"Harus ya kamu melakukan itu, ingat, Din kamu juga seorang ibu bagaimana anak-anak kalau kamu tinggal?" "Aku akan membawa Ara.""Jangan bilang kamu akan meninggalkan Aksa dan Arsyi, aku tahu kamu memang bukan ibu kandung mereka tapi mereka sangat menyayangimu melebihi aku papanya.""Mereka pasti akan ngerti, lagi pula tiap hari aku akan memantau mereka Mas tidak usah khawatir." "Lalu aku?" Dina hampir saja tertawa melihat laki-laki dewasa yang biasanya bijaksana kini malah seperti anak kecil menujuk hidungnya sendiri dengan bingung."Mas kenapa memangnya?""Selama ini semua kebutuhanku di rumah kamu yang urus dari bangun tidur sampai tidur lagi.""Mas lupa kalau sudah punya istri yang lain yang bisa mengurus Mas," Dina berkata sinis."Tapi aku ingin kamu yang mengurus semuanya, kurasa Keira tak akan mampu mengurus semuanya sebaik dirimu."
Perjalanan yang berlangsung selama tiga puluh menit itu terasa sangat sunyi, bahkan Pak Amin yang menjadi sopir mereka enggan menyalakan radio untuk sekedar membuat suasana lebih hidup.Apalagi saat Aksa dan Arsyi sudah turun di sekolah mereka masing-masing. Si kecil Ara juga sibuk memainkan boneka barbienya, sesekali terdengar rengekan anak itu, meminta ini itu, tapi dengan sabar Dina menenangkannya.Pak Amin sekali lagi melirik ke belakang melalui kaca spion, dua orang dewasa itu masih betah berdiam diri dengan wajah sama-sama datar, Pak Amin bahkan tak bisa menebak mereka sedang marahan atau sekedar lelah. Peristiwa kemarin mungkin menjadi penyebabnya, bagaimanapun tidak ada yang tahu akan seperti apa hubungan mereka bertiga nanti.Mereka tiba di halaman panti dan langsung di sambut heboh oleh anak-anak di sana, Dina sudah sangat dikenal di panti ini, setiap bulan dia pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke mari.
"Pak Amin tunggu di kantor saya saja, biar mobilnya saya bawa, dari sini bisakan naik ojol saya mau pergi sebentar dengan Ibu." Angga mengangsurkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada sopir yang mengantar mereka tadi."Tidak perlu, Tuan saya ada uang.”Pak Amin menolak uang pemberian Angga dengan sungkan."Sudah, Pak, nggak apa-apa anggap saja rejeki buat anak Bapak." Angga memaksa meletakkan uang itu dan diterima Pak Amin dengan sungkan."Ya sudah, Tuan saya langsung ke kantor Tuan dulu.""Iya, Pak hati-hati."Angga menarik nafas sejenak lalu, masuk ke kursi pengemudi, menunggu dengan sabar Dina yang sedang berpamitan pada Ibu Panti."Kamu duduk di depan, Din, aku bukan sopir." Dina melirik bingung ke mana Pak Amin, kenapa jadi suaminya yang menyetir sekarang."Pak Amin mana?" "Sudah aku minta pergi dulu?"
Menjadi istri seorang Airlangga Wicaksana, memang sebuah keberuntungan tersendiri untuk Dina. Dia yang hanya anak panti asuhan, tak kenal ayah dan Ibunya, dan hanya hidup sederhana, tentu itu bisa dikatakan mimpi indah di siang bolong. Dia merasa menjadi Cinderella yang dipinang oleh pangeran kaya, tapi mungkin orang banyak yang lupa cerita Cinderella berakhir sampai mereka menikah saja, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Cinderella setelah menikah dengan pangeran, bisakah dia beradaptasi dengan lingkungan istana, bisakah dia diterima dengan sepenuh hati oleh kalangan bangsawan itu. Itulah yang dialami Dina setelah pernikahannya dengan Angga, meski di sini Angga tidak sama dengan sosok pangeran yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella. Angga tak pernah menginginkan pernikahan dengan Dina, tidak ada cinta untuk wanita itu dalam hatinya. Dia menikahi Dina atas dasar kepatuhan pada orang tua dan juga kasihan pada anak-anaknya yang telah kehilangan sosok seorang Ibu di
Dina mengangkat wajahnya saat mendengar sebuah mobil memasuki halaman panti. Dia masih sibuk menemani Ara dan beberapa anak panti mewarnai di teras depan, seminggu tinggal di sini membuat Dina memiliki agenda rutin menemani anak-anak itu, bermain bersama mereka membuatnya bisa sedikit melupakan permasalahan yang tengah dia hadapi.Senyum polos, tawa lepas dan wajah imut selalu berhasil mengalihkan dunianya, tapi sepertinya kesenangan itu harus berakhir saat dia mengenali mobil siapa yang memasuki halaman panti, dan seseorang yang turun dari kursi penumpang adalah orang yang sangat tidak ingin dia temui sekarang."Papa!" Ara segera berlari memeluk papanya. Anaknya itu terlihat sangat senang apalagi saat pintu kembali terbuka dan dua orang kakaknya turun dari mobil.Mau tak mau Dina melangkah menghampiri mereka dan membawanya ke ruang tamu. Bu Rahmi sedang keluar, Dina tak ingin ada drama yang bisa dilihat anak-an
"Apa karena kami hanya anak tiri, jadi Bunda tak mau lagi mengurus kami?" tanya Arsyi pelan tapi seolah bagai bom yang diledakkan tepat di atas kepalanya.Dina termangu matanya menatap nanar dua orang anak tirinya, otaknya seketika blank, tak bisa memikirkan satu kata pun yang bisa dia ucapkan. Anak-anak itu memang bukan lahir dari rahimnya tapi Dina bersumpah kalau dia menyayangi keduanya seperti dia menyayangi Ara, putrinya sendiri.Angga yang mendengar pertanyaan kedua anaknya pada Dina menoleh terkejut, dia memandang sang istri yang sudah bermuka pucat dan bibir gemetar, seketika perasaan bersalah menggerogoti jiwanya, dia tak berpikir panjang saat akan menikahi Keira dulu, dia hanya berpikir untuk bertanggung jawab pada hidup gadis itu. Angga lupa dia sendiri juga punya tanggung jawab yang harus dia prioritaskan, bukan hanya diberi uang dan kemewahan."Bunda memang hanya ibu tiri kalian tapi kalian harus ta
Angga yang sadar sang istri enggan menerima sentuhannya menghentikan kegiatannya tanpa kata dia membersihkan tubuh mereka berdua, dan mengeringkannya dengan handuk.Dina masih diam, dia hanya masih enggan menatap suaminya, bahkan saat mereka sudah keluar dari kamar mandi dan duduk di ranjang dengan hanya menggunakan jubah mandi."Kamu kenapa, Din?" tanya Angga pelan."Kenapa, Mas di sini bukankah Mas seharusnya Bersama Keira?""Kamu juga istriku, dan sudah seminggu kita tak bertemu."Dina berdiri, membuka pintu lemari dan mengambil pakaian untuk mereka berdua, dan menyerahkan salah satunya pada Angga."Mau ke mana?" tanya Angga menggenggam tangan Dina saat wanita itu akan berlalu dari hadapannya."Ganti baju di kamar mandi.""Kenapa tidak ganti di sini biasanya juga begitu?" Angga memandang Dina tajam seolah tak rela sang istri hilang dari pandangannya."Mung
Dina menelungkupkan kepalanya saat sang suami dengan kesal pergi dari kamar ini dan mengatakan tidak akan ada yang berubah.Dina tak tahu apa yang tidak berubah, nyatanya rumah tangga mereka sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Terbiasa ditinggalkan dan kesepian membuat Dina begitu takut, takut kehilangan suami dan anak-anak yang begitu dia sayang. Dina kembali menangis, bahunya bergetar hebat, dia tak tahu bagaimana nasibnya nanti? Dia bukan takut kehilangan harta dan kemewahan yang selama ini dia dapatkan saat menjadi istri Angga, sekali lagi dia hanya takut kehilangan orang yang dia sayang dan sendirian.Ditatapnya wajah yang terpantul dari dalam cermin terlihat mengerikan.Lama Dina menatap wajahnya di cermin, mungkin bila wajahnya cantik dia tak akan ditinggalkan, pikirnya. Lelah dengan semua pemikiran yang silih berganti melintas dalam benaknya, Dina merebahkan kepala di meja rias, sekedar mengistirahat