya yang tinggi besar dan dalam keadaan marah membuat laki-laki itu kesulitan menahannya.“Soal apa ini?” tanya Angga tenang, menghadapai orang seperti pamannya ini tak bisa dengan kemarahan juga, salah-salah mereka akan berkelahi di sini. Jika itu terjadi akan sangat memalukan untuk mereka. “Jangan pura-pura tak tahu kenapa kamu titik meloloskan tender AH, jangan mentang-mentang kamu dirut bisa seenaknya, aku juga punya hak pada perusahaan ini.”“Punya hak untuk menghancurkan maksud, Om, aku rasa om juga tahu menerima kerja sama dengan mereka artinya bunuh diri, kredibilitas perusahaan ini akan anjlok, kalau tahu bekerja sama dengan rentenir. Atau jangan-jangan om punya hutang pada rentenir itu untuk berjudi.” Sang paman yan
Perkawinan bisnis bukan hal jamak terjadi dikalangan para pebisnis, mereka yang setiap hari sibuk mengejar uang tentu akan melakukan apa saja supaya uang yang didapat bisa bertambah berkali-kali lipat. Mereka bukan orang yang akan memandang cinta dan ketulusan sebagai bekal supaya bisa hidup bahagia. uang dan uanglah yang mereka pikir bisa mendatangkan kebahagian. Bukan seratus persen salah memang tapi mereka seolah lupa kalau ada unsur lain selain uang yang menjadi komponen penyusun kebahagiaan. Angga bisa melihat wajah pamannya yang berubah menjadi merah padam, kelakuan istri pamannya yang memang hobi berbelanja barang-barang mewah memang bukan lagi rahasia di keluarga mereka, istri sang paman adalah anak salah satu pengusaha kaya.Jika saja sang paman tidak nekad mendatangi Dina Angga juga tak akan peduli dengan hal itu, selama masih dalam tahap wajar. “Aku tidak tahu apa tujuan Om menemui istriku, aku pikir Om cukup cerdas untuk bisa memisahkan antara uru
Darma Wicaksana tak hentinya mengumpati keponakannya setelah menerima telepon, dia tak menyangka Angga begitu keras kepala, apa susahnya coba menjalin kerja sama dengan AH. Tanpa sadar laki-laki paruh baya itu mencengkeram erat kemudi mobilnya, sedan mewah itu melaju dengan kecepatan kencang. Usianya boleh tidak lagi muda, tapi secara fisik laki-laki masih sangat gesit. Kali ini dia tak ingin kecolongan lagi, taruhannya terlalu besar dia sudah menggadaikan semua yang dia miliki kalau sampai gagal, dia akan jadi gelandangan. Berperang dengan pikirannya yang kusut, Darma Wicaksana bahkan tak sadar, ada sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang, mengawasi dari jarak yang aman.Darma Wicaksana memarkir mobilnya di gedung AH yang sebenarnya bergerak dibidang simpan pinjam, tapi karena pandai melihat peluang pemiliknya mulai melirik bidang teknologi yang memang sedang naik daun.“Kalau kamu tidak bisa membujuk keponakanmu untuk meloloskan kerja sama ini, kamu harus
Hari Rabu. Dina melingkari kalender di meja kerjanya dengan malas. Masih dua hari lagi Angga yang baru saja dinas keluar kota untuk membereskan masalah yang ditimbulkan pamannya pulang. Sejujurnya itu hal yang biasa untuk Dina selama menjadi istri Angga, melakukan perjalanan dinas ke luar kota bahkan ke luar negeri selama beberapa hari, tapi entah kenapa saat ini dia ingin sekali bertemu dengan suaminya itu. Sejujurnya dia Dina tak tahu bagaimana konsep merindukan seseorang, tapi perasaannya yang selalu ingin bersama sang suami atau paling tidak hanya mendengar suaranya melalui telepon saja sudah lebih dari cukup. Dalam satu hari dia memiliki kesepakatan jam berapa saja harus menelepon suaminya, membuat Angga yang tak hendti menggodanya dan mengatakan Dina berubah menjadi genit. “Ini karena hormon kehamilan saja, biasanya juga tak pernah,” dengan lihai Dina ngeles dari godaan suaminya. “Kusut amat itu muka? Ada apa?” Sasa tiba-tiba sudah b
Dina menyambut kedatangan suaminya dengan senyum lebar, seolah mereka sudah lama sekali tak bertemu, padahal Angga baru saja pergi keluar kota selama satu minggu. Dina mengikuti sang suami yang masuk ke dalam kamar mereka, menyiapkan segala keperluan sang suami. “Kamu kerja lama sekali, Mas, lupa sama istri dan anak di rumah,” kata Dina dengan cemberut, memandang sang suami yang sudah segar setelah mandi. Angga memandang istrinya dengan bingung, seingatnya tadi sebelum masuk kamar mandi istrinya masih menampakkan senyum lebar, kenapa saat dia keluar kamar mandi jadi cemberut. “Bagaimana bisa lupa kalau sehari bisa diabsen lebih dari lima kali.” “Jadi kamu nggak suka aku hubungi.” Angga menghampiri Dina yaang duduk di atas ranjang, dan memeluk istrinya itu lembut. “Aku malah senang kamu telepon.” “Bohong, tadi kamu mengeluh.” “Itu bukan mengeluh sayang, aku hanya bercanda.” “Bercandamu nggak lucu,” kata Dina sebal.Angga memandang sang
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda