Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta.
Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.”Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.”Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya.“Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.”Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil meBrian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
Ini hari pernikahan suaminya.Pagi itu terlihat kesibukan di sebuah rumah besar bergaya eropa. Hiasan telah terpasang di taman belakang rumah yang akan digunakan untuk acara. Sebuah meja dengan empat buah kursi telah dipersiapkan di tengah-tengah. Dina masih tepekur disisi tempat tidur yang telah di hias cantik. Dengan tangannya sendiri dia menghias setiap sudut dengan apiknya. Dia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, ada rasa tidak rela di hatinya, tapi dia juga tak tega untuk menggagalkan pernikahan ini. Hatinya sakit sangat sakit. Tapi menangis pun tak ada gunanya nasi telah menjadi bubur. Dan dia hanya bisa menerima ini dengan lapang dada, berusaha menguatkan batinnya yang sudah terkoyak.“Sudah selesai menghias kamarnya, Din?” dina menoleh ke asal suara di sana ibu mertuanya berdiri memandang sekeliling kamar wanita paruh baya itu sepertinya puas dengan hasil kerja menantunya. “Bagus banget hiasannya, Angga pasti senang.” Dina hanya tersenyum sekilas. “Ayo keluar, Din,
Sayup-sayup Dina mendengar suara ijab qabul, matanya terpejam erat berharap bahwa ini hanya mimpi saja, dia sungguh tak rela, tubuhnya seolah melayang tak memiliki jiwa lagi, pikirannya kosong.Dina hanya wanita biasa yang sangat mengharapkan perhatian suaminya hanya untuknya. Katakanlah dia egois dan mau menang sendiri tapi hidup di panti asuhan tanpa kasih sayang orang tua membuatnya sangat mengharapkan cinta dari orang terdekatnya dan tentu saja dia sangat takut akan kehilangan lagi.Lelah dengan semua kemungkinan yang merasuki pikirannya, Dina tertidur masih dengan air mata yang mengalir di pipi, Ara yang dari tadi merengek juga sudah tertidur meringkuk dalam pelukan Dina.Dia tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya nanti tapi yang jelas Dina hanya ingin anaknya tetap mendapatkan kasih sayang orang tuanya dan tidak pernah merasa tersisih. Dina tergeragap saat mendengar ketukan di pintu. Dia menatap jam di dinding sudah jam satu lewat lama juga tidurnya. Apa acaranya sudah s
Angga menghempaskan tubuhnya di ranjang kamarnya dan Dina, laki-laki itu bahkan sudah melepas jas dan dasinya lalu menyampirkannya asal di kursi rias, yang membuat Dina sedikit mengomel. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Angga mungkin heran melihat Dina yang sibuk sendiri membongkar isi lemari.“Bentar, Mas aku mau ambilin baju ganti bentar?”“Untuk apa?” Dina segera tersadar sekarang suaminya bukan hanya untuk dirinya ada wanita lain yang berhak memberi perhatian yang sama untuk sang suami. “Maaf, aku lupa kalau Mas bukan hanya suamiku, mungkin Keira yang akan menyiapkan kebutuhan Mas beberapa hari nanti.” Dina berusaha tersenyum dan tampak baik-baik saja di hadapan sang suami, meski hatinya sakit sekali. “Kemarilah sebentar,” panggil Angga, laki-laki itu sudah duduk tegak di atas ranjang. Dina menurut wanita itu segera menghampiri Angga dan meraih kaki sang suami ke dalam pangkuananya, dengan pelan dia memijit kaki itu. sebenarnya dia sangat tak ingin mengingat keadaanya sekaran
Kehadiran Keira dalam rumah tangga mereka memang bukan tanpa alasan, semuanya berawal dari suatu pagi yang sangat sibuk dengan Angga yang masih berada di depan laptopnya setelah semalam dia sampai di rumah hampir pukul tiga dini hari.Tidur hanya tiga jam tak membuat Angga bangun kesiangan, laki-laki itu seolah memiliki baterai yang selalu on. “Kok sudah bangun, Mas?” tanya Dina yang mendapati suaminya sudah sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di depannya. “Habis ini ada meeting penting, aku harus siapin data-datanya,” jawab Angga sambil lalu, dia bahkan tak mngalihkan pandangan matanya dari laptop saat bicara dengan Dina. “Sebaiknya, Mas mandi dulu biar segar, setelah itu sarapan, aku sudah buatkan nasi goreng seafood kesukaanmu.” Dina segera beranjak berdiiri menyiapkan segala keperluan mandi suaminya, setelah itu beralih menyiapkan pakaian, jam tangan, tas sampai dokumen-dokumen yang harus dibawa suaminya ke kantor. “Berkas ini semua dibawa?” tanya Dina saat sang suami belum
Pagi itu seperti biasa Dina sudah ribut mengurus semua keperluan anak-anak dan suaminya, kalau kalian berpikir menjadi istri bos itu enak kalian harus bepikir ulang saat berhadapan dengan Angga dan anak-anaknya. Mereka hanya mau Dina yang mengurus semuanya, mulai menyiapkan pakaian maupun memasakkan sarapan. “Aksa jangan main game terus, ayo selesaikan makanmu.” Aksa anak pertama Angga dengan almarhum istrinya, langsung memasang muka cemberut tapi menurut dengan meletakan ponselnya dan mulai memakan sarapannya. “Arsyi, makannya cepetan keburu siang.”Ditinggal sang ibu saat masih berumur tujuh tahun dan lima tahun membuat dua orang anak Angga seperti kehilangan Arah mereka yang terbiasa bersama sang mama harus rela dipisahkan oleh maut dan Dinalah yang selama ini membantu mereka mengatasi kesedihan, bukan sebagai ibu karena Dina sudah memberitahukan kalau dia hanya teman dan sahabat untuk dua anak yang beranjak remaja itu.Dina memang tidak berkeinginan untuk menggantikan mama mere