Pagi itu seperti biasa Dina sudah ribut mengurus semua keperluan anak-anak dan suaminya, kalau kalian berpikir menjadi istri bos itu enak kalian harus bepikir ulang saat berhadapan dengan Angga dan anak-anaknya. Mereka hanya mau Dina yang mengurus semuanya, mulai menyiapkan pakaian maupun memasakkan sarapan.
“Aksa jangan main game terus, ayo selesaikan makanmu.” Aksa anak pertama Angga dengan almarhum istrinya, langsung memasang muka cemberut tapi menurut dengan meletakan ponselnya dan mulai memakan sarapannya. “Arsyi, makannya cepetan keburu siang.”Ditinggal sang ibu saat masih berumur tujuh tahun dan lima tahun membuat dua orang anak Angga seperti kehilangan Arah mereka yang terbiasa bersama sang mama harus rela dipisahkan oleh maut dan Dinalah yang selama ini membantu mereka mengatasi kesedihan, bukan sebagai ibu karena Dina sudah memberitahukan kalau dia hanya teman dan sahabat untuk dua anak yang beranjak remaja itu.Dina memang tidak berkeinginan untuk menggantikan mama mereka, sejak awal dia sudah memberitahukan bahwa dia bukan ibu kandung mereka walaupun begitu dia tetap menyayangi mereka layaknya anak sendiri, lagi pula waktu yang dihabiskan Dina dengan kedua anak itu lebih banyak dari pada saat dengan papanya. “Bunda telur dadarku diambil kak Aksa,” lapor Arsyi. “Bohong Bunda itu tadi Arsyi nggak mau lalu aku ambil.” Dina menghela nafas, beginilah rutinitasanya setiap pagi ada saja ulah anak-anak itu. “Aksa dan Arsyi mau telur dadar lagi biar, Bunda minta Mbak Dar buatkan?” serempak kedua anak itu mengangguk. Dina segera memanggil mbak Dar yang masih sibuk di dapur, tidak seperti rumah orang kaya kebanyakan yang pelayannya berjajar di belakang majikannya untuk setiap saat melayani. Dina malah mengatur mereka untuk menyelesaikan pekerjaannya masing-masing, urusan di meja makan Dina yang akan melayani semuanya. Angga pertama melihat itu sempat protes tapi Dina dengan keras kepala menjawab bahwa ini bagian dari tugasnya dengan begini mereka akan merasa lebih dekat dan kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. “Wah pagi-pagi sudah ramai saja, apa Papa ketinggalan sesuatu?” serempak mereka semua menoleh kepada Angga yang baru saja keluar kamar sambil mendorong kursi roda Keira. Mereka berdua sudah rapi dan wangi. Dina memandang penampilannya sendiri yang masih mengenakan piyama dan rambut dicepol asal, dan yang pasti belum sempat mandi. Dia hanya meringis pantas saja suaminya langsung ingin menikahi Keira yang cantik dan masih muda, dia pasti sudah bosan melihatku yang kucel ini. Batinnya pedih.Entah kenapa Aksa dan Arsyi terlihat tidak terlalu antusias melihat papanya, mereka berdua bahkan langsung menunduk pura-pura sibuk dan tidak menanggapi sapaan papanya. Dina yang melihat itu hanya bisa meringis bingung, dia memang belum pernah bicara dengan anak-anak soal papanya yang akan menikah lagi. kemarin dia berpikir suaminyalah yang harus bicara pada mereka tapi sepertinya dia juga harus ikut bicara. Dina melirik suaminya yang membopong Keira untuk dipindahkan ke kursi makan, suatu hal yang lumrah memang, tapi tidak untuk Dina, hatinya semakin sakit melihat perhatian suaminya pada istri mudanya itu. “Bun, mana telur dadarnya?” “Iya sebentar.” Dina segera berjalan ke dapur meminta telur dadar yang sedang digoreng mbak Dar, tak dia perdulikan suaminya yang memandang tak suka pada Aksa dan Arsyi yang mengabaikannya. “Ini telur dadar kalian, jangan berebut, Bunda sudah minta buatkan banyak.” Dina memberi peringatan pada dua anak itu. “Iya, Bunda.” “Baik, Bunda.” Dina cukup puas dengan jawaban kedua anak itu, paling tidak mereka akan makan dengan tenang. “Aku ke kamar dulu, Mas?” tanpa menunggu jawaban Angga, Dina berjalan ke kamarnya tapi belum juga lima langkah Angga sudah kembali memanggilnya terpaksa dia kembali lagi ke meja makan.“Iya?” “Mau ke mana?” “Ke kamar. Mandi,” jawab Dina singkat. Mungkin suaminya tak mendengarnya tadi.“Kamu kok nggak ambilin Mas makan dulu, sudah siang ini.” Dina menghela nafasnya, suaminya ini benar-benar ya, sudah disediain di depan mata tinggal ambil juga. “Kan ada Keira, kamu bisa ambilkan makan Mas Angga, Kei?” tanya Dina pada istri muda suaminya itu. “Keira belum tahu selera makanku, lagi pula dia masih sakit kasihan.”Hah! Kasian dia bilang, memangnya siapa yang dari tadi pagi sudah mengurus semuanya sampai dia masih seperti gembel begini. Dengan kesal Dina mengambil dua piring dan mengisinya sama banyak lalu meletakkanya di hadapan sang suami dan Keira. “Sudah kan aku mau mandi sudah siang.” Dina langsung berlalu secepatnya dari sana,tak diperdulikannya pandangan tak suka Angga, memangnya karena siapa ini semua terjadi. Batinnya kesal.***Sebenarnya kalau dipikir-pikir Keira bukan gadis yang picik dan jahat, beberapa kali dia menunggui gadis itu di rumah sakit bergantian dengan Angga, dan mereka terlibat percakapan yang menyenangkan, bahkan Keira juga sudah menolak ide Angga untuk menjadikannya istri, tapi Angga tetap kukuh untuk bertanggung jawab dengan menjaga Keira seumur hidup, andai saja dia tidak masuk dalam rumah tangganya mungkin Dina bisa bersikap lebih manis. Dina hanya belum terbiasa dengan keadaan ini rasa insecure selalu menghantuinya, apalagi Keira meski harus duduk di kursi roda dia tetap saja gadis yang masih muda dan sangat cantik, Dina yakin dulu pasti banyak laki-laki yang mendekatinya.Dina tidak langsung ke kamarnya dia perlu menengok anaknya sebentar, Aralah selama ini yang menjadi pegangannya, gadis kecil itu seolah pengingat bagi Dina bahwa dia harus menjadi wanita yang kuat dan dapat bertahan dalam situasi ini. “Ara sudah mandi, Mbak?” tanya Dina pada asisten rumah tangga yang biasanya membantu Dina menjaga Ara kalau dia sedang sibuk yang kebetulan baru keluar dari kamar putrinya itu. “Sudah cantik, Bu, Non Aranya mau diajak kerja hari ini?” “Iya, Mbak, mumpung nggak ada tugas di luar. Oh ya tolong sekalian suapin Ara juga, saya mau mandi dulu.” “Baik, Bu.”Dina memang bekerja di kantor yayasan yang khusus mengurus anak-anak berkebutuhan khusus, sebenarnya Angga sudah meminta Dina berhenti bekerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga saja, tapi Dina menolak. Bukan gaji yang dia kejar tapi hanya keinginan untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung. Bahkan dia sering memberikan gajinya lagi pada anak-anak itu karena dia merasa sudah cukup dengan uang bulanan dari Angga. Dan sekarang keputusan itu dirasa sangat tepat, setidaknya dia tidak jadi gila karena terkurung di rumah seharian bersama Keira. “Ara boleh ikut Bunda hari ini?” tanya Ara dengan semangat. “Tentu saja, tapi di sana Ara tidak boleh nakal dan tidak boleh bertengkar dengan teman-teman.” “Siap, Bunda.” “Ok, sekarang Ara makan dulu sama Mbak, Bunda mau mandi setelah itu kita berangkat.” Ara segera berlari ke ruang makan dan Dina melanjutkan langkahnya menuju kamar, dia ingin secepatnya pergi dari rumah ini, setidaknya dengan bekerja dia sedikit melupakan masalahnya di rumah.Dina segera masuk ke kamar mandi dinyalakannya shower, berharap dengan dinginnya air yang mengalir mampu menjernihkan otaknya, tapi Bukannya otaknya yang menjadi dingin, air matanyalah yang mengalir, dia tidak menyesali takdir yang telah ditetapkan tuhan untuknya, yang paling dia sesali adalah hatinya yang tak bisa menerima kenyataan ini. Derasnya air dari shower tak mampu menyembunyikan air matanya yang mengalir berambah deras.Dina membekap mulutnya sendiri. Berusaha meredam segala sesak di dada.Tak ingin terlambat ke kantor Dina segera menyelesaikan ritual mandinya, memandang wajahnya dari cermin."Pasti aku akan terlihat menyedihkan," gumam Dina pelan. Ditepuk-tepuknya wajahnya supaya terlihat lebih berwarna. Hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tak mau ada orang yang merasa kasihan padanya. Sekian lama hidup di panti asuhan bukan berarti dia mengharapkan rasa kasihan orang lain. "Aku hampir saja mendobrak pintu kamar mandi kalau kamu tidak segera keluar dari
Melihat dina yang melangkah pergi Angga tersadar, dipeluknya tubuh Dina dari belakang sangat erat, seolah dia sangat takut kalau Dina akan menghilang dari hidupnya. “Jangan pergi.” “Mas apa-apaan sih aku mau kerja, urusan anak-anak dan Keira, hanya butuh sedikit usaha saja mereka pasti luluh, mereka anak-anak yang baik, yang tahu bagaimana harus bersikap, tinggal dia pantas tidak untuk mendapat perhatian anak-anak.” Angga melepaskan pelukannya di tubuh Dina tapi sebagai gantinya laki-laki itu, membalikkan bahu sang istri dan menatapnya tajam. “Aku ingin bicara, tolong dengarkan sebentar saja, atau kamu tidak boleh kerja lagi.” Dina menatap suaminya tak percaya, tadi Angga membentaknya sekarang diancam, luar biasa memang suaminya ini. Dina benci dirinya sendiri yang malah menuruti Angga dan melangkah ke tempat tidur. Kenapa sejak dulu dia selalu saja menjadi wanita naif yang selalu melakukan apapun yang diinginkan sang suami. Di sini dia istri Angga bukan pegawai kantorny
"Harus ya kamu melakukan itu, ingat, Din kamu juga seorang ibu bagaimana anak-anak kalau kamu tinggal?" "Aku akan membawa Ara.""Jangan bilang kamu akan meninggalkan Aksa dan Arsyi, aku tahu kamu memang bukan ibu kandung mereka tapi mereka sangat menyayangimu melebihi aku papanya.""Mereka pasti akan ngerti, lagi pula tiap hari aku akan memantau mereka Mas tidak usah khawatir." "Lalu aku?" Dina hampir saja tertawa melihat laki-laki dewasa yang biasanya bijaksana kini malah seperti anak kecil menujuk hidungnya sendiri dengan bingung."Mas kenapa memangnya?""Selama ini semua kebutuhanku di rumah kamu yang urus dari bangun tidur sampai tidur lagi.""Mas lupa kalau sudah punya istri yang lain yang bisa mengurus Mas," Dina berkata sinis."Tapi aku ingin kamu yang mengurus semuanya, kurasa Keira tak akan mampu mengurus semuanya sebaik dirimu."
Perjalanan yang berlangsung selama tiga puluh menit itu terasa sangat sunyi, bahkan Pak Amin yang menjadi sopir mereka enggan menyalakan radio untuk sekedar membuat suasana lebih hidup.Apalagi saat Aksa dan Arsyi sudah turun di sekolah mereka masing-masing. Si kecil Ara juga sibuk memainkan boneka barbienya, sesekali terdengar rengekan anak itu, meminta ini itu, tapi dengan sabar Dina menenangkannya.Pak Amin sekali lagi melirik ke belakang melalui kaca spion, dua orang dewasa itu masih betah berdiam diri dengan wajah sama-sama datar, Pak Amin bahkan tak bisa menebak mereka sedang marahan atau sekedar lelah. Peristiwa kemarin mungkin menjadi penyebabnya, bagaimanapun tidak ada yang tahu akan seperti apa hubungan mereka bertiga nanti.Mereka tiba di halaman panti dan langsung di sambut heboh oleh anak-anak di sana, Dina sudah sangat dikenal di panti ini, setiap bulan dia pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke mari.
"Pak Amin tunggu di kantor saya saja, biar mobilnya saya bawa, dari sini bisakan naik ojol saya mau pergi sebentar dengan Ibu." Angga mengangsurkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada sopir yang mengantar mereka tadi."Tidak perlu, Tuan saya ada uang.”Pak Amin menolak uang pemberian Angga dengan sungkan."Sudah, Pak, nggak apa-apa anggap saja rejeki buat anak Bapak." Angga memaksa meletakkan uang itu dan diterima Pak Amin dengan sungkan."Ya sudah, Tuan saya langsung ke kantor Tuan dulu.""Iya, Pak hati-hati."Angga menarik nafas sejenak lalu, masuk ke kursi pengemudi, menunggu dengan sabar Dina yang sedang berpamitan pada Ibu Panti."Kamu duduk di depan, Din, aku bukan sopir." Dina melirik bingung ke mana Pak Amin, kenapa jadi suaminya yang menyetir sekarang."Pak Amin mana?" "Sudah aku minta pergi dulu?"
Menjadi istri seorang Airlangga Wicaksana, memang sebuah keberuntungan tersendiri untuk Dina. Dia yang hanya anak panti asuhan, tak kenal ayah dan Ibunya, dan hanya hidup sederhana, tentu itu bisa dikatakan mimpi indah di siang bolong. Dia merasa menjadi Cinderella yang dipinang oleh pangeran kaya, tapi mungkin orang banyak yang lupa cerita Cinderella berakhir sampai mereka menikah saja, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Cinderella setelah menikah dengan pangeran, bisakah dia beradaptasi dengan lingkungan istana, bisakah dia diterima dengan sepenuh hati oleh kalangan bangsawan itu. Itulah yang dialami Dina setelah pernikahannya dengan Angga, meski di sini Angga tidak sama dengan sosok pangeran yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella. Angga tak pernah menginginkan pernikahan dengan Dina, tidak ada cinta untuk wanita itu dalam hatinya. Dia menikahi Dina atas dasar kepatuhan pada orang tua dan juga kasihan pada anak-anaknya yang telah kehilangan sosok seorang Ibu di
Dina mengangkat wajahnya saat mendengar sebuah mobil memasuki halaman panti. Dia masih sibuk menemani Ara dan beberapa anak panti mewarnai di teras depan, seminggu tinggal di sini membuat Dina memiliki agenda rutin menemani anak-anak itu, bermain bersama mereka membuatnya bisa sedikit melupakan permasalahan yang tengah dia hadapi.Senyum polos, tawa lepas dan wajah imut selalu berhasil mengalihkan dunianya, tapi sepertinya kesenangan itu harus berakhir saat dia mengenali mobil siapa yang memasuki halaman panti, dan seseorang yang turun dari kursi penumpang adalah orang yang sangat tidak ingin dia temui sekarang."Papa!" Ara segera berlari memeluk papanya. Anaknya itu terlihat sangat senang apalagi saat pintu kembali terbuka dan dua orang kakaknya turun dari mobil.Mau tak mau Dina melangkah menghampiri mereka dan membawanya ke ruang tamu. Bu Rahmi sedang keluar, Dina tak ingin ada drama yang bisa dilihat anak-an
"Apa karena kami hanya anak tiri, jadi Bunda tak mau lagi mengurus kami?" tanya Arsyi pelan tapi seolah bagai bom yang diledakkan tepat di atas kepalanya.Dina termangu matanya menatap nanar dua orang anak tirinya, otaknya seketika blank, tak bisa memikirkan satu kata pun yang bisa dia ucapkan. Anak-anak itu memang bukan lahir dari rahimnya tapi Dina bersumpah kalau dia menyayangi keduanya seperti dia menyayangi Ara, putrinya sendiri.Angga yang mendengar pertanyaan kedua anaknya pada Dina menoleh terkejut, dia memandang sang istri yang sudah bermuka pucat dan bibir gemetar, seketika perasaan bersalah menggerogoti jiwanya, dia tak berpikir panjang saat akan menikahi Keira dulu, dia hanya berpikir untuk bertanggung jawab pada hidup gadis itu. Angga lupa dia sendiri juga punya tanggung jawab yang harus dia prioritaskan, bukan hanya diberi uang dan kemewahan."Bunda memang hanya ibu tiri kalian tapi kalian harus ta