Kehadiran Keira dalam rumah tangga mereka memang bukan tanpa alasan, semuanya berawal dari suatu pagi yang sangat sibuk dengan Angga yang masih berada di depan laptopnya setelah semalam dia sampai di rumah hampir pukul tiga dini hari.
Tidur hanya tiga jam tak membuat Angga bangun kesiangan, laki-laki itu seolah memiliki baterai yang selalu on. “Kok sudah bangun, Mas?” tanya Dina yang mendapati suaminya sudah sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di depannya. “Habis ini ada meeting penting, aku harus siapin data-datanya,” jawab Angga sambil lalu, dia bahkan tak mngalihkan pandangan matanya dari laptop saat bicara dengan Dina. “Sebaiknya, Mas mandi dulu biar segar, setelah itu sarapan, aku sudah buatkan nasi goreng seafood kesukaanmu.” Dina segera beranjak berdiiri menyiapkan segala keperluan mandi suaminya, setelah itu beralih menyiapkan pakaian, jam tangan, tas sampai dokumen-dokumen yang harus dibawa suaminya ke kantor. “Berkas ini semua dibawa?” tanya Dina saat sang suami belum beranjak dari depan laptopnya, Angga hanya menoleh sekilas mengangguk lalu kembali dengan laptopnya, sudah sejak lama Dina tahu kalau suaminya ini gila kerja, seolah dunia akan berhenti berputar kalau dia berhenti bekerja. “Sudah mau jam tujuh, Mas nggak siap-siap. Ada meeting penting kan setelah ini.” Dina kembali bersuara saat dia sudah selesai menyiapkan semua kebutuhan sang suami, tapi laki-laki itu masih saja bercengkrama dengan laptopnya.“Iya… iya ini bentar aku simpan dulu, kamu makin lama makin bawel.” Dina memutar bola matanya malas, yang benar saja bawel katanya, nanti kalau dia kesiangan siapa yang akan rugi.Menjadi seorang istri bos besar sepeti Angga memang bukan hal mudah, apalagi mereka menikah tanpa cinta. Mereka sama-sama hanya menjalankan peran mereka masing-masing sebagai sepasang suami istri. Dina belum mampu untuk benar-benar masuk ke dalam hati sang suami selalu ada tembok tak kasat mata yang tercipta antara mereka berdua. Dina memang mengurusi semua kebutuhan Angga dari ujung kaki sampai ujung kepala, memastikan suaminya tetap ganteng dan berkarisma di hadapan semua orang. Dina kembali masuk ke dalam kamarnya, dilihatnya sang suami yang telah mengenakan setelan kerjanya kembali duduk di depan laptop dan dengan serius mengetikkan sesuatu. Dina mengambil sisir yang tergeletak di meja rias lalu mulai menata rambut sang suami. “Kenapa, nggak dikerjakan di mobil saja, sekarang kita sarapan dulu,” kata Dina lembut setelah selesai membantu Angga berdandan. “Mana bisa, Pak Rohim nggak masuk hari ini, jadi aku nyetir sendiri.” “Kenapa nggak minta antar Pak Arif?” tanya Dina menyebut sopir pribadi yang disediakan sang suami untuknya dan anak-anak. “Aku nyetir sendiri saja, nanti kalau kamu pergi ke yayasan nggak ada yang anter.” “Tapi, Mas pasti capek, lebih enak kalau pakai sopir bisa istirahat sebentar.” Dina melihat sang suami menghela nafas dan menatapnya sepenuhnya. “Kamu dan anak-anak lebih butuh sopir, aku bisa nyetir sendiri, lagian jarak dengan kantor tak sebegitu jauh.” “Tapi, Mas aku nggak tenang, kamu tidak bisa memforsir tubuhmu terus menerus, atau kamu bisa telepon Bara untuk menjemput.”“Ckkk kamu bawel banget, aku pake mobil sendiri, sekarang tolong ambilkan makanan dan suapin aku.” Tanpa kata Dina segera berlalu, mengambilkan sarapan untuk sang suami. Entah mengapa mendengar sang suami akan menyetir mobil sendiri memuat hatinya resah ada rasa khawatir yang tidak bisa dijelaskan. Tapi jika dia nekat mendebat sang suami bisa dipastikan dia akan kalah, suaminya adalah sosok pribadi yang matang dan terbiasa didengarkan, jadi agak sulit untuk menasehatinya. ***Telepon yang berdering membuat Dina yang sedang dibuai alam mimpi bernajak bangun rupanya, ponsel miliknya. Tertera nomer sang suami yang menelepon. Dina segera mengangkatnya tumben sekali suaminya ini menelepon di jam… oh ternyata baru jam sembilan. “Ya, Mas?” Alih-alih mendengar suara sang suami, Dina malah mendengar suara asing yang mengabarkan kalau suaminya mengalami kecelakaan. Sejenak Dina hanya diam mematung, otaknya seolah tak bisa diajak kerja sama, dia baru tersadar saat sambungan telah dimatikan di ujung sana. Disanalah bencana itu berawal, suaminya dalam keadaan lelah telah menabrak seorang pengendara motor beserta putrinya. sang ayah masih kritis dan sang anak mengalami patah kaki dan tangan. Sedangkan Angga sendiri mengalami luka lecet di beberapa bagian tubuhnya. Dina masih di sana menemani sang suami saat sang ayah akhirnya meninggal dan menitipkan anaknya pada Angga. “Aku telah membunuh orang, Bun, andai saja aku menuruti kata-katamu tadi pagi semuanya tidak akan jadi begini,” keluh Angga.Dina hanya bisa mengelus punggung suaminya yang rapuh, mereka sedang berada di depan ruang rawat anak pengendara itu. Baru saja Dina akan menghibur suaminya, Dokter yang merawat sang anak mengatakan kalau sulit baginya untuk bisa berjalan lagi.Berhari-hari Angga dan Dina bergantian menjaga Keira––sang anak yang juga turut sebagai korban kecelakaan. Gadis berusia awal dua puluhan itu bahkan selalu murung dan menutup diri, hingga suatu hari Angga memiliki ide yang membuat Dina hampir terkena serangan jantung. “Aku akan menikahinya, Bun, aku tidak bisa lepas tangan begitu saja setelah apa yang terjadi padanya.” “Apa tidak ada cara lain untuk menebus kesalahanmu?”“Tidak ada, maafkan aku kalau harus melakukan ini, tapi itu satu-satunya jalan terbaik yang aku pikirkan.” Dina pun tak bisa berbuat apa-apa saat mertuanya juga mendukung keputusan Angga. Dia memang kasihan pada gadis itu, tapi dia juga tak rela kalau harus berbagi suami dengannya. Seminggu kemudian tepatnya hari ini, mereka menikah dan meninggalkan luka tak kasat mata untuk Dina. ***“Kamu kenapa, Bun, kok bengong begitu?” Dina menoleh pada sang suami, menatapnya dalam. Dia tak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dalam situasi ini. Dia bukan pribadi yang mudah mengungkapkan permasalahannya pada orang lain. Sejak kecil tak ada orang yang bisa dia andalkan sebagai tempat berbagi. Pun setelah menikah mereka hanya berbagi secara fisik, tanpa pernah mengenal satu sama lain dengan baik. “Kenapa, Mas?” “Aku perhatikan dari tadi kamu lebih banyak melamun, apa kamu begitu terbebani dengan pernikahanku kali ini?” Dina memandang sang suami tajam. “Apa semuanya akan kembali seperti semula jika aku menjawab iya.” Mereka sama-sama terdiam sibuk dengan pemikiran masing-masing. Memang tak ada yang bisa mereka lakukan sekarang ini semuanya sudah terjadi, mereka sebagai manusia hanya bisa menjalani. “Aku mandi dulu.” Dina tersenyum kecut sang suami lagi-lagi menghindarinya, dalam hati Dina selalu bertanya-tanya benarkah tak ada rasa cinta Angga untuknya sedikit pun. Bahkan setelah apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Benarkah itu hanya kewajiban semata?Sedangkan tiap harinya dia semakin jatuh dan jatuh pada pesona sang suami, dulu dia berpikir bukan masalah suaminya tak mencintainya asalkan rumah tangga mereka berjalan dengan bahagia, tapi sekarang dia tak yakin lagi.Lima tahun pernikahan mereka Dina tak pernah benar-benar mengenal suaminya. Dan sekarang dia juga harus berbagi dengan wanita lain. Masih mampukan dia untuk bertahan?Pagi itu seperti biasa Dina sudah ribut mengurus semua keperluan anak-anak dan suaminya, kalau kalian berpikir menjadi istri bos itu enak kalian harus bepikir ulang saat berhadapan dengan Angga dan anak-anaknya. Mereka hanya mau Dina yang mengurus semuanya, mulai menyiapkan pakaian maupun memasakkan sarapan. “Aksa jangan main game terus, ayo selesaikan makanmu.” Aksa anak pertama Angga dengan almarhum istrinya, langsung memasang muka cemberut tapi menurut dengan meletakan ponselnya dan mulai memakan sarapannya. “Arsyi, makannya cepetan keburu siang.”Ditinggal sang ibu saat masih berumur tujuh tahun dan lima tahun membuat dua orang anak Angga seperti kehilangan Arah mereka yang terbiasa bersama sang mama harus rela dipisahkan oleh maut dan Dinalah yang selama ini membantu mereka mengatasi kesedihan, bukan sebagai ibu karena Dina sudah memberitahukan kalau dia hanya teman dan sahabat untuk dua anak yang beranjak remaja itu.Dina memang tidak berkeinginan untuk menggantikan mama mere
Dina segera masuk ke kamar mandi dinyalakannya shower, berharap dengan dinginnya air yang mengalir mampu menjernihkan otaknya, tapi Bukannya otaknya yang menjadi dingin, air matanyalah yang mengalir, dia tidak menyesali takdir yang telah ditetapkan tuhan untuknya, yang paling dia sesali adalah hatinya yang tak bisa menerima kenyataan ini. Derasnya air dari shower tak mampu menyembunyikan air matanya yang mengalir berambah deras.Dina membekap mulutnya sendiri. Berusaha meredam segala sesak di dada.Tak ingin terlambat ke kantor Dina segera menyelesaikan ritual mandinya, memandang wajahnya dari cermin."Pasti aku akan terlihat menyedihkan," gumam Dina pelan. Ditepuk-tepuknya wajahnya supaya terlihat lebih berwarna. Hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tak mau ada orang yang merasa kasihan padanya. Sekian lama hidup di panti asuhan bukan berarti dia mengharapkan rasa kasihan orang lain. "Aku hampir saja mendobrak pintu kamar mandi kalau kamu tidak segera keluar dari
Melihat dina yang melangkah pergi Angga tersadar, dipeluknya tubuh Dina dari belakang sangat erat, seolah dia sangat takut kalau Dina akan menghilang dari hidupnya. “Jangan pergi.” “Mas apa-apaan sih aku mau kerja, urusan anak-anak dan Keira, hanya butuh sedikit usaha saja mereka pasti luluh, mereka anak-anak yang baik, yang tahu bagaimana harus bersikap, tinggal dia pantas tidak untuk mendapat perhatian anak-anak.” Angga melepaskan pelukannya di tubuh Dina tapi sebagai gantinya laki-laki itu, membalikkan bahu sang istri dan menatapnya tajam. “Aku ingin bicara, tolong dengarkan sebentar saja, atau kamu tidak boleh kerja lagi.” Dina menatap suaminya tak percaya, tadi Angga membentaknya sekarang diancam, luar biasa memang suaminya ini. Dina benci dirinya sendiri yang malah menuruti Angga dan melangkah ke tempat tidur. Kenapa sejak dulu dia selalu saja menjadi wanita naif yang selalu melakukan apapun yang diinginkan sang suami. Di sini dia istri Angga bukan pegawai kantorny
"Harus ya kamu melakukan itu, ingat, Din kamu juga seorang ibu bagaimana anak-anak kalau kamu tinggal?" "Aku akan membawa Ara.""Jangan bilang kamu akan meninggalkan Aksa dan Arsyi, aku tahu kamu memang bukan ibu kandung mereka tapi mereka sangat menyayangimu melebihi aku papanya.""Mereka pasti akan ngerti, lagi pula tiap hari aku akan memantau mereka Mas tidak usah khawatir." "Lalu aku?" Dina hampir saja tertawa melihat laki-laki dewasa yang biasanya bijaksana kini malah seperti anak kecil menujuk hidungnya sendiri dengan bingung."Mas kenapa memangnya?""Selama ini semua kebutuhanku di rumah kamu yang urus dari bangun tidur sampai tidur lagi.""Mas lupa kalau sudah punya istri yang lain yang bisa mengurus Mas," Dina berkata sinis."Tapi aku ingin kamu yang mengurus semuanya, kurasa Keira tak akan mampu mengurus semuanya sebaik dirimu."
Perjalanan yang berlangsung selama tiga puluh menit itu terasa sangat sunyi, bahkan Pak Amin yang menjadi sopir mereka enggan menyalakan radio untuk sekedar membuat suasana lebih hidup.Apalagi saat Aksa dan Arsyi sudah turun di sekolah mereka masing-masing. Si kecil Ara juga sibuk memainkan boneka barbienya, sesekali terdengar rengekan anak itu, meminta ini itu, tapi dengan sabar Dina menenangkannya.Pak Amin sekali lagi melirik ke belakang melalui kaca spion, dua orang dewasa itu masih betah berdiam diri dengan wajah sama-sama datar, Pak Amin bahkan tak bisa menebak mereka sedang marahan atau sekedar lelah. Peristiwa kemarin mungkin menjadi penyebabnya, bagaimanapun tidak ada yang tahu akan seperti apa hubungan mereka bertiga nanti.Mereka tiba di halaman panti dan langsung di sambut heboh oleh anak-anak di sana, Dina sudah sangat dikenal di panti ini, setiap bulan dia pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke mari.
"Pak Amin tunggu di kantor saya saja, biar mobilnya saya bawa, dari sini bisakan naik ojol saya mau pergi sebentar dengan Ibu." Angga mengangsurkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada sopir yang mengantar mereka tadi."Tidak perlu, Tuan saya ada uang.”Pak Amin menolak uang pemberian Angga dengan sungkan."Sudah, Pak, nggak apa-apa anggap saja rejeki buat anak Bapak." Angga memaksa meletakkan uang itu dan diterima Pak Amin dengan sungkan."Ya sudah, Tuan saya langsung ke kantor Tuan dulu.""Iya, Pak hati-hati."Angga menarik nafas sejenak lalu, masuk ke kursi pengemudi, menunggu dengan sabar Dina yang sedang berpamitan pada Ibu Panti."Kamu duduk di depan, Din, aku bukan sopir." Dina melirik bingung ke mana Pak Amin, kenapa jadi suaminya yang menyetir sekarang."Pak Amin mana?" "Sudah aku minta pergi dulu?"
Menjadi istri seorang Airlangga Wicaksana, memang sebuah keberuntungan tersendiri untuk Dina. Dia yang hanya anak panti asuhan, tak kenal ayah dan Ibunya, dan hanya hidup sederhana, tentu itu bisa dikatakan mimpi indah di siang bolong. Dia merasa menjadi Cinderella yang dipinang oleh pangeran kaya, tapi mungkin orang banyak yang lupa cerita Cinderella berakhir sampai mereka menikah saja, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Cinderella setelah menikah dengan pangeran, bisakah dia beradaptasi dengan lingkungan istana, bisakah dia diterima dengan sepenuh hati oleh kalangan bangsawan itu. Itulah yang dialami Dina setelah pernikahannya dengan Angga, meski di sini Angga tidak sama dengan sosok pangeran yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella. Angga tak pernah menginginkan pernikahan dengan Dina, tidak ada cinta untuk wanita itu dalam hatinya. Dia menikahi Dina atas dasar kepatuhan pada orang tua dan juga kasihan pada anak-anaknya yang telah kehilangan sosok seorang Ibu di
Dina mengangkat wajahnya saat mendengar sebuah mobil memasuki halaman panti. Dia masih sibuk menemani Ara dan beberapa anak panti mewarnai di teras depan, seminggu tinggal di sini membuat Dina memiliki agenda rutin menemani anak-anak itu, bermain bersama mereka membuatnya bisa sedikit melupakan permasalahan yang tengah dia hadapi.Senyum polos, tawa lepas dan wajah imut selalu berhasil mengalihkan dunianya, tapi sepertinya kesenangan itu harus berakhir saat dia mengenali mobil siapa yang memasuki halaman panti, dan seseorang yang turun dari kursi penumpang adalah orang yang sangat tidak ingin dia temui sekarang."Papa!" Ara segera berlari memeluk papanya. Anaknya itu terlihat sangat senang apalagi saat pintu kembali terbuka dan dua orang kakaknya turun dari mobil.Mau tak mau Dina melangkah menghampiri mereka dan membawanya ke ruang tamu. Bu Rahmi sedang keluar, Dina tak ingin ada drama yang bisa dilihat anak-an