Ini hari pernikahan suaminya.
Pagi itu terlihat kesibukan di sebuah rumah besar bergaya eropa. Hiasan telah terpasang di taman belakang rumah yang akan digunakan untuk acara. Sebuah meja dengan empat buah kursi telah dipersiapkan di tengah-tengah. Dina masih tepekur disisi tempat tidur yang telah di hias cantik. Dengan tangannya sendiri dia menghias setiap sudut dengan apiknya. Dia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, ada rasa tidak rela di hatinya, tapi dia juga tak tega untuk menggagalkan pernikahan ini. Hatinya sakit sangat sakit. Tapi menangis pun tak ada gunanya nasi telah menjadi bubur. Dan dia hanya bisa menerima ini dengan lapang dada, berusaha menguatkan batinnya yang sudah terkoyak.“Sudah selesai menghias kamarnya, Din?” dina menoleh ke asal suara di sana ibu mertuanya berdiri memandang sekeliling kamar wanita paruh baya itu sepertinya puas dengan hasil kerja menantunya. “Bagus banget hiasannya, Angga pasti senang.” Dina hanya tersenyum sekilas. “Ayo keluar, Din, ijab qobulnya akan segera dimulai.” Dina memandang ibu mertuanya nanar, haruskah dia hadir di sana menyaksikan Angga menikah denga Kiera. Tidak adakah seseorang yang mengerti perasaannya yang tidak baik-baik saja. Hatinya begitu sakit, seolah ada pisau yang menggoresnya. Tangannya mengepal menyembunyikan getaran yang akan semakin membuatnya lemah. Dia wanita yang kuat. Hidupnya tidak pernah mudah, sebagai anak panti asuhan yang tak mengenal siapa orang tuanya, dina terbiasa memendam perasaannya sendiri. ‘Kamu akan baik-baik saja, Dina. Angga berjanji akan berbuat adil padamu.’ Dina terus mensugesti dirinya agar mau melangkah ke tempat acara. ***Tak pernah sekali pun terlintas dalam benak Dina, dia akan menjadi wanita kedua dalam hidup suaminya. Dia juga harus menerima kenyataan bahwa cinta sang suami sudah terkubur bersama gundukan tanah merah bertabur bunga. Jangan pernah membayangkan dia adalah perebut suami orang yang lebih dicintai dari pada istri pertama. Dina bukan wanita seperti itu, sebagai wanita yang besar di panti asuhan dia tak punya pilihan lain saat seorang wanita yang sudah dia anggap menjadi ibunya datang dan meminta untuk menjadi istri sang putra dan sebagai ibu untuk kedua cucunya yang baru saja ditinggal untuk selama-lamanya. lima tahun pernikahan mereka Dina masih berharap, suaminya akan sedikit demi sedikit mencintainya, tapi ternyata hidup memang tak segampang seperti cerita di novel yang pada akhirnya saling jatuh cinta dan hidup bahagia selamanya. Dina tersenyum miris mungkin dia harus mengurangi membaca novel-novel itu, supaya pikirannya tetap logis sesuai dengan realita yang ada. Dan sekarang dia harus menghadapi kenyataan lain dalam pernikahannya. Suaminya akan menikahi wanita lain, menjadikan luka di hatinya makin menganga, mungkin orang lain bisa memberontak, mengatakan pada dunia bahwa dialah wanita yang paling tersakiti. Dina tak bisa dia tidak sanggup menyakiti hati suaminya dan juga orang-orang yang mengharapkan pernikahan ini. Rasa cinta memang membuatnya bodoh."Kamu baik-baik saja kan, Din?" Dina mengangkat kepalanya sejenak dia lupa kalau ibu mertuanya berjalan di sampingnya. "Iya, Ma," jawabnya singkat. "Maafkan Angga ya, Din, karena kesalahannya kamu harus rela diduakan." Dina hanya mengangguk singkat dia tak tahu harus berkata apa. Mungkin sudah takdirnya yang harus menjalani kehidupan seperti ini.Mereka kembali berjalan menuju tempat acara. Dina memandang nanar pada laki-laki berbalut jas hitam yang duduk di depan penghulu. Dia Airlangga Wicaksana, laki-laki yang menikahinya lima tahun yang lalu, laki-laki yang selama lima tahun ini selalu mendominasi pikirannya, menggeser nama-nama yang sebelumnya menjadi prioritasnya. Laki-laki yang selama ini secara fisik hanya miliknya meski tak secuil pun hatinya bisa dia miliki, tapi mulai hari ini dia bukan hanya miliknya, ada wanita lain yang memiliki hak yang sama.Di sampingnya duduk wanita yang sebentar lagi resmi menjadi madunya, wanita yang juga memiliki hak atas suaminya.Dina menundukkan pandangannya kenapa kenyataan begitu kejam, saat hatinya sudah sepenuhnya menjadi milik sang suami. Kakinya bergetar seolah tak mampu menompang tubuhnya yang tiba-tiba lemas. Bolehkah dia pergi dari tempat ini? Dia hanya ingin sendiri. Lagi pula tak ada pentingnya dia hadir di sini, benar dia harus pergi sebelum dia merangsek maju dan menyeret suaminya pergi supaya pernikahan mereka tak pernah terjadi."Din! Mau kemana?" ibu mertuanya yang sejak tadi berada di sampingnya menangkap pergelangan tangan Dina. "Tetap di sini, Din." "Dina sedang tidak enak badan, Ma, mau ke kamar saja."Dina melihat mertuanya menghela nafas sedih lalu berkata, "Ini mungkin sulit, Din, sebagai sesama wanita Mama juga pasti tidak sanggup melihat suami menikah lagi, tapi kamu harus tetap di sini sebagai bukti bahwa kamu merestui pernikahan mereka."Wanita paruh baya itu menggenggam tangan Dina lembut."Banyak kolega yang datang, jika sampai mereka tahu kamu terpaksa menerima ini akan jadi gosip yang akan merusak citra Angga, jadi berusahalah tersenyum." Tersenyum, apa mama mertuanya sudah gila? Mana bisa dia tersenyum bahkan dari tadi air matanya sudah akan menetes. Lagipula untuk apa mereka mengundang para kolega, ini bukan pernikahan pertama Angga. Dina terpaksa mendudukkan bokongnya di kursi tangannya tak lepas dari genggaman sang mertua, mungkin wanita itu takut Dina melarikan diri, atau lebih parahnya mengacau di tengah acara."Bun, kenapa Papa duduk di sana?" Dina menoleh saat mendengar suara Ara putri semata wayangnya yang baru berusia empat tahun. Dina lupa ada putrinya yang harus dia perhatikan. "Papa sedang ada tamu jadi tidak bisa duduk bersama kita, Ara sini sama bunda." Dina mencoba meraih Ara dalam gendongannya tapi anak itu lebih gesit dia berlari ke arah Papanya, sambil berteriak "Papa!" yang membuat semua perhatian tertuju padanya. Dina sedikit kesusahan karena kain jarik yang dipakainya, bahkan anak itu sudah merengek menarik-narik baju papanya. Dina mempercepat langkahnya tak ingin sang putri lebih lama menjadi pusat perhatian. Dapat didengarnya bisik-bisik yang membuat panas telinganya. "Ara sama Bunda dulu ya, Papa masih ada perlu nanti kita main lagi."Dina memandang suaminya yang juga memandangnya meminta bantuan. Tak ingin banyak bicara Dina segera meraih putrinya dari gendongan sang suami. Tangis putrinya membuat hati Dina makin pilu.'Apa putri kecilnya ini juga merasakan hatinya yang sedang terkoyak.' Dina terus saja melangkahkan kaki tak pedulikan lagi bisik-bisik para tamu yang makin jelas mampir di telinganya.Dia hanya mengangguk sekilas saat melewati ibu mertuanya. Dia sudah tak sanggup lagi, rasanya dia ingin menangis bersama sang putri. Persetan dengan citra suami yang harus dia jaga, kenapa dia harus repot-repot melakukannya sementara mereka semua tak ada yang tahu kepedihan hatinya.Dina memeluk putrinya erat, dan menuju kamar tidur putrinya. Air matanya luruh tak dapat ditahan lagi saat pintu kamar tertutup, tangisnya melebur jadi satu dengan Ara, putrinya. Entahlah Dina sendiri tak tahu kenapa Ara menangis, putrinya itu bukan anak yang cengeng. Mungkinkah bocah empat tahun ini juga merasakan kepedihan bundanya.Sayup-sayup Dina mendengar suara ijab qabul, matanya terpejam erat berharap bahwa ini hanya mimpi saja, dia sungguh tak rela, tubuhnya seolah melayang tak memiliki jiwa lagi, pikirannya kosong.Dina hanya wanita biasa yang sangat mengharapkan perhatian suaminya hanya untuknya. Katakanlah dia egois dan mau menang sendiri tapi hidup di panti asuhan tanpa kasih sayang orang tua membuatnya sangat mengharapkan cinta dari orang terdekatnya dan tentu saja dia sangat takut akan kehilangan lagi.Lelah dengan semua kemungkinan yang merasuki pikirannya, Dina tertidur masih dengan air mata yang mengalir di pipi, Ara yang dari tadi merengek juga sudah tertidur meringkuk dalam pelukan Dina.Dia tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya nanti tapi yang jelas Dina hanya ingin anaknya tetap mendapatkan kasih sayang orang tuanya dan tidak pernah merasa tersisih. Dina tergeragap saat mendengar ketukan di pintu. Dia menatap jam di dinding sudah jam satu lewat lama juga tidurnya. Apa acaranya sudah s
Angga menghempaskan tubuhnya di ranjang kamarnya dan Dina, laki-laki itu bahkan sudah melepas jas dan dasinya lalu menyampirkannya asal di kursi rias, yang membuat Dina sedikit mengomel. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Angga mungkin heran melihat Dina yang sibuk sendiri membongkar isi lemari.“Bentar, Mas aku mau ambilin baju ganti bentar?”“Untuk apa?” Dina segera tersadar sekarang suaminya bukan hanya untuk dirinya ada wanita lain yang berhak memberi perhatian yang sama untuk sang suami. “Maaf, aku lupa kalau Mas bukan hanya suamiku, mungkin Keira yang akan menyiapkan kebutuhan Mas beberapa hari nanti.” Dina berusaha tersenyum dan tampak baik-baik saja di hadapan sang suami, meski hatinya sakit sekali. “Kemarilah sebentar,” panggil Angga, laki-laki itu sudah duduk tegak di atas ranjang. Dina menurut wanita itu segera menghampiri Angga dan meraih kaki sang suami ke dalam pangkuananya, dengan pelan dia memijit kaki itu. sebenarnya dia sangat tak ingin mengingat keadaanya sekaran
Kehadiran Keira dalam rumah tangga mereka memang bukan tanpa alasan, semuanya berawal dari suatu pagi yang sangat sibuk dengan Angga yang masih berada di depan laptopnya setelah semalam dia sampai di rumah hampir pukul tiga dini hari.Tidur hanya tiga jam tak membuat Angga bangun kesiangan, laki-laki itu seolah memiliki baterai yang selalu on. “Kok sudah bangun, Mas?” tanya Dina yang mendapati suaminya sudah sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di depannya. “Habis ini ada meeting penting, aku harus siapin data-datanya,” jawab Angga sambil lalu, dia bahkan tak mngalihkan pandangan matanya dari laptop saat bicara dengan Dina. “Sebaiknya, Mas mandi dulu biar segar, setelah itu sarapan, aku sudah buatkan nasi goreng seafood kesukaanmu.” Dina segera beranjak berdiiri menyiapkan segala keperluan mandi suaminya, setelah itu beralih menyiapkan pakaian, jam tangan, tas sampai dokumen-dokumen yang harus dibawa suaminya ke kantor. “Berkas ini semua dibawa?” tanya Dina saat sang suami belum
Pagi itu seperti biasa Dina sudah ribut mengurus semua keperluan anak-anak dan suaminya, kalau kalian berpikir menjadi istri bos itu enak kalian harus bepikir ulang saat berhadapan dengan Angga dan anak-anaknya. Mereka hanya mau Dina yang mengurus semuanya, mulai menyiapkan pakaian maupun memasakkan sarapan. “Aksa jangan main game terus, ayo selesaikan makanmu.” Aksa anak pertama Angga dengan almarhum istrinya, langsung memasang muka cemberut tapi menurut dengan meletakan ponselnya dan mulai memakan sarapannya. “Arsyi, makannya cepetan keburu siang.”Ditinggal sang ibu saat masih berumur tujuh tahun dan lima tahun membuat dua orang anak Angga seperti kehilangan Arah mereka yang terbiasa bersama sang mama harus rela dipisahkan oleh maut dan Dinalah yang selama ini membantu mereka mengatasi kesedihan, bukan sebagai ibu karena Dina sudah memberitahukan kalau dia hanya teman dan sahabat untuk dua anak yang beranjak remaja itu.Dina memang tidak berkeinginan untuk menggantikan mama mere
Dina segera masuk ke kamar mandi dinyalakannya shower, berharap dengan dinginnya air yang mengalir mampu menjernihkan otaknya, tapi Bukannya otaknya yang menjadi dingin, air matanyalah yang mengalir, dia tidak menyesali takdir yang telah ditetapkan tuhan untuknya, yang paling dia sesali adalah hatinya yang tak bisa menerima kenyataan ini. Derasnya air dari shower tak mampu menyembunyikan air matanya yang mengalir berambah deras.Dina membekap mulutnya sendiri. Berusaha meredam segala sesak di dada.Tak ingin terlambat ke kantor Dina segera menyelesaikan ritual mandinya, memandang wajahnya dari cermin."Pasti aku akan terlihat menyedihkan," gumam Dina pelan. Ditepuk-tepuknya wajahnya supaya terlihat lebih berwarna. Hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tak mau ada orang yang merasa kasihan padanya. Sekian lama hidup di panti asuhan bukan berarti dia mengharapkan rasa kasihan orang lain. "Aku hampir saja mendobrak pintu kamar mandi kalau kamu tidak segera keluar dari
Melihat dina yang melangkah pergi Angga tersadar, dipeluknya tubuh Dina dari belakang sangat erat, seolah dia sangat takut kalau Dina akan menghilang dari hidupnya. “Jangan pergi.” “Mas apa-apaan sih aku mau kerja, urusan anak-anak dan Keira, hanya butuh sedikit usaha saja mereka pasti luluh, mereka anak-anak yang baik, yang tahu bagaimana harus bersikap, tinggal dia pantas tidak untuk mendapat perhatian anak-anak.” Angga melepaskan pelukannya di tubuh Dina tapi sebagai gantinya laki-laki itu, membalikkan bahu sang istri dan menatapnya tajam. “Aku ingin bicara, tolong dengarkan sebentar saja, atau kamu tidak boleh kerja lagi.” Dina menatap suaminya tak percaya, tadi Angga membentaknya sekarang diancam, luar biasa memang suaminya ini. Dina benci dirinya sendiri yang malah menuruti Angga dan melangkah ke tempat tidur. Kenapa sejak dulu dia selalu saja menjadi wanita naif yang selalu melakukan apapun yang diinginkan sang suami. Di sini dia istri Angga bukan pegawai kantorny
"Harus ya kamu melakukan itu, ingat, Din kamu juga seorang ibu bagaimana anak-anak kalau kamu tinggal?" "Aku akan membawa Ara.""Jangan bilang kamu akan meninggalkan Aksa dan Arsyi, aku tahu kamu memang bukan ibu kandung mereka tapi mereka sangat menyayangimu melebihi aku papanya.""Mereka pasti akan ngerti, lagi pula tiap hari aku akan memantau mereka Mas tidak usah khawatir." "Lalu aku?" Dina hampir saja tertawa melihat laki-laki dewasa yang biasanya bijaksana kini malah seperti anak kecil menujuk hidungnya sendiri dengan bingung."Mas kenapa memangnya?""Selama ini semua kebutuhanku di rumah kamu yang urus dari bangun tidur sampai tidur lagi.""Mas lupa kalau sudah punya istri yang lain yang bisa mengurus Mas," Dina berkata sinis."Tapi aku ingin kamu yang mengurus semuanya, kurasa Keira tak akan mampu mengurus semuanya sebaik dirimu."
Perjalanan yang berlangsung selama tiga puluh menit itu terasa sangat sunyi, bahkan Pak Amin yang menjadi sopir mereka enggan menyalakan radio untuk sekedar membuat suasana lebih hidup.Apalagi saat Aksa dan Arsyi sudah turun di sekolah mereka masing-masing. Si kecil Ara juga sibuk memainkan boneka barbienya, sesekali terdengar rengekan anak itu, meminta ini itu, tapi dengan sabar Dina menenangkannya.Pak Amin sekali lagi melirik ke belakang melalui kaca spion, dua orang dewasa itu masih betah berdiam diri dengan wajah sama-sama datar, Pak Amin bahkan tak bisa menebak mereka sedang marahan atau sekedar lelah. Peristiwa kemarin mungkin menjadi penyebabnya, bagaimanapun tidak ada yang tahu akan seperti apa hubungan mereka bertiga nanti.Mereka tiba di halaman panti dan langsung di sambut heboh oleh anak-anak di sana, Dina sudah sangat dikenal di panti ini, setiap bulan dia pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke mari.