Home / Pernikahan / Wanita Kedua / Jangan Pergi

Share

Jangan Pergi

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Melihat dina yang melangkah pergi Angga tersadar, dipeluknya tubuh Dina dari belakang sangat erat, seolah dia sangat takut kalau Dina akan menghilang dari hidupnya.

“Jangan pergi.”

“Mas apa-apaan sih aku mau kerja, urusan anak-anak dan Keira, hanya butuh sedikit usaha saja mereka pasti luluh, mereka anak-anak yang baik, yang tahu bagaimana harus bersikap, tinggal dia pantas tidak untuk mendapat perhatian anak-anak.”

Angga melepaskan pelukannya di tubuh Dina tapi sebagai gantinya laki-laki itu, membalikkan bahu sang istri dan menatapnya tajam.

“Aku ingin bicara, tolong dengarkan sebentar saja, atau kamu tidak boleh kerja lagi.”

Dina menatap suaminya tak percaya, tadi Angga membentaknya sekarang diancam, luar biasa memang suaminya ini.

Dina benci dirinya sendiri yang malah menuruti Angga dan melangkah ke tempat tidur. Kenapa sejak dulu dia selalu saja menjadi wanita naif yang selalu melakukan apapun yang diinginkan sang suami.

Di sini dia istri Angga bukan pegawai kantornya yang bisa diperintah sesuka hati.

"Apakah ini ancaman?"

"Aku hanya ingin kamu mendengarkan aku sebentar saja."

Dina menatap suaminya tajam, dia muak dengan ini semua sungguh.

"Bicaralah."

"Kita duduk dulu, tadi juga kamu belum sarapan, apa kamu mau aku minta bibi bawakan makanan ke mari?"

"Tidak perlu aku bisa ambil sendiri lagi pula Ara pasti sudah menungguku."

"Iya, anak kita Ara, dia sudah semakin pintar saja, aku lihat sekarang dia sudah bisa makan sendiri dengan baik," kata Angga sambil tersenyum.

"Iya, sejak dia berumur dua tahun, aku memang membiasakan Ara makan sendiri, jadi tidak heran jika sekarang bisa makan sendiri dengan baik, dia sudah empat tahun."

"Kamu memang ibu yang hebat," puji Angga tulus, dia tersenyum dan membelai rambut sang istri lembut

"Terima kasih, jadi apa yang mau Mas bicarakan, Mas nggak mungkinkan mengajakku bicara serius hanya menanyakan masalah Ara?" tanya Dina dengan nada mengejek.

Angga bukannya marah atas ejekan sang istri dia malah tersenyum merasa bersalah.

"Apa aku salah menanyakan masalah perkembangan putri kita sendiri, aku jarang di rumah jadi wajar kalau aku bertanya?"

"Tidak salah memang, tapi hanya aneh saja kenapa baru sekarang bertanya, Ara sudah berumur empat tahun dan selama ini Mas terkesan cuek padanya, apa karena aku yang melahirkannya?"

Angga terkejut akan pemikiran istrinya.

"Apa maksudmu, Din? Kamu istriku dan melahirkan anakku, apa yang salah dengan itu?"

"Tidak ada, Mas, Kalau saja aku wanita yang kau harapkan untuk menjadi istrimu, aku tahu kita memang tak sederajat, kita--."

Dina tak sempat melanjutkan ucapannya karena bibirnya sudah dibungkam oleh bibir lembut Angga, sejenak mereka larut dalam kegiatan itu.

Angga seolah ingin menyampaikan kalau Dina juga berharga dalam hidupnya, dia bahkan tak pernah punya pikiran sepicik itu.

Angga mengakui dia memang belum mampu melupakan almarhum istrinya dan mencintai Dina dengan sepenuh hatinya, lima tahun pernikahan mereka Angga masih terus berusaha menumbuhkan rasa cinta untuk Dina, tapi sekarang ada Keira juga yang harus pelan-pelan juga dia cintai, tapi sungguh Angga sangat menyayangi Dina, dan tak akan rela kehilangan Dina.

Dina bagi Angga adalah teman, sahabat, adik dan partner yang sangat baik untuknya, Angga bahkan selalu mensyukuri pernikahannya dengan Dina.

Dia tak tahu bagaimana harus mengurus anak-anaknya tanpa Dina.

"Jangan pernah merasa rendah diri lagi, kamu istriku yang berharga, tak ada seorang pun di dunia ini yang boleh mengganggumu."

Dina bukannya tersanjung dengan kalimat sang suami tapi justru miris, seolah Angga baru saja mengatakan kalau dia hanya barang yang sangat berharga karena saat ini masih berguna. Entahlah mungkin otaknya sedang eror atau mungkin efek pernikahan suaminya kamarin jadi hatinya sudah sangat kebas.

"Kamu itu wanita yang sempurna, Din, aku selalu kagum padamu."

"Tapi tidak sesempurna istrimu yang lain sehingga tidak pantas untuk dicintai," cibir Dina, dia sedikit beringsut menjauh dari sang suami tapi Angga yang sedang ingin mengambil hati Dina meraih tubuh wanita itu dan memeluknya lembut.

"Bukan tidak tapi belum, suatu hari nanti aku yakin aku akan cinta mati padamu, beri aku waktu."

Dina hanya diam dan berdoa dalam hati semoga itu lekas terjadi.

Awal pernikahan dia memang tidak memiliki perasaan lebih pada sang suami, tapi terbiasa tidur bersama, berbagi suka dan duka membuat perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, makin lama makin dalam sampai dia takut akan cinta itu.

Angga memang sosok yang gampang dicintai, wajahnya yang sangat tampan dan harta yang melimpah ditambah lagi sifatnya yang ramah dan bijaksana.

"Jadi apa yang ingin Mas bicarakan denganku?"

Angga menghela nafas berusaha merangkai kata yang tepat agar tak melukai hati sang istri.

"Apa kamu keberatan kalau Keira juga tinggal di rumah ini?" sejenak Dina terkejut dengan pertanyaan Angga, bukankah semalam Angga berniat mencarikan rumah di sekitar sini, kenapa sekarang berubah lagi, tapi secepat pikiran itu hadir secepat itu juga Dina mengusirnya, Dia penasaran dengan alasan sang suami.

"Ini rumah Mas jadi terserah Mas saja," jawabnya datar.

"Ini bukan rumahku saja, sejak Laras meninggal kamulah pemilik rumah ini, karena itu aku meminta ijin padamu."

Dina mengerutkan kening tak paham dengan pemikiran suaminya. Bukankah ada anak-anak Mbak Laras, yang Angga tegaskan dulu akan mewarisi rumah ini.

Angga yang mengerti kebingungan Dina hanya tersenyum lalu berkata, "Aku pernah mengusulkan kita untuk pindah ke rumah baru tapi kamu bilang nyaman di sini, jadi aku berikan rumah ini untukmu, dan untuk anak-anak aku sudah mempersiapkan beberapa tabungan yang kau juga tahu."

Dina mengangguk mengerti maksud suaminya, sebenarnya dia tak pernah menuntut apapun dari sang suami, tapi dia juga tak akan berkomentar tentang hal itu, toh baginya rumah ini tetap rumah bersama dia hanya numpang tinggal di sini selama masih jadi istri Angga.

"Jadi bagaimana?"

"Terserah Mas saja."

"Bukan terserah aku, aku tak ingin menyakiti kalian berdua tapi kondisi Keira membuatku tak tega meninggalkannya sendiri, sedangkan aku juga ingin selalu bersama kamu dan anak-anak, kamu tahukan aku sering kerja sampai malam dan punya sedikit waktu dengan keluarga."

Sebenarnya Dina ingin membantah pendapat Angga itu tapi sangat tak ada gunanya.

"Beri aku waktu untuk berpikir sejenak, dan selama beberapa hari aku akan menginap di panti aku tak akan menganggu kalian."

Angga menatap Dina dengan tajam, tapi Dina juga tak mau kalah dia akan mempertahankan keinginannya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
ida agustina
seri banget.kapan membela diri nya dina?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Wanita Kedua   Menenangkan Hati

    "Harus ya kamu melakukan itu, ingat, Din kamu juga seorang ibu bagaimana anak-anak kalau kamu tinggal?" "Aku akan membawa Ara.""Jangan bilang kamu akan meninggalkan Aksa dan Arsyi, aku tahu kamu memang bukan ibu kandung mereka tapi mereka sangat menyayangimu melebihi aku papanya.""Mereka pasti akan ngerti, lagi pula tiap hari aku akan memantau mereka Mas tidak usah khawatir." "Lalu aku?" Dina hampir saja tertawa melihat laki-laki dewasa yang biasanya bijaksana kini malah seperti anak kecil menujuk hidungnya sendiri dengan bingung."Mas kenapa memangnya?""Selama ini semua kebutuhanku di rumah kamu yang urus dari bangun tidur sampai tidur lagi.""Mas lupa kalau sudah punya istri yang lain yang bisa mengurus Mas," Dina berkata sinis."Tapi aku ingin kamu yang mengurus semuanya, kurasa Keira tak akan mampu mengurus semuanya sebaik dirimu."

  • Wanita Kedua   Tawa Ara

    Perjalanan yang berlangsung selama tiga puluh menit itu terasa sangat sunyi, bahkan Pak Amin yang menjadi sopir mereka enggan menyalakan radio untuk sekedar membuat suasana lebih hidup.Apalagi saat Aksa dan Arsyi sudah turun di sekolah mereka masing-masing. Si kecil Ara juga sibuk memainkan boneka barbienya, sesekali terdengar rengekan anak itu, meminta ini itu, tapi dengan sabar Dina menenangkannya.Pak Amin sekali lagi melirik ke belakang melalui kaca spion, dua orang dewasa itu masih betah berdiam diri dengan wajah sama-sama datar, Pak Amin bahkan tak bisa menebak mereka sedang marahan atau sekedar lelah. Peristiwa kemarin mungkin menjadi penyebabnya, bagaimanapun tidak ada yang tahu akan seperti apa hubungan mereka bertiga nanti.Mereka tiba di halaman panti dan langsung di sambut heboh oleh anak-anak di sana, Dina sudah sangat dikenal di panti ini, setiap bulan dia pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke mari. 

  • Wanita Kedua   Terlena

    "Pak Amin tunggu di kantor saya saja, biar mobilnya saya bawa, dari sini bisakan naik ojol saya mau pergi sebentar dengan Ibu." Angga mengangsurkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada sopir yang mengantar mereka tadi."Tidak perlu, Tuan saya ada uang.”Pak Amin menolak uang pemberian Angga dengan sungkan."Sudah, Pak, nggak apa-apa anggap saja rejeki buat anak Bapak." Angga memaksa meletakkan uang itu dan diterima Pak Amin dengan sungkan."Ya sudah, Tuan saya langsung ke kantor Tuan dulu.""Iya, Pak hati-hati."Angga menarik nafas sejenak lalu, masuk ke kursi pengemudi, menunggu dengan sabar Dina yang sedang berpamitan pada Ibu Panti."Kamu duduk di depan, Din, aku bukan sopir." Dina melirik bingung ke mana Pak Amin, kenapa jadi suaminya yang menyetir sekarang."Pak Amin mana?" "Sudah aku minta pergi dulu?" 

  • Wanita Kedua   Ingin Dicinta

    Menjadi istri seorang Airlangga Wicaksana, memang sebuah keberuntungan tersendiri untuk Dina. Dia yang hanya anak panti asuhan, tak kenal ayah dan Ibunya, dan hanya hidup sederhana, tentu itu bisa dikatakan mimpi indah di siang bolong. Dia merasa menjadi Cinderella yang dipinang oleh pangeran kaya, tapi mungkin orang banyak yang lupa cerita Cinderella berakhir sampai mereka menikah saja, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Cinderella setelah menikah dengan pangeran, bisakah dia beradaptasi dengan lingkungan istana, bisakah dia diterima dengan sepenuh hati oleh kalangan bangsawan itu. Itulah yang dialami Dina setelah pernikahannya dengan Angga, meski di sini Angga tidak sama dengan sosok pangeran yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella. Angga tak pernah menginginkan pernikahan dengan Dina, tidak ada cinta untuk wanita itu dalam hatinya. Dia menikahi Dina atas dasar kepatuhan pada orang tua dan juga kasihan pada anak-anaknya yang telah kehilangan sosok seorang Ibu di

  • Wanita Kedua   Kembali Pulang

    Dina mengangkat wajahnya saat mendengar sebuah mobil memasuki halaman panti. Dia masih sibuk menemani Ara dan beberapa anak panti mewarnai di teras depan, seminggu tinggal di sini membuat Dina memiliki agenda rutin menemani anak-anak itu, bermain bersama mereka membuatnya bisa sedikit melupakan permasalahan yang tengah dia hadapi.Senyum polos, tawa lepas dan wajah imut selalu berhasil mengalihkan dunianya, tapi sepertinya kesenangan itu harus berakhir saat dia mengenali mobil siapa yang memasuki halaman panti, dan seseorang yang turun dari kursi penumpang adalah orang yang sangat tidak ingin dia temui sekarang."Papa!" Ara segera berlari memeluk papanya. Anaknya itu terlihat sangat senang apalagi saat pintu kembali terbuka dan dua orang kakaknya turun dari mobil.Mau tak mau Dina melangkah menghampiri mereka dan membawanya ke ruang tamu. Bu Rahmi sedang keluar, Dina tak ingin ada drama yang bisa dilihat anak-an

  • Wanita Kedua   Bom Waktu

    "Apa karena kami hanya anak tiri, jadi Bunda tak mau lagi mengurus kami?" tanya Arsyi pelan tapi seolah bagai bom yang diledakkan tepat di atas kepalanya.Dina termangu matanya menatap nanar dua orang anak tirinya, otaknya seketika blank, tak bisa memikirkan satu kata pun yang bisa dia ucapkan. Anak-anak itu memang bukan lahir dari rahimnya tapi Dina bersumpah kalau dia menyayangi keduanya seperti dia menyayangi Ara, putrinya sendiri.Angga yang mendengar pertanyaan kedua anaknya pada Dina menoleh terkejut, dia memandang sang istri yang sudah bermuka pucat dan bibir gemetar, seketika perasaan bersalah menggerogoti jiwanya, dia tak berpikir panjang saat akan menikahi Keira dulu, dia hanya berpikir untuk bertanggung jawab pada hidup gadis itu. Angga lupa dia sendiri juga punya tanggung jawab yang harus dia prioritaskan, bukan hanya diberi uang dan kemewahan."Bunda memang hanya ibu tiri kalian tapi kalian harus ta

  • Wanita Kedua   Satu Rumah

    Angga yang sadar sang istri enggan menerima sentuhannya menghentikan kegiatannya tanpa kata dia membersihkan tubuh mereka berdua, dan mengeringkannya dengan handuk.Dina masih diam, dia hanya masih enggan menatap suaminya, bahkan saat mereka sudah keluar dari kamar mandi dan duduk di ranjang dengan hanya menggunakan jubah mandi."Kamu kenapa, Din?" tanya Angga pelan."Kenapa, Mas di sini bukankah Mas seharusnya Bersama Keira?""Kamu juga istriku, dan sudah seminggu kita tak bertemu."Dina berdiri, membuka pintu lemari dan mengambil pakaian untuk mereka berdua, dan menyerahkan salah satunya pada Angga."Mau ke mana?" tanya Angga menggenggam tangan Dina saat wanita itu akan berlalu dari hadapannya."Ganti baju di kamar mandi.""Kenapa tidak ganti di sini biasanya juga begitu?" Angga memandang Dina tajam seolah tak rela sang istri hilang dari pandangannya."Mung

  • Wanita Kedua   Tak Ingin Sendiri

    Dina menelungkupkan kepalanya saat sang suami dengan kesal pergi dari kamar ini dan mengatakan tidak akan ada yang berubah.Dina tak tahu apa yang tidak berubah, nyatanya rumah tangga mereka sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Terbiasa ditinggalkan dan kesepian membuat Dina begitu takut, takut kehilangan suami dan anak-anak yang begitu dia sayang. Dina kembali menangis, bahunya bergetar hebat, dia tak tahu bagaimana nasibnya nanti? Dia bukan takut kehilangan harta dan kemewahan yang selama ini dia dapatkan saat menjadi istri Angga, sekali lagi dia hanya takut kehilangan orang yang dia sayang dan sendirian.Ditatapnya wajah yang terpantul dari dalam cermin terlihat mengerikan.Lama Dina menatap wajahnya di cermin, mungkin bila wajahnya cantik dia tak akan ditinggalkan, pikirnya. Lelah dengan semua pemikiran yang silih berganti melintas dalam benaknya, Dina merebahkan kepala di meja rias, sekedar mengistirahat

Latest chapter

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Cinta Sederhana

    "Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Kejutan

    “Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Sehangat Mentari

    Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Tak Terduga

    Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Malam Panjang

    Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Teman?

    Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Kotak Biru

    Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Move on

    Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Jawaban?

    Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda

DMCA.com Protection Status