Home / Pernikahan / Wanita Kedua / Kenyataan Menyakitkan

Share

Kenyataan Menyakitkan

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-02-05 00:02:18

Kehadiran Keira dalam rumah tangga mereka memang bukan tanpa alasan, semuanya berawal dari suatu pagi yang sangat sibuk dengan Angga yang masih berada di depan laptopnya setelah semalam dia sampai di rumah hampir pukul tiga dini hari.

Tidur hanya tiga jam tak membuat Angga bangun kesiangan, laki-laki itu seolah memiliki baterai yang selalu on. 

“Kok sudah bangun, Mas?” tanya Dina yang mendapati suaminya sudah sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di depannya. 

“Habis ini ada meeting penting, aku harus siapin data-datanya,” jawab Angga sambil lalu, dia bahkan tak mngalihkan pandangan matanya dari laptop saat bicara dengan Dina. 

“Sebaiknya, Mas mandi dulu biar segar, setelah itu sarapan, aku sudah buatkan nasi goreng seafood kesukaanmu.” 

Dina segera beranjak berdiiri menyiapkan segala keperluan mandi suaminya, setelah itu beralih menyiapkan pakaian, jam tangan, tas sampai dokumen-dokumen yang harus dibawa suaminya ke kantor. 

“Berkas ini semua dibawa?” tanya Dina saat sang suami belum beranjak dari depan laptopnya, Angga hanya menoleh sekilas mengangguk lalu kembali dengan laptopnya, sudah sejak lama Dina tahu kalau suaminya ini gila kerja, seolah dunia akan berhenti berputar kalau dia berhenti bekerja. 

“Sudah mau jam tujuh, Mas nggak siap-siap. Ada meeting penting kan setelah ini.” Dina kembali bersuara saat dia sudah selesai menyiapkan semua kebutuhan sang suami, tapi laki-laki itu masih saja bercengkrama dengan laptopnya.

“Iya… iya ini bentar aku simpan dulu, kamu makin lama makin bawel.” 

Dina memutar bola matanya malas, yang benar saja bawel katanya, nanti kalau dia kesiangan siapa yang akan rugi.

Menjadi seorang istri bos besar sepeti Angga memang bukan hal mudah, apalagi mereka menikah tanpa cinta. Mereka sama-sama hanya menjalankan peran mereka masing-masing sebagai sepasang suami istri. Dina belum mampu untuk benar-benar masuk ke dalam hati sang suami selalu ada tembok tak kasat mata yang tercipta antara mereka berdua. 

Dina memang mengurusi semua kebutuhan Angga dari ujung kaki sampai ujung kepala, memastikan suaminya tetap ganteng dan berkarisma di hadapan semua orang. 

Dina kembali masuk ke dalam kamarnya, dilihatnya sang suami yang telah mengenakan setelan kerjanya kembali duduk di depan laptop dan dengan serius mengetikkan sesuatu. Dina mengambil sisir yang tergeletak di meja rias lalu mulai menata rambut sang suami. 

“Kenapa, nggak dikerjakan di mobil saja, sekarang kita sarapan dulu,” kata Dina lembut setelah selesai membantu Angga berdandan. 

“Mana bisa, Pak Rohim nggak masuk hari ini, jadi aku nyetir sendiri.” 

“Kenapa nggak minta antar Pak Arif?” tanya Dina menyebut sopir pribadi yang disediakan sang suami untuknya dan anak-anak. 

“Aku nyetir sendiri saja, nanti kalau kamu pergi ke yayasan nggak ada yang anter.” 

“Tapi, Mas pasti capek, lebih enak kalau pakai sopir bisa istirahat sebentar.” 

Dina melihat sang suami menghela nafas dan menatapnya sepenuhnya. 

“Kamu  dan anak-anak lebih butuh sopir, aku bisa nyetir sendiri, lagian jarak dengan kantor tak sebegitu jauh.” 

“Tapi, Mas aku nggak tenang, kamu tidak bisa memforsir tubuhmu terus menerus, atau kamu bisa telepon Bara untuk menjemput.”

“Ckkk kamu bawel banget, aku pake mobil sendiri, sekarang tolong ambilkan makanan dan suapin aku.” 

Tanpa kata Dina segera berlalu, mengambilkan sarapan untuk sang suami. Entah mengapa mendengar sang suami akan menyetir mobil sendiri memuat hatinya resah ada rasa khawatir yang tidak bisa dijelaskan. Tapi jika dia nekat mendebat sang suami bisa dipastikan dia akan kalah, suaminya adalah sosok pribadi yang matang dan terbiasa didengarkan, jadi agak sulit untuk menasehatinya. 

***

Telepon yang berdering membuat Dina yang sedang dibuai alam mimpi bernajak bangun rupanya, ponsel miliknya. Tertera nomer sang suami yang menelepon. Dina segera mengangkatnya tumben sekali suaminya ini menelepon di jam… oh ternyata baru jam sembilan. 

“Ya, Mas?” 

Alih-alih mendengar suara sang suami, Dina malah mendengar suara asing yang mengabarkan kalau suaminya mengalami kecelakaan. Sejenak Dina hanya diam mematung, otaknya seolah tak bisa diajak kerja sama, dia baru tersadar saat sambungan telah dimatikan di ujung sana.

 

Disanalah bencana itu berawal, suaminya dalam keadaan lelah telah menabrak seorang pengendara motor beserta putrinya. sang ayah masih kritis dan sang anak mengalami patah kaki dan tangan. 

Sedangkan Angga sendiri mengalami luka lecet di beberapa bagian tubuhnya. 

Dina masih di sana menemani sang suami saat sang ayah akhirnya meninggal dan menitipkan anaknya pada Angga. 

“Aku telah membunuh orang, Bun, andai saja aku menuruti kata-katamu tadi pagi semuanya tidak akan jadi begini,” keluh Angga.

Dina hanya bisa mengelus punggung suaminya yang rapuh, mereka sedang berada di depan ruang rawat  anak pengendara itu. 

Baru saja Dina akan menghibur suaminya, Dokter yang merawat sang anak mengatakan kalau sulit baginya untuk bisa berjalan lagi.

Berhari-hari Angga dan Dina bergantian menjaga Keira––sang anak yang juga turut sebagai korban kecelakaan. 

Gadis berusia awal dua puluhan itu bahkan selalu murung dan menutup diri, hingga suatu hari Angga memiliki ide yang membuat Dina hampir terkena serangan jantung. 

“Aku akan menikahinya, Bun, aku tidak bisa lepas tangan begitu saja setelah apa yang terjadi padanya.” 

“Apa tidak ada cara lain untuk menebus kesalahanmu?”

“Tidak ada,  maafkan aku kalau harus melakukan ini, tapi itu satu-satunya jalan terbaik yang aku pikirkan.” 

Dina pun tak bisa berbuat apa-apa saat mertuanya juga mendukung keputusan Angga. Dia memang kasihan pada gadis itu, tapi dia juga tak rela kalau harus berbagi suami dengannya. 

Seminggu kemudian tepatnya hari ini, mereka menikah dan meninggalkan luka tak kasat mata untuk Dina. 

***

“Kamu kenapa, Bun, kok bengong begitu?” Dina menoleh pada sang suami, menatapnya dalam. Dia tak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dalam situasi ini. Dia bukan pribadi yang mudah mengungkapkan permasalahannya pada orang lain. 

Sejak kecil tak ada orang yang bisa dia andalkan sebagai tempat berbagi. Pun setelah menikah mereka hanya berbagi secara fisik, tanpa pernah mengenal satu sama lain dengan baik. 

“Kenapa, Mas?” 

“Aku perhatikan dari tadi kamu lebih banyak melamun, apa kamu begitu terbebani dengan pernikahanku kali ini?” 

Dina memandang sang suami tajam. “Apa semuanya akan kembali seperti semula jika aku menjawab iya.” 

Mereka sama-sama terdiam sibuk dengan pemikiran masing-masing. Memang tak ada yang bisa mereka lakukan sekarang ini semuanya sudah terjadi, mereka sebagai manusia hanya bisa menjalani. 

“Aku mandi dulu.” 

Dina tersenyum kecut sang suami lagi-lagi menghindarinya, dalam hati Dina selalu bertanya-tanya benarkah tak ada rasa cinta Angga untuknya sedikit pun. Bahkan setelah apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Benarkah itu hanya kewajiban semata?

Sedangkan tiap harinya dia semakin jatuh dan jatuh pada pesona sang suami, dulu dia berpikir bukan masalah suaminya tak mencintainya asalkan rumah tangga mereka berjalan dengan bahagia, tapi sekarang dia tak yakin lagi.

Lima tahun pernikahan mereka Dina tak pernah benar-benar mengenal suaminya. Dan sekarang dia juga harus berbagi dengan wanita lain. Masih mampukan dia untuk bertahan?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing!!! gberguna betulkah otak kau itu!!! hanya bisa diam aja dan jadi babu lebih pantas untukmu. kau dungu melebihi binatang!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Wanita Kedua   Pagi Pertama

    Pagi itu seperti biasa Dina sudah ribut mengurus semua keperluan anak-anak dan suaminya, kalau kalian berpikir menjadi istri bos itu enak kalian harus bepikir ulang saat berhadapan dengan Angga dan anak-anaknya. Mereka hanya mau Dina yang mengurus semuanya, mulai menyiapkan pakaian maupun memasakkan sarapan. “Aksa jangan main game terus, ayo selesaikan makanmu.” Aksa anak pertama Angga dengan almarhum istrinya, langsung memasang muka cemberut tapi menurut dengan meletakan ponselnya dan mulai memakan sarapannya. “Arsyi, makannya cepetan keburu siang.”Ditinggal sang ibu saat masih berumur tujuh tahun dan lima tahun membuat dua orang anak Angga seperti kehilangan Arah mereka yang terbiasa bersama sang mama harus rela dipisahkan oleh maut dan Dinalah yang selama ini membantu mereka mengatasi kesedihan, bukan sebagai ibu karena Dina sudah memberitahukan kalau dia hanya teman dan sahabat untuk dua anak yang beranjak remaja itu.Dina memang tidak berkeinginan untuk menggantikan mama mere

    Last Updated : 2024-02-05
  • Wanita Kedua   Penjelasan yang...

    Dina segera masuk ke kamar mandi dinyalakannya shower, berharap dengan dinginnya air yang mengalir mampu menjernihkan otaknya, tapi Bukannya otaknya yang menjadi dingin, air matanyalah yang mengalir, dia tidak menyesali takdir yang telah ditetapkan tuhan untuknya, yang paling dia sesali adalah hatinya yang tak bisa menerima kenyataan ini. Derasnya air dari shower tak mampu menyembunyikan air matanya yang mengalir berambah deras.Dina membekap mulutnya sendiri. Berusaha meredam segala sesak di dada.Tak ingin terlambat ke kantor Dina segera menyelesaikan ritual mandinya, memandang wajahnya dari cermin."Pasti aku akan terlihat menyedihkan," gumam Dina pelan. Ditepuk-tepuknya wajahnya supaya terlihat lebih berwarna. Hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tak mau ada orang yang merasa kasihan padanya. Sekian lama hidup di panti asuhan bukan berarti dia mengharapkan rasa kasihan orang lain. "Aku hampir saja mendobrak pintu kamar mandi kalau kamu tidak segera keluar dari

    Last Updated : 2024-05-17
  • Wanita Kedua   Jangan Pergi

    Melihat dina yang melangkah pergi Angga tersadar, dipeluknya tubuh Dina dari belakang sangat erat, seolah dia sangat takut kalau Dina akan menghilang dari hidupnya. “Jangan pergi.” “Mas apa-apaan sih aku mau kerja, urusan anak-anak dan Keira, hanya butuh sedikit usaha saja mereka pasti luluh, mereka anak-anak yang baik, yang tahu bagaimana harus bersikap, tinggal dia pantas tidak untuk mendapat perhatian anak-anak.” Angga melepaskan pelukannya di tubuh Dina tapi sebagai gantinya laki-laki itu, membalikkan bahu sang istri dan menatapnya tajam. “Aku ingin bicara, tolong dengarkan sebentar saja, atau kamu tidak boleh kerja lagi.” Dina menatap suaminya tak percaya, tadi Angga membentaknya sekarang diancam, luar biasa memang suaminya ini. Dina benci dirinya sendiri yang malah menuruti Angga dan melangkah ke tempat tidur. Kenapa sejak dulu dia selalu saja menjadi wanita naif yang selalu melakukan apapun yang diinginkan sang suami. Di sini dia istri Angga bukan pegawai kantorny

    Last Updated : 2024-05-17
  • Wanita Kedua   Menenangkan Hati

    "Harus ya kamu melakukan itu, ingat, Din kamu juga seorang ibu bagaimana anak-anak kalau kamu tinggal?" "Aku akan membawa Ara.""Jangan bilang kamu akan meninggalkan Aksa dan Arsyi, aku tahu kamu memang bukan ibu kandung mereka tapi mereka sangat menyayangimu melebihi aku papanya.""Mereka pasti akan ngerti, lagi pula tiap hari aku akan memantau mereka Mas tidak usah khawatir." "Lalu aku?" Dina hampir saja tertawa melihat laki-laki dewasa yang biasanya bijaksana kini malah seperti anak kecil menujuk hidungnya sendiri dengan bingung."Mas kenapa memangnya?""Selama ini semua kebutuhanku di rumah kamu yang urus dari bangun tidur sampai tidur lagi.""Mas lupa kalau sudah punya istri yang lain yang bisa mengurus Mas," Dina berkata sinis."Tapi aku ingin kamu yang mengurus semuanya, kurasa Keira tak akan mampu mengurus semuanya sebaik dirimu."

    Last Updated : 2024-05-17
  • Wanita Kedua   Tawa Ara

    Perjalanan yang berlangsung selama tiga puluh menit itu terasa sangat sunyi, bahkan Pak Amin yang menjadi sopir mereka enggan menyalakan radio untuk sekedar membuat suasana lebih hidup.Apalagi saat Aksa dan Arsyi sudah turun di sekolah mereka masing-masing. Si kecil Ara juga sibuk memainkan boneka barbienya, sesekali terdengar rengekan anak itu, meminta ini itu, tapi dengan sabar Dina menenangkannya.Pak Amin sekali lagi melirik ke belakang melalui kaca spion, dua orang dewasa itu masih betah berdiam diri dengan wajah sama-sama datar, Pak Amin bahkan tak bisa menebak mereka sedang marahan atau sekedar lelah. Peristiwa kemarin mungkin menjadi penyebabnya, bagaimanapun tidak ada yang tahu akan seperti apa hubungan mereka bertiga nanti.Mereka tiba di halaman panti dan langsung di sambut heboh oleh anak-anak di sana, Dina sudah sangat dikenal di panti ini, setiap bulan dia pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke mari. 

    Last Updated : 2024-05-17
  • Wanita Kedua   Terlena

    "Pak Amin tunggu di kantor saya saja, biar mobilnya saya bawa, dari sini bisakan naik ojol saya mau pergi sebentar dengan Ibu." Angga mengangsurkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada sopir yang mengantar mereka tadi."Tidak perlu, Tuan saya ada uang.”Pak Amin menolak uang pemberian Angga dengan sungkan."Sudah, Pak, nggak apa-apa anggap saja rejeki buat anak Bapak." Angga memaksa meletakkan uang itu dan diterima Pak Amin dengan sungkan."Ya sudah, Tuan saya langsung ke kantor Tuan dulu.""Iya, Pak hati-hati."Angga menarik nafas sejenak lalu, masuk ke kursi pengemudi, menunggu dengan sabar Dina yang sedang berpamitan pada Ibu Panti."Kamu duduk di depan, Din, aku bukan sopir." Dina melirik bingung ke mana Pak Amin, kenapa jadi suaminya yang menyetir sekarang."Pak Amin mana?" "Sudah aku minta pergi dulu?" 

    Last Updated : 2024-05-17
  • Wanita Kedua   Ingin Dicinta

    Menjadi istri seorang Airlangga Wicaksana, memang sebuah keberuntungan tersendiri untuk Dina. Dia yang hanya anak panti asuhan, tak kenal ayah dan Ibunya, dan hanya hidup sederhana, tentu itu bisa dikatakan mimpi indah di siang bolong. Dia merasa menjadi Cinderella yang dipinang oleh pangeran kaya, tapi mungkin orang banyak yang lupa cerita Cinderella berakhir sampai mereka menikah saja, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Cinderella setelah menikah dengan pangeran, bisakah dia beradaptasi dengan lingkungan istana, bisakah dia diterima dengan sepenuh hati oleh kalangan bangsawan itu. Itulah yang dialami Dina setelah pernikahannya dengan Angga, meski di sini Angga tidak sama dengan sosok pangeran yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella. Angga tak pernah menginginkan pernikahan dengan Dina, tidak ada cinta untuk wanita itu dalam hatinya. Dia menikahi Dina atas dasar kepatuhan pada orang tua dan juga kasihan pada anak-anaknya yang telah kehilangan sosok seorang Ibu di

    Last Updated : 2024-05-17
  • Wanita Kedua   Kembali Pulang

    Dina mengangkat wajahnya saat mendengar sebuah mobil memasuki halaman panti. Dia masih sibuk menemani Ara dan beberapa anak panti mewarnai di teras depan, seminggu tinggal di sini membuat Dina memiliki agenda rutin menemani anak-anak itu, bermain bersama mereka membuatnya bisa sedikit melupakan permasalahan yang tengah dia hadapi.Senyum polos, tawa lepas dan wajah imut selalu berhasil mengalihkan dunianya, tapi sepertinya kesenangan itu harus berakhir saat dia mengenali mobil siapa yang memasuki halaman panti, dan seseorang yang turun dari kursi penumpang adalah orang yang sangat tidak ingin dia temui sekarang."Papa!" Ara segera berlari memeluk papanya. Anaknya itu terlihat sangat senang apalagi saat pintu kembali terbuka dan dua orang kakaknya turun dari mobil.Mau tak mau Dina melangkah menghampiri mereka dan membawanya ke ruang tamu. Bu Rahmi sedang keluar, Dina tak ingin ada drama yang bisa dilihat anak-an

    Last Updated : 2024-05-17

Latest chapter

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Cinta Sederhana

    "Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Kejutan

    “Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Sehangat Mentari

    Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Tak Terduga

    Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Malam Panjang

    Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Teman?

    Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Kotak Biru

    Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Move on

    Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Jawaban?

    Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda

DMCA.com Protection Status